10. Alasan Putus

1137 Kata
"Mbak Saira naik apa?" "Naik Ojol." Saira menanggapi perkataan Gemi, seraya mengeluarkan handphonenya dari sling bag. "Bareng aja, Mbak." Tangan Saira yang tadinya sibuk menscroll layar handphonenya seketika berhenti, lantas melihat Gemi kemudian ke Gara. "Eh, nggak usah deh. Rumahku jauh loh." "Nggak papa. Aku anterin aja." Kali ini Gara yang bersuara. "Sekalian aku pengen ketemu sama Ibu. Udah lama nggak ke sana." "Hah?" Saira loading seketika, mendengar kalimat Gara. Perkataan pria itu seakan-akan pernah datang ke rumahnya. Padahal seingat Saira, dulu Gara nggak pernah ketemu ibunya. Meskipun sesekali Gara mengantarnya pulang sekolah, namun Gara tak pernah betul-betul mampir ke dalam rumahnya. Jadi, gimana bisa Gara pernah bertemu ibunya? Apa Saira lupa atau pernah melewatkan sesuatu? "Masuk. Malah bengong." Saira terkesiap ketika Gara menyuruhnya masuk ke dalam mobilnya. Ia sampai tak sadar kalau sedang memikirkan masa lalu. Buru-buru Saira membuka pintu belakang mobil dan duduk di sana. "Kenapa di belakang semua sih. Sini satu di depan. Berasa jadi supir online nih gue jadinya." Gara menggerutu, karena Saira dan Gemi kompak duduk di belakang. "Mbak Saira aja," jawab Gemi, yang mana membuat Saira langsung memelototinya. "Ra, depan sini." suruh Gara. Saira pun mengalah dengan wajah cemberutnya. Ia pindah ke depan. "Cantik banget kamu tuh kalo cemberut. Sering-sering ya." "Apaan dah!" "Ehem!" Suara deheman Gemi seketika membuat keributan kecil di antara dua orang di depan mobil seketika berhenti. "Nganter Gemi pulang duluan, ya." "Loh?" Belum sempat Saira protes, Gara sudah membelokkan mobil ke arah kiri, tepatnya menuju ke arah rumah Gara. Padahal rumah Saira harus belok kanan tadinya. "Dah, mbak Saira. Tiati di jalan." pamit Gemi begitu sudah sampai di rumah. Tinggallah sekarang Gara dan Saira berduaan di mobil. Gara pun memutar ke arah rumah Saira. Tak ada yang berbicara sejak tadi. Hanya bunyi notifikasi w******p dari handphone Saira dan deru mobil yang menjadi latar. Pas lagi asik-asiknya chating di grup gengnya, tiba-tiba mobil berhenti. Saira juga berhenti mengetik chat yang bahkan belum selesai ia ketik. Lantas ia menoleh kepada Gara yang kini juga menatapnya. "Kok berhenti?" tanyanya seraya mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Mereka berhenti di tengah jalan sunyi yang dekat dengan halte bus. Hanya ada suara penerangan jalan yang membuat suasana dalam mobil remang-remang. "Aku mau kita bicara." Ini lagi. Geram Saira dalam hati. Ia pun mengunci handphonenya dan memasukkan ke dalam tas. Oke. Sekarang dia memang perlu menghadapi ini, biar kelar semuanya. Dan nggak ada urusan lagi dengan Gara. "Udah. Ngomong aja." "Enaknya bahas apa, ya? Ada ide buat topik?" Hah? Saira jadi nggak ngerti. Kan Gara yang ngajak ngomong, malah nanya ke Saira mau ngomongin apaan. Kirain mau bahas mereka berdua. Berarti harus Saira nih yang mulai? Oke. "Oke. Kita ngebahas tentang kita, biar kelar. Biar kita nggak ada urusan apa-apa lagi." Perkataan Saira membuat kening Gara mengerut. "Aku kira kita nggak punya alasan buat balikan lagi. Oke?" "Ada lah. Karena aku masih mau kita balikan lagi." "Tapi aku nggak mau. Udah deh, nggak usah paksain yang bertepuk sebelah tangan. Sakit hati ntar." "Yakin kamu nggak ada perasaan lagi sama aku? Aku makin ganteng gini, apa nggak bisa bikin kamu makin cinta?" Saira menatap Gara kesal. Nih cowok kepedean banget sih. Dari dulu sampe sekarang, jiwa narsisnya nggak pernah hilang. "Nggak tuh." "Ah masa?" Gara kini malah menggodai Saira dengan memajukan wajahnya ke arah perempuan itu yang justru memalingkan pandangan ke arah luar jendela mobil. "Udahlah, Ga. Kalau aku nggak mau, jangan paksain plis. Bertepuk sebelah tangan malah bikin kamu sakit hati. Kayak aku dulu." "Kayak kamu dulu? Emang kamu pernah pacaran kek gitu?" Saira seketika tertawa miris mendengar pertanyaan Gara. Nih cowok nggak peka atau nggak sadar diri sih? Saira menghela napas, lantas balik menatap laki-laki di sampingnya dengan berani. Malam ini juga dia harus menyelesaikan masalah ini. Saira nggak mau sembunyi lagi. "Pernah. Sama kamu. Aku tahu, sebenernya dulu kamu pacaran sama aku cuma jadiin aku pelarian kan?" Gara seketika tersentak. Ia malah terdiam sebentar, dan memandangi Saira yang balas menatapnya. "Maksudnya?" "Nggak usah pura-pura b**o, Ga. Aku tahu, dulu kamu cintanya sama Nadia, bukan aku. Dan kamu pacaran sama aku, cuma mau ngetes perasaan Nadia. Iya kan?" Gara menelan ludahnya pelan. Nggak mengelak apa yang dikatakan Saira. Memang dulu ia pernah menyukai Nadia, sahabatnya. Tapi itu dulu. "Aku sempet nggak percaya loh, kamu nembak aku waktu itu. Karena aku ngira kamu sama Nadia kejebak friendzone karena kalian deket banget, jadi rasanya nggak mungkin kamu suka sama aku. Eh, ternyata bener dugaanku." "Aku sama Nadia dari dulu emang murni cuma sahabatan." "Iya, cuma sahabatan tapi saling suka. Aku ada di sana loh, pas kamu ngungkapin perasaan kamu ke Nadia." Gara langsung memutar arah duduknya agar bisa lebih menghadap Saira. "Kapan?" "Coba diinget-inget lagi, Ga." Gara menarik napasnya, lantas menghembusnya pelan. "Oh, jadi cuma gara-gara ini kamu jadi benci sama aku sampe ngejauh? Harusnya dulu kita bisa ngomongin ini baik-baik, Ra. Kenapa nggak bilang dari dulu sih?" Saira diam. Ia kini melipat tangannya di d**a. "Oke. Aku jujur sekarang. Awalnya, aku jadiin kamu karena cuma pelarian. Karena Nadia jadian sama Rey, dan aku nggak mau kalah." Perkataan Gara seketika membuat Saira berdecak. "Tapi sejak kita jadian, sebenernya aku udah mulai suka juga sama kamu." "Jadi suka sama dua orang sekaligus?" pertanyaan Saira seketika membuat Gara menggaruk dahinya. "Dasar fakboi." "Tapi sejak kamu bilang putus, kamu jauhin aku, sampai kamu menghilang. Di situ aku baru sadar kalau aku bener-bener merasa sebagian jiwaku ada yang hilang." "Apaan lebay banget. Sampe sebagian jiwa. Udah ngegombalin berapa lusin orang, Ga?" Gara terkekeh. "Baru kamu." "Pendusta." Lagi-lagi Gara terkekeh. Ia hendak meraih tangan Saira yang kini berpangku di pahanya. Namun, perempuan dengan cepat menepisnya, ditambah lagi wajah Saira yang makin galak. "Lucu ya, selama ini aku ngira kita putus karena kamu mau jadi siswa teladan banget. Taunya karena kecemburuan kamu ke Nadia." "Siapa pula yang cemburu? Buktinya, aku biasa aja pas kamu lebih pentingin Nadia ketimbang aku." "Kalau nggak cemburu, kenapa sampe minta putus?" Saira membuang napas keras. Gara nih nggak ngerti apa gimana sih? Kenapa jadi muter-muter lagi pembicaraannya. "Udah ya. Sekarang urusan kita kelar. Alasan aku minta putus sama kamu udah jelas. Jadi, nggak ada balikan lagi. Tapi kita masih bisa temanan, kalau kalau kamu." "Nggak mau temenan. Maunya nikah. Aku udah siap nih." Saira menggeram dalam hati. Nih cowok beneran bebal banget sih. "Oh, mungkin karena Nadia bentar lagi mau nikah, kamu juga ikutan. Nggak mau kalah. Terus aku dijadiin pelarian la--" "Astaga! Kenapa sih negatif mulu pikirannya. Jangan bawa-bawa Nadia lagi, ya. Dan nggak ada yang mau jadiin kamu pelarian di sini." sambar Gara saking gemasnya melihat Saira. "Oke. Aku minta maaf, dulu jadiin kamu pelarian. Tapi sekarang, aku beneran serius." Saira menggeleng. Dan itu membuat Gara makin frustasi. Gimana caranya meyakinkan nih cewek biar percaya kalau Gara tuh beneran serius. "Nggak bisa. Kita nggak bisa balikan. Karena aku udah punya calon suami." HAH? Bersambung…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN