Keduanya hanya menonton saja melihat Adel dan Adeeva yang ditemani Adrian dan Ali bermain mobil balap. Suasana memang agak hening. Agha merasa kalau Maira jarang berbicara. Ya maksudnya tak seceria saat masih di Lampung. Ketika dalam perjalanan pulang, gadis itu agak pendiam. Bahkan sampai mereka bertemu. Ya tadi memang ada obrolan tapi hanya obrolan biasa antara Maira dan kedua adiknya. Dengannya? Hanya bertanya kabar dan berapa lama akan berada di Bandung. Ah ya, Agha sempat menawarkan untuk ikut ke villanya setelah ini. Namun ditolak karena Maira ingin pulang bersama sepupu-sepupunya. Ia tak mau merepotkan Agha.
"Kapan mulai magang, Mai?"
Pertanyaan itu memecah kesunyian antaranya dan Maira. Padahal di sekitar mereka begitu ramai. Maira berdeham.
"Minggu depan."
Agha mengangguk-angguk. Setahunya, Maira memang tak bisa berlibur begitu lama karena harus segera kembali ke Jakarta. Memulai magang dan kesibukan. Ya Agha juga sama meski tanggung jawab yang mereka emban akan berbeda.
"Balik sama ayah lagi?"
Maira mengangguk. Tentu saja. Tadinya mau sendiri. Biar ayahnya di Bandung saja. Toh ia merasa tak masalah kalau di rumah sendirian. Tapi dilarang. Ayahnya tetap mengotot ingin ikut. Ia tak paham. Namun ia setuju saja kalau memang begitu kemauan ayahnya. Akhir-akhir ini ayahnya memang agak bawel. Katanya takut terjadi sesuatu. Padahal menurutnya, tak ada hal yang perlu dikhawatirkan darinya. Justru kesehatan ayahnya yang lebih penting. Meski kini pun ayahnya sehat-sehat saja.
"Untuk urusan BEM gimana?"
"Gue sempetin nanti ya."
Agha tersenyum kecil lantas mengangguk-angguk. Ia tahu kalau Maira adalah gadis yang sangat bertanggung jawab. Tak akan mungkin lupa dengan nasib BEM mereka yang baru mulai berjalan. Saat ini, proses perekrutan anggota BEM yang baru sedang berlangsung. Teman-teman yang mengurus bagian sumber daya yang paling sibuk saat ini. Sisanya? Masih bisa bersenang-senang dengan masa liburan.
"Jadi, lo semester ini bakalan banyak santainya?"
Agha terkekeh mendengar pertanyaan itu. Hanya tersisa dua mata kuliah yang memang pada semester genap tahun sebelumnya belum ia ambil. Baru akan ia ambil pada semester ini. Namun ia juga akan disibukkan dengan proposal penelitian. Ia sudah memikirkan itu. Rencananya akan mengambil di rumah sakit kampus agar lebih fair. Ia tak mungkin mengambil kasus di rumah sakit om-nya kan?
"Gue juga ngambil magang. Magang non formal."
Kening Maira mengerut. Agha malah terkekeh lagi.
"Bantuin rumah sakitnya Om, Mai."
Aaaaah. Maira mengangguk-angguk. Baru paham. Ia tak tahu kalau om Agha punya rumah sakit. Ia tak pernah kepo akan kehidupan dan keluarga Agha. Meski mungkin yang lain tahu. Maira tak mau begitu peduli pada sesuatu yang bukan urusannya.
"Jadi calon dokter di sana?"
Agha mengangguk. Ia akan belajar banyak hal. Tidak hanya sebagai seorang calon dokter tetapi juga sebagai seorang penerus rumah sakit Om-nya. Semester ini mungkin akan cukup berat. Tapi tak masalah. Ia akan bisa menjalani semuanya. Toh ia sudah menghitung-hitung waktunya agar bisa tetap terbagi untuk semua urusan.
"Kenapa?"
Maira menoleh. Bingung saja dengan pertanyaan itu. Agha memalingkan wajahnya sembari menatap ke arah depan. "Lo agak aneh beberapa hari ini. Maksud gue, sejak terakhir pulang dari Lampung."
Aaaah. Maira mengangguk-angguk. Ada banyak hal yang memang ia pikirkan. Persoalan pernikahan Masnya yang masih memberatkan. Sesuatu yang sepertinya sedang disembunyikan ayahnya dan Masnya. Ia ingin bertanya tapi ia tak mungkin akan mendapatkan jawabannya. Karena itu jelas-jelas disembunyikan darinya.
"Enggak sih. Kalo waktu itu pasti capek."
Ia tak berbohong. Kalau sekarang? Pikirannya sedang melayang ke mana-mana. Ia benar-benar tak fokus. Jadi tak tahu apa yang harus di obrolkan dengan Agha. Sementara Agha berdeham. Ia tak tahu apa yang mungkin dipikirkan Maira namun....
"Kalo perlu apa-apa atau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi gue, Mai," tukasnya tulus. Ia benar-benar ingin membantu. Maira hanya mengerutkan kening menatapnya dari samping. Ia tak paham dengan apa yang dimaksud oleh Agha. Sementara Agha mengatakan itu bukan tanpa alasan. Akhir-akhir ini memang banyak terjadi sesuatu yang tak terduga termasuk keselamatan Maira yang sedang dipertaruhkan oleh Rangga secara tidak langsung. Walau agak takut, namun Rangga memilih untuk tidak mundur. Ini sudah tekadnya sejak awal. Ia harus menyelesaikan apa yang telah ia mulai. Tidak ada jalan lain untuk mundur begitu saja bukan?
Dan apapun resikonya, akan dihajar habis. Akan diemban kuat-kuat. Agar tak ada sesal setelahnya.
@@@
"Itu Kak Aya, terus suaminya, aku Dina, panggil aja Kak Dina ya, Mai."
Tahu-tahu ada yang menghampirinya dan Agha. Lalu diajak untuk makan siang bersama. Maira tak bisa menolak karena mendadak dibawa ke sini. Mana Adel dan Adeeva menarik lengannya tadi. Ia benar-benar tak berdaya. Dina dan Tiara sedari tadi memang memainkan mata. Mereka tentu saja sudah memantau dari jauh saat melihat Agha tak sendirian. Lhoo bersama perempuan. Perempuan siapakah itu? Mereka jadi penasaran kan? Tak heran kalau sampai makan siang begini. Hahaha.
Agha hanya bisa menggaruk tengkuknya. Adit menahan tawa melihat tingkahnya. Begitu pula dengan Izzan yang menahan senyum. Ya sebagai sesama lelaki, mereka paham kalau Agha pasti grogi. Dan sudah dipastikan kalau ini adalah perempuan yang ditaksir Agha. Karena kalau tidak, mana mungkin Agha sampai gugup begitu? Bahkan wajahnya terlalu kentara. Akhir-akhir ini, ia memang sulit sekali menyembunyikan rasa gugupnya dari Maira. Tapi setidaknya ia beruntung kali ini. Karena hanya ada Dina dan Tiara. Kalau yang lain ikut berkumpul, habis lah ia. Hahaha.
"Bukan mantan kan, Gha?"
Dina bertanya dengan nada berbisik. Setidaknya tidak terdengar oleh Maira yang tampak canggung karena mendadak menjadi pusat perhatian. Ia tak tahu kenapa pula bisa terjebak di sini. Semua terjadi begitu saja. Agha hanya bisa menggelengkan kepala. Ya tentu sana bukan mantannya. Karena seingat Dina, ada yang pernah bilang kalau mantan Agha itu turunan Arab. Nah dari melihat wajah Maira, jelas-jelas tak ada Arabnya sama sekali. Si eneng Sunda sih iya.
"Asalnya dari Bandung ya, Mai?"
Dina asal menebak. Maira mengangguk. Kadang kalau menjawab dari Jogja, orang-orang cenderung tak percaya. Karena wajahnya tak mengatakan demikian.
"Pantesan diajak Agha ke sini," celetuk Tiara. Hahaha. Padahal bukan diajak tapiii.....
"Tadi gak bareng sama Agha kok, Kak. Sama sepupu-sepupu Mai juga. Tapi gak tahu tadi pada ke mana."
Ia juga baru menyadari saat bergabung bersama Adel dan Adeeva di roller coaster. Ia kehilangan para sepupu-sepupunya. Walau sudah mengirimkan pesan mereka bilang....
Gak apa-apa, Mai. Sama cowok ganteng aja dulu ;p
Rupa-rupanya mereka sempat melihat Agha tadi. Hahaha. Maira sudah bertanya di mana posisi mereka saat ini. Tapi tentu saja tak akan dibalas. Hahaha. Katanya nanti saja. Kalau sudah mau pulang, mereka pasti menghubungi Maira. Maira mendengus membaca pesan dari para Tetehnya yang memang sedang gencar mencari jodoh untuknya. Katanya, siapa tahu bisa nikah muda seperti mereka begitu selesai kuliah. Tak perduli kalau ayahnya tak setuju. Hahaha.
"Aaah. Tapi kan jadi bareng Agha juga. Eh iya, Mai dokter juga kayak Agha?"
Dina mengalihkan dengan pertanyaan lain. Maira tentu saja menggeleng. Ia sadar diri kalau biaya kuliah kedokteran itu tak murah. Ya mungkin biaya kuliah di kampusnya memang masih bisa ditanggung dengan minim. Namun biaya praktiknya pasti mahal sekali. Ayahnya saja tak punya pendapatan lagi. Mereka baru mau memulai. Itu jelas akan membebani ayahnya dan juga Rangga.
"Aku anak Kimia, Kak."
Aaaah. Tiara dan Dina kompak ternganga. Hahaha. Di dalam keluarga mereka tak ada yang masuk jurusan itu. Kalau tidak kedokteran ya fashion, arsitektur, manajemen, bisnis, dan semacamnya. Mungkin karena memang tak ada niatan ke arah sana. Maira justru terkekeh melihat respon keduanya. Ya ia tahu sih bagaimana persepsi orang-orang tentang jurusannya yang katanya mengerikan. Padahal menurutnya, biasa saja. Semua bisa dipelajari ketika sudah terjun ke dalamnya. Tak ada yang berat. Karena kan belajar memang ada prosesnya. Ia juga bukan yang pintar-pintar amat kok.
"Belajar reaksi-reaksi gitu, Mai?"
"Emang lu ngerti?"
"Ya kagak lah, Kak!"
Tiara terbahak mendengar jawaban itu. Ya mereka sama-sama tak paham sih. Agha hanya menahan senyum.
"Tapi si Echa kerja di konsultan sama lab gitu bukan sih, Kak? Yang diceritain Ferril."
"Ardan kali yang ceritain."
"Ya itulah."
Mereka malah sibuk berbicara hal itu.
"Emang Echa anak Kimia?"
"Bukan lah. Sama kayak Bunda deh. Lingkungan."
Aaaah. Tiara mengangguk-angguk. Entah siapa yang mereka bicarakan, Maira tak paham. Ia hanya menyimak saja. Tapi sebagai anak Kimia dengan spesifikasi di bidang kimia lingkungan, ia bisa saja bekerja di konsultan dan juga laboratorium lingkungan. Ia bisa menjadi praktisinya juga.
"Terus apa hubungannya sama si Mai?"
"Ya kan, Mai anak Kimia. Jadi bisa kerja di lab juga kan ya, Mai?"
Maira mengangguk. Ya memang bekerjanya pasti di sana.
"Udah semester berapa sih, Mai?"
Tiara kepo. Kalau dilihat dari mukanya, sepertinya belum akan lulus. Tapi....
"Sama kayak Agha, Kak."
Tiara terbatuk-batuk mendengarnya. Maira terkekeh. Gadis itu menyodorkan tisu. Tiara gelagapan mengambil air minumnya lalu meneguknya. Dina malah tertawa. Tertawa karena kaget. Ya tak menyangka kalau Maira sudah semester akhir.
"Delapan?"
Ia sampai menanyakannya lagi untuk sekedar memastikan kalau ia tak salah dengar. Maira mengangguk dengan senyuman tipis. Agha terkekeh-kekeh. Ya kalau tak bertanya, orang bisa salah mengira kalau Maira bukan mahasiswi semester akhir. Wajahnya terlihat begitu muda.
"Maaf ya."
Kening Maira mengerut. Ia menoleh ke arah Agha. Lelaki itu ikut mengantarnya menuju mobil para sepupunya. Mobil yang sengaja disewa Rangga. Masnya entah ke mana. Katanya ada urusan. Maira mengira urusannya mungkin akan ada di sekitar Trans Studio. Eeh malah benar-benar tak terlihat. Ia sudah selesai ikut makan siang tadi. Lalu disambung solat zuhur dan kembali menjajaki Trans Studio bersama keluarganya Agha. Entah kenapa ia malah bergabung dengan keluarga lelaki itu. Walau yah, memang menyenangkan. Nah begitu selesai solat asha, Maira pamit pada kedua kakak sepupu perempuannya Agha yang begitu bawel dan lucu. Tapi cantik-cantik. Ia pamit karena para sepupunya sudah menunggu di parkiran. Tak tahu pula kalau Agha bersedia menemaninya hingga parkiran.
"Kok maaf?"
Agha terkekeh. "Tadi sepupu-sepupu gue."
Aaaah. Ia dan Agha diledek begitu? Maira terkekeh. Ia sudah biasa kok. Jalan bersama keluarganya Andros juga begitu. Ah omong-omong Andros mau menyusul ke Bandung. Katanya mau main ke rumah. Entah hari apa akan datangnya. Ia lupa bertanya pula.
"Mereka emang gitu. Lihat gue dekat sama siapapun juga begitu."
Maira mengangguk-angguk. Ia maklum. Karena itu memang benar-benar sesuatu yang sangat biasa.
"Santai kali."
Agha terkekeh mendengarnya. Ya ia tahu sih. Tapi malu juga pada Maira. Walau tak bisa berbuat apa-apa juga karena yaa tahu sendiri bagaimana kelakuan para sepupunya. Tak akan bisa dihentikan ketika mereka sudah bergerak untuk mengolok-oloknya.
"Maaaiii!"
Para sepupunya sudah memanggil dan melambai-lambai dari kejauhan. Sudah heboh juga melihat ada cowok ganteng di samping Maira. Apalagi sampai ikut menuju mobil. Padahal Maira sudah bilang tak perlu mengantarnya sampai ke sana. Tapi Agha berpura-pura tak mendengar. Ia tentu saja tersenyum ramah pada para sepupu Maira yang rata-rata memang lebih tua dari Maira. Meski perbedaan usianya tak begitu jauh. Kebanyakan sudah membawa anak. Namun masih terlihat sangat-sangat muda. Agha bisa menebak kalau mereka sudah menikah diusia muda.
"Siapa namanya ganteng?"
Kakak sepupu Maira yang paking tua bertanya. Usianya sudah tiga puluh tahun tapi bawaannya masih gaul ala anak-anak muda. Maira melotot mendengar pertanyaan centil begitu.
"Agha, Tante."
Maira dan yang lain langsung terbahak. Yang disebut Tante langsung mingkem, menahan dongkol. Ia masih muda begini sudah dipanggil Tante. Agha menggaruk tengkuknya. Ia bingung harus memanggil apa. Berhubung memang sedang menggendong anak ya panggil saja tante. Ya kan? Hahahaa.
"Udah, Gha. Mending lo balik aja," tukas Maira. Bukannya mengusir. Ia malas diledek para sepupu-sepupunya. Maka Agha membalik badan dan pamit pada mereka. Lalu terkekeh karena meski sudah agak jauh berjalan, namanya masih dipanggil-panggil.
"Jadi, maunya sama yang mana, Mai? Yang dokter atau calon dokter?"
Ia diledek di sepanjang jalan. Maira memutar bola matanya. Tak perlu didengar omongan mereka. Mereka memang seperti itu. Kalau sudah mengolok, tak akan ada habisnya. Jadi lebih baik diam. Ditanggapi juga percuma, yanga da makan makin riuh.
@@@
Maira berlari dari mobil. Para sepupu-sepupunya kaget lah. Maira melihat Masnya tampak membawa tas. Baru saja kekaur dari rumah. Padahal belum lama bertemu dengannya lalu masa harus berpisah lagi? Semenjak Masnya menjauh, mereka memang sudah jarang bertemu. Maira tahu kalau Masnya tak mungkin tinggal bersamanya. Pasti bersama istri bukan? Maka tak heran kalau akhirnya ia berlari lalu menubruk Rangga. Rangga terkekeh. Lelaki itu mengelus kepala adiknya.
"Kenapa?"
"Mas mau ke mana lagi? Kan udah janji mau liburan di sini."
Rangga jadi merasa bersalah. Ya, ia juga maunya begitu. Tapi mau bagaimana lagi? Tak mungkin tinggal lama di sini. Banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Seharusnya ia pamit sejak tadi agar tak bertemu dengan Maira karena tahu kalau adiknya akan menangis seperti ini. Maira sesenggukan. Ya pasti kangen pada Masnya. Semenjak Rangga menikah, ia tampak rewel sekali. Bahkan sangat sering menghubungi Rangga agar dapat menemuinya. Rangga tak paham kenapa Maira yang biasanya mandiri dan tangguh mendadak bertingkah seperti ini. Tak biasanya. Ayah mereka menonton dari dapur dengan senyuman kecil. Ya sedari dulu, Maira memang sangat menempel pada Rangga.
"Nanti kan ketemu lagi," tukasnya menghibur. Tapi sama sekali tak menghibur. Maira tak peduli kalau para sepupunya mengolok-oloknya. Ia hanya tak ingin Masnya pergi lagi. Kenapa harus secepat ini? Pernikahan Rangga saja sampai sekarang masih sulit untuk diterima. "Oke? Mas harus pergi nih, ngejar penerbangan."
Maira menghapus air matanya. Rangga terkekeh melihat tingkahnya yang benar-benar kekanakan. Ini mengingatkannya pada momen-momen di mana ia hendak kembali ke Depok untuk melanjutkan kuliah. Maira juga seperti ini. Biasanya, tak akan berhenti mengikutinya hingga ia pergi. Ia memeluk adiknya sekali lagi dan menyampaikan banyak pesan kalau ia harus menjaga diri di sini. Kemudian Maira terpaksa melepasnya yang harus segera masuk ke dalam taksi yang memang sudah menunggu sedari tadi. Air matanya jatuh saat taksi itu resmi meninggalkan halaman rumah mereka. Ia benar-benar merasa kesepian semenjak ditinggal Rangga menikah. Ada perasaan tak rela dan ia masih belum bisa mengendalikannya hingga sekarang.
Setelah lama menatap taksi, ia masuk ke dalam rumah kemudian mandi. Begitu makan malam selesai, ia duduk di dekat neneknya yang masih asyik menonton televisi. Neneknya lebih suka tidur di sini semenjak ia dan ayahnya datang ke Bandung dan menempati rumah ini. Walau sebetulnya rumah ini lebih sering kosong. Namun memang sering ditempati juga. Neneknya selalu berulang-ulang bercerita tentang masa kecil ibunya. Maira tersenyum tipis. Meski hanya mengenal ibunya melalui foto, ia setidaknya cukup terhibur dengan berbagai kisah yang masih bisa diingat jelas oleh neneknya. Berbagai kenakalan dan kelincahan ibunya yang kalau kata ayahnya, mirip dengannya saat kecil dulu. Ia juga baru tahu banyak semenjak datang ke Bandung. Setelah bisa menerima kalau ia mempunyai ibu yang berbeda dari Rangga.
"Nanti setelah selesai kuliah, Mai balik ke sini ya, Ni? Nini seneng gak?"
Neneknya terkekeh. Tentu saja senang sekali. Ia dengan senang hati akan mengurusnya. Berhubung sejak kecil memang tak bisa mengurus Maira. Baru bertemu disaat sudah besar. Selama ini, mereka juga maklum kalau ayahnya Maira tak membawa Maira ketika berkunjung ke sini. Hanya membawa berbagai foto-foto Maira. Tapi sudah cukup menyenangkan bagi mereka.
Lalu kenapa Maira memilih untuk kembali ke Bandung setelah menyelesaikan kuliahnya nanti? Alasannya sederhana. Ia ingin menyelami hidup ibunya. Tinggal di Bandung dan mungkin bekerja di laboratorium terdekat adalah rencananya setelah lulus. Urusan Hanafi? Maira benar-benar tak terpikir apapun. Ia sedang fokus pada diri sendiri saat ini. Pada kehidupannya dan ayahnya yang seolah sedang memulai hidup yang baru. Ayahnya memulai usaha dari nol dan ia bersedia menemaninya. Lelaki itu sempat mengatakan beberapa hal beberapa hari yang lalu tentang.....
"Selama ada ayah dan Rangga, Mai jangan menikah dulu setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Kan masih ada ayah dan Rangga yang akan menjaga Mai. Biarpun Masmu itu sudah menikah, kamu masih menjadi tanggung jawabnya juga. Gak akan kami lepas. Jadi Mai fokus saja pada apa yang ingin Mai capai setelah ini. Ayah akan ikut dan menyetujui apapun yang Mai inginkan."
Ayahnya ingin ia memiliki mimpi yang lebih tinggi dari pada sekedar menjadi pekerja. Tapi Maira justru menginginkan hal yang sebaliknya. Baginya, mimpinya adalah bersama ayahnya dan Rangga. Jadi yang ia pikirkan adalah melupakan mimpi yang lain. Karena memang mimpinya sekarang hanyalah membahagiakan mereka. Dua laki-laki yang sangat dicintainya. Hanafi?
Ia tidak melupakan lelaki itu. Hanya saja, urusan asmara tak ada di dalam kepalanya. Kepalanya sudah penuh dengan pikiran tentang magangnya yang akan datang dan juga skripsi yang sudah menanti. Ini adalah tahap akhir dari pembelajarannya selama di kampus. Tak terasa akan segera selesai. Ia juga tak menyangka kalau waktu berjalan secepat ini. Benar-benar tak terasa bukan?
Oi! Mai! Gua besok ke Bandung! Jangan lupa siapin makanan. Sambut tamu dari Bekasi nih!
Ia terkekeh membaca pesan dari Andros. Seperti janji Andros, lelaki itu memang hendak liburan ke Bandung. Katanya bersama teman-teman SMA mereka dulu.
@@@
Agha dan keluarga besarnya memang tak lama di sini. Ia sedih sebetulnya. Harusnya ia masih bisa menemui Maira lagi. Mungkin dengan berkunjung ke rumah gadis itu di Bandung? Eeeh. Hahaha. Tapi nasib dan taksir berkata lain. Ia harus segera kembali. Mereka bahkan sudah dalam perjalanan. Kaki ini yang menyetir mobil adalah Aidan dan Abinya ada di samping. Ia? Duduk di bangku paling belakang bersama Ali dan Adrian. Di bangku tengah ada Umminya dan juga Adshilla. Suasana mobil memang agak hening karena dua bocah hilang dari sini. Ke mana Adel dan Adeeva?
Ohoooo tentu saja merecoki Oma dan Opa yang tak bisa berhenti tertawa melihat tingkah keduanya mengolok kejombloan Ardan. Cowok itu memang fokus menyetir tapi gondok juga mendengar celotehan dua bocah itu. Hal yang benar-benar mengundang tawa. Sementara Agha justru baru saja mengirim pesan pada Maira. Gadis itu sedang menyiapkan makanan. Ya untuk menyambut kedatangan Andros. Andros bilang kalau mereka berangkat jam lima pagi. Jadi sekitar sembilan pagi sepertinya sudah sampai di Bandung. Itu pun kalau tidak macet.
Mai, gue balik duluan ke Jakarta ya
Itu pesan dari Agha. Kebetulan sekali Maira sedang memegang ponsel karena memang takut Andros menghubunginya. Pasti tidak mudah mencari rumahnya yang agak terpencil. Agak jauh dari peradaban.
Iya. Hati-hati, Gha.
Agha langsung sumringah meski hanya dibalas dengan pesan seperti itu. Hahaha. Wajah bahagia yang terlalu kentara itu membuat Adrian yang duduk di sebelah kirinya langsung menyipitkan mata. Mau membaca isi pesan pun percuma karena tak akan terlihat. Agha sudah terlanjur menurunkan ponselnya ke sisi kanan. Adrian tak akan bisa menggapainya dengan matanya.
Ali menoleh ke arahnya. Ia juga menyadari keganjilan dari wajah A'ak mereka yang satu ini. Apalagi Agha masih tersenyum sampai sekarang. Ohoooo, apa yang membuat lelaki itu tampak benar-benar bahagia? Mencurigakan. Sialnya, mereka memang tak begitu tahu bagaimana asmara Agha saat ini. Hanya bisa menebak-nebak. Pasti urusan semacam ini tak jauh-jauh dari persoalan perempuan bukan?
@@@