Bunda Aisha menjenguk Lila diantar oleh putra bungsunya. Beliau membawa banyak lauk kesukaan gadis itu beserta cemilannya.
Kini ruang perawatan Lila berubah seperti restoran padang. Karena Bunda Aisha tak hanya memasak dua tiga lauk melainkan 10 lauk sekaligus.
Ada ayam gulai, gulai ikan kakap, ayam pop, rendang daging, dendeng balado, tujang, kikil cabe ijo, telur gulai, telur dadar dan jangek.
Itu baru lauknya, masih ada persambalan yang jumlahnya tak kalah banyak. Hingga membuat Kalila kebingungan saat akan mencobanya.
“Mama boleh makan tunjang?” tanya gadis itu pada sang mama.
Bu Indira sedang menyuapi putrinya menggunakan ayam pop, telur dadar dan kikil sambal hijau. Lauk di piring belum berkurang sudah mau mencoba lainnya.
Sementara Pak Ihsan menikmati sarapannya sambil ngobrol dengan Eithan. Membicarakan sanksi para plagiat desain baju Kalelard.
“Mama—” rengek Kalila.
“Adek, habiskan dulu lauk yang sudah Mama ambil,” jawab Bu Indira.
“Mama kebanyakan ambilnya. Harusnya dikit aja tapi rata.”
“Sabar dong, Dek. Lagian baru mulai sarapannya.”
“Iya, Lila. Pelan-pelan saja makannya,” sahut Bunda Aisha.
Kalila mengulum senyum malu. Takut Bunda Aisha ilfil dengannya karena rakus saat melihat lauk-pauk yang terlihat menggoda.
“Gimana keadaanmu, Lila?” tanya Eithan setelah menyelesaikan sarapannya.
“Sangat baik. Pak Bos saja yang berlebihan. Maksa agar aku dirawat sehari padahal pelipis ku hanya terluka kecil,” gerutu Kalila.
“Kak Elard takut otak kamu geser ke samping. Makanya dia meminta Dokter melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikannya.”
Kalila mendengkus kesal, sahabatnya jika bicara tidak ada filter meski kedua orang tuanya berada di sampingnya, tetap saja mulut bar-bar Eithan mengatakan semua yang ada di dalam otaknya.
“Setelah sarapan Lila diperbolehkan kembali ke rumah,” sahut Pak Ihsan. “Dia akan pulang ke rumah bukan apartemen,” tambahnya lagi.
Kalila mencebikkan bibir. Sebelum mendebat sang papa dia harus mengisi tenaganya lebih dulu. Karena dia tidak suka tinggal di rumah besar milik kedua orang tuanya yang ada di Jogja.
Sejak datang ke kota pelajar, Kalila langsung tinggal di apartemen yang dulunya milik temannya, kebetulan temannya itu sudah menikah dan ikut suaminya tugas di Kalimantan.
Mendengar ada apartemen bagus, letaknya strategis dan harganya murah Kalila langsung menghubungi temannya, tanpa menawar dia mengiyakan kemudian membayar DP sebagai tanda jadi jual beli.
“Papa tidak mau tinggal ditempat sempit dan kumuh.”
Kalila membelalakkan kedua matanya setelah mendengar ucapan Papanya barusan.
Unit apartemennya sangat mewah dan luas. Bisa-bisanya sang papa berkata sempit. Kalau kumuh memang benar karena dia malas bersih-bersih.
“Papa ngeselin banget, Ma,” adunya.
“Salah siapa coba?” tanya balik Bu Indira.
“Sekarang apartemen Lila bersih dan wangi. Gak ada lagi pakaian berserakan, sampah bekas makanan ringan dan cucian piring menumpuk. Kalau nggak percaya datang dan lihat saja sendiri—”
“Adek pernah berkata seperti itu, saat Papa dan Mama datang tanpa bilang lebih dulu, kondisi apartemen seperti tempat pembuangan sampah,” sahut Pak Ihsan.
Eithan yang selalu menjadi relawan kebersihan menahan tawa. Senang jika sahabatnya mendapatkan ceramah dari kedua orang tuanya perihal kebiasaan joroknya.
Jika di luar Kalila selalu tampil cantik, rapi dan wangi tapi kondisi apartemennya berbanding terbalik dengan penampilannya. Tidak hanya berantakan namun juga mengeluarkan bau tak sedap.
“Jangan gitu dong, Pa! Gini-gini Lila itu putri Papa loh.”
“Makanya Adek harus pindah ke rumah jika masih mau diakui sebagai Putri bungsu Mama dan Papa.”
“Yah, kok gitu sih Pa? Ganti syarat lain aja ya—”
Syarat dari Pak Ihsan untuk Kalila terlalu mudah. Gadis itu selain diminta kembali ke Jakarta juga harus meninggalkan apartemennya lalu pindah ke rumah.
Namun bagi Kalila syarat itu terlalu sulit untuk dilakukan. Jakarta adalah kota yang menyeramkan baginya. Dan, rumah besar terlalu sunyi jika ditinggalinya seorang diri.
"Mama dan papa memutuskan pindah ke Jogja untuk sementara waktu. Jadi, Adek tidak akan sendirian di rumah," terang Bu Indira pada putrinya.
Kalila yang awalnya memasang wajah cemberut berganti dengan senyuman lebar hingga kedua mata bulatnya menyipit. "Mama memang yang terbaik!" serunya sembari memeluk sang mama.
Eithan merasa ada yang aneh dengan keputusan Pak Ihsan dan Bu Indira. Selama 4 tahun ini keduanya rutin mengunjungi putrinya setiap bulan. Tak ada niatan untuk menetap di Jogja.
Dan lagi, Bundanya tumben berada di Jogja lebih dari 2 hari. Biasanya pagi sampai dan malamnya kembali ke Jakarta. Karena Pak Aksa tidak mau berjauhan dengan istrinya.
***
"Gara-gara kamu pindah ke Jogja ketenangan Kalila terganggu. Selain mengundang kedatangan Mak Lampir, sekarang dia harus meninggalkan apartemennya, satu-satunya tempat ternyaman untuk dia menenangkan diri."
Elard seolah tak peduli dengan teguran adiknya. Tangannya dengan lincah menari-nari di atas keyboard dan kedua matanya fokus pada layar komputer.
Pekerjaan Elard masih menumpuk tapi Eithan tetap menerobos masuk ke dalam ruang kerjanya. Padahal dia sudah meminta asisten pribadinya untuk tidak menerima tamu. Sekalipun adik kandungnya yang ingin bertemu.
"Aku tidak suka kamu mendekati Kalila," ujar Eithan lagi.
Elard langsung menghentikan gerakan tangannya. Melirik sejenak adiknya kemudian kembali melihat pada layar komputer. Tapi, dia tak melanjutkan aktivitasnya melainkan terdiam seperti patung.
Sedangkan Eithan mendengkus kesal. Dia sudah menebak jika tujuan sang kakak kembali ke Jogja adalah untuk menjalin hubungan dengan mantan tunangannya.
"Dan, aku juga tidak suka kamu mengambil kesempatan dalam kesempitan," jawab Elard.
"Opa sendiri yang berinisiatif menjodohkan ku dengan kalila. Sebelum kami memutuskan untuk mengenal lebih dekat satu sama lain."
"Kamu pikir aku akan percaya begitu saja?"
"Aku tidak perduli akan hal itu! Empat tahun yang lalu kamu sudah mengaku jika telah menghamili Viona. Kalian pun telah menikah meskipun hanya pernikahan siri. Urus saja istrimu, jangan mengganggu kehidupan Kalila! Dulu aku memilih diam namun kali ini tidak. Jika kamu menyakiti gadis itu lagi persetan dengan hubungan persaudaraan kita."
"Aku sudah menceraikan Viona. Sejak awal menikah kami telah membuat perjanjian. Saat anak itu lahir pernikahan berakhir."
Eithan tertawa mengejek. "Kamu pikir Kalila dan orang tuanya mau menerima pengecut sepertimu?" tanyanya kemudian.
"Setidaknya aku akan berusaha. Soal diterima atau tidak itu bukan urusanmu."
Eithan menatap sang kakak dengan tatapan merendahkan. Empat tahun sudah hubungan kakak beradik itu merenggang. Salah satu dari mereka tak ada yang berusaha menjalin komunikasi. Sama-sama memelihara ego masing-masing.
"Aku rasa sudah cukup perbincangan kita. Aku harap kamu mengerti dan mengurungkan niat untuk mengejar Kalila."
Setelah mengatakan itu, Eithan meninggalkan ruang kerja sang kakak tanpa berniat menunggu jawaban.
Sementara Elard menatap pintu yang telah tertutup dengan tajam. Emosinya berhasil terpancing namun dia berusaha bersikap tenang.
Tiba-tiba dia teringat kalimat tajam yang dikatakan oleh Pak Ihsan kemarin.
"Jangan bermimpi menjadi menantu keluarga Dirgantara! Saya tidak sudi memberikan Kalila pada seorang pria pengecut."