Raymond
Savage! Dia pikir dia hebat bisa pamer kebahagiaan di depanku. Katanya, apa yang terjadi dulu hanya salah paham belaka. Kenyataannya sekarang, mereka jalan bareng. You nailed it!
Seharusnya aku senang karena akhirnya aku tahu apa yang kusangkakan tiga tahun lalu ternyata benar. Namun, kenapa d**a ini rasanya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum? Nala mungkin sudah move on dan aku masih dalam proses. Itu masalahnya. Damn! Wanita itu sudah berhasil membuat tiga tahun terakhirku bagai di neraka. Sampai semalam, sebelum Eros datang menjemput Nala, aku masih berpikiran waras. Tapi setelah si Romeo itu muncul, tanduk iblisku mulai tumbuh di kepala dan memengaruhi cara kerja otakku. Aku tidak bilang akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap mereka, aku hanya ingin memberi pelajaran berharga kepada sumber keresahan dan sakit hatiku. That's it.
Pagi ini aku sengaja mengenakan pakaian yang pernah ia berikan padaku sebagai hadiah ulang tahunku. Saat itu aku sangat bangga menerimanya. Karena untuk merajut pakaian ini, Nala sampai harus kursus private merajut. Sungguh perjuangan yang besar bagi wanita seperti Nala yang nota bene adalah wanita manja dan tidak becus apa-apa. Dia terbiasa dilayani dan hidup hedon.
Dari kursiku, aku menunggu reaksi Nala saat aku dan dia saling bertatapan. Sial, Nala tampak begitu tenang dan tak tersentuh dengan pakaian ini. Mungkin dia sudah lupa kalau dia pernah berusaha sangat keras untuk membuatnya. Yep! Bisa saja dia lupa. Tiga tahun ini dia dan Eros pasti sudah bersenang-senang sampai dia hilang ingatan akan masa lalu.
"Selamat pagi." Ucapan Nala memecah hening sekaligus mengembalikanku ke misi yang akan kujalankan.
"Pagi. Silakan duduk." Aku mempersilakannya duduk.
Nala menarik kursi di depan meja kerjaku. Aku berusaha cuek, tapi mata sialanku ini justru tak bisa berpaling darinya. Pandanganku memindai setiap pergerakan Nala tanpa bisa kukendalikan. Bahkan, aku menyumpahi diriku sendiri dalam hati ketika Nala akan duduk. Tubuh Nala yang sedikit condong ke depan membuat leher kemeja hijaunya yang berkancing rendah memperlihatkan belahan p******a mengkalnya. Pikiranku mendadak travelling ke mana-mana, tepatnya ke arah aliran lava panas gunung berapi. Ngapain juga sih Nala membuka kancing kemejanya sampai serendah itu?
"Dokumen apa saja yang harus dipersiapkan perusahaan untuk proses audit nanti?" Aku segera menghimpun kekuatan untuk mengendalikan pikiran kotor yang berlalu lalang di kepalaku. Mau ditaruh di mana mukaku kalau Nala tahu gara-gara belahan dadanya celanaku mulai sesak dan pangkal pahaku sudah terasa nyeri?
Nala memberikan berkas dalam map hijau yang sewarna dengan kemejanya. "Dokumen-dokumen yang dibutuhkan sudah di-list di sini, Pak."
"Oke." Aku mengambil berkas dari tangan Nala. Sebenarnya aku hanya berpura-pura menanyakan semua itu dan kuyakin Nala pun pasti tahu. Gracious Grow melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham setiap tahun. Dan setiap tahun pula aku berurusan dengan Audit eksternal meskipun biasanya aku tidak terjun langsung karena di-handle oleh Pak Axel, CFO Gracious Grow. Ide gila memilih Kantor Akuntan Publik Erik Julian and Partners sebagai pelaksana audit eksternal muncul dari ketua Dewan Komisaris yang parahnya didukung semua anggota. Tentu saja aku tidak bisa menolak. Satu lawan banyak, angkat tangan plus kaki sekaligus.
Back to Nala. Aku melihatnya tidak berubah. Ia masih terlihat imut, cantik, dan tambah menggemaskan. Ya, ampun! Apa sih yang ada di kepalaku? Fokus, Ray. Fokus. Ingat misimu.
"Kapan Anda dan tim akan melakukan inspeksi?"Aku menanyakan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu jawaban karena sudah jelas. Begitu dokumen-dokumen yang diperlukan siap, inspeksi pasti akan dimulai.
"Begitu dokumen-dokumen yang kami butuhkan ready, kami akan segera menginspeksi. Inspeksi itu sendiri, saya yang akan bertanggung jawab."
"Oh, iya?" Nada skeptis terlontar begitu saja. Jujur saja aku meragukan kemampuan Nala. Seketika, kulihat perubahan di wajah Nala. Reaksiku sepertinya membuat Nala tersinggung.
"Jika Bapak keberatan saya yang memimpin inspeksi nanti, Bapak bisa memberitahu Pak Erik supaya segera mengganti posisi saya dengan yang lain." God bless you, Nala. Nala terlihat sangat tenang saat mengatakan opininya walaupun kilat kecewa terpancar di matanya. Salut.
"Oh, tidak. Saya tidak keberatan." Aku menepis dugaan Nala dan berusaha meyakinkannya. Jangan sampai aku melewatkan kesempatan untuk bisa menyelesaikan misiku. "Saya justru senang kalau Anda yang memimpin."
Nala mengangguk dengan keterpaksaan. Bodo amat. Yang penting aku tetap bisa berhubungan dengannya. Aku mengambil inisiatif untuk meminta Ollin menyiapkan kopi atau teh. Entah kenapa, aku ingin menahan Nala lebih lama di sini. Perihal misiku dan alasan lainnya, mungkin ini menjadi bagian dari keduanya.
"Bu Ollin, tolong bawakan dua cangkir kopi. Espresso dan cappucino," kataku melalui sambungan telepon ke meja Ollin.
Wajah Nala tampak menegang ketika aku meletakkan kembali gagang telepon. Matanya beredar ke segala penjuru seakan sedang mencari sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk segera kabur dari hadapanku. Tidak akan semudah itu, Nala.
"Kamu masih suka cappucino, 'kan?" Tanpa kusadari aku memanggil Nala dengan kamu. Namun, aku tidak mengoreksinya. Kupikir akan lebih baik apabila berbicara dengan tidak terlalu formal. Kulirik arloji di tangan kiriku. Baru jam 10.10 pagi. Biasanya, kebanyakan orang Italia tidak akan minum cappucino lewat dari jam 10.00 pagi, tapi ini kan Indonesia. Kita biasa minum cappucino tanpa jadwal. Kapan saja. "Belum terlambat untuk menikmati cappucino."
Nala mengangguk kaku dan dia hanya diam sambil menanti Ollin datang mengantar kopi favoritnya. Aku percaya Nala akan segera angkat kaki begitu kopi itu datang.
"Bagaimana kabarmu?" Basa-basi paling t***l akhirnya tercetus, tapi aku butuh bahan pembicaraan untuk tak membiarkan Nala pergi.
"Seperti yang Mas Lihat, aku baik." Aku nyaris tidak percaya kalau Nala pun membalasku dengan gaya bicara yang sama sepertiku. Apakah ketegangan mulai mencair? Sepertinya begitu.
"Kapan kamu dan Eros akan meresmikan—"
"Tidak akan." Nada geram Nala memotong pertanyaanku yang belum selesai. Kulihat semburat merah mewarnai wajahnya. Pertanyaan besar muncul di benakku. Kenapa dia harus sesewot itu jika ia memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Eros?
"Aku dan Bang Eros hanya berteman. Mas tahu itu," lanjut Nala menjelaskan.
Nonsense! Aku setuju dengan pendapat si penulis Ubur-ubur Lembur yang mengatakan, di dunia ini nggak mungkin ada dua orang, cowok-cewek bisa berteman dekat kalau salah satu dari mereka nggak ada yang naksir. Bisa saja Nala hanya menutupi hubungannya dengan Eros. Dia pikir aku akan percaya begitu saja pengakuannya? Tidak.
"Aku rasa pertemuan ini bukan untuk membahas masalah itu," lanjut Nala lagi dengan nada sedikit meninggi dan itu membuatku semakin percaya kalau Nala dan Eros memang ada hubungan khusus. Sialan, sekelas Raymond Bratadhikara telah dikhianati istri dan sahabatnya sendiri. Kenyataan itu adalah peristiwa yang paling menyakitkan dalam hidupku.
Oke. Aku tidak ingin mengacau sekarang. Tidak untuk saat ini. Belum waktunya. "Maaf, aku tidak bermaksud mengenang masa lalu. Aku turut senang jika kalian memang—"
"Maksud Mas apa memintaku datang ke sini pagi-pagi hanya untuk memberikan dokumen yang sebenarnya bisa dikirim via email?" Nala memotong ucapanku lagi dengan lantang dan tidak memberiku kesempatan bicara. "Apa untuk menginterogasiku?"
"Nope! Tentu saja tidak. Baiklah. Kita tidak akan membahas masalah itu." Aku tidak terbiasa mengalah dalam debat, tapi harus kulakukan pagi ini. Bukan demi bisa balikan karena aku sama sekali tidak berminat menjalin kembali hubungan dengan pengkhianat.
Beruntung, Ollin datang tepat waktu. Senyum dan sikap ramah Ollin yang kadang menurutku aneh mampu menguapkan ketegangan.
"Silakan diminum, Bu, Pak." Ollin tersenyum ramah pada Nala, lalu ia menoleh padaku. "Jangan dipandangin doang kopinya, Pak. Nanti keburu dingin," canda Ollin.
"Bisa saja kamu, Lin." Kualihkan pandanganku ke arah Nala sesaat kemudian. "Silakan diminum."
Sesaat setelah Ollin keluar. Tidak sengaja aku melihat Nala mengangkat cangkir dan meneguk cappucinonya. Aku harus mengakui dadaku bergemuruh kencang ketika Nala menjilat sisa busa steamed milk di bibir atasnya, lalu menggigit pelan bibir wahnya. Oh, God! Aku pasti sudah gila karena tiba-tiba otakku terasa ngeres. Bibir merah muda itu bibir yang pernah kukecup mungkin lebih dari ribuan kali. Bibir yang tidak hanya ahli mencium, tapi juga terampil memuaskan hasrat bawah pinggangku. Hanya dengan membayangkan keahlian Nala dalam hal itu saja membuatku ingin meledak.
Edan. Dengan mudah Nala bisa menyesatkanku, menggiringku ke sisi terliar dari sebuah pemikiran rasional. Aku menghela napas dalam-dalam berharap saat mengembuskannya pikiran gilaku ini ikut terbang dan menghilang.
"Saya rasa kepentingan saya untuk saat ini sudah selesai." Nala mengembalikan obrolan formal dalam ucapannya dan dengan cepat mengembalikanku ke kenyataan.
"Oh, iya. Untuk sementara sudah selesai."
"Baiklah. Saya akan kembali ke kantor saya. Jika ada pertanyaan mengenai proses audit ini, Bapak bisa bertanya langsung kepada saya atau Pak Erik."
Aku pasti akan bertanya padamu, bahkan untuk hal yang tidak penting. "Iya. Tentu saja," kataku dengan nada antusias.
Berusaha keras berpaling dari Nala, nyatanya wajah dan pandanganku tidak bisa diajak kompromi. Sekali lagi aku harus merasakan siksa gairah yang diakibatkan tereksposnya pemicu hasrat saat Nala berusaha bangkit dari duduknya. Kerah kemejanya yang dikancingkan rendah membuat belahan d**a mantan istriku itu terpamerkan. Selama sedetik aku berpikir untuk bangkit dari tempat duduk lalu menghampirinya, menelanjanginya, dan bercinta dengannya di sini. Di atas meja ini seperti yang pernah kami lakukan dulu. Namun, lonceng di kepalaku berdenting kencang menyuarakan peringatan. Aku tidak akan pernah tidur lagi dengan si pengkhianat karena yang harus ia dapatkan adalah hukuman, bukan kenikmatan.