Bab 8

1035 Kata
Bab 8 Akhirnya, aku berhasil menyejajarkan langkah dengan Ibu. Lantas aku menarik lengannya, mencegah Ibu untuk melakukan hal yang tidak-tidak. “Duh, Ra. Hati-hati, loh! Untung gak tumpah.” Ibu mendelik ke arahku ketika teh manis di atas nampan nyaris tumpah. Aku berbisik, “Ibu, tolong, ya. Jangan aneh-aneh.” “Aneh-aneh apa, sih, Ra? Ibu cuma mau—” “Ra?” Suara Mas Laksa membuat aku dan Ibu—yang tengah berdebat di ruang tengah—menoleh. Ternyata, dia sudah berdiri di ambang pintu. “Ya?” Aku menyahut. “Boleh permisi ke toilet sebentar?” “Oh, iya. Silakan, Mas. Langsung saja ke belakang, ya.” “Permisi, ya?” Mas Laksa membungkuk ketika melewati tubuhku dan Ibu yang tengah mematung. Ibu menatap punggung Mas Laksa yang menjauh itu dengan tampak kecewa. “Kamu, sih, Ra. Ribut mulu! Ibu cuma mau nanya baik-baik sama Nak Laksa kok.” Tiba-tiba, hatiku terasa perih. Sangat perih sampai kedua mataku mengembun. Aku menatap wajah keriput wanita yang telah melahirkanku itu. “Ibu ... apa Ibu segitunya malu punya anak yang belum menikah?” “Bukan begitu, Ra. Ibu cuma ....” Ibu membuang napas panjang, lalu berjalan mendahuluiku. “Sudah, ayo simpen baskomnya ke depan.” Aku pun mengekorinya. Lantas kusimpan nampan milikku ke atas atas meja, berjejer dengan teh manis di tatakan. “Maafin Ibu, ya? Ibu gak maksud seperti itu,” Ucap ibu sembari menguap bahuku penuh sayang. “Ibu tinggal dulu ke dalam, ya? Nanti, ajak Laksa makan sekalian, mumpung kita punya rendang.” Ibu pun melangkah, meninggalkanku yang bertarung dengan gemuruh di d**a. Tak berapa lama, Mas Laksa keluar. Bekas noda pada bibirnya sudah bersih juga. Sepertinya dia membasuh wajah di kamar mandi tadi. “Eh, ini untuk apa?” Dia menunjuk baskom dan sapu tangan kecil yang tadi kubawa. Aku tersenyum kikuk. “Tadinya untuk bersihin bekas luka Mas Laksa. Tapi, tampaknya sudah bersih.” “Oh, begitu. Makasih, ya.” Mas Laksa duduk kembali pada bangku bambu panjang. Dia melihat jam tangannya seraya bertanya. “Sudah mau magrib, ya? Ada masjid dekat sini, gak?” “Ada, Mas. Dari sini ikutin jalan saja. Nanti ada persimpangan, ambil yang ke sebelah kanan. Kalau ke kiri juga ada, sih. Hanya saja musholanya lebih kecil.” “Baik, baik. Saya ke masjid dulu, ya.” Dia bangkit dan bergegas berjalan meninggalkanku. Aku lekas ke dalam dan membawa kembali baskom dan sapu tangan handuk kecil itu. Sebelumnya, aku menutup teh dengan tutup cangkir. Kumandang azan magrib terdengar. Aku sudah duduk bersimpuh dengan mukena, setelah mandi dan berganti pakaian. Begitu pula dengan Ibu pun sama. Selesai salat, kami meniapkan makan malam. Ibu begitu semangat, seperti menjamu tamu penting saja. Beragam buah-buahan—yang Mas Laksa bawa—sudah ditatanya di atas meja, mengelilingi bakul nasi. Untuk lauknya, kami menyiapkan rendang, ikan asin, lalapan dan sayur asem. Menu sehari-hari kami hanya lalapan, ikan asin dan sayur asam. Rendang inilah yang membuat Ibu dengan bangganya mengajak Mas Laksa yang baru pulang dari masjid untuk makan. Tak perlu diajak dua kali, lelaki itu langsung mau-mau saja makan malam di rumah sederhana kami. Ibu mengangsurkan mangkuk berisi sayur asam ke dekatnya. Mas Laksa mengangguk dan berterima kasih. Dia tak mengambil potongan daging, lebih memilih ikan asin dan lalapan serta sambal. “Rendangnya, Nak?” Ibu menawari. Sudah heboh sekali dari tadi “Ikan asin saja, Bu. Nanti rusak kenikmatannya kalau makan rendang. Rasanya gak bisa bersatu di lidah nanti.” Mas Laksa tersenyum dan lagi-lagi menyuap. Aku hanya melongo melihatnya makan. Kukira, orang kaya tidak akan mau makan alakadarnya seperti ini. Hanya saja, lalapan yang dia mengambil yang matang-matang saja. Usai makan, tak ada obrolan berarti di antara kami. Namun, sebelum pulang, dia sempat meminta nomor ponselku. Katanya, untuk menanyakan keadaan kakikku. Tak punya alasan untuk menolak, aku pun memberi juga pada akhirnya. Pesan pertama darinya masuk, setelah berberapa jam dia menempuh perjalanan. Kutatap pesannya seraya menggaruk tengkuk. Rasanya, aku tak menanyakan dia sudah sampai atau belum. Namun, jika tak membalasnya, jadinya tak sopan. [Saya sudah sampai rumah. Selamat malam.] [Alhamdulilah. Malam juga.] *** Keesokan harinya, sebuah pesan masuk. Lagi-lagi dari Mas Laksa. Kubalas cepat karena sudah hampir kesiangan. Tadi malam aku tak bisa tidur gara-gara memikirkan pesannya. [Selamat pagi, masih naik ojol hari ini?] [Iya.] [Hati-hati.] [Makasih.] Aku pun lekas berangkat kerja seperti biasa. Meskipun enggan bertemu Mas Rustam, tetapi aku harus tetap masuk kerja. Setibanya di toko, aku langsung saja dan tak keluar lagi hingga jam pulang tiba. Aku juga sengaja bawa bekal makan siang meski dengan lauk seadanya. *** Beberapa hari ini, aku tak melihat Mas Rustam. Syukurlah, setidaknya aku bisa merasa lebih aman. Dengar-dengar dari Rahmat, dia memang tak masuk kerja. Yang jaga toko pun digantikan oleh adiknya. Sudah beberapa hari ini juga, Mas Laksa selalu menanyakan kabarku. Kadang, dia menelpon, kadang hanya mengirim pesan. Hanya saja, hari ini, tumben sekali belum ada pesan masuk darinya padahal sudah sore. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore dan rolling door toko sudah ditutup oleh Rahmat dan Sarmin barusan. Baru saja aku memikirkan dia, sebuah pesan masuk dan terlihat dari layar. [Ra, sudah pulang? Gimana, sudah bisa bawa sepeda motor lagi?] Senyum pada bibirku mengembang. Entah kenapa, ada rasa menghangat di hati padahal yang kuterima hanya sebatas pesan singkat. Aku hendak membalas, tetapi tiba-tiba saja terlintas pikiran untuk mengerjai Mas Laksa. Ponsel langsung saja kumasukkan ke tas, tanpa membalas pesannya lebih dahulu. Bibirku tersenyum, ingin tahu apakah dia akan mengirimiku pesan lagi atau tidak. Sembari menunngu reaksinya, lantas aku melajukan sepeda motor tua peninggalan Bapak. Memang, aku sudah bisa bawa motor lagi. Kakikku sudah sembuh sepenuhnya. Beberapa hari ini, hati yang kosong seolah memiliki sedikikit warna. Bahkan, tak jarang aku membaca pesan dari Mas Laksa berulang-ulang. Ya, Tuhan ... apakah aku mulai menaruh harapan pada perhatiannya? Serapuh inikah perasaan gadis yang sudah tak perawan dan usianya sudah tak lagi muda? Aku malu sendiri. Telah kucoba mengubur dalam-dalam bayangan senyum Mas Laksa yang mulai mengganggu konsentrasi. Namun, tetap saja, selalu k****a pesannya sebelum tidur. Berulang, sampai menjadi kebiasaan baru. Aku mengendurkan laju sepeda motor ketika sudah hampir tiba ke rumah. Ada dua mobil Avanza terparkir di sana. Yang jelas, itu bukan milik Mas Laksa. Lantas, siapakah yang datang?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN