Tawaran Barter

3003 Kata
"Harusnya Mai juga ke sini. Tapi gak tahu deh. Gak ada kabar lagi dari dia," celetuk Della usai berbicara tentang Ayu. Tadi mereka masih membicarakan Ayu yang pulas. Walau kini sudah bangun dan makan dengan mengantuk. Gadis itu tampak lelah sekali. Selain mengerjakan penelitian, ia diminta magang juga di IGD rumah sakit. Karena katanya, di rumah sakit itu sedang kekurangan tenaga medis. Padahal ia masih belum menyandang predikat dokter. Masih jauh ke arah sana karena harus mengejar sarjana kedokteran dulu. Tapi kalau diminta ya apa boleh buat. Ia tak berani menolak pula. Hitung-hitung sebagai pengalaman. Meski berat. Sebagai anak magang ya pasrah. Hanya ikuti perintah. Asal tidak disalahkan saja. Ia juga sedang was-was akan hal itu karena ini memang mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai anak kampus. "Harusnya kalau Mai ke sini udah nyampe dong." Della mengangguk-angguk. Harusnya begitu. Tapi barangkali Maira lelah. Agha memaklumi meski ya kecewa juga karena tak bertemu. Hahaha. Kenapa akhir-akhir ini ia jadi rindu sekali ya? Apakah ia harus mengajak adiknya ke rumah Maira? Hahaha. Tapi ia belum berani melakukan itu. Tak ada alasan untuk menemui Maira. Itu yang menjadi masalah kan? Ia juga tak mau Maira jadi tahu perasaannya. Ia khawatir kalau hubungan pertemanan mereka akan renggang. Ya begini memang permasalahan utama di dalam hal ini. Dilema antara cinta dan persahabatan. Dilema yang sama yang juga dirasakan oleh Andros. Omong-omong cowok itu baru saja menitip martabak pada ayahnya Maira. Berhubung Maira sudah pulas sejak makan malam. Akhir-akhir ini Maira memang lelah. Ya urusan magang yang begitu merepotkan. Sementara itu.... "Widih! Cowok baru!" Ardan heboh. Sebenarnya bukan mereka yang berjaga di dekat rumah Maira. Kedua intel yang biasanya berjaga, sengaja ditarik dulu. Ia dan Adit sedang iseng saja menongkrongi rumah Maira. Karena kabarnya, Agha naksir si pemilik rumah dan mereka kepo. Hahaha. Ya begitu lah cara mereka kalau menyangkut urusan asmara antar sepupu. Mengikuti perkembangannya adalah hal yang menyenangkan. Apalagi tidak semua terbuka bukan? Ada yang perlu dikorek-korek. Tapi bagian menarik dari kasus Agha adalah ada dua cowok lain yang setidaknya menjadi penghalang. Dan Agha yabg belum berani maju. "Kalau gue jadi Agha, gue maju deh." "Tapi lo bukan Agha. Agha penuh perhitungan, bro." Ardan terkekeh. Ya benar juga. "Kalau Ferril?" "Ferril kenapa?" "Kenapa mendadak pindah ke cewek lain?" Adit menghela nafas. Ini juga yang ia pikirkan. "Benar-benar ingin move on?" "Itu alasannya?" "Ya kan gue menebak." Adit terkekeh. "Capek kali. Ngejar lama tapi perasaan gak dibalas. Sabar untuk urusan lain mungkin gak ada batasnya. Tapi untuk urusan cewek rasnaya tergantung. Kalau memang tidak ada harapan, untuk apa terus maju?" Ardan mengangguk-angguk. "Lo juga lah." "Gue lagi." Adit terkekeh. "Ya kan udah gak pantes juga." "Udah gak naksir." Ia jujur tapi mata Adit tetap saja menyipit. Benar atau sedang berbohong? Ia tak begitu yakin. "Gak naksir tapi masih cinta." "Gak lah. Gue juga harus buka mata." Adit mengangguk-angguk. "Mending kayak Ferril lah. Kesannya mungkin b******k. Tapi capek juga kalau gak kunjung diterima. Ya mending sama yang lain. Yang lebih pasti." "Lo bisa kayak gitu?" "Gak juga." Ardan menoyor kepalanya. Adit terkekeh. Kalau sudah berbicara urusan asmara ya memang pelik. "Barangkali kalau kasus gue kan beda sama Ferril." "Lu tahu kasus Ferril?" Adit nyengir. "Kagak." "Dia jarang cerita sih." "Mungkin kalau curhat ke kita sama sekali gak membantu." Keduanya terbahak. Ya sih memang. Yanga da malah tertawa. Tapi kadang mereka bisa juga diajak serius kok. "Ferril memang kayak gitu dari dulu. Tahu-tahu gandeng cewek. Bulan berikutnya beda lagi ceweknya. Ya lo tahu lah." Adit terbahak. Ya ia hapal. Tapi seingatnya waktu SMA dulu, Ferril cukup lama berpacaran dengan salah satu perempuan. Aah ia juga sudah lupa namanya saking sudah lamanya. Kalau tidak salah ya dulu termasuk penyanyi juga di sekolah. Dan omong-omong bukannya tadi mereka membicarakan masalah asmara Agha kenapa sekarang menjadi membahas Ferril? Ah entah lah. "Mereka bakal lamaran dalam waktu dekat?" Ardan mengendikan bahu. Ia juga tak tahu. Dina juga belum mendapatkan kabar apapun dari calonnya Ferril itu. "Cuma tetep aja ada satu hal yang menganggu gue." "Apa?" "Tiap dia bawa si Nesia bareng kita." Kening Ardan mengerut karena tak begitu paham. Bagian yang mana? Dan apa maksudnya? "Dia gak kelihatan begitu bahagia dibanding waktu bawa Echa waktu itu. Lo inget kan?" Ardan menjentikan jarinya. Benar sekali. Itu juga yang terasa ganjil namun ia juga baru menyadarinya sekarang. "Kayaknya sih ada hal yang bikin mereka bener-bener bubar sampai Ferril sekeras itu mencoba berpaling." "Jadi dia gak sungguh-sungguh maksud lo?" "Sungguh-sungguh," Adit berdeham. "Dia juga gak main-main sama Nesia. Gue yakin. Cuma soal perasaan dan waktu. Ya kalau lancar, gue yakin dia bakal bahagiain Nesia. Biar b******k gitu kan, Ferril tanggung jawab." Ardan terkekeh. Ya memang benar. Ketika ia sudah mengambil sebuah keputusan, ia akan fokus pada satu hal itu hingga tujuan yang ia kejar benar-benar ia capai. Begitu pula dengan urusan yang sekarang. Bagi Adit, ini memang hanya persoalan waktu. "Dia gak bakal sampai hati ninggalin Nesia. Jadi dia udah tahu resikonya kalau sekarang milih cewek itu." Ardan menghela nafas. Persoalan cinta memang pelik sementara ia belum ada tanda-tanda apapun. Bukan menyerah tapi belum ada sinyal calon jodoh datang mendekat. "Kenapa gak lo coba tuh tawaran-tawaran dari bokap? Jodoh tuh gak ada yang tahu, Dan." Ia malah menasehati Ardan. Omongan mereka melompat-lompat malam ini. Efek terlalu lama mengintai asmara orang. Ardan menghela nafas panjang mendengar itu. Ia memikirkannya dengan seksama. Telah banyak yang terjadi sampai mamanya khawatir dengannya ketika dikelilingi perempuan. Tak semua tulus. Banyak yang hanya ingin hidup enak bersamanya. Mamanya benar-benar tak menyukai itu. Jangan kira karena anaknya mudah ditipu lalu dengan semudah itu juga dibantai. "Nanti lah." Adit geleng-geleng kepala. Ya-ya. Itu memang urusan Ardan. Ia sebenarnya tak mau berada di sini. Tapi gara-gara kejadian terakhir di Trans Studio Bandung bertemu Maira lalu mendengar pula kalau mereka sedang memiliki misi menjaga keluarganya Maira ya istrinya yang sableng itu malah ikut-ikutan menyuruhnya untuk bersama Ardan saja malam ini. Padahal ia lebih suka bersama istrinya hahaha. Apa boleh buat lah. Keluarga besarnya sedang heboh soal Agha bersama cewek. Gosipnya tentu saja sudah tersebar luas. Adel dan Adeeva yang selalu menjadi narasumber mereka. Hahaha. Dua gadis kecil itu kan memang saksi cinta Agha pada Maira. Apapun dibeberkan asal apa yang diminta dibelikan. Tentu saja kalau urusannya dengan Adel, tak ada yang cuma-cuma. Hahaha. Ajaran siapa itu? Tentu saja Ferril. Jadi lah, Tiara, Dina, dan Rain rela patungan membelikan banyak jajanan dan juga beberapa buku cerita untuk keduanya. "Kan Adel sama Adeev pernah ke rumah teteh Mai. Ya kan, Deev?" Ceritanya kala itu dengan penuh semangat. Airin yang menyaksikan hanya bisa tertawa. Sebegini hebohnya mereka begitu tahu kalau Agha sedang mendekati perempuan. Sementara anaknya itu belum bercerita apapun. Airin juga sudah bertanya pada suaminya tapi Akib pun mengatakan hal yang sama. Agha bungkam. Terakhir ditanya pun hanya tersenyum tipis. Ketika diingatkan untuk tak sering bersama Maira.... "Gak lah, Bi. Mai juga lagi magang." Begitu katanya. Ya intinya mereka memang sedang sama-sama sibuk. Jadi tak akan sempat bertemu. "Nanti juga cerita sendiri, Ai, kalau udah gelisah." Kemudian kembali pada duo sableng yang baru saja memincingi motor yang melewati mobil mereka. Tentu saja motornya Andros. "Pesaing nih?" Adit mengangguk-angguk. Kemungkinan besar begitu. Mereka sama-sama membalik badan demi melihat motor yang baru saja berhenti di depan rumah Maira. Sepertinya memang benar pesaing Agha dari yang terakhir ia lihat. "Bawa apaan tadi?" "Ya makanan lah, Dan. Masa alat-alat bengkel? Lucu lo!" Ardan mengangguk-angguk bodoh. Ya namanya orang yang sedang berupaya melakukan pendekatan pasti akan memberikan sesuatu kan? "Berani juga!" celetuk Ardan. Yang ia maksud dengan berani adalah karena Andros memberikan martabak pada ayahnya Maira. Kalau ia bandingkan dengan dirinya dulu yang begitu pengecut, tentu jauh sekali memang. Bayangkan, melihat ayah Talihat dari jauh saja sudah membuatnya buru-buru membalik badan dulu. Hahaha. Saking ciutnya. "Ya kan bukan elo!" Ardan mendengus, Adit justru terbahak. Tawanya bahkan tampak bahagia sekali. Kemudian keduanya kembali fokus pada sekeliling. "Ngasih tahu Agha gak ya?" Ternyata itu yang dipikirkan Ardan selama bermenit-menit dengan begitu serius. Hahaha. Ia hanya takut Agha kalah saing sama cowok yang tadi. Adit tertawa mendengarnya. "Ya lah, coba suruh bawa sushi," tukasnya. Lalu dengan isengnya, Ardan mengirim pesan pada Agha. Apa katanya? Warning 45! Sebuah kotak makanan dari makhluk asing baru saja mendarat di rumah gebetan! Laporan diterima? Adit terbahak begitu membaca pesan aneh itu. Ya biarkan saja Ardan dengan dunianya yang aneh. Sementara Agha yang menerima pesan itu hanya geleng-geleng kepala. Ia tahu maksudnya. Pasti ada cowok lain yang baru saja datang ke rumah Maira bukan? Nah iya benar. Awalnya yaaa ia masih biasa saja. Tapi makin dipikirkan, ia jadi makin waspada. Apakah cowok itu mengobrol dengan Maira di rumah? Pertanyaan itu yang muncul di kepala Agha. Ia jadi menduga-duga. Tapi tak akan datang juga semalam ini ke rumah Maira. Selain karena ia juga sudah dalam perjalanan menuju ke rumah, ia juga tak ada urusan yang jelas di sana. Yang ada malah akan diinterogasi ayahnya. Apalagi ini juga sudah cukup larut. Akhirnya, ia tetap meneruskan perjalanan menuju rumah meski dengan agak-agak gelisah. Oke, kali ini Ardan memang sukses membuatnya tak berhenti berpikir tentang siapa yang baru saja datang? Kalau benar tebakannya adalah Andros, maka seberapa lama lelaki itu ada di rumah Maira? Sampai Maira tak jadi ke kampus? Dan ooh jangan bilang kalau cowok itu menjemput Maira dari kantor magangnya! Aaaah. Itu membuat kaki Agha menjadi lemas. Mai! Sesungguhnya ia ingin sekali mengirim pesan itu. Tapi akhirnya ia urungkan. Lalu menghela nafas. Apa yang sebenarnya ia pikirkan? @@@ Perekrutan anggota BEM universitas yang baru sudah dilakukan. Agha dan tim lebih banyak rapat secara online. Berhubung Agha buat sedang sibuk di kampus. Ya walau hanya dua mata kuliah, nyatanya ia sibuk mengerjakan proposalnya. Setelah itu pergi pula ke rumah sakit. Ia mulai dikenalkan secara resmi sebagai penerus Fadlan di rumah sakit itu. Meski titelnya belum ada. Tak masalah. Sebutan sebagai calon direktur muda rumah sakit memang sudah terdengar. Ya kan sama seperti Fadlan dulu. Ia membangun dari nol meski dengan bantuan Papi. Tapi setidaknya, kerja kerasnya benar-benar terlihat dan Agha harus menjaga kerja keras itu. Itu adalah hal yang paling sulit sesungguhnya. Tapi ia juga tak punya pilihan. Akhir-akhir ini di kampus, Agha juga sering bertemu dengan Shiren. Karena ya gadis itu memang sengaja mengambil beberapa mata kuliah sembari menyusun proposal penelitian sama sepertinya. Mereka juga kerap bertemu di perpustakaan. Karena Shiren juga banyak menghabiskan waktunya berada di sana. Ia tampak fokus menyelesaikan apa yang sudah ia mulai. Meski semua niatan itu berawal dari Agha. Kini ia tidak lagi melakukan semua itu untuk Agha. Ia melakukan segalanya untuk dirinya sendiri. "Lihat Shiren, Gha?" Retno yang baru saja selesai bimbingan langsung berjalan menuju perpustakaan. Begitu hendak masuk, ia malah berpapasan dengan Agha yang hendak keluar. Wah lama kuga tak bertemu dengan Retno. "Ada di dalam." Retno mengangguk-angguk seraya mengucapkan terima kasih. Agha pergi begitu saja. Retno sempat melihat punggungnya yang menjauh. Rasanya sekarang begitu aneh. Karena ia tak lagi memanggil Agha untuk sesuatu yang berhubungan dengan Shiren. Maksudnya, hubungan yang berbeda. Tidak seperti sekarang. Agha juga benar-benar memperlakukannya dan Shiren seperti perlakuan pada teman-teman yang lain. Tak ada kecanggungan. Yang ada hanya jarak. Awalnya Shiren tak terbiasa dengan hal itu. Tapi semakin ke sini, ia sudah bisa menerimanya. Hubungannya dan Agha memang sudah sangat lama berakhir. Ia tak perlu mengungkit apa yang terjadi dimasa lalu karena perasaan siapapun bisa mudah berubah bukan? "Ren!" Ia memanggil Shiren dengan pelan. Shiren menoleh lalu tersenyum lebar. Ia melambaikan tangan kemudian segera memberesi barang-barangnya. Ia tak melanjutkan pencariannya lagi di sini, akhirnya memilih untuk mengembalikan buku yang sudah dibaca pada beberapa babnya. Kemudian segera menghampiri Retno. Mumpung gadis ini masih sering ke kampus akhir-akhir ini. Karena kalau nanti, mereka sudah sibuk masing-masing. Retno juga akan menyelesaikan kuliahnya lebih cepat dibandingkan dengannya. Ia tak merasa masalah. Kalau memang harus terlambat tapi setidaknya, ia berhasil menyelesaikan segalanya. Ya meski sendirian. Ia sebetulnya merasa gelisah karena hanya sendirian. Ia merasa seperti semua orang menatapnya. Semua orang seolah sedang membicarakannya. Ia kadang takut sendirian. Namun harus bertahan hingga semester depan. Sebelum benar-benar menyelesaikan apa yang telah ia mulai di sini. Kini keduanya berjalan menuju lobi. Shiren akan mampir ke kosan Retno. Mereka memiliki rencana untuk makan di sekitar sana. Tapi begitu sampai lobi, mata keduanya menangkap mobil Agha yag baru saja melintasi pintu keluar. "Lo ikhlas kan? Gua bukannya gak mau bantu lo. Tapi gue merasa egois aja." Retno sadar kalau yang ingin bahagia bukan hanya sahabatnya. Tapi Shiren juga pasti ingin bahagia kan? Jadi ia tak enak hati kalau harus berlaku seperti dulu hanya karena kebahagiaan Shiren sementara Agha sama sekali tak berbahagia. Apa gunanya memaksa orang? Shiren tersenyum kecil. Ya kalau keikhlasan itu memang masih dalam tahap proses. Jadi ia bisa bersabar menunggu dirinya untuk pulih dari segala hal pahit yang menimpanya selama beberapa bulan belakangan. "Lo inget kan dia datang sama cewek waktu kita ketemuan terakhir di semester kemarin?" Retno mengangguk-angguk pelan. Ia sempat melirik Shiren. Hanya sekedar memastikan kalau Shiren baik-baik saja saat mengatakan itu. Dan sepertinya memang baik-baik saja. Gadis itu tampak riang sejak awal kembali ke kampus. Jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi terakhir mereka berada di sini pada semester kemarin. Bertemu dengan teman-teman munafik pun sudah semakin percaya diri. Terserah orang mau mengatakan apa, ia sudah tak mau mendengar lagi. Karena lelah kalau hanya akan sibuk mendamba ekspektasi manusia yang tak akan pernah ada habisnya. Ya kan? "Kayaknya hubungan mereka udah serius." Shiren mengingat dua bocah yang datang bersama dengan cewek yang dibawa Agha waktu itu. Ia merasa agak familiar. Tapi agak lupa juga. Sepertinya itu adalah anggota keluarga ya kalau bukan Agha pastinya cewek itu. Itu adalah dugaannya. Dan kalau sudah seperti itu, menurutnya Agha mungkin sudah serius. "Maksudnya mereka jadian?" "Gak deh kayaknya. Bukan yang kayak gitu. Udah lamaran mungkin? Hah. Entah lah. Gue juga gak berani." Ia juga tahu Agha seperti apa. Tapi mungkin calon tunangan atau semacamnya. Hanya itu yang ada di dalam kepalanya. Semalam, ia juga tak bisa menahan rasa ingin tahunya tentang sosok Maira. Ya meski hanya tahu sedikit tapi tampaknya Agha tertarik pada sesuatu yang ada pada gadis itu. Ka jelas tak tahu apa kan? Meski masih ada rasa cemburu, sakit hati, dan iri hati. Namun ia tak lagi mau menbahas hal yang sama. Biarkan lah urusan ini hanya sampai di sini. Ia juga tak mau terlalu patah hari jadinya. "Ikhlasin kan ya?" Shiren mengangguk dengan kekehan. Ya meski berat. Ia memang harus melupakan Agha. Karena kalau dipikir-pikir dengan cara apapun, tak ada jalan kembali pada masa lalu. Kecuali jika memang Allah menghendaki demikian. Karena tak ada yang tahu masa depan bukan? Sebagai manusia biasa, ia juga tak mau menutup mata atau terlalu menganggap sesuatu yang buruk padahal belum terjadi. "Setidaknya dia dapat cewek yang bener-bener lebih baik dibandingkan dengan gue, No." Retno hanya tersenyum tipis. Baginya siapapun berhak mendapatkan yang terbaik. Termasuk Shiren. Ia merangkul gadis itu dan mereka berjalan bersama. Terkadang cinta memang mengajarkan banyak hal sekaligus mendewasakan. @@@ Dua minggu kemudian, pelatihan dasar dan juga sekaligus menjadi masa orientasi calon anggota BEM yang baru akhirnya digelar. Memang dengan sangat cepat karena mereka juga tak bisa mengulur waktu. Semakin lama anggota BEM terbentuk maka semakin lama pula program-program yang telah disusun akan berjalan. Padahal waktu satu tahun untum sebuah kepemimpinan itu adalah sangat singkat. Coba bandingkan dengan presiden yang menjabat lima tahun. Lima tahun itu bukan kah waktu yang lama? Namun kenyataannya banyak sekali program yang tak selesai. Ya kalau memang sebuah program itu adalah program yang berkelanjutan memang tak akan menjadi masalah. Yang menjadi masalah justru adalah program yang sudah berjalan namun ternyata tak pernah bisa menyelesaikan masalah yang ada. Lebih parahnya malah menimbulkan masalah baru. Acara sudah akan dibuka sejak pagi. Agha sudah muncul. Cowok itu tentu saja sudah standby. Ini hari Jumat dan kebanyakan memang tidak memiliki jadwal kuliah dan aah memang libur karena tanggal merah. Maira? Ohooo. Gadis itu ikut anak konsumsi mengambil makanan. Sebagai bendahara, ia lebih banyak berurusan dengan keuangan. Meski sebetulnya bisa diurusi tim konsumsi yang nantinya akan melapor padanya. Namun ia sengaja ikut mobil Agha yang dikendarai oleh Bani karena.... "Lo ikut kita cuma buat numpang tidur Mai?" Maira yang sudah memejamkan mata kontan terkekeh. Akal bulusnya tercium. Leli yang satu tim dengan Bani hanya geleng-geleng kepala. Leli duduk di depan sedangkan Maira duduk di belakang bersama beberapa tumpuk makanan. "Gue ngantuk bangeeet!" Ia memang kurang istirahat. Bani menggelengkan kepalanya. Memangnya ia tak tahu apa alasan Maira kurang istirahat? Hahaha. Ya kan dari jam dua pagi, Maira dan Saras asyik video call bersama Hanafi. Berhubung Maira tak mau kalau hanya video call berdua. Jadi Saras pasti selalu ikut di antara mereka. Dan Bani tentu saja tahu. Meski ia hanya menggelengkan kepala. Padahal kemarin Maira memang lelah sekali. Ia baru selesai mengerjakan laporan di kantor magang jam satu pagi. Kemudian tidur satu jam dan dilanjut video call bersama Hanafi. Ia rela memotong waktu istirahatnya agar bisa mengobrol bersama cowok itu. Cowok itu tentu saja membawa banyak kabar gembira soal kemoterapi dan proses operasi ibunya yang berjalan lancar. Kini sedang dalam masa pemulihan. Cowok itu tentu saja tetap menetap di sana. Hanya saja.... "Hanafi abis nyari kampus di Sweden, Mai. Di sana kan kuliahnya gratis. Ya kalau ada tawaran bagus di sana, Hanafi berencana pindah ke sana. Mama juga sepertinya akan dimutasi lagi. Kita gak jadi ke Perancis. Sepertinya akan menetap di Sweden, Finlan atau ya Norwegia." Maira mengangguk-angguk saja. Ia tahu kalau sepertinya jalannya dan Hanafi agak berbeda. Cowok itu kan masih berharap padanya. Berharap mereka masih bisa bersama. Sementara pikiran Maira sekarang sudah melayang jauh pada urusan ayahnya di Bandung. Ia jadi tak bisa meninggalkan ayahnya sendirian. Apalagi Masnya juga sudah menikah. Siapa lagi yang menjaga ayah mereka kalau bukan dirinya? Namun tak ada yabg tahun apa yang mungkin terjadi beberapa tahun setelahnya kan? Sementara itu, Rangga menarik nafas panjang. Ia sungguh kalut. Tak bisa berpikir. Tak bisa berbuat apapun. "Kalau Mas mau aku keluar dengan selamat, mereka minta Maira sebagai ganti aku di sana. Mas mau?" Itu kata-kata dari Shinta setelah perempuan itu memutuskan untuk kembali pada pekerjaan hinanya. Sementara ia mulai semakin goyah karena adiknya mulai terbawa-bawa. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN