Bab 7

1108 Kata
Bab 7 Aku dan Mas Rustam menoleh ke asal suara. Aku tertegun sejenak. Lelaki dengan kemeja biru tua, dengan lengan digulung menjadi tiga per empat itu, sudah berdiri tak jauh dari tempatku dan Mas Rustam berada. Tampilannya tampak perlente, tetapi rapi. Mungkin dia baru saja pulang kerja. “Siapa kamu? Ngapain ikut campur urusan saya!” Mas Rustam menatap tak suka pada sosok lelaki itu, yang tak lain adalah Mas Laksa itu. “Humaira, masuk. Saya antar kamu pulang.” Dia tak menggubris pertanyaan Mas Rustam. Lirikan matanya mengarahkan pada pintu mobil yang tertutup. Meski canggung dan bingung, tetapi menghindari Mas Rustam adalah lebih baik. “Ra!” Mas Rustam hendak meraih lenganku, tetapi kalah cepat denganku yang telah berlari meski terpincang. Aku segera masuk ke mobilnya Mas Laksa yang terparkir di tepi jalan. Baru saja aku hendak menutup pintu mobil, tetapi batal karena Mas Rustam menarik kerah baju Mas Laksa. Satu pukulan melayang pada wajahnya. Aku menurunkan kaca mobil dan berteriak, “Hentikan! Atau aku teriak-teriak biar semua orang datang!” Mas Laksa yang terhuyung, sudah kembali seimbang. Dia tersulut emosi dan menghantam balik Mas Rustam. Tubuh lelaki jangkung itu limbung. Setelah itu, Mas Laksa menghampirinya. Dia mengucapkan sesuatu, entah apa. Sebelum akhirnya Mas Laksa bergegas masuk mobil. “Maaf sudah buat ribut.” Dia meminta maaf sebelum menginjak pedal gas dan meninggalkan Mas Rustam yang menatap kepergianku dengan mata penuh sorot kemarahan. “Aku yang minta maaf, Mas.” Aku berucap sambil menunduk. Karena menolong aku, dia harus kena pukulan. Hening. Hanya deru mesin yang terdengar. Otakku berputar, mencari bahan obrolan. Aku bingung mau bertanya apa. “Mas habis dari mana? Tumben lewat depan toko?” Akhirnya, pertanyaan basi itulah yang terlintas di kepalaku. “Kebetulan tadi ada perlu.” Dia menjawab singkat juga. Hening lagi. Hingga akhirnya, dia menepikan mobilnya di penjual buah-buahan. “Suka buah apa?” Dia menoleh. “Hah?” Aku sedikit terperangah, sontak menoleh padanya. Aku tidak terlalu fokus sampai baru menyadari bahwa sudut bibirnya berdarah. “Suka buah apa?” Dia mengulangi pertanyaannya. “Eh, gak usah.” Aku merasa jika dia akan membelikanku buah-buahan. Jadi, lekas saja aku tolak duluan. “Gak usah? Emang ada, ya, buah yang namanya gak usah?” Dia menautkan alis. Tatapannya begitu teduh. Senyumnya membuat ketampanannya makin terpancar. Aku terkekeh, menggaruk tengkuk meski tak gatal. Lantas menunduk kembali karena tak biasa ditatap seintens ini oleh seorang lelaki. “Tunggu, ya.” Dia tak bertanya lagi, langsung turun dan menghampiri penjual buah itu. Aku melihat dia mengambil banyak. Ada anggur, alpukat, apel, jeruk dan entah apa lagi. Lalu, dia menyimpan belanjaan di jok belakang. Setelah itu, kembali duduk di belakang kemudi dan melajukan mobil. Duh, malunya aku. Ternyata dia tidak membeli buah untukku. Buktinya, satu plastik besar itu dia langsung simpan tanpa menawariku. Karena itu, aku lebih memilih diam dan tak lagi banyak tanya. Hingga akhirnya, mobil menepi di pekarangan rumah. “Makasih, Mas. Mari mampir dulu?” tanyaku, sedikit berbasa-basi. “Sama-sama. Tapi, gak enak juga kalau saya nolak. Kalau begitu, saya mampir, ya.” Dia langsung turun. Aku melongo ketika dia berputar dan membukakan pintu mobil untukku. “Makasih.” Lagi-lagi, kata itu yang keluar dari bibirku. Aku lekas turun dan melangkah dengan kaki masih terpincang-pincang. “Sama-sama.” Dia tersenyum, lantas membuka pintu belakang dan menenteng plastik besar berisi buah-buahan tadi. “Assalamualaikum.” Dia mengucap salam setelah aku. Tak berselang lama, Ibu membuka pintu. “Waalaikumsalam. Eh, ada Nak Laksa. Mari, masuk,” sahut Ibu seraya membuka pintu lebih lebar lagi. Beliau melirik aku dan Mas Laksa bergantian. “Kok bisa barengan?” “Tadi saya gak sengaja lewat ke depan tokonya Humaira, Bu. Jadi sekalian mampir,” jawab Mas Laksa sembari tersenyum. “Eh, itu luka kenapa?” Ibu tampak kaget ketika melihat sudut bibir Mas Laksa yang disertai darah yang sudah menyering. “Ulah Mas Rustam, Bu.” Kali ini, giliranku yang menjawab. Kemudian, aku melirik lelaki itu. “Mari masuk, Mas. Biar nanti aku obati lukanya.” “Duduk di sini saja, Ra, lebih nyaman.” Mas Laksa melirik bangku panjang yang terbuat dari bambu. Namun, sebelum duduk, diangsurkannya plastik berisi buah-buahan yang tadi dibelinya pada Ibu. “Buat di sini.” Satu kalimat pendek diiringi senyuman. “Wah ... makasih banyak, Nak Laksa. Repot-repot bawain kayak gini.” Tak bisa ditampik, aku melihat binar kebahagiaan di kedua bola mata bening Ibu yang menatap buah-buahan yang begitu banyak dibawakan Mas Laksa. “Sama-sama, Bu. Boleh duduk?” “Silakan, Nak. Ibu ambilkan minum dulu, ya.” Ibu tergopoh ke dalam, bahkan sepertinya dia melupakan aku. Mas Laksa berjalan ke arah bangku panjang yang ada di teras. Ada satu bangku panjang dan dua kursi kayu, serta satu buah meja yang terbuat dari kayu bekas palet di sana. Semua itu dibuat oleh Bapak. Aku melirik padanya sekilas, yang sudah duduk pada bangku bambu itu. Aku pun memutuskan masuk, mengikuti langkah Ibu yang langsung menyimpan buah-buahan di meja dapur. “Wah ... apel malang. Ini apel merah juga ada. Ada anggur, mangga, alpukat, jeruk, pir.” Ibu mengabsen satu per satu buah yang dikeluarkan dari plastik. “Bukannnya mau buat minum, Bu?” tukasku yang memang mengikutinya ke dapur. Kusimpan tas kecilku di atas meja. “Ah, iya, lupa.” Ibu terkekeh sendiri. Aku hanya geleng-geleng kepala. Lantas kutinggalkan Ibu yang membuatkan minum. Aku mengambil baskom kecil di lemari, lalu menuangkan air hangat. Setelahnya, aku mengambil handuk kecil. “Buat apa, Ra?” Ibu bertanya. “Buat bersihin lukanya Mas Laksa, Bu. Mas Laksa luka karena belain aku dari Mas Rustam.” Aku menata baskom dan handuk itu ke atas nampan. “Kenapa Mas Laksa mau belain kamu segitunya, ya, Ra?” Pertanyaan Ibu itu sukses membuatku menoleh padanya. “Kata kamu, Laksa itu sudah duda, ya?” Dia tampak berpikir dan menilik aku dari atas ke bawah. “Jangan-jangan ... dia naksir kamu, Ra!” Ibu berucap dengan penuh penekanan. Aku mengembuskan napas perlahan. “Ibu jangan mikir kejauhan. Mas Laksa itu kaya raya, Bu. Meskipun duda, pasti dia mencari gadis baik-baik dan sepadan. Sudah, jangan mikir yang aneh-aneh.” “Hush, kamu itu! Memangnya kamu bukan gadis baik-baik? Bagi Ibu, kamu adalah gadis paling baik. Bahkan, kamu layak dapetin yang lebih baik daripada Laksa.” Ibu berkata dengan penuh keyakinan. “Sebentar, Ibu coba tanyakan dulu maksud dia datang ke sini buat apa.” Ibu bergegas meraih nampan teh manis yang dia buat dan mendahuluiku melangkah ke depan. “Ibu, tunggu!” Aku mengejar langkahnya. Duh ... gimana ini? Ibu ada-ada saja. Malu jika Ibu tiba-tiba bertanya seperti itu pada Mas Laksa. Mau di taruh di mana mukaku nantinya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN