Sejak pertemuan terakhir.....
"Assalamualaikum, kamu di mana, Ren?"
Shiren hanya berdeham. Mata gadis itu justru berpendar ke arah lain. Ke arah perempuan yang sedang membawa dua gadis kecil. Adik Agha? Ia mengingat-ingat. Meski Agha tak pernah membawanya menemui keluarga dulu, ia pasti mencari informasinya bukan? Lagi pula, itu sangat mudah untuk dilakukan. Informasi tentang keluarga Agha ada di mana-mana.
Lalu kini ia kembali menatap Agha yang masih celingak-celinguk mencari posisinya. Mungkin karena posisinya agak terhalang pohon kalau dilihat dari sisi Agah jadi cowok itu tak melihat kehadirannya.
"Aku dekat teras masjid kampus, Gha. Gak begitu jauh dari kamu berdiri."
Agha tampak mengalihkan tatapan ke arah masjid yang dimaksud. Lalu cowok itu berjalan ke arahnya. "Kamu datang menemuiku, sudah dengan izin?"
Shiren justru tersenyum kecil alih-alih menggubris pertanyaannya. Baginya mungkin tak penting. Tapi bagi agha, itu jelas berbeda. Dan Shiren sebetulnya enggan untuk membahas persoalan itu.
"Kamu sudah menyukai perempuan lain rupanya ya, Gha."
Gadis itu menarik nafas dalam. Ia sesungguhnya hampir menangis. Tapi ia menahannya kuat-kuat. Agha tak menanggapi celotehan itu. Keduanya sudah berada di satu tempat yang sama. Meski berjarak. Dan shiren melihat itu sebagai sebuah penolakan yang lebih kejam lagi. Agha mungkin hanya berpikir tentnag kemaslahatan bersama. Tapi Shiren menganggap sebagai sebuah hinaan. Ia tahu kalau ia begitu menjijikkan. Tapi ia juga tak bisa berbuat apa-apa jika memang Agha ingin melakukan itu. Itu hak Agha. Ia seharusnya tak perlu merasa marah dan harusnya juga bersyukur. Namun Shiren masih kalut sekarang.
"Aku hanya tak ingin menemui seorang perempuan tanpa suaminya tahu."
Shiren menunduk mendengarnya. Kata-kata itu terdengar kelu baginya.
"Kami sudah bercerai, Gha dan aku juga tak ingin membahas itu," ucapnya. "Aku tidak memintamu datang untuk membahas itu."
"Lalu apa yang ingin kamu bicarakan, Ren?"
Shiren menatap ke depan dengan gamang. Sesekali, Maira tampak melihat dari kejauhan sana. Jauh sekali. Dari sudut ini, hanya Shiren yang menyadari dan beberapa kali, Shiren mendapati tatapan dari Maira. Ia tak tahu apa hubungan gadis itu dengan Agha. Kalau cemburu ya jangan ditanya. Tapi ia terlalu tahu diri. Ini bukan tempatnya lagi. Bukan waktunya lagi juga. Semua yang terjadi antaranya dan Agha sudah lama lewat.
"Aku tidak punya kesempatan lagi kan, Gha?"
Agha tak menjawab. Baginya jawabannya terlalu gamblang. Shiren mengangguk-angguk. Ia sudah dapat menyimpulkan. Agha tak perlu menjawabnya.
"Aku tahu, Agha."
Ia menarik nafas dalam lantas semakin menunduk. Air matanya dengan perlahan menetes ke tanah tanpa bisa ia tahan-tahan. Ia menarik nafas dalam dan berusaha untuk mengendalikan diri. Lalu ada banyak penyesalan yang mendadak terlintas begitu saja di dalam benaknya.
"Maaf ya, Gha," ucapnya ditengah-tengah isakan yang tak mampu ia tahan. Rasa cemburu dan rasa yang masih tertinggal memenuhi benaknya. Ketika ingin mengulang segalanya sudah tak mungkin. Sudah tak ada waktunya. Sudah bukan tempatny lagi. Ia tahu itu. Namun terkadang harapannya masih terlalu tinggi. Tapi kini, ia yang harus menghancurkan harapan yang tumbuh di dalam hati itu agar tak berkembang semakin besar atau ia hanya akan terjatuh lagi.
"Aku mungkin terlihat hina sekali di matamu, Gha."
Agha tak merespon disaat Shiren justru mengharapkannya. Setidaknya ada sedikit perhatian mendengar tangisnya bukan? Seperti dulu yang kerap bertanya kalau terjadi sesuatu padanya. Tapi sudah sejak lama, itu tak terjadi lagi. Agha tak melakukannya lagi. Bagi Agha mungkin sudah tidak perlu. Mereka hanya berteman dan Agha melihat Shiren sama seperti teman-teman perempuan yang lain. Nah kalau Shiren? Ia masih berharap kalau Agha akan tetap bersikap seperti dulu padanya. Karena menurutnya, bagaimana pun, ia pernah ada di masa lalu Agha. Agha tak seharusnya melupakannya begitu saja. Iya kan? Lalu apa yang diucapkan Agha selanjutnya hingga Shiren terisak-isak mendengarnya?
Lelaki itu mengatakan kalau semua manusia dimata Allah itu sama kecuali keimanannya. Namun keimanan dari hamba-hamba-Nya itu pun hanya Allah yang tahu. Bagaimana mungkin kita sebagai manusia bisa berkesimpulan seperti itu jika segala sesuatunya hanya Allah yang tahu? Maksunya, merujuk pada Shiren yang menyebut dirinya sendiri sebagai sebuah kehinaan.
Seburuk-buruknya manusia adalah mereka yang tak kunjung bertobat dan menyadari kesalahan yang diperbuat. Karena kalau itu terjadi, pertanda kalau manusia itu terlalu sombong. Sampai menganggap kalau dirinya terlalu sempurna untuk melakukan sebuah kesalahan. Bukan kah itu tidak benar? Karena yang namanya manusia tidak akan pernah luput dari kesalahan.
"Gak pernah ada kata terlambat untuk bertobat dan kembali selama kita masih hidup, Ren. Setidaknya disaat kita masih bernapas. Kita asih diberikan kesempatan oleh-Nya untuk memperbaiki hidup kita. Manfaatkan kesempatan itu untuk bertobat dengan sebenar-benarnya kepada-Nya."
Shiren kembali menangis. Ya ia tahu. Kata-kata Agha banyak benarnya. Mungkin ia hanya sedang jauh saja dari Allah. Mungkin begitu ya?
"Menangis boleh, Ren. Gak ada yang mempermasalahkan tapi gak akan menyelesaikan masalah. Saran aku, cari lah Allah, Ren. Hanya itu obat yang aku tahu."
Shiren masih terisak-isak. Walau dengan perlahan telah berkurang. Agha membiarkannya sampai tenang. Setidaknya momen ini bisa menjadi nasehat besar. Bukan hanya untuk Shiren tapi untuk dirinya juga. Sementar Shiren masih bertanya-tanya, ke mana ia harus mencari? Hingga akhirnya ia terpaku pada pintu masjid kampus ini. Bukan kah jawabannya terlalu dekat? Setidaknya ia cepat mendapatkan jawaban.
"Ada lagi yang mau kamu katakan, Ren?"
Shirwn menghapus air matanya. Isakannya semakin hilang walau masih ada yang menetes ke tanah. Ada banyak hal yang ingin ia katakan tapi sekali lagi, ia sadar diri. Ini bukan tempatnya lagi. Agha berhak melanjutkan hidup tanpa ia harus merecokinya lagi. Ya kan?
"Aku minta maaf, Gha. Sekaligus terima kasih atas kenangan yang pernah ada sama kamu dari SMA sampai setidaknya beberapa bulan terakhir ini."
Agha mengangguk lantas berdeham. Lalu gadis itu berdiri. Bukan kah pembicaraan mereka sudah selesai?
"Sekali lagi, maaf, Gha."
Ia benar-benar tulus mengucapkan itu. Agha menarik nafas dalam. Tampak lega karena urusan dengannya telah berakhir. Sementara Shiren justru sebaliknya. Walau ia mencoba untuk mengikhlaskan.
@@@
"Shiren katanya masuk lagi? Gak jadi cuti? Setahun bukan?"
Itu yang Agha dengar ketika ia melewati koridor fakultas. Agha tak bermaksud menguping. Tapi memang banyak teman-temannya yang sibuk membicarakan itu. Awalnya, Agha bahkan tak terlalu fokus mendengarnya. Semakin dekat menuju departemen, beragam cerita mengalir. Kenapa gosip tentang Shiren seolah tak pernah padam?
Ya seharusnya Agha tahu kalau orang cantik selalu dibicarakan. Apalagi jika kecantikan itu terlalu menonjol. Di mana pun keberadaan Shiren, semua orang memang akan langsung melihatnya. Senyumannya begitu manis dan wajahnya benar-benar tak bosan untuk dipandang. Tapi bagi Agha itu sudah tak berlaku. Ia sudah memiliki perempuan lain yang memenuhi hatinya.
"Eh! Si Shiren katanya masuk lagi, Gha?"
Bahkan Bary pun menyapanya dengan kalimat itu. Lalu ia menutup mulutnya sendiri. Merasa salah karena telah bertanya di tempat umum. Kontan saja, mata semua orang langsung teralihkan pada sosok Agha. Ya mereka juga baru sadar akan kehadiran Agha di sini. Bary nyengir. Ia tak bermaksud. Hanya keceplosan.
"Nanya doang gue. Siapa tahu lo tahu," tukasnya sembari merangkul Agha. Ia berusaha mengajaknya untuk segera masuk ke dalam departemen. "Bukan urusan lo juga sih mau Shiren masuk atau enggak. Ya kan?"
Agha hanya mengangguk-angguk. Ya memang bukan urusannya lagi. Eeh tidak akan pernah menjadi urusannya lagi. Jadi ia juga tak perlu menjawabnya. Toh semua orang sudah tahu kan bagaimana ceritanya?
"Kenapa pada heboh?"
Ia jelas terheran-heran. Bary terkekeh. "Lo kayak gak tahu anak-anak aja," tukasnya.
Bary datang ke kampus untuk bimbingan sekaligus hendak mengurus izin penelitian. Sebagian teman-teman seangkatan mereka yang lain juga sama. Tapi berbeda dengan Agha yang memang belum masuk ke dalam tahap itu. Sama halnya dengan Shiren.
Memang ada kabar terbaru dari Shiren. Gadis itu tak jadi mengambil cuti setahun. Diperbolehkan untuk mengikuti mata kuliah lain pada semester ini sembari melanjutkan proposal skripsi yang sempat tertunda. Pada semester depan, ia tentu harus mengambil ulang beberapa mata kuliah. Kemungkinan besar memang akan lulus bersamaan dengan Agha. Agha kan memang tak bisa mempercepat kelulusan karena ada tanggung jawab sebagai ketua BEM universitas. Dan ia tak bermaksud untuk lulus bersama gadis itu juga. Ya kan?
"Gue duluan."
Si Bary pamit. Agha mengangguk. Ia juga harus segera masuk ke dalam ruang dosen untuk bertemu dosen pembimbingnya. Ia satu-satunya mahasiswa yang baru membicarakan persoalan topik penelitian pada semester ini. Kalau yang lain kan sudah sibuk sejak semester lalu. Tapi sang dosen tentu tahu bagaimana kesibukannya sebagai aktivis. Dari obrolan serius mengenai topik penelitian, dengan perlahan malah berpindah membicarakan soal perkembangan rumah sakit. Terakhir malah membahas persoalan politik. Ia banyak tertawa mendengar argumen sang dosen yang kritis namun diisi dengan banyak guyonan.
Profesor Mita. Ya profesor yang satu ini memang jitu sekali. Masih terlihat tampak segar meski usianya sudah cukup lanjut. Bahkan obrolan tak hanya seputar itu. Mendadak nama Hamas dan Anne juga terseret. Bagaimana pun, kedua orang itu kan juga dibimbing perempuan ini. Agha juga sama. Mungkin jodoh pembimbingnya memang begini.
"Alhamdulillah mereka baik, prof. Bang Hamas sudah di London. Kak Ann juga sudah menyusul."
Si profesor mengangguk-angguk. Tampak senang mendengarnya. Yang penting kan para mahasiswanya sudah bahagia. Ia tahu sekali bagaimana kondisi mental Hamas kala itu.
Setelah satu jam lamanya ia mengobrol, ia segera pamit karena tahu sang dosen juga hendak mengajar. Agha keluar dari departemen dan langsung berjalan menuju kelasnya. Ia memang masih mengikuti satu mata kuliah bersama dengan adik tingkat. Suasana memang riuh ketika ia masuk ke dalam kelas. Bayangkan saja, seorang ketua BEM universitas nan ganteng yang kini namanya populer dan selalu dibicarakan mendadak ada di depan mata. Kalau yang suka? Sudah jelas banyak sekali. Tak perlu diragukan lagi. Namun Agha tentu tak meladeni. Ia bergabung dengan beberapa adik tingkat yang ia kenal dan cukup akrab. Bahkan ikut ke dalam perangkat BEM juga.
Cewek-cewek tentu heboh melihat. Banyak yang mulai mencari perhatian semenjak tahu kalau Agha sudah tak bersama Shiren. Yang mengincar jadi bertambah banyak. Posisinya memang dielu-elukan. Meski tanpa itu juga sudah banyak yang mendekat.
"Kak Agha.....!"
Salah satu di antaranya sudah bergerak. Agha baru hendak beranjak saat satu mahasiswi menghampirinya. Ia agak-agak lupa dengan wajahnya. Meski tak tampak asing.
"Nanti boleh ngobrol, kak?"
Agha tentu tahu ke mana arahnya. Walau cowok itu tetap bersikap ramah. "Sorry, gue agak sibuk hari ini. Lain kali aja."
Si gadis itu mengangguk. Sejujurnya, Agha tak bisa berjanji juga. Setelah itu, Agha benar-benar beranjak. Agha bergerak menuju masjid untuk solat Zuhur. Lalu mendapatkan informasi tentang keriuhan di ruang BEM kampus Depok. Hal yang mengundang tawa. Mereka sedang heboh membicarakan Amri yang katanya akan diundang oleh salah satu acara di televisi untuk membicarakan soal rumah kaca miliknya yang menginspirasi di tengah-tengah Bantargebang yang begitu bau. Inovasinya yang sederhana dan patut ditiru oleh para anak muda lain. Ia juga sudah memulai pemberdayaan masyarakat sejak lama kan? Jadi wajar kalau sekarang diundang. Maira juga muncul di dalam chat yang ada di dalam grup. Gadis itu tentu saja mengucapkan selamat pada Amri. Hal yang membuat Agha tanpa sadar malah tersenyum tipis. Amri yang diucapkan selamat, kenapa ia yang tersenyum? Hahaha. Ini yang patut dipertanyakan.
Selamat, bro.
Tak lupa, ia juga mengucapkan. Usai solat, ia segera berjalan menuju kantin. Perutnya lapar sekali. Tadi pagi tak sempat sarapan karena terburu-buru ke kampus takut dosennya menunggu. Berhubung memang sudah berjanji untuk menemuinya. Di kantin itu lah, Agha tak sengaja berhadap-hadapan dengan Shiren yang hendak keluar. Banyak orang yang menyaksikan adegan di film-film itu. Mereka penasaran dengan kelanjutan hubungan Agha dan Shiren yang kandas. Karena katanya Shiren dijodohkan dengan lelaki keturunan Arab. Ya semua orang tahu itu. Tapi mereka tak pernah tahu apa yang terjadi selanjutnya kan? Tentang pernikahan yang telah usai? Hanya Retno yang tahu. Gadis itu pula satu-satunya sahabat yang kini Shiren punya. Yang lain? Munafik. Bahkan menjadi orang-orang nomor satu yang menggosipkan Shiren di luar sana.
"Hai, Gha."
Agha mengangguk dengan senyuman tipis. Sejak obrolan terakhir, hubungan mereka setidaknya membaik bukan?
"Kelas?"
Shiren mengangguk. Cewek itu memang hendak masuk ke kelas. Meski rasanya sangat tidak nyaman karena ia benar-benar sendiri. Retno tentu sudah sibuk di tempat penelitian. Sementara ia sama seperti Agha. Masih mengejar proposal.
Agha mengangguk-angguk sebagai respon. Lelaki itu meminggirkan tubuhnya sedikit untuk membiarkan Shiren lewat di sampingnya. Shiren pamit tanpa kata. Ia takut kalau terlalu lama menatap Agha. Takut tak bisa melupakan. Uhuy!
Sementara Agha bergabung dengan Bary, Indra, dan yang lain. Mereka tentu saja sudah berdeham-deham menggoda.
"Yang lain aja, bro. Cari yang masih single!" ledek Bary. Hal yang tentu saja mengundang tawa. Tapi celetukannya masih berlanjut. "Yang single dan juga gak sedang mencintai lelaki lain!" tambahnya yang kali ini membuat terpingkal. Agha menggelengkan kepala sembari duduk di atas kursi. Ia tahu siapa yang dimaksud. Apa perlu disebutkan namanya?
Hahaha. Pasrah sudah.
@@@
Agha tak ada kuliah sebetulnya. Walau ini sudah memasuki akhir minggu pertama perkuliahan. Jadwal kuliahnya hanya ada di hari Senin dan Selasa. Namun ia selaku ke kampus Salemba atau yaa ke Depok. Tujuannya? Ia sedang perlu fokus mengerjakan urusan proposalnya. Namun waktunya memang lebih banyak dihabiskan di Salemba selama beberapa hari ini. Walau sekarang sedang dalam perjalanan menuju kampus Depok.
Teman-temannya di sana tentu saja semakin sibuk. Ia ingin memantau perkembangan wawancara. Dari laporan Della semalam, sekitar delapan puluh persen calon anggota BEM yang mendaftarkan diri sudah diwawancara. Jadi sisanya memang tak begitu banyak lagi namun harus membagi waktu karena sebagian besar memang sudah sibuk dengan penelitian dan yang lain.
Agha tiba di kampus Depok menjelang magrib. Sebelum ke Pusgiwa, cowok itu memilih untuk mampir ke masjid kampus dulu. Usai solat magrib baru ke Pusgiwa. Tak lupa, ia menghubungi teman-temannya untuk menanyakan siapa saja yang tersisa di sana.
"Dari kemarin gue nginep di sini, Gha," tutur Bani. Agha terkekeh mendengarnya.
Cowok itu mempercepat laju mobilnya sebelum sebagian besar teman-temannya pulang. Ia hendak mengajak mereka untuk makan malam bersama. Hitung-hitung sebagai sebuah semangat atas kerja keras mereka. Tiba di sana, ia langsung mengomando untuk ikut dengan mobilnya. Yang tersisa memang tak banyak. Ada Bani, Della, Arya, dan tiga orang lainnya. Tapi....
"Makan di sini aja deh, Gha," tukas Della. Tumben-tumbennya gadis itu menolak.
"Kenapa?"
Della yang berdiri di dekat pintu ruang BEM itu menunjuk manusia yang sedang pulas dan tampak meringkuk di pojok ruang BEM. Teman-temannya baru menyadari kehadiran ayu di sana. Saat Agha mendekat ke arah pintu ruang BEM, ia juga termangu menatap Ayu.
"Lah? Kapan datangnya?"
Bani jelas kaget. Della menyuruhnya agar tak berisik.
"Abis solat langsung tidur. Capek banget kayaknya."
"Dia gak nginep di sini kan?" tanya Agha. Hal yang tentu saja mengundang tawa.
"Paling ke kos gue, Gha."
Agha mengangguk-angguk. Sepertinya Ayu lelah sekali karena sedang penelitia dan harus ke sini. Tadi memang Ayu sama sekali tak terlihat di kampus. Ah bahkan sejak awal di Agha ke kampus Salemba pun, ia memang tak melihat gadis itu.
@@@
"Bos Ferril sudah pernah berhadapan dengan bentengnya. Dan hampir mati karenanya."
Rangga merinding mendengarnya kala itu. Dan ucapan itu masih terus terngiang-ngiang di kepala Rangga. Ia boleh saja merasa tak takut. Namun ia tak dapat memungkiri kalau ada kegentaran juga yang memenuhi dadanya. Ia benar-benar tak punya bayangan akan separah apa ini nantinya. Wajah cemasnya tak bisa ia sembunyikan sekali. Bahkan suaranya juga sama. Ketika ayahnya menelepon malam ini pun.....
"Sepertinya kabar buruk ya?"
Ayahnya hanya menebak-nebak. Rangga sama sekali tak bisa menyembunyikan fakta itu. Memang demikian adanya. Ini lebih buruk dibandingkan dengan bayangannya.
"Gak apa-apa, Mas. Yang namanya sebuah kebenaran memang demikian," ucap ayahnya untuk membesarkan hatinya sekaligus menguatkannya. Ayahnya juga sudah pernah berhadapan dengan seseorang yang hatinya busuk dan mengerikan. Ketika akhirnya dibuat bangkrut, sudah berupaya untuk memutar balik keadaan namun sepertinya yang terbaik tetap begini, maka tak ada cara lain kecuali menerima semua hal buruk itu. Karena kita tak pernah tahu ada kebaikan di dalamnya. Ya kan?
"Mas juga gak nyangka, Yah. Yang Mas cemaskan itu justru Ayah dan Mai. Mas bahkan gak bisa menjaga dari dekat."
Ia menyesali hal itu dari sekian banyak hal. Karena ia tak bisa selalu berada di dekat mereka. Apalagi dengan kondisi sesibuk ini. Banyak hal yang harus ia urus. Ayahnya tersenyum kecil. Tentu saja memaklumi.
"Bagi Ayah, yang penting itu adalah kamu dan Maira. Masa depan kalian berdua masih panjang. Kalian harus perjuangkan itu apapun yang terjadi."
Berhadapan dengan seburuk-buruknya manusia bukan hanya satu atau dua kali ini saja. Namun sudah berkali-kali. Bahkan rasanya sudah tak ada rasa takut lagi di d**a ayahnya. Lelaki tua itu sudah puas menelan pahitnya kehidupan. Seolah kebahagiaan tak pernah berpihak. Seolah begitu. Namun apapun, tetap ia syukuri.
"Ayah juga penting. Bagaimana kami bisa tanpa ayah?"
Ayahnya terkekeh. Tentu saja. Tapi bagi orangtua, yang paling penting justru adalah anak. Tak ada hal lain. Mereka adalah yang paling utama.
"Mai gimana?"
Ia ingin tahu kabar adiknya meski belum lama bertemu. Ayahnya tersenyum kecil.
"Tadi ayah liat, dia tertidur. Sepertinya capek sekali ya magang di lab itu?"
Rangga tertawa. Ia yakin kalau adiknya terlalu banyak melakukan sesuatu. Entah karena disuruh atau inisiatif sendiri. Yang jelas, yang namanya Maira memang tak akan bisa diam. Gadis itu sudah terbiasa bergerak ke mana pun. Jadi aneh rasanya kalau hanya diam tanpa melakukan apapun. Dan energi itu memang terpakai. Ia sangat sibuk di laboratorium. Karena tentu saja, banyak sampel yang berdatangan untuk dianalisis. Ia terus belajar dari para analis di sana. Banyak sekali pengalaman dan ilmu yang ia dapatkan. Termasuk salah satu karyawan yang mulai tertarik padanya sejak awal. Hahaha.
"Ayah masih melihat orang-orang mencurigakan di sekitar rumah?"
Ayahnya berdeham. "Tapi gak apa-apa. Ada intel yang kamu bilang itu. Tadi juga sempat ayah ajak ngopi bersama."
Rangga tertawa. Ya namanya juga ayahnya. Tapi ia meminta maaf sekali karena hal ini, ia tak bisa membiarkan ayahnya di Bandung untuk memulai usaha baru atau membiarkan Maira sendirian di Jakarta. Itu akan sangat berbahaya sekali.
"Ayah gak akan apa-apa, Mas. Kamu maju saja terus. Jangan khawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Atau nanti malah akan menyesal karena memilih mundur sejak dini."
Rangga tersenyum kecil. Disaat dilema seperti ini, justru ayahnya menguatkan agar ia tetap berjalan lurus. Selama itu untuk sebuah kebaikan maka tak akan menjadi masalah. Ayah mereka akan rela berkorban apa saja. Apalagi jika ganjarannya adalah pahala kebaikan. Bukan kah itu sudah lebih dari cukup?
"Nanti kabarin Mas kalau-kalau ada yang mencurigakan lagi. Dan...."
"Ayah gak bisa bilang apa-apa soal ini pada Mai."
Rangga mengiyakan. Ia tahu. Mereka takut menganggu psikologis Maira. Biarkan kah gadis itu fokus pada semester terakhirnya. Kalau sudah selesai, baru mereka akan setidaknya jujur sedikit tentang keadaan saat ini yang sungguh mencekam. Karena ini benar-benar di luar kontrol manusia seperti mereka.
@@@