Semester baru sudah dimulai. Agha kembali berkonsentrasi dengan kegiatan di kampus. Ia hanya mengambil dua mata kuliah terakhir di semester ini. Sembari mulai menyusun proposal skripsi. Rencananya memang hendak menemui dosen pembimbingnya tapi ia ke ruang BEM universitas dulu di kampus Depok pagi ini. Beberapa temannya sudah di sana. Mereka sedang sibuk dengan prosesi wawancara untuk menerima calon anggota BEM yang baru.
Tiba di sana, Agha keluar dari mobilnya. Suasana Pusgiwa alias Pusat Kegiatan Mahasiswa tak begitu ramai di jam pagi. Apalagi sudah banyak yang memulai kuliah perdana di pagi hari begini kecuali bagi mereka mahasiswa tingkat akhir yang hanya disibukkan dengan urusan magang atau penelitian. Ayu, misalnya. Gadis itu sudah mengambil magang. Ia hanya sibuk penelitian tapi tak perlu datang ke rumah sakit setiap hari. Kebetulan, ia sudah selesai seminar proposal satu minggu yang lalu. Sekarang? Sebetulnya, izinnya belum keluar. Tapi berhubung ia ikut proyek dosen ya bisa menyokong untuk mengambil waktu lebih dulu. Kalau Indra tentu saja sedang lembur di depan laptop. Lelaki itu baru hendak seminar proposal. Kalau Agha?
Ia sudah jelas belum akan penelitian semester ini. Tapi perlu menyiapkan proposal penelitiannya. Tugasnya hari ini hanya menghadiri kampus. Mungkin besok ia akan mulai sibuk di rumah sakit Om-nya.
"Gimana?"
Ia bertanya pada Della. Gadis itu yang mengurus urusan semua wawancara dengan calon anggota baru.
"Rencananya bakal mulai jam delapan pagi ini bagi yang cocok waktunya. Setidaknya sampai Sabtu nanti lah, Gha. Itu udah yang paling lama. Jadi minggu depan, kita bisa umumin yang lolos. Semakin cepat kan semakin bagus. Biar bisa langsung eksekusi program kita."
Agha mengangguk-angguk. Ia hanya perlu memantau semuanya. Karena yang menjalankan pasti bawahan. Ia sudah memuat proyek besar terkait visi dan misi organisasi. Mereka hanya perlu menyinkronkan antara apa yang dilakukan masing-masing divisi dengan visi dan misi yang ingin mereka capai bersama. Bisa duduk di sini, sebagai ketua BEM, tentu tidak mudah bagi Agha atau siapapun. Semua butuh usaha. Ia berjuang keras dengan segala daya dan rumor. Namanya sudah naik bahkan terlalu melampaui batas kepopuleran yang sudah diprediksi. Tugasnya adalah menjaga itu semua. Dan tentu saja mempertahankan tak mudah dibanding ketika meraihnya bukan.
"Kebanyakan cewek ya tahun ini?"
Bani yang baru muncul di ambang pintu langsung mendapat kita kan dari Della karena berbicara begitu. Cowok itu terkekeh. Ya namanya juga cowok. Kalau urusannya tak dengan cewek akan terasa aneh. Padahal eh sudah mendekati seseorang. Hahaha. Tapi masih belum ada yang tahu, sudah sampai di mana tahap itu. Bani itu cenderung menutupi sesuatu yang menurutnya adalah urusan pribadi. Orang lain tak perlu tahu. Memang seharusnya begitu. Tapi yang namanya Indonesia itu.....
"Bisa aja lo kalo ngomongin cewek!"
Arya menyeletuk. Cowok itu, ketua divisi terakhir yang direkrut dimenit-menit terakhir saat pembentukan BEM setelah pelantikan. Mereka memerlukan bantuan cowok itu untuk membantu tim mereka.
"Ya cowok mana sih yang gak suka cewek? Gue sih realistis aja."
Agha hanya geleng-geleng kepala. Tak mau ambil pusing. Ia malah menyalakan ipad-nya lalu sibuk menyortir beberapa topik penelitian yang hendak didiskusikan nanti bersama dosen pembimbing. Ia harus tahu apa saja detilnya. Setidaknya kan ada persiapan.
"Amri mana sih? Kagak kelihatan? Tuh orang bukannya udah kelar ya urusan kampus?"
Della mencari-cari Amri. Agha hanya mendongak. Ia juga tak tahu. Tapi Amri bilang semalam kalau akan ke kampus untuk berkumpul bersama. Cowok itu tampak sibuk sekali. Ya biasanya juga sibuk. Lebih sibuk ketika berada di luar kampus dibandingkan di dalam kampus. Cowok itu kan kerap melalukan berbagai eksperimen. Kali ini entah apa lagi? Bani sering mengoloknya si Albert Einsten. Walau Amri memang bertampang jenius namun agak gemulai. Hihihi.
"Mai juga ke mana sih?"
Della sepertinya lupa. Agha diam saja karena ia tahu kalau Maira sudah sibuk di tempat magang sejak dua minggu lalu. Ya pertemuan terakhir dengan Maira itu sekitar tiga minggu yang lalu. Ia juga sudah tak pernah berkomunikasi dengan Maira. Terakhir, yang Agha semapt lihat adalah foto kebersamaan Maira dengan Andros. Ia tak tahu kalau gadis itu bersama teman-teman SMA-nya yang rata-rata memang lelaki. Agha cemburu karena mekiaht kedekatan Maira dan Andros. Hahaha. Jadi, ia masih sangat sensitif ketika nama Maira disebut-sebut. Kalau kangen sudah pasti. Tapi ini hanya akan membuat hatinya nyeri. Karena kalau katanya Bani tempo hari.....
"Ya susah sih, Gha. Kayaknya gak ada harapan. Soalnya, sahabatnya sendiri bilang kalo Maira emang sayang banget sama Hanafi."
Jadi Bani melapor beberapa hari yang lalu. Lelaki itu tentu mendapat cerita dari Saras, sahabatnya Maira. Saras bercerita soal Maira yang mendadak menangis. Katanya kangen sama Hanafi. Tapi rasa itu dipendam terlalu dalam dan baru mulai terasa sekarang. Hal yang sungguh menyakitkan hati Agha. Tapi Agha juga sadar posisi kalau sejak awal, ia memang bukan yang pertama dikenal Maira. Ia baru mengenal Maira selama beberapa bulan belakangan. Maira sudah lebih dulu mengenal Hanafi dan lama juga bersama cowok itu. Jadi wajar kan?
Lalu Agha harus bagaimana?
Yang terpikir olehnya sekarang hanya lah satu jalan. Apa itu?
Mundur. Tidak ada pilihan lain bukan?
@@@
"Yang itu maksud lo?"
"Iya lah! Yang mana lagi? Ketua BEM-nya kan cuma dia!"
"Gila ganteng banget emang. Lebih ganteng dari yang difoto!"
Kemudian mereka terkikik-kikik. Tampak senang sekali melihat kemunculan Agha. Cowok itu sedang mengobrol dengan beberapa teman BEM lainnya. Harusnya ia sudah berangkat ke kampus Salemba tapi batal karena sang dosen pembimbing tak ada di kampus. Katanya sedang ada konferensi di luar negeri hingga minggu depan. Lalu satu kuliahnya di hari ini dibatalkan. Baru masuk minggu depan. Kalau yang jadwal kuliah besok, sampai hari ini masih sama kabarnya. Ada kemungkinan kalau besok, kelas akan dimulai.
Beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang hendak wawancara untuk menjadi anggota BEM memang sudah mulai berdatangan sejak pagi. Namun yang tadi pagi masih terhitung jari jumlahnya. Kalau siang hingga memasuki sore hari begini, jumlahnya semakin banyak. Sehingga banyak orang yang dikerahkan oleh Agha dan tim untuk mewawancarai mereka. Amri juga sudah datang. Cowok itu tiba di sini sekitar jam sebelas siang. Katanya berangkat dari Bekasi naik kereta yang ternyata melebihi ekspektasinya. Jauh sekali.
"Kalo cowok ganteng begitu, pasti banyak yang suka deh, Pris."
"Yang suka pasti banyak. Tapi dia gak mungkin suka ke banyak cewek juga kan?"
"Ya maksudnya, yang suka sama dia juga pasti keren-keren dan cantik-cantik lah."
"Ya! Prisa emangnya gak cantik?"
Teman yang lain menyolot. Yang satu membekap mulut yang menyolot. Della yang mendengar keributan itu menoleh. Lalu merek menahan tawa. Tak bermaksud untuk berisik. Hanya sedang asyik membahas tentang ketua BEM mereka yang baru, yang ternyata gantengnya melebihi ekspektasi. Pasalnya, salah satu sahabat mereka memang sudah lama naksir berat dengan Agha. Bahkan selalu mengikuti media sosialnya. Sesekali pasti mengirim komentar hingga pesan langsung namun tak pernah dibalas Agha. Ya Agha memang tak pernah membalas sesuatu yang menurutnya tidak begitu penting. Ditambah lagi, pesan yang masuk juga sangat banyak. Kalau dihitung-hitung, kebanyakan juga dari cewek-cewek cantik tentunya. Jadi sudah lumrah. Namun tak pernah ia gubris untuk cewek-cewek yang hobinya menggoda.
"Ya lo tahu kampus kita kayak apa!"
Adu mulut itu kembali dilanjutkan tapi dengan nada yang lebih rendah. Adu mulut semacam ini adalah hal yang sangat biasa.
"Yang cakep, pinter sama anak pejabat ada berapa banyak coba di fakultas kita? Puluhan! Maksud gue, ya kalo Prisa beneran naksir dia, Prisa harus beda loh!"
Teman yang lain menjentikan jarinya. Yang dibicarakan malah hanya memandang Agha dari kejauhan. Mereka sibuk menyusun rencana agar sahabat mereka ini bisa mendapatkan sosok Agha yang keren itu.
"Pris!"
"Helah! Mandangnya gak usah begitu banget," tegur temannya. Ia hanya terkekeh setelah mengalihkan tatapannya. Ya jujur saja, ia sangat jarang melihat Agha secara langsung. Pertama kali melihat Agha itu ya saat Agha melakukan kampanye di fakultas mereka. Yang kedua? Di kampanye perdana Agha yang sampai mem-booking Balairung kampus. Lalu sekarang adalah yang ketiga setelah sekian lama. Rasanya? Agha makin ganteng menurutnya.
"Ganteng ya?" ujarnya polos. Hal yang membaut teman-temannya menepuk-nepuk kening. Ya sedari tadi juga mereka membicarakan ke gantengan Agha. Padahal Pisa ada di sekitar mereka tapi pikiran gadis itu justru melayang-layang entah ke mana.
Sementara itu, di sudut lain, ada sosok perempuan lain yang juga menatap Agha. Namun tidak secara terang-terangan. Cewek itu cenderung menunduk malu-malu. Padahal Agha tak melihat ke arahnya. Sebut saja ia adalah pengagum rahasia Agha yang selalu hadir di setiap postingan Agha hanya untuk memberikan tanda cinta. Gak lebih. Meski terkadang berkomentar tapi komentarnya sering diserbu teman-teman dekatnya. Ia jadi malu. Akhirnya, tak pernah berani berkomentar lagi karena takut Agha tahu. Padahal Agha bahkan tak pernah mengecek semua komentar pada postingannya. Kenapa? Karena hal itu adalah sesuatu yang sangat biasa. Postingannya akan selaku digandrungi banyak perempuan. Jadi lebih baik abaikan saja.
Dan yang menaruh hati tentu bukan hanya dua perempuan ini. Ada banyak. Namun banyak yang tidak mendekat dan hanya berakhir sebagai seseorang yang mengagumi Agha. Dari sekian banyak itu, hanya dua gadis ini yang berniat ingin menonjolkan diri. Yang satu mungkin akan terlalu berani. Karena perpaduan kepribadiannya yang tampak ceria, ramah, dan polos. Yang satu? Sangat pemalu. Ia bahkan hanya berani menatap Agha dari jauh. Karena kalau terlalu dekat, ia bisa pingsan. Lebay memang. Tapi begitulah romansanya jatuh cinta. Aneh tapi nyata. Lalu Agha akan condong kepada siapa nantinya?
Ini yang perlu dicari jawabannya. Karena jelas, kedua perempuan ini tidak seperti Maira. Dan Agha tak punya spesifikasi kepribadian khusus dari seorang perempuan yang disukainya. Kalau dulu pada Shiren? Gadis itu kalem. Kalau pada Maira? Maira tidak kalem. Gadis itu cenderung periang dan sangat ramah. Kepribadiannya yang memang sudah disukai membuat Agha akhirnya ikut jatuh cinta. Lebih dari rasa kagum. Lalu dengan kedua gadis ini?
Entah lah. Tak ada yang bisa menebak apa yang mungkin terjadi nanti. Manusia boleh saja kalau mau memprediksi. Tapi belum tentu prediksi mereka benar-benar terjadi seperti apa yang Allah kehendakan. Apapun bisa terjadi bukan?
"Itu tuh yang paling cantik kata gue," celetuk Arya. Biasa lah, segala foto cewek-cewek yang melamar sebagai anggota BEM pasti sudah dibongkar lebih dulu. Agha dan Indra yang turut mendengar hanya bisa tertawa. Arya dan Bani memang sedari tadi tak berhenti bercerocos tentang cewek-cewek cantik. Arya menunjuk satu cewek yang sedang diwawancarai oleh Della. Bani langsung menoleh ke arah sana. Matanya langsung memincing. Agha dan Indra hanya bisa tertawa. Ya inilah pekerjaan para cowok-cowok. Kalau Agha?
Tak tertarik. Apalagi ia hapal bagaimana kelakuan teman-temannya. Yang ditunjuk mungkin cantik-cantik. Tapi Agha sudah tak ditahap usia itu. Maksudnya, mengagumi perempuan dengan cara tidak sopan. Ia tak memungkiri kalau dulu mungkin sering refleks melihat ke arah perempuan ketika ditunjuk-tunjuk. Kalau sekarang?
Jelas berbeda. Agha banyak berubah. Ia makin tahu kalau ilmu yang ia dapatkan di pesantren dulu tak akan ada artinya tanpa penerapan di dalam kehidupan nyata. Karena ilmu itu kan untuk diamalkan bukan sekedar untuk dipelajari.
"Namanya Prisa, anak Hukum. Cakep gak tuh?"
Arya membanggakan hasil temuannya. Mata Bani menyipit. Semakin menatap, semakin menggeleng. Ya, ia tahu cantik. Tapi menurutnya tetap kurang menarik dibandingkan dengan kembang fakultasnya yabg sederhana.
"Ya cakep sih. Rambut panjang, kulit putih, pinter pasti, kaya? Tapi gitu-gitu aja."
Indra tertawa mendengarnya. Arya justru mendengus.
"Terus lo mau yang kayak gimana? Si Mai? Ya beda lah, Ban. Cewek-cewek kayak Mai itu gak patut dijajarin kayak gitu. Mereka terhormat."
Indra terbatuk-batuk mendengarnya sambil melirik ke arah Agha. Agha justru terdiam. Ya mungkin alasannya tak tertarik dengan perempuan lain karena kini yang menjadi standar di dalam kepalanya adalah sosok Maira. Ia tak sadar telah melakukan itu. Maira itu memang cantik. Dia adalah gadis yang sangat sederhana. Sangat menjaga pergaulan dan dirinya. Maira paham akan agamanya. Gadis itu berusaha untuk hidup selurus mungkin. Berusaha untuk terus menjadi sebaik-baiknya manusia. Tapi manusia manapun tak akan bisa menilai. Apakah seseorang yang seperti Maira benar-benar sudah baik dimata Allah? Atau justru yang seperti Prisa yang terbaik dimata-Nya?
Kunci surga yang katanya paling sering disebut adalah menghilangkan kesombongan. Itu sangat sulit untuk dihilangkan. Sikap sombong yang ada di dalam diri manusia yang sesungguhnya lemah namun tak ingin dianggap lemah. Menyadari diri sendiri itu memang penting.
Indra menyenggol lengan Agha. Ia menepuk-nepuk bajunya seraya bangkit. Sebelum Della mengomel, ia hrus segera membantu gadis itu untuk mewawancarai para calon anggota baru yang datang. Ada yang datang karena benar-benar ingin menjadi bagian dari BEM. Ada yabg datang dengan maksud terselubung. Tapi apapun niatnya, semoga nanti bisa berubah menjadi yang lebih baik setelah bergabung.
@@@
Sampai sore, Humaira belum datang. Belum terlihat. Padahal mumpung ia tak jadi ke kampus, ia berencana menunggu. Siapa tahu Maira mampir ke sini. Ia tahu di mana Maira magang. Tak begitu jauh dari rumah. Ya paling naik angkutan umum sekitar lima belas menit. Kalau macet yaaa setengah jam. Tak jauh-jauh amat. Sejauh ini, Maira juga masih terus dipantau oleh para intel Ferril. Mereka tentu aaja berjaga-jaga karena takut terjadi sesuatu pada Maira dan ayahnya. Agha juga terus mendapatkan kabar terbaru jika terjadi sesuatu. Selama tidak ada kabar apapun, berarti Maira aman. Begitu kesimpulan yang bisa diambil.
"Masih banyak?"
Ia hanya melihat. Yang lain memang masih sibuk melakukan wawancara. Ada yang sibuk hilir-mudik juga. Ini sudah hampir jam setengah enam. Ia tak tahu jam berapa Maira pulang. Tapi seharusnya sudah pulang. Kalau diperkirakan, Maira mungkin bisa sampai di kampus sekitar jam ini. Namun kenyataannya?
Gadis itu terlalu lelah untuk datang ke kampus. Jadi akhirnya, hanya mengirim pesan pada Della kalau ia tak bisa datang. Ia memilih pulang ke rumah dengan menumpangi angkot. Setengah jam kemudian tiba di rumah. Itu pun bergulat dengan kemacetan. Ya namanya juga daerah Pasar Minggu, pasti macet sekali bukan?
Sementara Agha melirik jamnya. Ia hendak pulang ke rumah. Namun menitip pesanan makanan duku untuk teman-temannya. Karena yang lain juga akan bubar usai magrib. Agha pamit lebih dulu biar masih sempat solat magrib berjamaah di masjid. Kemudian berjalan menuju parkiran. Seorang gadis terus menatap ke mana langkahnya pergi. Sudah berjam-jam ia ikut nongkrong bersama teman-temannya hanya agar dapat terus melihat Agha. Sosok yang sangat ia kagumi.
Teman-temannya tak tahu kenapa seorag gadis pemalu sepertinya mendadak ingin bergabung dengan BEM. Bukan kah terlalu aneh? Selama satu setengah tahun kuliah, ia adalah mahasiswa kupu-kupu. Yeah yang kuliah lalu pulang tanpa aktif di dalam organisasi manapun. Namun kali ini, mendadak memaksakan diri untuk bergabung. Padahal belum pernah punya pengalaman apapun di dalam organisasi. Sesuatu yang mengejutkan bukan? Hanya demi kekaguman yang tak bisa ditahan. Apakah benar-benar sebuah kekaguman? Atau kah menjadi sebuah cinta? Karena cinta juga bisa datang dari kekaguman yang tak disadari.
Sementara Agha sudah melajukan mobilnya. Cowok itu justru tampak santai meninggalkan area Pusgiwa. Ada keinginan dari hati untuk pamit akan perasaan pada Maira. Namun masih sulit. Karena sisi hatinya yang lain masih sangat ingin bertemu dengan gadis itu. Masih ingin mencari cara agar bisa melihatnya. Dan ini membuat Agha semakin gelisah. Ia benar-benar gamang. Bingung dengan tindakan dan pikiran yang sama sekali tak sinkron. Apalagi ketika berbicara tentang perasaan. Ini berat sekali. Ia tak pernah menghadapi hal semacam ini sebelumnya.
"Yang tadi kan ya? Ganteng banget ya? Gila! Baru kali ini lihat dia di depan mata. Waktu yang terakhir itu cuma lihat punggungnya."
Cewek-cewek semakin heboh membicarakan Agha yang baru saja pergi. Arya dan Bani yang mendengar berbagai pembicaraan itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ya siapapun tahu betapa gantengnya Agha. Karismanya dipuji banyak perempuan. Ya Agha memang tampak sempurna. Orang-orang tak banyak yang tahu bagaimana kelemahan dan mungkin juga aibnya.
"Agha di mana-mana pada ngomongin Agha," celetuk Bani. Indra terbahak mendengar kata-kata frustasi itu. Sejak kampanye di fakultasnya, semakin banyak cewek yang mendekatinya juga hanya ingin tahu tentang Agha. Bani tentu tak menceritakan hal ini pada Agha. Menurutnya bukan sesuatu yang penting. Dan lagi, Agha pasti sudah tahu kalau cewek-cewek banyak yang mengaguminya. Namun tak ada yang berani mengambil tindakan lebih. Setidaknya sampai detik ini.
"Paling lewat lagi. Ya tahu lah, Agha sukanya sama siapa."
Arya mengangguk-angguk. Ia juga belum banyak tahu. Tapi semenjak bergabung, ia jadi tahu banyak gosip yang bertebaran.
"Kalo udah ngomongin Mai, itu udah berat deh."
Bani dan Indra tertawa. Saat pertama kali mengenal Maira, Arya juga sama. Kagum pada kecantikannya. Karena wajahnya yang terlihat pertama kali. Tapi ketika semakin mengenalnya, sama seperti yang lain, Arya juga menyadari kalau kepribadiannya Maira lah yang membuat banyak lelaki mengagumi dan jatuh hati. Namun tak berani mendekat. Karena apa?
Yaa Arya juga sudah mendengar gosip di mana Maira dekat dengan seseorang. Agha saja tak dilirik karena hatinya sudah terpaut pada yang lain. Ya kan? Lantas apa kabar Hanafi?
Ohoo. Cowok itu sedang sibuk. Ia baru mulai bekerja di sebuah lembaga penelitian di Spanyol. Gajinya main standar. Tapi Hanafi sangat senang dengan pekerjaan ini. Ia juga banyak mengirimkan email pada Saras dan Maira. Pada Saras mungkin tak sebanyak Maira. Mereka jarang berkomunikasi secara langsung karena perbedaan waktu dan kesibukan yang sulit untuk dipertemukan. Tapi tak masalah. Bertemu di ruang lain pun tetap bisa dilakukan. Meski hanya bisa tersenyum setiap membaca balasan dari Maira. Kenapa memilih email dan bukan pesan langsung?
Karena ada banyak hal yang ingin dibagi. Ini seperti menulis di buku harian. Namun dikemas menjadi cara yang lebih menyenangkan.
Aku akhirnya mulai masuk kerja, Mai. Tempatnya menyenangkan. Orang-orangnya juga sama. Ah ya, Mai. Di sini sedang musim dingin. Aku sudah pernah cerita kan? Kamu tahu rasanya?
Rasanya menyenangkan, Mai. Aku bisa lihat salju di depan mata. Bersama Mama, kami semaot berjalan-jalan kemarin sore untuk menikmati senja. Senja yang tak begitu terlihat. Ah ya, ada rencana untuk konferensi?
Aku punya kenalan di Kemeristekdikti. Kalau kamu minta ikut konferensi, aku bisa memberikan kontak si pegawai Kemeristekdikti untuk mengajukan proposal konferensi ke sana. Aku cek ada banyak konferensi yabg akan digelar di Spanyol, Mai. Aku masih berharap kita bisa bertemu di tahun ini.
Oh ya, bagaimana hari-hari magangmu? Lelah?
Aku menunggu, Mai.
Salam hangat,
Hanafi
Maira tersenyum kecil usai membacanya. Gadis itu baru saja menutup Quran usai solat magrib. Lalu ia melihat pemberitahuan pada email-nya dan menemukan pesan yang dikirim Hanafi sejak kemarin-kemarin. Ia benar-benar tak tahu kalau Hanafi sudah membalas email terakhirnya. Mereka benar-benar hanya bisa berhubungan melalui email. Meski terakhir kali ketika Maira masih berada di Bandung, Hanafi sempat menghubunginya. Perbedaan jarak dan waktu memang masih bisa membuat merka bertemu di dunia maya.
Alhamdulillah. Keren Hanaf. Akhirnya satu per satu mimpi sudah tercapai ya?
Maira masih melanjutkan pengetikannya. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan. Namun tertahan oleh jarak. Ya setidaknya ini bisa sedikit menghibur.
@@@