7. Kita Putus

1001 Kata
Gara mengaduh kesakitan sambil mengangkat-angkat satu kakinya yang menjadi korban injakan sepatu lima inci Saira. Mana tajam pula lagi itu ujung sepatunya. Sedangkan Saira sudah buru-buru kabur dari hadapan Gara, tak peduli sesakit apa injakan yang dirasakan laki-laki itu. "Eh, mau ke mana?" Belum sempat Saira menghampiri motornya, Gara mencekal tangan Saira. "Mau pulang lah!" Masih nanya lagi! Saira mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman Gara yang kuat. "Tanggung jawab nih, kakiku sakit kamu injek." Gara mengangkat sedikit kakinya yang jadi korban injakan Saira tadi. "Oh. Sakit, ya?" Raut wajah Saira kini berubah lembut, disertai senyuman yang membuat Gara kicep seketika. "Hu'um." Gara memasang raut menyedihkan, supaya Saira iba dan makin bersikap lembut padanya. Saira masih dengan senyum palsunya, lagi-lagi menginjak kaki Gara yang satunya lagi. Spontan saja mantannya itu mengaduh kesakitan dan melepaskan cekalannya di tangan Saira. "Rasain!" Kali ini Saira berhasil lolos dari Gara. "Awas kamu ya kalo kita ketemu lagi," ringis Gara masih dengan mengaduh kesakitan. Umpatan Gara malah dibalas dengan muka bodo amatnya Saira. Lalu setelahnya, Saira pergi melaju dengan motornya. Gara tersenyum sendiri menatap kepergian Saira. Gara berjalan sedikit tertatih menuju tempat parkir mobilnya. Untung kakinya nggak diinjek pakai tumit cewek itu, kalau iya bisa sampai nggak bjsa jalan dia. Seketika ia kaget melihat Nadia sudah bersandar di mobilnya sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. "Ngagetin. Kirain kunti." Gara sambil mengelus-elus dadanya seraya mendengus kuat. "Ngapain di sini?" "Pulang bareng." jawab Nadia dengan santai seraya memainkam tali tasnya. "Calon suami lu mana? Tadi kan perginya bareng, kenapa pulangnya jadi beda?" "Ada urusan dia. Entah deh, dia sok sibuk banget jadi orang." "Kacian." Nadia spontan memukul pelan kepala Gara karena diejekin, tapi cowok itu malah terkekeh. Gara membuka pintu mobilnya, pun Nadia yang sudah biasa tanpa ijin ikut membuka jok depan dan duduk di sana dengan santai. "Gue bilang juga apa. Mending nikah sama gue, yang selalu ada buat lo." "Dih, najis. Nikah sama yang gagal move on, bisa-bisa diselingkuhin ntar," ujar Nadia seraya mencibir. "Cie akhirnya ketemu mantan." "Ketemu lagi tapi nggak mau diajak balikan mending nggak usah ketemu sekalian," gerutu Gara kesal. Nadia hanya mencibir dalam hati. Kemudian dia seakan teringat sesuatu. "Ngomong-ngomong, kapan lo pernah ketemu lagi sama Saira?" "Oh itu… Saira jadi guru privatenya Gemi. Makanya dia sering ke rumah buat ngajar. Eh, malah nggak sengaja ketemu sama gue." "Udah lama? Hampir tiga minggu." Nadia manggut-manggut. Mereka terdiam sejenak. Gara sibuk menyetir, sedangkan Nadia lagi mikir. "Saira kenapa ya, kek aneh gitu. Kayak ngehindar terus dari kita. Lo liat kan tadi, yang antusias pas ketemu itu cuma gue. Dia malah biasa aja. Sombong bener." Gara hanya mengangkat bahunya. Ia juga merasakan kalau Saira benar-benar berubah. Sewaktu SMA dulu, Saira dan Nadia itu dekat sekali. Apalagi mereka duduk sebangku selama dua tahun. Bahkan lewat Nadia pula, Gara bisa jadian sama Saira. Namun, setelah Gara dan Saira putus, cewek itu malah menjauh dengan alasan pengen fokus sama UN dan ujian masuk ke PTN. Bukan hanya komunikasi Saira dan Gara yang menjadi jarang, bahkan cewek itu pun seakan membatasi pertemanannya dengan Nadia. Hingga sampai Saira pergi ke Medan lantaran lulus di salah satu PTN di sana, mereka betul-betul putus kontak. Nadia pun kecewa sama Saira yang tiba-tiba saja kayak menghilang. Bahkan tadinya pas di kondangan Nadia ingin cuek dan mengabaikan Saira. Namun rasa antusiasnya lebih besar sehingga melupakan kekesalannya pada Saira. *** Gara menggoyang-goyangkan kakinya, lantaran sudah tidak sabaran untuk segera pulang. Bel pulang sudah berbunyi dua menit yang lalu, tapi guru biologi di depan kelas masih asik berceloteh. Nanggung, katanya. Begitu guru itu betul-betul menyelesaikan pelajaran. Gara langsung berlari keluar kelas dan menuju ke lapangan belakang sekolah. Matanya mencari-cari tiap sudut, ia langsung tersenyum begitu melihat Saira duduk di bawah pohon ceri. "Ra, udah lama?" tanya Gara begitu ia sampai di depan cewek itu. Ia ikut duduk di samping Saira. Tempat duduk itu terbuat dari marmer, sehingga Gara yang tadi agak kepanasan setelah berlari, seketika merasa adem. Ditambah lagi pohon ceri yang membuat mereka terlindungi dari sinar matahari yang pekat. Ngomong-ngomong, tumben nih Saira ngajak ketemuan. Biasanya Gara yang ngajakin. Makanya Gara sangat antusias ketika tadi Saira meng-SMS untuk ketemuan di sini. "Ga, aku mau kita putus." Hah? Gimana? gimana? Gara nggak salah dengar? Dia baru aja datang, nggak ada basa-basi gitu dulu? Langsung to the point gitu? "Maksudnya?" Gara masih tidak paham, berharap ia salah dengar. "Putus. Nggak usah pacaran lagi." "Kenapa?" Gara seketika loading bentar. Karena kalau dilihat-lihat hubungan mereka lancar aja. Kok tiba-tiba gini. "Aku mau fokus belajar." Itu alasan yang sangat pasaran. Gara seketika berdecak, namun juga terkekeh sinis. "Ya ampun, cuma gara-gara itu aja?" kata Gara disertai seringai. "Emang kalo kita pacaran, kamu nggak fokus jadinya?" Saira cuma diam. Ia menatap ke arah lapangan voli yang sepi di depan mereka. "Lagian aku nggak pernah loh larang kamu kalo sibuk belajar, selagi kita pacaran. Kita juga nggak terlalu banyak ngabisin waktu buat ngedate. Selama kita pacaran hampir enam bulan, kamu masih bisa tuh dapat juara satu. Kenapa sekarang jadi gini?" "Bentar lagi UN sama SNMPTN. Aku mau lebih fokus." Gara diam, bingung mau jawab apa. Mungkin agak masuk akal sih alasannya. Mungkin dengan putusnya mereka, Saira bisa lebih fokus tanpa harus balasin tiap SMS dari Gara atau teleponan tiap malam minggu. "Terus kalau udah selesai SNMPTN, kita balikan lagi ya?" Saira tak menjawab. Ia malah menoleh ke samping yang berlawanan dengan Gara. "Iya, bilang." "Nggak." "Lah, kenapa? Kan masalahnya cuma mau fokus ujian, abis tuh kan bisa balikan lagi. Kecuali sih, kalo kamu udah nggak suka lagi sam--" Gara memutus perkataannya seraya menatap Saira sekali lagi. Apa iya, sebetulnya karena Saira sudah tak ada perasaan apa-apa lagi sama Gara? Alasan mau fokus ujian mungkin cuma alibi? Saira berdiri, sambil mengibas-ngibas belakang roknya yang sudah mengeriting. "Udah ya, kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi." Gara langsung mencekal tangan Saira ketika cewek itu akan melangkahkan kakinya. "Aku belum iyain loh kita putus." "Kamu iyain atau enggak, kita tetap putus." Saira langsung melepas tangannya dari cekalan Gara dan pergi dari sana. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN