Nala
Tatapan Mas Ray membuatku merinding. Dia mungkin tidak terima dengan tuduhanku, padahal jelas sekali kalau dia sedang memanipulasi keadaan. Mas Ray kerap memaksaku mengakui kesalahan yang tidak pernah kulakukan dan parahnya, dia yang bermain sebagai korban. Bukankah korban yang sebenarnya adalah aku?
Mas Ray bisa me-manage perusahaan raksasa seperti Gracious Grow, seharusnya lulusan Management universitas Standford itu juga bisa me-manage pemikirannya untuk tidak mudah menuduh. Namun, Mas Ray tidak mau berpikir logis menanggapi kasus kami. Dan semua ini karena Iva yang bicara dan menghasut kewarasannya.
Kurasa sekarang aku akan menangis. Lagi dan lagi Mas Ray menekankan tuduhannya padaku. Di saat aku sedang berjuang menahan air mata agar tidak meluncur bebas dan membuatku tampak bodoh di hadapannya, Mas Ray tiba-tiba mengejutkanku. Tanpa kusadari bibir Mas Ray sudah menyentuh bibirku. Aku membelalak. Apa ini?!
“Mas ....” Aku berusaha menghindar, tetapi punggungku sudah menyentuh dinding, begitupun dengan kepalaku. Aku terperangkap di antara kedua tangan Mas Ray yang menahan lenganku dan bibirnya yang menyerbu tiba-tiba.
“I miss this,” kata Mas Ray di bibirku. Hangat napas Mas Ray yang kurasakan membuatku lebih meremang. Aku tidak menghendaki hal ini. Sungguh aku tidak mau berlaku seperti perempuan murahan yang bisa langsung terlena hanya karena satu ciuman. Namun, lututku terasa gemetaran. Seluruh permukaan kulitku merinding dan jantungku berdegup kencang.
“We can’t do this, Mas.”
Alih-alih mendengarkan peringatanku, Mas Ray justru kembali menekan bibirku dengan bibirnya. Satu tangannya yang kemudian bergerak ke tengkuk, menyelinap ke dalam rambutku yang tergerai, dan meremasnya pelan menambah ketidakberdayaanku. Bibir kami yang bertemu lagi dan lagi membuat perutku bergolak. Setiap kali dia mengunci bibirku dengan hisapan dan cecapan, setiap kali itu pula aku ingin menjerit antara ingin melepaskan diri dari ketidakpatutan atau melepaskan gairah yang telah lama tertahan.
Aroma khas tubuh Mas Ray menyebarkan efek opium yang menggugah kembali jiwa kecanduanku akan dirinya. Perlahan-lahan tensi penolakanku menurun sampai akhirnya aku bisa merasakan bibir dan lidah Mas Ray di mulutku menjadi semakin manis dan lembut. Ya, Tuhan. Apa yang terjadi pada diriku? Kenapa aku tidak bisa menolak sentuhannya, padahal aku merasa sangat tersakiti oleh tuduhannya?
Jangan! Peringatan menggema di kepalaku ketika tangan Mas Ray yang lain turun dan memeluk pinggangku, menarikku hingga tubuh kami merekat, dan aku bisa merasakan bukti gairah Mas Ray dari balik celananya. Ya, Lord. Aku juga merindukan hal ini. Sangat. Tanpa bermaksud mengizinkan Mas Ray melakukan apa yang kami rindukan, secara spontan, kedua tanganku yang sedari tadi kugunakan untuk menahan d**a Mas Ray agar tidak menyentuh dadaku akhirnya kubebaskan. Satu tanganku mengalungi leher Mas Ray, dan lainnya terjun ke bawah ke pusat hasrat Mas Ray. Aku hanya membelai ringan area sensitif itu meskipun aku gemas ingin meremas dan melakukan handjob. Sementara itu, tangan Mas Ray bergerak dengan lancang menyelusup ke balik blusku, menemukan puncak p******a yang menegang, dan memilinnya pelan. Percayalah, aku sangat malu dengan hal ini. Mas Ray jadi tahu kalau aku pun menginginkan hal yang sama.
“Mas, hentikan.” Kucoba menghentikan aktivitas ini walaupun desahan yang lolos dari mulutku terdengar sebaliknya. Duh, bodoh benar sih aku!
“No, we won’t.” Mas Ray menegaskan ucapan yang ia lontarkan di telingaku dengan tindakan yang ia lakukan kemudian. Dia kemudian menurunkan tangan ke rokku dan menariknya ke atas, lalu menyentuh, membelai intiku yang berdenyut dan mungkin sudah basah. Sial, rasanya aku ingin menutupi wajah dengan ember saat ini. Namun, aku bersyukur dia tidak menelanjangiku karena aku tidak akan bisa menolak jika ia melakukan hal itu.
Mas Ray mengangkat tubuh dan mendudukkanku di kabinet kayu di samping tempat kami b******u. Kedua kakinya sudah berada di antara kakiku dalam waktu singkat dan bukti hasrat kami berdua sudah saling menempel dan menggesek. Sementara itu, bibirnya dengan rakus terus menginvasi bibirku hingga terasa sedikit sakit dan bengkak. Ciuman perlahan dan dalam bisa menjadi begitu panas, sangat dahsyat. Jemari Mas Ray sangat kuat mencengkeram rambutku hingga kulit kepalaku terasa nyeri, tapi aku tak peduli. Aku begitu ingin melahapnya dan aku menginginkan lebih. Aku ingin semua hal yang bisa diberikannya padaku. Aktivitas seksual tanpa penetrasi, belum, hampir membuatku meledak. Aku tidak sabar. Keinginanku untuk menerima serbuan gairah Mas Ray sudah mencapai titik di mana aku akan mengabaikan segalanya termasuk rasa sakitku.
Aku lancang membuka sabuk kulit yang melingkar di pinggang Mas Ray, lalu kulepas pengait celana katun hitamnya, dan kuturunkan resletingnya perlahan-lahan. Aku begitu menggebu-gebu. Namun, tiba-tiba Mas Ray menahan tanganku di sana dan ia menepis tanganku sesaat kemudian. Hal itu membuatku malu sekaligus tersinggung. Dan yang lebih menyakitkan dari itu adalah saat Mas Ray berkata, “Aku tidak akan bercinta dengan wanita yang pernah “dipakai” temanku sendiri.”
Seketika tubuhku membeku, begitupun dengan hasrat yang semula menggebu-gebu. Aku tidak ingin apa pun lagi dari Mas Ray. Sudah cukup dia menyakitiku dan pada akhirnya aku hanya dipermalukan seperti ini. Bego! Bego! Aku menyumpahi diriku sendiri dalam hati. Rasa panas menggelenyar di seluruh tubuh hingga ke mataku. Mas Ray sukses membuatku jadi orang bodoh.
“Sialan kamu, Mas!” aku mendorong d**a Mas Ray dengan kedua tangan, lalu turun dari kabinet dan merapikan rok dan blusku. Secepatnya aku angkat kaki dari ruangan Mas Ray.
Tidak ada yang sangat kulakukan saat ini selain menangis. Namun, aku tidak akan mempermalukan diriku sendiri menangis di dalam gedung ini. Aku bahkan tidak memedulikan sapaan Ollin yang terlihat kaget melihatku. Mungkin karena penampilanku yang sedikit acak-acakan atau, bisa jadi, karena wajahku bersemu merah menahan marah. Entahlah.
“Kenapa, Mbak? Kok mukanya kusut kayak koran bungkus kacang gitu?” Ellard pun bertanya tanpa perasaan kepadaku ketika aku sudah kembali ke ruang kerjaku sekaligus ruang kerjanya.
“Yang sopan dong kalau nanya,” tuturku dengan nada geram dan tatapan tak bersahabat.
Ellard langsung bereaksi. Ia bangkit dari duduknya, kemudian berdiri di depan mejaku. Kedua tangannya saling menggenggam di depan tubuhnya. Kulihat sekilas wajahnya tampak memelas.
“Maafin Ellard, Mbak. Ellard enggak bermaksud membuat Mbak tersinggung.”
Ya, Tuhan. Aku menghela napas. Pertanyaan Ellard itu pertanyaan biasa dan kami, aku bersama rekan-rekan di KAP Erik Julian, sudah biasa dengan candaan ringan seperti itu. Entah kenapa pagi ini rasanya seperti semua orang sedang berusaha menyakitiku. Semuanya gara-gara Mas Ray. Si b******k itu sudah memorakporandakan perasaanku sepagi ini.
“Enggak, Lard. Kamu enggak menyinggung saya. Hanya saja pagi ini saya sedang kacau. Sorry ya, Lard.”
“Beneran Mbak Nala enggak apa-apa? Kalau Ellard ada salah—“
“Enggak. Kamu enggak salah. Sudahlah. Kita kerjakan lagi pekerjaan kita.”
“Iya, Mbak.”
Dan setelah Ellard duduk lagi, aku baru kepikiran kalau sebaiknya aku tidak berada di sini. Hal memalukan tadi di ruangan Mas Ray bisa menjadikanku tidak bisa bersikap profesional. Aku akan mundur dari tugas ini.
***
“Kamu yakin dengan keputusan kamu ini, Na?” Pak Erik menatapku ragu, tapi aku sangat yakin dengan keputusanku.
“Apa sih yang sebenarnya membuat kamu ingin mengundurkan diri? Saya pikir kamu enggak perlu sampai mengundurkan diri begini? Kamu itu salah satu akuntan handal dan nilai KPI-mu itu bagus. Saya tidak terima pengunduran diri kamu.” Pak Erik meremas-remas surat pengunduran diriku, lalu melempar ke tempat sampah di pojok ruangan.
Ya, ampun, sampai segitunya Pak Erik ingin aku tetap bekerja hingga mengungkit soal nilai Key Performance Indicators segala. Aku tahu alasan dia mempertahanku untuk tetap bekerja di sini, pasti karena ada campur tangan Eros. Masa bodoh mau dibilang nepotisme. Pekerjaanku selama ini tidak pernah mengecewakan. Nepotisme hanya jalannya.
“Tapi saya merasa tidak nyaman bekerja di kantor GG, Pak. Bapak tahu—“
“Iya, saya tahu,” potong Pak Erik. Ia lalu mengembus napas dan memutar bola mata seperti sedang berpikir keras sebelum menggelontorkan ide. “Kamu keluar dari GG Project. Kamu di sini mengurusi pajak.”
“Deal. Saya akan tetap di sini mengurus pajak perusahaan.”
Aman. Aku menyerahkan tugasku sepenuhnya kepada Ellard dan manajer senior yang bertanggung jawab atas audit Gracious Grow. Setelah kujelaskan alasanku tidak bisa bekerja di sana, tentunya tanpa menjelaskan kejadian terkutuk pagi itu, akhirnya mereka mengerti. Kekhawatiran tidak bisa bekerja secara profesional, itulah penyebabnya.
Di kantor, aku masih bisa tersenyum ceria dan menyembunyikan duka baruku. Namun, saat aku kembali ke apartemen dan sendirian, semua kenangan pahit itu berputar-putar lagi di kepala. Aku duduk di birai jendela mengamati lampu-lampu kendaraan yang mengular di jalanan. Biasanya lampu-lampu mobil itu tampak indah kalau dilihat dari atas sini. Namun, malam ini aku tidak melihat keindahan tersebut. Mungkin gerimis telah membawa serta keindahan malam di kota ini. Mungkin juga karena hatiku kembali merasakan sakit yang luar biasa.
Bisa-bisanya Mas Ray melakukan semua itu padaku. Dia menipuku, memanfaatkan kelemahanku, dan mempermalukanku. Aku yang bodoh karena berpikir Mas Ray masih menyimpan sisa rasa untukku. Seharusnya aku sadar kalau Mas Ray kini telah bersama Agnes. Hasrat menggebu telah menutup pemikiran rasionalku. Bodoh! Tidak terasa wajahku sudah basah oleh air mata. Jahat kamu, Mas.
Bunyi bel yang mengejutkan membuatku menyeka air mata dengan lengan blazer. Aku sudah bisa menebak siapa yang mengunjungiku di jam-jam seperti ini. Tidak perlu berpenampilan manis untuk menghadapinya. Dia bahkan sering melihat penampilan terjelekku selama tiga tahun terakhir ini. Eros melayangkan senyuman manisnya ketika celah pintu terbuka semakin lebar.
“Bawa apaan, Bang?” pandanganku langsung tertuju ke tangan Eros yang memegang kotak cokelat besar. Sepertinya sih kotak piza.
“Piza.” Eros nyelonong masuk. “Kamu belum makan, ‘kan?” tanyanya sambil menoleh ke belakang ke arahku.
Aku menggeleng lalu menutup pintu. Aku berjalan dengan malas mengikuti langkah Eros yang berakhir di sofa ruang tamu. Kemudian aku menjatuhkan diriku duduk di sampingnya, bersandar ke punggung sofa, dan membiarkan kepalaku menatap langit-langit.
“Bang Erik cerita, katanya kamu keluar dari GG Project. Ada masalah dengan Ray?” nada menyelidik mengiringi pertanyaan Eros.
Sebenarnya aku bingung mau menjawab apa? Masa iya aku harus menceritakan peristiwa kemarin pagi itu? Tentu saja tidak.
Aku menegakkan punggung lalu menoleh dan menatap Eros. Eros ganteng juga. Iris pria berdarah Tionghoa-Batak itu segelap rambutnya dan tampak kontras dengan kulit putihnya. Senyumannya bertambah manis ditambah dengan lesung pipi. Tubuh atletisnya pun, aku percaya, menjadi daya tarik dan diidamkan banyak wanita. Kegantengan hakiki milik Asia ada dalam dirinya. Dia juga enggak kalah tajir dari Mas Ray. Ia mengelola perusahaannya sendiri walaupun tak sebesar perusahaan Mas Ray.
“Abang suka enggak sama Nala?” Aku menembak langsung ke intinya.
Eros mengernyit dan menatapku heran. Mungkin dia pikir aku sudah gila menanyakan hal seperti itu, tapi kemudian dia tertawa. Apa maksudnya?
“Ngapain kamu nanya kayak gitu?” Eros menutup mulutnya dengan punggung tangan berusaha menghentikan tawa. Ih, menyebalkan. Dia malah menertawakanku. “Ya, jelas aku suka. Setiap cowok yang melihat kamu pasti suka sama kamu. Kamu cantik, pintar, dan baik. Hanya cowok bodoh yang tidak menyukai kamu,” imbuh Eros membuat dadaku mengembang senang.
“Kalau Abang suka sama Nala, kenapa Abang enggak nikahin Nala?” Ya, ampun! Pertanyaan apa pula yang tiba-tiba nyelonong dari mulutku ini?