Raymond
“Apa?! Di mana, Pak?” Belum ada satu jam yang lalu aku bertengkar dengan Iva, sekarang polisi mengabarkan kalau dia kecelakaan. Ya, Tuhan. “Baik, Pak. Terima kasih informasinya.”
Jantungku rasanya mau copot mendengar kabar dari polisi tadi. Iva, what have you done? Rasa pusing tiba-tiba menyengat dan membuatku enggak bisa mikir. Ingin minta bantuan Ollin, tapi Ollin sudah kuminta pulang sejak siang tadi lantaran ia sedang tidak enak badan.
“Ada apa, Ray?”
Tangan Agnes menambah beban pundakku. Nih, cewek maunya apa sih? Sejak datang beberapa waktu lalu ia terus berusaha melakukan usaha untuk menggerepe. Aku tuh sedang banyak pikiran. Boro-boro bisa menikmati gerepeannya. Yang ada, justru aku merasa risi.
Sejak bertemu lagi dengan Nala malam itu, isi kepalaku didominasi oleh dia dan segala kenangan tentangnya, terutama tentang itu ... iya, itu. Meskipun Agnes kerap memberiku peluang untuk melakukan “itu”, tapi aku masih berpikir dua kali untuk melakukan dengannya. Lalu, pagi tadi Iva mengejutkanku dengan keputusannya yang mendadak pengen menikah. You know, katanya dia sudah mendapat cowok yang mirip Eros dan dia siap menikah dengan cowok itu. Hanya karena mirip Eros. What the f*ck!
What happened to my girls? Kenapa semua wanita dalam hidupku harus tergila-gila pada Eros? Apa sih hebatnya Eros? Wajah? Jelas lebih ganteng aku ke mana-mana. Aku memiliki wajah blasteran, idaman sebagian besar wanita di negeri ini. Body? Pasti aku yang menang. Aku lebih tinggi delapan sentimeter darinya yang hanya memiliki tinggi 175 sentimeter. Meskipun aku dan Eros sama-sama punya bentuk tubuh proporsional dengan segala bentuk roti sobek di perut dan bisep yang menonjol dan berlekuk, aku percaya akulah yang lebih keren jika diadakan survey pembanding.
“Ray, ada apa? Kok kamu kayak orang bingung begitu?” Pertanyaan Agnes menyentakku. Aku tidak bingung, hanya kaget dan merasa bersalah. Kecelakaan itu pasti karena Iva kepikiran penolakanku atas keinginannya.
Aku bangkit dari duduk, kemudian meraih kunci mobilku. “Aku harus ke rumah sakit. Iva kecelakaan.”
“Aku ikut denganmu ya.” Kulihat Agnes ikutan panik. Panik membenahi rambut dan lipstiknya yang telah luntur setelah kami berciuman panas tadi. Oh, God!
“Terserah kamu. Kalau kamu ikut bakalan bete. Aku pasti akan lama di sana. Mungkin sampai pagi.” Kuberi Agnes peringatan pahit. Maksudku supaya ia tidak jadi ikut. Namun, ia bersikeras menemani. Terserahlah.
Lobi Gracious Grow sudah sepi ketika aku dan Agnes melintasi ruangan itu. Iya, tentu saja sudah sepi, sudah hampir jam 19.00. Hanya tersisa dua orang satpam yang berjaga di sana yang menyapa kami dengan ramah. Aku segera menuju area parkir VIP di mana mobilku terparkir di sana. Berusaha untuk tetap tenang, tapi kenyataannya hatiku tidak bisa. Perasaan was-was mencengkeram diriku di sepanjang perjalanan. Apa yang akan terjadi pada Iva jika aku tidak mengizinkannya menikah? Baru mengemukakan pendapat tidak setuju saja, Iva mengalami kecelakaan. Aku takut Iva nekad seperti tiga tahun lalu. Seandainya Nala tidak tergoda untuk berselingkuh dengan Eros, mungkin Eros bisa menjadi saudara laki-laki yang tidak pernah kumiliki. Damn you!
Kekecewaanku pada Nala dan Eros kembali mendenyutkan sakit di d**a ini. Di sepanjang langkahku menuju ruang perawatan Iva, aku terus mengutuki mereka berdua. Dan ... wow! What the hell is she doing here? Kejengkelanku terpecahkan ketika aku benar-benar menemukan wanita yang membuat darahku memanas dan geram.
“Kamu apain Iva?” Aku tidak mau mendengar apa pun alasan Nala berada di sini bersama Iva. Jika ia tahu Iva dirawat, kenapa dia tidak menghubungiku? Kenapa berita kecelakaan Iva harus aku dengar dari polisi sementara Nala mengetahui? Sebegitu tidak sukanyakah dia kepadaku?
Kulihat keterkejutan di wajah Nala. Raut wajahnya seketika menegang dan matanya berkilat tajam. “Kamu tadi nanya apa, Mas? Enggak salah kamu marah-marah ke aku?”
Tentu salah. Aku sadar betul kalimat tanya yang kulontarkan kepadanya tidak relevan. Aku sendiri merasa aneh dengan perasaanku ini. Mungkin tidak seharusnya aku marah-marah, tapi aku kecewa. Tiba-tiba saja bayangan Nala telanjang di atas tempat tidur dan bercinta dengan Eros membuatku ingin muntah. Sontak hal itu meningkatkan kuantitas emosiku.
“Kamu masih dendam sama Iva karena Iva yang membeberkan perselingkuhan kamu dengan Eros?” tanyaku dengan sarkasme.
“Kamu ngomong apa sih, Mas? Kenapa kamu marah sama aku? Apa hubungannya aku dengan kecelakaan adik kamu? Bukannya berterima kasih karena aku sudah mau menunggui, kamu malah marah-marah enggak jelas.”
Sumpah, aku tidak memercayai Nala menolong Iva dengan tulus. Nala membenci Iva, begitupun sebaliknya. Great! Sekarang, sumber dari segala masalah itu menampakkan diri. Eros dengan berani masuk ke ruangan ini. Pasti Nala sudah mengumumkan keberadaannya di sini kepada mantan sahabat terbaikku itu. Maaf, kali ini aku sedang tidak ingin berbasa-basi. Akhirnya kuambil keputusan ekstrem mengusir mereka dari sini. Aku bahkan tidak ingin menanggapi ucapan terakhir Nala yang sangat kasar. Sialnya, hatiku malah semakin semrawut setelah mereka angkat kaki. Semua ucapan Nala seperti gaung yang memenuhi telinga.
“Mas.”
Panggilan Iva membuyarkan keresahanku tentang sang mantan dan selingkuhannya. Aku segera menghampiri Iva, berdiri di sisi ranjangnya. Wajah Iva tampak memprihatinkan. Dahinya diperban, mata kirinya lebam, dan terdapat beberapa luka gores di pipi.
“Iva, maafin Mas, ya. Mas—“
“Mbak Nala Mana?”
Nala? Aku terperangah. Apakah ia tahu yang menungguinya tadi adalah Nala? Aneh, tadi kan Iva belum sadar atau jangan-jangan .... “Kenapa kamu tanya soal Nala?”
“Iva mau ketemu Mbak Nala, Mas.”
“Untuk apa? Nala sudah pergi.”
Apa sih maunya si Iva ini? Kenapa nanya-nanya soal Nala terus? Tidak tahu apa kalau kakaknya ini sedang terombang-ambing dalam lautan emosi gara-gara perempuan itu?
“Iva mau ketemu Mbak Nala, Mas.” Tiba-tiba Iva menangis. Aksi seperti ini yang membuatku selalu lemah. Aku paling tidak suka melihat adikku menangis.
“Iva, Mas tidak mau—“
“Mas, tolong bawa Mbak Nala ke sini. Iva mau bicara sama dia.”
Jadi, topiknya sekarang berganti ke Nala? Iva rupanya sudah lupa dengan keinginannya untuk menikah dengan pria mirip Eros.
“Kalau Mas enggak mau membawa Mbak Nala ke sini, biar Iva sendiri saja yang akan menemuinya.” Iva berusaha untuk bangkit, tapi aku segera menahannya.
“Mas janji akan membawa Nala menemui kamu, tapi tidak sekarang. Sekarang sudah malam, Iva. Nala butuh istirahat. Kamu juga.” Aku berusaha memberi pengertian pada Iva meskipun aku tidak tahu bagaimana cara untuk membawa Nala ke sini setelah kejadian tadi.
“Iya, Iva. Besok Mas Ray akan membawa Mbak Nala ke sini.” Agnes nyelonong masuk dan sengaja berdiri di sampingku.
Aku mengembus napas sambil membuang muka dari Agnes. Nih, cewek sok akrab banget sama Iva, padahal delapan tahun lalu dia pernah menyebut Iva sebagai hama, socially awkward, dan entah apa lagi. Belakangan ini aku dan Agnes memang sudah beberapa kali bertemu meskipun tidak intens. Hanya pertemuan biasa dengan kualitas seadanya. Tidak ada aktivitas seksual yang berlebihan yang mengiringi pertemuanku dengannya. Sebatas kissing, necking, dan petting. Aku pria dewasa dan pernah menikah. Kurasa wajar jika aku menginginkan kebutuhan biologisku terpenuhi. Namun, aku tidak bisa melakukannya dengan Agnes. Selain itu, aku belum ada niat untuk menjalin hubungan serius dengan wanita mana pun selama kenangan bersama Nala masih melekat erat di ingatanku. Percaya atau tidak, Nala sudah membuatku kehilangan kewarasan. It’s all greek to me!
“Mas ....” Sorot mata Iva meredup oleh kekecewaan. Aku tahu itu.
“Agnes hanya kebetulan sedang ada urusan di kantor GG. Begitu mendengar kabar kamu ada di rumah sakit, kami langsung ke sini,” jelasku berusaha menguapkan keresahan Iva.
“Oh.” Hanya itu tanggapan Iva selanjutnya. Iva mengunci mulutnya sampai aku mengantarkan Agnes pulang. Iva bukan anak kecil lagi yang mudah dibodohi dan dia pasti tahu apa yang kukatakan tadi adalah bohong.
***
Sampai pagi ini aku masih kepikiran soal Iva yang bersikeras ingin menemui Nala. Biasanya, Iva selalu menceritakan masalah apa pun yang sedang dia hadapi padaku, tapi semalam dia bungkam. Dia pun memintaku untuk pulang dan membiarkan Bi Surti, salah satu ART di rumah kami, menemaninya di rumah sakit. Saranku untuk menambah penjaga keamanan pun ditolaknya. Namun, diam-diam kulakukan juga. Aku tidak mau mengambil risiko.
Alasan Iva yang belum jelas ingin bertemu mantan kakak iparnya terbawa sampai ke ruang kerjaku di GG. Saking keruhnya isi kepalaku, aku nyaris tidak menyadari Ollin yang sudah nongkrong di ruangannya dan terlihat lebih segar dari kemarin. Ide untuk mencari tahu tentang kecelakaan Iva kemarin mendadak terlintas. Bego, seharusnya dari semalam aku mencari tahu soal itu. Ya, telat sedikit enggak apa-apalah.
“Masa gitu aja enggak tahu sih, Pak? Beritanya dari semalam sudah viral lho.” Ollin malah membuatku seperti orang paling t***l sedunia yang tidak tahu apa-apa. Literally, aku memang tidak tahu apa-apa dan tidak berusaha mencari tahu tentang kecelakaan itu sampai aku tidak lagi bisa mikir dan overwhelmed.
“Ini lho, Pak. Videonya. Bu Nala dan Pak siapalah itu namanya, teman Bu Nala, dan Abang Ojol waktu narik Iva keluar dari Mobil.” Ollin memberikan ponselnya yang tengah menayangkan video penyelamatan Iva. “Segitu banyaknya orang, yang nolongin cuma bertiga. Lainnya malah sibuk nonton, ngambil gambar, dan memvideokan.”
Ya, namanya juga kita hidup di Konoha. Sudah biasa kecelakaan lalulintas jadi tontonan. Namun, kurasa di seluruh belahan bumi mana pun akan sama. Yang pertama dilakukan saat melihat kecelakaan adalah mempertimbangkan risiko penyelamatan itu sendiri. Aku bersyukur masih ada yang peduli walaupun hanya segelintir orang. Namun, kenapa harus Nala? Sedang apa Nala dan rekannya itu ada di sana?
“Semalam saya sempat memberikan keterangan pada polisi setelah bertemu Iva di rumah sakit, tapi pihak polisi tidak memberitahu tentang ini.” Semalam aku memang bertemu kenalanku, seorang polisi yang kebetulan menangani kasus kecelakaan Iva. Kecelakaan tunggal itu mestinya hanya menjadi kasus kecelakaan biasa andaikan polisi tidak menemukan botol vodka yang masih berisi setengahnya di dalam mobil Iva. Ada dugaan Iva mabuk saat berkendara. Maka dari itu, pihak polisi meminta hasil tes urin Iva yang mungkin akan dikeluarkan pagi ini oleh rumah sakit. Jika benar Iva mabuk saat itu, Iva dalam masalah besar. “Bu Nala sudah datang belum? Kalau sudah datang, tolong minta dia untuk menemui saya. Saya butuh keterangannya juga.”
“Baik, Pak. Saya cek dulu. Kalau Bu Nala sudah datang, saya minta Bu Nala untuk segera ke sini.”
“Iya. Terima kasih.”
“Sama-sama, Pak.”
Beberapa puluh menit menunggu dalam gelisah, akhirnya wanita meresahkan itu muncul di ruanganku. Goddamnit! Kenapa wajahnya harus seimut itu?! Dia tampak bersinar meskipun tanpa make up tebal. Awal 30-an memang lagi imut-imutnya.
“Silakan duduk.” Aku mempersilakannya duduk. Namun, Nala hanya maju beberapa langkah dari pintu.
“Ada apa Bapak memanggil saya? Saya sedang banyak kerjaan.”
“Saya hanya ingin bicara sedikit soal kecelakaan Iva.” Dan aku tetap berusaha bertahan di kursiku.
“Bicara soal apa lagi? Apa Bapak mau menuduh saya sebagai penyebab si Bumblebee nabrak pohon?”
Busyet deh, Nala mulai ngegas. Salah aku juga. Semalam, entah kenapa aku ingin meluapkan kemarahan kepadanya. Hanya karena mengingat dia bersama Eros, kadar kecemburuanku meningkat tajam. Cemburu? Oh, tidak. Aku tidak cemburu.
Oke. Kalau dia tidak mau mendekat, aku yang mendekat. Enggak enak saling bersahutan dari jarak jauh. Aku dan Nala tidak sedang berantem. Aku anggap begitu. Aku berjalan mendekati Nala. Tatapan penuh antisipasinya menyerangku terlebih dahulu sebelum bibir tipisnya yang berkilau mulai berkicau lagi.
“Saya tidak bekerja untuk perusahaan Bapak. Jadi, jangan membuat saya membuang waktu hanya karena Bapak ingin bicara yang tidak penting.” Kata-katanya mencoba menyerangku.
“Saya hanya ingin tahu kenapa Anda dan rekan Anda ada di sekitar tempat kejadian kecelakaan kemarin?” Aku menghentikan langkah tepat di hadapan Nala dan membuatnya sedikit mendongak untuk bisa melihat wajahku.
“Anda kan punya banyak mata dan telinga. Kenapa Anda tidak meminta bantuan satu mata dan satu telinga Anda untuk mencari tahu?” Nala justru semakin menantangku.
“Pasti akan saya lakukan.”
“Lalu, apa lagi?”
Nala menyilangkan tangan di atas perutnya berlagak menantang sementara bibirnya yang dipulas lipstik berwarna pink pucat dan tampak basah dibiarkan sedikit terbuka. Ini tantangan atau cobaan? Nala tidak menyadari apa yang dia lakukan telah berhasil membuat dadaku bergemuruh. Napasku pun nyaris memburu. Aku bahkan harus mundur selangkah untuk menutupi reaksi itu dari Nala. Pikiran-pikiran sensual tentang tubuh Nala dengan cepat mendominasi otakku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak terjerumus ke dalam hasrat gilaku.
“Iva ingin bertemu denganmu.” Akhirnya aku bisa berpikir logis lagi.
“Aku tidak mau bertemu Iva. Tidak dalam waktu dekat ini.” Penolakan Nala bukan hanya diperdengarkan, tapi juga diperlihatkan pancaran mata dan air mukanya yang mendadak muram. Aku bisa mengerti kalau Nala tidak mau bertemu Iva. Namun, Iva sepertinya ingin menyampaikan suatu yang penting pada Nala dan aku tidak tahu apa itu.
“Mungkin Iva hanya ingin berterima kasih kepadamu. Aku harap kamu mau bertemu dengannya.”
Nala menggeleng dan aku tahu apa artinya itu. Aku akan kesulitan membujuknya.
“Na, aku tahu kamu masih sakit hati sama Iva, tapi kamu bisa kan kesampingkan dulu masalah itu? Iva—“
“Iva, Iva, dan Iva terus yang Mas pikirin.” Nala memotong ucapanku. Nada bicaranya terdengar meninggi dan dia mulai emosional. “Mas hanya peduli pada Iva. Mas enggak pernah peduli dengan yang lainnya. Apa pun yang Mas lakukan hanya demi Iva.”
Tidak benar aku hanya peduli pada Iva. Karena sebenarnya, aku juga sangat peduli kepada Nala. Bahkan, lebih dari Iva. “Kamu salah, Na. Aku peduli banget sama kamu.”
“Kalau Mas peduli padaku, Mas seharusnya mau mendengarkanku. At least, Mas bisa mencari bukti dulu sebelum menuduhku berkhianat. Kurang apa sih aku sebagai istri dan kakak ipar? Hanya karena Eros menolak cintanya, dia mencari kambing hitam untuk menyembuhkan luka hatinya.”
Nala mengungkit masa lalu dan sekarang dia menyudutkan Iva. Padahal, sudah jelas kenyataannya. “Nala, itu sudah berlalu dan keinginan Iva sekarang tidak ada kaitannya dengan hal itu.”
“Bullshit!” Sumpah, aku hampir melompat dengan sergahan Nala. So rude. “Sudah cukup hidupku berantakan gara-gara adik kesayangan Mas itu. Aku tidak mau lagi berurusan dengannya, juga dengan Mas. Permisi.”
Nala pikir dia bisa pergi begitu saja setelah meneriakiku? Tidak. Aku menahan lengannya ketika dia berbalik akan pergi. Emosi yang meningkat dan menyebabkan rasa jengkel memicu diriku untuk berbuat kasar kepadanya. Tanpa kusadari aku membalik tubuh Nala dan mendorongnya ke dinding di samping pintu. Kilat terkejut disertai ketegangan tampak di mata dan wajahnya yang mendadak memucat.
“Apaan sih kamu, Mas?” Nala berusaha menepis tanganku yang masih memegangi kedua lengan dan menahan geraknya.
“Kamu tahu, Nala, kamu pun telah membuat hidupku bagai di neraka. Karena ulahmu, hidupmu dan hidupku jadi berantakan,” kataku dengan geram.
“Karena ulahku? Mas ....”
Kulihat mata Nala mulai berair. Sebentar lagi dia pasti bakalan nangis. Air mata buayawati. Aku tidak akan berempati untuk kepalsuan ini. Aku paksakan mata ini menatapnya dengan berang.
“Semua tudingan kamu padaku tidak berdasar, Mas,” lanjut Nala.
“Kamu telanjang di atas ranjang kita bersama Eros. Tidak mungkin kalian hanya sedang bermain ular tangga, ‘kan?” Kadung kesal, sekalian saja kuluapkan kemarahanku.
“Aku tidak bugil, Mas. Aku memakai baju. Cocktail dress merah yang kamu belikan saat kamu melakukan perjalanan bisnis ke New York. Dan hanya aku yang berada di atas ranjang, Eros tidak. Aku naik ke ranjang karena aku takut ada kecoa. Eros hanya—“
“Aku sudah mendengar cerita basi itu puluhan kali.” Aku memotong cerita klise Nala yang membuatku muak. Aku mencondongkan tubuhku ke depan dan mendekatkan wajah ke wajahnya. Ujung hidungku nyaris menyentuh ujung hidungnya. Ya Tuhan, aku sangat merindukan aroma lili dan carnation ini. Harum yang menyeruak dari tubuh Nala membuatku meremang. Aku takut sesuatu yang besar akan mengujiku di kala hati ini sedang benar-benar marah. “Berhentilah playing victim,” cetusku kemudian.
“Kalau begitu, jangan jadikan aku korban gaslighting.”
Gaslighting? Dia pikir aku sedang memanipulasinya? Harus kuberi pelajaran nih mantan.