Bab 6

949 Kata
Bab 6 “Gak ada lagi yang harus dibicarakan, Mas.” Aku bangkit dan hendak meninggalkannya. Kulirik Meida dan mengisyaratkan agar sotoku dia bawa. Meida mengangguk paham. Namun, lenganku dicekal oleh Mas Rustam. “Aku mohon, Ra.” Aku mematung ketika merasakan cekalan yang cukup erat pada pergelangan tanganku. Lantas kutarik paksa hingga terlepas. “Semua sudah selesai, Mas. Gak ada lagi yang harus dibicarakan.” “Aku sudah memikirkannya lagi. Memikirkannya dalam-dalam. Kita akan tetap menikah, dengan atau tanpa restu keluargaku, Ra.” Mas Rustam berucap yakin dan pasti. Namun, aku tak lagi peduli. Aku setengah berlari meninggalkan dia dan bergegas masuk toko. Aku tak mau lagi berandai-andai pada sebuah pernikahan. Buat apa menikah jika hanya menambah permasalahan? Setibanya di dalam toko, aku langsung masuk ke kamar mandi. Aku melewati Mas Irwan yang baru saja keluar dari ruangannya. Dia memanggilku, tetapi kuabaikan. Aku melewati Idan, Sarmin dan Lila yang baru selesai makan. “Mbak Rara kenapa?” Kudengar pertanyaan Lila. “Sakit perut, La.” Aku menjawab asal. Lalu, masuk kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Tumpah sudah rasa sesak yang memenuhi rongga d**a ini. “Kenapa, Rara?” Kudengar dari luar kamar mandi, Mas Irwan bertanya. “Sakit perut, Mas. Makan sotonya kebanyakan sambel tadi.” Lila menjawab. Lalu tak terdengar lagi suara Mas Irwan. Aku memutar kran agar tangisku tak terdengar hingga keluar. Setelah sepuluh menit, pintu kamar mandi diketuk. “Mbak, aku kebelet, nih!” Suara Lila terdengar. Ketukan pada daun pintu beruntun. Mau tak mau, aku menyudahi tangisku dan gegas membasuh wajah. Setelah memeriksa penampilan di cermin, pintu kubuka. Sudah ada Meida dan Lila yang berdiri di sana, menatapku dengan cemas. “Mbak, yang sabar, ya?” Keduanya serempak memelukku. Rupanya, Lila bukan ingin ke toilet, melainkan memancingku agar membuka pintu. Bukannya reda, tangisanku malah menjadi lagi. Kami bertiga berpelukan di depan toliet hingga kudengar suara Sarmin yang meminta lewat. “Duh, ngalangin jalan, woy!” “Rese, lo, Bang!” Lila sempat-sempatnya mengomel. Kami pun melepas pelukan. Lila serta Meida membimbingku duduk di dapur kecil yang ada di belakang toko. “Kalian tahu?” tanyaku sambil berusaha menyudahi tangis. “Meida yang cerita tadi,” jelas Lila. Aku menautkan alis dan menatap Meida. Aku tak menceritakan apa yang menimpaku pada siapa pun. Sudah terlalu malu. Aku cukup sering curhat gagal nikah pada mereka, gagal karena alasannya restu. “Tadi Mas Rustam cerita di depan. Dia minta aku sampein ke Mbak Rara kalau dia serius mau ajak nikah. Dia mau ngajak Mbak Rara kawin lari saja, katanya.” Meida berucap dan tampak prihatin menatapku. “Mbak sudah gak mikirin urusan nikah, Mei. Mungkin gak akan nikah sampai tua. Daripada sakit hati mulu. Mbak capek.” Aku mengelus d**a. Lila kembali memelukku. “Kok gitu, sih, Mbak? Jangan buat kita sedih, dong. Aku yakin, Mbak pasti akan dapetin seseorang yang bisa bikin Mbak bahagia. Yang sabar, ya?” “Kerja, woy! Kerja!” Sarmin kembali lewat, keluar dari kamar mandi. “Sirik aja, lo!” bentak Lila seraya mengacungkan kepalan tangannya ke arah Sarmin. “Iya, ih. Sudah jam satu. Nanti Mas Irwan ke sini, terus kita dilaporin ke si Babeh. Bahaya!” Meida bangkit dari duduknya setelah melirik jam dinding. “Aku balik ke depan dulu, ya. Kasihan Mas Rahmat, belum makan. Mbak Rara juga, cepetan makan, gih!” Lila juga bergegas kembali bekerja. Aku memaksakan makan meski sedikit, sebelum kerja lagi. Toko grosiran ini sangat ramai. Sampai-sampai, pekerja sebanyak enam orang ini pun selalu keteteran. Namun, karenanya aku bersyukur. Kami bisa menggantungkan hidup dari sini. *** Jam lima sore, toko baru tutup. Aku meraih jaket dan memakainya. Lila dan Meida sudah bersiap juga. Gawaiku berdering dan panggilan dari nomor Ibu yang masuk. “Ya, Bu?” “Gak usah beli lauk, Ibu tadi diberi daging sapi sama Bu Yayah. Ini, Ibu lagi masak rendang.” “Oh, ya sudah, Bu. Rara sebentar lagi pulang.” “Hati-hati, ya, Ra.” Panggilan pun berakhir. Lila dan Meida sudah berjalan lebih dulu, melewati lorong rak yang penuh dengan barang-barang. Berbeda dengan para lelaki yang tengah mengobrol santai dulu di depan. “Mbak duluan, ya!” Mereka berdua melambaikan tangan. Rumah mereka searah, jadinya setiap hari berboncengan. Uang bensin juga dibagi dua. “Hati-hati!” Aku tersenyum ke arah mereka. “Ra!” Suara itu! Aku menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, Mas Rustam sudah berdiri di sampingku, agak ke belakang. Aku membuang napas penuh frustrasi. “Mas, tolong ngertiin aku. Apa kamu lupa dengan sebutan yang ibumu kasih buatku? Perempuan gila, bekas korban p*******n, sudah tak perawan. Semua itu sudah cukup menjadi beban untukku, Mas. Apa kamu mau aku dihina lebih dari itu oleh ibumu? Aku manusia, Mas. Aku punya hati. Lebih baik kita selesai sampai di sini saja.” Aku tak lagi bisa mengontrol emosi. Andai dia memang serius dan ingin menikahiku, bukan seperti ini caranya. Kemarin, waktu aku dihina, direndahkan, diinjak-injak, dia diam saja. Sekarang, dia datang dengan penuh paksaan. Dia ingin mengajak kawin lari tanpa restu keluarganya? Dia pikir, aku ini apa?! “Enggak, Ra. Aku mencintai kamu. Kamu juga mencintai aku, kan? Kita sama-sama saling cinta, Ra. Aku mohon, jangan buat aku tersiksa karena harus kehilangan kamu.” Dia hendak meraih lenganku, tetapi aku menepisnya. “Kamu hanya kehilangan aku, Mas. Aku sudah kehilangan segalanya. Jadi, gak usah banding-bandingin siapa yang lebih tersiksa di sini.” Suaraku gemetar. Air mata lagi-lagi jatuh tak bisa kutahan. Ah, cengeng memang. “Ra, aku mohon, kasih aku kesempatan ke dua!” Dia hendak meraih tanganku lagi. Namun, tiba-tiba sebuah mobil putih berhenti di dekat kami. “Jangan ganggu Humaira!” Suara bariton itu terdengar seiring terbukanya pintu mobil dan menampilkan sosok yang kukenal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN