5. Dibalas Tuduhan

1862 Kata
Nala Selama beberapa hari ini aku disibukkan oleh workshop tim audit yang akan terjun ke perusahaan Mas Ray. Proyek audit ini sendiri kemudian diberi nama GG Project. Entah bagaimana ceritanya, pihak Gracious Grow meminta inspeksi dipercepat karena seluruh dokumen yang dibutuhkan sudah siap. Keren. Dalam waktu kurang dari tiga minggu, dokumen-dokumen itu kini tengah menantang keahlian tim auditor KAP Julian and Partners. Dan mengingat aku adalah mantan istri CEO Gracious Grow, kemungkinan aku bekerja tidak netral dan tidak profesional itu pasti akan ada. Maka dari itu, aku berubah pikiran untuk tidak mau memimpin inspeksi dan observasi. Aku meminta pada penanggung jawab GG Project supaya ditugaskan hanya untuk memeriksa keabsahan dokumen. Email untuk memeriksa dokumen-dokumen tersebut sudah kukirimkan pada CFO Gracious Grow. Rencananya hari ini aku dan rekanku, Ellard, akan mulai memeriksa dokumen tersebut. Menumpang mobil sedan biru tua tahun 90-an milik Ellard, aku pergi bersamanya ke Gracious Grow. “Gimana rasanya naik akuarium saya, Mbak?” Pertanyaan Ellard membuatku tersenyum. Sebenarnya kepengen ngakak, tapi aku tidak mau membuat pria berkulit sawo matang itu tersinggung. Ellard menyebut mobil berjendela kaca beningnya dengan akuarium. “Enak, Lard. Nyaman,” sahutku sambil menepuk-nepuk jok yang kenyataannya keras, tidak ada empuk-empuknya sama sekali. Seandainya mobilku tidak sedang diservis, aku pasti yang akan memintanya memakai mobilku untuk perjalanan “dinas” yang tidak sampai empat puluh menit dari kantor kami ini. “Biasanya sih sering mogok, tapi tumben pagi ini lancar banget. Mungkin karena pagi ini saya bawa perempuan cantik kayak Mbak Nala kali, ya?” Aku mengernyit lalu tersenyum lagi. “Bisa saja kamu, Lard. Ayo, ah, kita sudah telat nih!” “Iya, Mbak.” Aku dan Ellard segera turun dari mobil dan meninggalkan pelataran parkir menuju ke lobi Gracious Grow sambil menjinjing laptop dan tas kerja. Tidak kuduga, Axel Chandra, CFO Graciuos Grow sudah menanti kedatangan kami di sana. Aku dan Axel sudah saling mengenal sebelumnya, tapi Ellard belum. Aku berbasa-basi mengenalkan Ellard pada penanggung jawab keuangan Graciuos Grow tersebut sebelum ia membawaku ke ruangan khusus audit. Di sana, aku dan Ellard ditemani salah satu stafnya yang akan menjadi saksi dan akan menandatangani berkas hasil pemeriksaan kami. Aku mengembus napas. Denyut pusing langsung menyerbu kepalaku melihat tumpukan map berisi berkas dan sebuah SSD di atas meja yang akan segera menjadi meja kerjaku dan Ellard. Namun, aku bersyukur dengan kesibukan yang akan kujalani. Aku tidak perlu cemas akan bertemu Mas Ray dan kembali membayangkan kenangan panas bersamanya. Seharian ini aku dan Ellard pasti akan terkurung di dalam ruangan ini. “Ada lagi yang dibutuhkan, Bu Nala?” Axel memastikan kebutuhan untuk pekerjaanku sudah terpenuhi. Ia beringsut ke depan mejaku setelah aku duduk di kursi yang ditunjuk. “Saya rasa cukup untuk saat ini.” “Baiklah. Saya akan memulai meeting dengan staf dari divisi keuangan dan marketing di lantai tiga. Jika Bu Nala menemui kendala atau membutuhkan sesuatu, jangan sungkan menghubungi saya.” “Iya. Terima kasih, Pak Axel.” Pria berwajah manis khas Timur itu kemudian meninggalkan kami. Peperangan dengan ratusan lembar kertas dan data elektronik pun dimulai. Aku percaya memeriksa keabsahan semua ini pun akan membutuhkan waktu berhari-hari. Benar saja, aku dan Ellard bahkan harus menghabiskan makan siang kami di ruangan ini. Kami tidak punya waktu untuk keluar. “Jam kerja kita sudah selesai, Mbak.” Ellard mengingatkan ketika jarum jam dinding besar yang menggantung persis di atas jendela menunjuk ke angka empat. “Mau lanjut lembur, Mbak?” “Memangnya kamu mau lembur, Lard? Saya sih oke aja. Kamu gimana?” “Tambah dua jam lagi, enggak apa-apa, Mbak.” Aku menatap ragu pada Ellard. “Yakin mau lanjut?” “Iya, Mbak.” “Teny gimana? Kamu kan harus mengantar dia pulang. Nanti dia ngamuk lho kalau enggak diantar pulang,” candaku sambil tertawa pelan. Sudah menjadi rahasia umum di kantor kami kalau dua pegawai dengan karakter bertolak belakang itu kini pacaran. “Bebep Teny kan sudah tahu kalau arjunanya sedang mengemban tugas, Mbak. Apalagi, saya sama Mbak Nala. Mana berani dia ngamuk, Mbak.” “Oke kalau begitu. Dua jam lagi ya.” “Asiaaap, Bosque!” Ellard mengacungkan jempolnya dan memperlihatkan air muka cerah seolah masih butuh tantangan lebih banyak untuk mengasah kemampuannya. Terkadang, aku merasa seperti punya banyak adik sejak menjadi bagian dari KAP Erik Julian. Mungkin karena usiaku yang sudah menginjak tiga puluhan dan aku pernah berumah tangga, jadi staf-staf muda seperti Ellard dan Teny sering curhat masalah mereka. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, aku senang kalau harus mencoba menjadi kakak. Asalkan adikku tidak seperti Iva. Pengacau. Ah, jadi ingat masa lalu lagi. Dadaku ini rasanya mau meledak setiap kali aku mengingat tuduhan bocah itu. Apa kurangnya aku sebagai kakak ipar sampai ia harus memfitnahku seperti itu? Sudahlah, semua sudah berlalu. Aku punya kehidupan baru yang lebih indah sekarang. Dua jam berlalu dengan cepat. Sialnya, mobil Ellard mogok di tengah jalan saat dalam perjalanan pulang. Keberuntungan membawa perempuan cantik tidak lagi ada. Namun, kami tetap bersyukur lantaran mobil itu sungguh tahu diri. Ia mogok pas banget di depan bengkel. Jadi, si mobil tua bisa langsung dicari penyakitnya dan diservis. “Mbak, kayaknya enak kalau kita nunggu sambil makan bakso.” Ellard menggelontorkan ide brilian sambil matanya menunjuk ke gerobak tukang bakso di seberang jalan. “Ide bagus, Lard. Kebetulan perut saya juga sudah mulai nagih nih.” “Enggak apa-apa, Mbak, makan bakso di pinggir jalan?” Ellard memandang skeptis. “Ya, enggaklah, Lard. Saya juga biasa kok makan bakso di pinggir jalan gitu. Kamu ini.” Aku menepis kekhawatiran Ellard. Mungkin Ellard pikir wanita sepertiku tidak pernah mau makan di warung pinggir jalan. Selama ini opini itu sudah terbentuk di benak orang-orang di sekitarku, padahal mereka tidak tahu kalau sebenarnya aku penikmat kuliner pinggir jalan juga. Aku dan Ellard memutuskan untuk makan bakso sambil menunggu mobil Ellard selesai diperbaiki. Kami berdua akan menyeberang jalan menuju warung bakso ketika tiba-tiba terdengar bunyi benturan keras dan decit suara rem yang menulikan telinga. Bekas gesekan ban di atas aspal pun bisa kulihat dengan jelas. “Ada mobil nabrak pohon, Mbak!” Seruan Ellard membuatku mengerjap. Aku menoleh ke arah mobil sport kuning yang mirip mobil Autobot Bumblebee dalam penampilan terakhirnya bersanding dengan Sam Witwicky di film Transformers. Mobil itu terlihat melintang di atas trotoar dan bagian depannya melesak, ringsek, menempel pada pada pohon besar di sisi Trotoar. Asap yang mengepul dari kap mesinnya memicu orang-orang di sekitar untuk berteriak. “Awas, meledak! Awas, meledak!” Namun, jantungku tiba-tiba berdenyut kencang dan aliran darahku seakan berhenti ketika aku menyadari aku mengenali mobil itu. Tiga tahun terlewati tidak membuat memoriku usang. Aku segera berlari menuju mobil itu. “Mbak Nala! Mbak!” Aku bahkan mengabaikan panggilan Ellard, begitupun dengan cegahan orang-orang yang dengan cepat berkerumun di sekitar mobil itu. “Bu, awas mobilnya bisa meledak!” Peringatan itu terus diteriakkan orang-orang, tapi aku tidak peduli. “Tidak. Mobil ini tidak akan meledak. Tolong bantu saya mengeluarkan dia!” Awalnya aku kesal ketika semua orang yang berkerumun hanya menonton. Jika takut mobil ini meledak, seharusnya jangan ditonton dan sebaiknya menjauh. Payah. Jarang sekali kutemui orang-orang berjiwa penolong sejati dan tulus di negeri Wakanda bagian selatan ini. Sampai akhirnya ada seorang pria paruh baya berjaket ojol dan Ellard yang datang membantuku, aku merasa lega. Ternyata, masih ada orang baik yang membantu kalau niat kita juga baik. Rasa sakit di hati ini masih ada dan justru semakin terasa perih. Namun, melihat Iva terbaring tak sadarkan diri di trotoar dengan separuh wajah penuh luka dan berdarah membuatku iba. Aku menepuk-nepuk pelan pipi Iva untuk memastikan dia masih bisa sadar. “Iva ... Iva ....” “Mbak Nala kenal sama cewek ini?” tanya Ellard yang berjongkok di sisi lain tubuh Iva. “Dia adiknya Pak Raymond.” “Oh.” Kulihat keterkejutan di wajah Ellard, tapi ia memilih untuk tidak bertanya lagi soal Iva. Cukup tahu saja dan itu sangat membantuku dalam suasana tak menyenangkan ini. Di saat yang sama kudengar selentingan negatif dari beberapa orang yang masih berada di sekitar tempat kejadian ini. “Lagi mabok kali nih cewek.” “Iya. Di dalam mobilnya ada botol miras.” Kira-kira seperti itulah selentingan yang kudengar. Jika benar Iva sedang mabuk, berani bener nih anak bawa mobil sendiri saat kepala sedang kleyengan. Tapi, bodo amatlah. Itu urusan Iva. Aku sudah tidak mau ikut campur lagi. Begitu ambulan tiba, mau tidak mau aku menemaninya sampai di rumah sakit. Meskipun begitu, aku tidak mau menghubungi Mas Ray. Kubiarkan saja polisi yang datang lebih dulu dari ambulan dan sempat meminta keterangan dariku menghubungi Mas Ray. Hampir satu jam aku menunggu Mas Ray di kamar rawat Iva. Sesekali kutengok gadis yang masih belum siuman itu dari balik gorden berwarna cokelat metalik yang mempartisi tempat tidur dengan ruang tamu mini. Aku bisa saja meninggalkan Iva, tapi rasanya tidak etis meninggalkan Iva yang belum sadar tanpa ada siapa pun yang menemani. Tidak berapa lama, kudengar suara derit yang secara otomatis mengalihkan pandanganku dari layar ponsel ke pintu yang terbuka. Oh, hell. Apa-apaan ini? Kenapa Mas Ray datang bersama Agnes? Apa ayank barunya Mas Ray itu Agnes? Bodoh, kenapa aku baru kepikiran sekarang? Ya, sudah pastilah Agnes ayank barunya. Secara, sebelum pacaran denganku dulu, Mas Ray kan pernah pacaran dengan Agnes meskipun hanya beberapa minggu lantaran Agnes lebih memilih melanjutkan cita-citanya menjadi model internasional dan terbang ke New York. CLBK ceritanya? “Kamu apain Iva?” Nada tajam yang mengiringi pertanyaan Mas Ray membuatku tersentak. Aku mengernyit. Datang-datang, ngajak perang. Sakit nih orang. “Kamu tadi nanya apa, Mas? Enggak salah kamu marah-marah ke aku?” Kilat mata Mas Ray seperti sedang mengintimidasi. Ia mengembus napas lalu menekan gigi hingga rahangnya tampak mengeras. Aku sungguh tidak mengerti kenapa dia menjadi berang begini. “Kamu masih dendam sama Iva karena Iva yang membeberkan perselingkuhan kamu dengan Eros?” Mas Ray menyergah sebelum aku sempat melontarkan pembelaan diri. Sialan. Kenapa sih Mas Ray harus membawa-bawa masa lalu? Keterlaluan. Dia ngomong pakai ngotot lagi. “Kamu ngomong apa sih, Mas? Kenapa kamu marah sama aku? Apa hubungannya aku dengan kecelakaan adik kamu? Bukannya berterima kasih karena aku sudah mau menunggui, kamu malah marah-marah enggak jelas.” Aku hilang kesabaran. Mas Ray lagi-lagi memojokkanku karena Iva. Menyebalkan. Seharusnya tadi aku biarkan saja Iva mati di dalam mobilnya. Percuma saja aku menolongnya kalau balasan Mas Ray seperti ini. Oh, ya ampun! Eros datang. Aku sempat menghubungi Eros untuk meminta bantuannya menjemputku di sini sebelum Mas Ray datang tadi. “Selamat sore.” Kedatangan Eros menambah ketegangan di ruang tunggu ini. Eros lalu memandangku. “Bagaimana keadaan Iva?” Aku belum sempat menjawab ketika Mas Ray dengan kemarahannya menyahuti. “Aku tidak butuh orang yang pura-pura peduli. Sebaiknya kalian pergi dari sini. Aku tidak mau lagi melihat wajah-wajah pengkhianat di sini.” “Ray ....” Rona kemerahan mewarnai wajah putih Eros dalam hitungan detik. Aku segera menyambar tangan Eros mengajaknya keluar dari ruangan yang mulai panas ini. “Kita keluar saja, Bang. Tidak ada gunanya meladeni orang tidak waras,” kataku pelan. Beberapa saat aku menunggu Eros untuk mengambil keputusan, akhirnya Eros mendengarkan saranku. Aku tahu Eros juga marah. Selama ini ia cukup bersabar menghadapi Mas Ray, tapi kali ini kesabaran itu hampir habis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN