“Keluar kamu, PELAKOR SIALAN!”
Kalila memutar bola matanya malas saat kaca mobil diketuk oleh Viona. Kelakuan bar-bar wanita itu menarik perhatian orang-orang yang ada di parkiran. Hingga mereka menghentikan aktivitasnya untuk menonton drama perdebatan istri sah dan pelakor.
Kenyataannya Kalila sebagai korban dan Viona lah yang menjadi pelakor. Namun tidak ada yang peduli dengan fakta itu. Para netizen hanya perlu video atau foto untuk di posting pada media sosial.
Brak ... “Awww, Dasar gadis sintin9!”
Kalila sengaja membuka pintu mobil dengan sekali hentak. Tujuannya agar Viona tersungkur di sebelah mobil. Wanita itu mengelus jidatnya sembari meringis kesakitan.
“Upsss, sorry— salah kamu sendiri yang memintaku keluar tapi menempelkan wajah pada pintu.”
“Kamu sengaja ingin membuatku jelek ‘kan?!” tuduh Viona dengan berderai air mata.
“Woooo— cepat sekali kamu mengeluarkan air mata buaya betina.” Kalila dibuat takjub dengan bakat akting wanita di depannya. “Kamu mendingan daftar jadi pemeran sendratari ramayana ballet festival deh. Aku yakin pasti diterima. Ya, meskipun dapat peran sebagai setan wanita.”
Saat parkiran semakin banyak orang yang berkerumun, Viona mulai drama istri sah tersakiti, berteriak sambil menuduh Kalila sebagai pelakor.
Rumah tangganya yang awalnya penuh dengan kebahagiaan berubah seperti neraka ketika suaminya memiliki sekretaris baru.
Untuk meyakinkan orang-orang disana, Viona sampai berlutut di kaki Kalila, menangis dan memohon agar tidak mengganggu rumah tangganya lagi.
“Kamu ini kenapa sih?” tanya Kalila dengan wajah heran.
“Ealah, Mbak. Orang istri sah sedang memohon gitu. Mbok ya dikasihani,” ujar salah satu orang yang mengarahkan kamera ponsel pada Kalila.
“Owh, begitu toh ceritanya,” kata Kalila. Setelah itu dia berkata lagi, “Asal Mas dan Mbak tahu ya, wanita ini yang sebenarnya pelakor bukan saya. Kalau tidak percaya cari berita batalnya pernikahan putri bungsu Ihsan Dirgantara. Pasti nama dan wajahnya akan muncul di halaman artikel.”
Beberapa orang melakukan perintah Kalila, sementara yang lainnya masih mengambil video, takut kehilangan momen penting perdebatan antara Kalila dan Viona.
Beberapa saat kemudian salah seorang berseru, “Namanya Viona, hamil diluar nikah dengan Elard Al-Fathan calon suami Kalila Dirgantara—”
“Iya, wajah mereka masih sama seperti empat tahun yang lalu,” ujar satu orang lainnya.
Kalila mengangkat sebelah alisnya ketika melihat ke arah Viona. Berita itu sengaja tidak dihapus oleh keluarganya agar menjadi jejak digital yang bisa sewaktu-waktu diakses oleh siapapun.
Hal semacam ini telah diprediksi akan terjadi oleh Pak Ihsan. Nyatanya dugaannya benar. Putrinya bisa selamat dari fitnah yang dibuat oleh Viona.
“Mau apa lagi sekarang, ha? Kamu itu kalau ingin menyerang ku bawalah otak. Karena jika hanya membawa mulut itu mudah sekali aku kalahkan.”
“Kamu— awas saja—”
“Awas ada pelakor teriak pelakor. Begitukah?” sahut Kalila.
“Sampai kapanpun Elard tetap menjadi suamiku!”
“Ambil saja ambil. Empat tahun yang lalu aku sudah memberikan pria itu padamu. Buat apa aku merendahkan harga diriku untuk merebutnya lagi?”
Viona mengepalkan kedua tangannya, lalu mengarahkan salah satu kepalanya ke arah wajah Kalila, dengan sigap gadis itu dapat menangkis pukulan, kemudian menghempaskan ke belakang hingga wanita bar-bar itu terdorong ke belakang.
Bukan Viona namanya jika mengalah meski sudah dikalahkan oleh Kalila. Sebelah kakinya tak tinggal diam, mencoba menendang tulang kering musuhnya, sayangnya justru dia yang terjungkal lagi.
“Lila— kamu tidak apa-apa ‘kan?” tanya Elard.
Nafasnya ngos-ngosan akibat berlari. Sebelum meninggalkan restoran dia memutuskan ke kamar mandi sebentar. Saat keluar ada seorang waiters mengatakan jika gadis yang bersamanya sedang berkelahi di parkiran mobil.
“Aku kaget Elard,” rengek Kalila. Ekspresi wajahnya sungguh berbanding terbalik ketika menghadapi Viona. “Dadaku deg-degan. Aku takut terkena serangan jantung.”
Elard menepuk pelan kepala gadisnya. Kemudian membubarkan orang-orang yang ada disekitar. Dan, meminta agar video atau foto yang telah diambil segera dihapus. Jika tidak, dia akan menempuh jalur hukum atas dugaan pencemaran nama baik.
Setelah kondisi parkiran kembali sepi, Elard memasang wajah galak ke arah Viona, menyuruh agar segera berdiri dengan benar.
“Aku kesakitan Mas!” seru Viona.
“Persetan dengan rasa sakit yang kamu rasakan,” jawab Elard dengan suara baritonnya.
“Mas masih mencintainya? Ingat, dia sudah meninggalkanmu sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan. Aku, aku yang setia denganmu selama empat tahun ini—”
“Semua masalah dalam hidupku dan Lila itu atas ulahmu. Harusnya kamu tidak muncul dalam kehidupan kami.”
Viona kembali menangis, wajahnya memerah, ekspresinya dibuat sesedih mungkin untuk menarik simpati dari Elard.
Bukannya kasihan Elard justru jijik melihat wanita yang ada didepannya. Jangankan kasihan menatapnya saja dia tak sudi!
“Kita pulang sekarang ya,” ajak Elard pada Lila.
“Masuklah di kursi belakang. Biar aku yang menyetir,” titah gadis itu.
“Aku yang akan mengemudikan mobilnya.”
Kalila berdecak kesal. Saat genting seperti ini Bos-nya tidak mau menurut dengannya. Padahal dia sudah tidak tahan melihat drama yang dimainkan oleh Viona.
Bugh ... “Arggg! Sakit— huaaa, Mama kepalaku sakit.”
Pelipis Kalila terkena lemparan sepatu hak tinggi milik Viona. Sepertinya tak hanya lecet melainkan berdarah. Karena ujung sepatu itu yang mendarat lebih dulu.
“Hiks ... hiks, sakit Bapak.” Kalila menangis sesenggukan sembari memeluk Elard.
“Kamu masuk dulu biar aku beri pelajaran wanita itu,” ujar Elard dengan suara lembut.
Selepas membantu Kalila duduk dengan nyaman di dalam mobil, Elard bergegas menghampiri Viona, menampar mantan istri sirinya hingga pipinya terdapat bekas tangan.
Itu pasti sakit! Kalila yang melihat dari jendela mobil tersenyum penuh kemenangan. Rasa sakit yang tak seberapa terbayarkan lunas.
Gadis itu selalu punya cara mengalahkan Viona tanpa harus mengotori tangannya. Seperti saat ini, perdebatan telah selesai dan wanita bar-bar telah mendapatkan balasan yang setimpal.
“Weeekkk—” Kalila menjulurkan lidahnya ke arah Viona. Kemudian menyandarkan punggungnya lagi pada kursi. Memasang ekspresi sedih ketika Elard masuk ke dalam mobil. “Sakit,” ujarnya lirih.
“Kita ke rumah sakit sekarang!” putus Elard tak mau dibantah.
***
Kalila tak menyangka jika Papa dan Mamanya berada di Jogja. Saat mendengar putrinya masuk rumah sakit keduanya langsung menyusul dengan perasaan khawatir.
Luka yang diderita Kalila tak begitu serius namun Bos-nya memaksa agar dia dirawat minimal satu malam. Katanya untuk memastikan gadis itu tak mengalami gegar otak.
Dua jahitan di pelipis tertutup oleh kasa dan hypafix. Hanya itu luka di wajah Kalila. Sebenarnya Dokter mengijinkan dia pulang. Tapi, Elard memintanya agar tetap berada di rumah sakit hingga besok.
“Mama— bosan,” rengek Kalila.
Bu Indira yang sedang mengupas apel mendengkus kesal. Putrinya memang keras kepala. Di suruh pulang ke Jakarta agar ada yang menjaga malah memilih tinggal di Jogja.
“Ma— tega sekali Mama dengan putri cantiknya,” kali ini Kalila merengek sambil mengedip-kedipkan kedua kelopak mata. Berusaha merayu sang mama agar membawanya pulang ke apartemen.
“Adek harus dirawat sampai besok,” putus Bu Indira.
“Hanya luka kecil buat apa harus menginap sih, Ma?”
“Mama dan Papa takut Adek mengalami gegar otak.”
“Gak mungkin lah, Ma. Dokter tadi bilang hanya luka kecil dan boleh pulang setelah diobati.”
“Kalau luka kecil kenapa tadi menangis histeris dalam pelukan Nak Elard?”
Kalila terdiam di tempat, tak menyangka jika Mamanya tahu kelakuannya saat berada di tempat parkir tadi, saat itu dia sedang berakting untuk membuat kesal Viona.
“Itu mah hanya bercanda saja Mama. Kayak enggak tahu Lila aja,” jawabnya.
“Bilang saja Adek masih suka dengan Nak Elard,” sahut Bu Indira.
“Yeee, Mama kok malah memfitnah Lila. Mana mungkin aku masih suka dengan pria jahat itu.”
Saat keduanya masih berdebat, pintu ruang perawatan terbuka, masuklah Pak Ihsan bersama Elard.
Kalila tersenyum manis pada Papanya. Merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatangan cinta pertamanya.
Takkk! Bukannya di peluk justru Kalila mendapatkan hadiah satu jitakan dari Pak Ihsan. “Nakal sekali kamu, Dek,” omelnya kemudian.
“Ih, Papa,” ujar Kalila dengan mencebikkan bibir.
“Besok-besok kalau ketemu sama wanita itu langsung panggil polisi.” Pak Ihsan akhirnya memeluk putri bungsunya.
“Buat apa sih Pa? Dia terlalu mudah untuk dikalahkan. Buang-buang waktu saja kalau panggil polisi segala,” bantah Lila, langsung mendapatkan jeweran dari sang mama.
Pak Ihsan dan Bu Indira sengaja ingin memberi kejutan pada putrinya. Sesampainya di Jogja justru mereka yang terkejut akan ulah bungsunya.
“Nak Elard boleh pulang. Lila biar kami yang menjaganya,” ujar Bu Indira.
Elard mengangguk patuh, tanpa banyak bicara dia berpamitan pada orang tua Kalila, kemudian meninggalkan ruangan dengan perasaan sedih.
Lagi dan lagi dia membuat masalah untuk Kalila. Benar yang dikatakan oleh mantan tunangannya, jika dia mendekat masalah akan datang silih berganti, membuat gadis itu mengalami kesulitan.
“Ehem, cukup lihatnya. Adek mau matanya juling.”
“Papa kok nakal sih!”