"Nih, daftar belanjanya. Jangan sampe ada yang nggak kebeli."
Mendengar titah sang nyonya rumah yang nggak bisa dibantah, dua prajuritnya langsung keluar rumah untuk melaksanakan perintah sang nyonya.
"Eh, bentar. Maskerku ketinggalan."
Gara berdecak ketika Gemi akan masuk lagi ke dalam rumah.
"Beli di sana aja sekalian," gerutu Gara, namun Gemi sudah sempat pergi ke dalam untuk mengambil maskernya.
Gara pun memutuskan untuk duluan masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian, Gemi pun datang.
"Sudah? Nggak ada lagi yang ketinggalan?" tanya Gara sebelum menyalakan mesin mobil.
Gemi mikir-mikir dulu. "Nggak ada deh."
"Yakin? Ntar di tengah jalan, malah putar balik lagi karena baru keinget."
Gemi mengangguk. Ia memasangkan pengamannya. Mobil pun melaju menuju ke salah satu supermarket. Pasalnya sang nyonya rumah harus pergi arisan dan menyuruh dua prajuritnya ini buat belanja bulanan yang sudah hampir habis.
Begitu sampai, mereka langsung tancap gas pilih - pilih barang pesanan nyonya. Pas lagi sibuknya lihat-lihat, Gemi seketika menepuk lengan Gara.
"Mas, lihat deh." kata Gemi, namun arah pandangnya tertuju bukan pada Gara. Melainkan ke depan, tepat pada sosok perempuan yang juga sibuk berbelanja.
"Lihat apa?"
"Itu mbak Saira, kan?"
Mendengar nama Saira, otak Gara langsung cepat nangkap. Ia spontan menoleh ke arah yang dituju Gemi. Meskipun perempuan yang nggak jauh dari mereka itu juga memakai masker, tapi Gara kenal betul bentuk tubuh Saira. Apalagi model rambut sebahu Saira yang membuat tidak asing di mata Gara.
Tanpa ba-bi-bu, Gara langsung berjalan menuju Saira, yang mana itu membuat Gemi seketika melongo. Ditinggalin begitu saja.
"Belanja nih ye."
Sapaan Gara pada Saira yang sudah ada di dekatnya, spontan membuat cewek itu langsung menoleh lantaran terkejut. Dia kira ada orang tak dikenal mau macam-macam, taunya malah Gara.
"Ngapain sih di sini? Ngikutin aku?"
"Dih. Mana ada. Aku ke sini juga belanja." Saira seketika menatap Gara dan sekitarnya. Tak ada keranjang belanja. Gara yang merasa peka akan pikiran Saira yang berpikir ia pura-pura belanja karena nggak pegang keranjang, langsung saja menunjuk ke arah Gemi. "Tuh, belanjaanku. Bareng Gemi."
Saira mencebik. Ia melihat ke arah Gemi, cewek itu langsung melambaikan tangannya. Membuat Saira seketika tersenyum. Gemi melangkah maju mendekati mereka berdu.
"Hai, mbak Saira."
"Hai, Gemi."
"Belanja apaan, mbak?"
"Biasa. Belanja bulanan."
"Wah, sama dong."
Kemudian mereka pun sibuk kembali pada barang belanjaan. Kebetulan pula Saira dan Gara barengan bayar ke kasir.
"Kamu langsung pulang?" Saira mengangguk, ketika Gara bertanya. "Makan dulu, yuk. Aku traktir deh."
"Ayo, mbak. Jarang-jarang loh kita bisa ketemuan di luar gini. Biasanya di rumah terus." Gemi menambahkan ajakan Gara, dan membuat laki-laki itu merasa menang karena punya pasukan.
Saira pun mengangguk. Ketiga sudah duduk di salah satu tempat makan khas lokal. Suasana di satu meja itu hening. Gemi sibuk berselancar di sosmed sambil cekikikan nggak jelas. Untuk menghilangkan rasa canggung, Saira pun ikut buka-buka isi handphone. Sedangkan Gara memangku dagunya sambil memandang sekitar, kadang lirik-lirik Saira.
"Hape teroooos." gerutuan dari mulut Gara seketika membuat dua cewek di depannya menoleh. Gemi terkekeh sedangkan Saira nggak peduli. Itu jelas membuat Gara agak kesal. Sia-sia nih waktunya kalo cuma dihabiskan dengan diam saja, padahal aslinya pengen ngomong sama Saira. Entah ngebahas apapun itu.
"Oh iya, selain jadi guru private, mbak Saira ngajar di mana sih?" tanya Gemi. Dan itu membuat Gara cukup tercengang, karena ternyata malah Gemi yang dulu buka topik. Padahal Gara baru saja mau ngajak ngobrol.
"Di SMA Tunas Bangsa," jawab Saira seraya meletakkan handphonenya ke meja.
"Enak nggak sih jadi guru?"
"Yah, lumayanlah. Kadang yang bikin nggak enak, anak-anak pada nakal. Susah diatur."
Gemi manggut-manggut. Ia tahu kalau SMA Tunas Bangsa itu salah satu sekolah bergengsi. "Gemi kepengen deh jadi guru juga, tapi kayaknya nggak bakalan tahan kalo ngehadapin siswa-siswa yang susah diatur."
"Terus, Gemi maunya jadi apa?"
Pertanyaan Saira seketika membuat Gemi berpikir sebentar. Hal itu membuat Saira memandangi cewek SMA itu karena menanti jawaban. Sedangkan Gara memandangi Saira yang cantiknya nggak pernah luntur dari dulu sampai sekarang.
Tiba-tiba Gara terbayang masa lalu, masa di mana ia dan Saira baru jadian.
***
Saira menggeliat gelisah di kursinya. Ia menoleh ke arah pintu perpustakaan, berharap seseorang yang ia dan Gara tunggu.
"Nadia mana sih? Coba deh SMS lagi, aku nggak ada pulsa nih," kata Saira kepada Gara yang duduk di depannya.
Sebetulnya, hal yang membuat Saira resah bukan karena Nadia yang belum juga datang ke perpustakaan, karena mereka akan belajar bersama di sana. Namun, yang membuat Saira kurang nyaman adalah karena saat ini dia sedang berduaan dengan Gara, dan sejak tadi cowok itu menatapnya lekat-lekat. Tentu saja jantung Saira heboh dan berdentam-dentum di sana, lantaran tak sanggup ditengokin terus sama orang yang dia suka.
"Dia bilang, dia nggak jadi ikut. Ada latihan tari mendadak, katanya."
Mendengar perkataan Gara, spontan membuat Saira menghembuskan napas panjangnya. Ia lantas menutup buku-bukunya yang tadi sempat dia buka.
"Kok nggak bilang-bilang sih. Kalau gitu, belajarnya besok aja deh."
Baru saja Saira berdiri, Gara langsung menahan tangannya. Jelas saja itu membuat hati Saira semakin tak karuan. Pasalnya jarang dia dan Gara bersentuhan seperti ini. Bayangkan, tangan Saira disentuh oleh orang yang diam-diam dia suka, membuat jantung semakin dag dig dug.
"Kan belajarnya masih bisa kita berdua."
Mendengar itu, Saira pun duduk kembali. Masalahnya dia bakalan susah fokus kalau berduaan terus sama Gara. Biasanya ada Nadia menjadi penengah yang membuat suasana nggak secanggung ini. Jadi ceritanya, Nadia itu sahabatnya Gara sejak kecil. Sedangkan Saira teman sekelas sekaligus sebangku Nadia selama dua tahun. Jadilah mereka sering kumpul bertiga.
"Kalo yang ini, gimana caranya?" tanya Gara seraya menunjuk soal matematika.
Gara yang tadinya duduk di depan Saira, kini berpindah ke sampingnya. Agar memudahkan Gara untuk menunjukkan buku. Sialnya, itu makin bikin Saira gugup. Bahkan suaranya kadang jadi nggak beraturan. Semoga Gara nggak denger suara detak jantung Saira saat ini.
Saira mencoba untuk tenang, seraya menjelaskan secara lugas.
"Udah. Ngerti?" tanyanya, namun nggak mendapat respon dari Gara. Yang Saira rasakan hanyalah suara napas yang entah kenapa begitu dekat di telinganya.
Ketika Saira menoleh ke arah Gara, ia terkejut saat tahu ternyata Gara kini menatapnya lekat-lekat. Bahkan bola mata cowok itu tak bergerak sedikit pun. Jelas saja itu membuat Saira semakin gugup. Buru-buru ia mengalihkan pandangannya ke buku di meja.
"Ra…" panggil Gara setelah diam dari tadi. Saira cuma menyahut dengan gumaman tanpa melihat Gara. "Gue suka sama lo. Mau nggak jadi pacarku?"
Spontan saja Saira menengok Gara. Ia tak menyangka kalau Gara mengatakan kalimat ajaib itu. Jadi selama ini perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan?
Bersambung….