Yaelah! Norak banget sih Mas Ray. Kayaknya enggak perlu deh pamer ayank di depan mantan. Niat banget nih orang. Jealous sih enggak, cuma merasa lucu aja. Kelakukan Mas Ray persis kayak anak ABG.
Aku mengangkat wajah berlagak angkuh dan tetap memperhatikan Mas Ray serta Ollin dengan tenang. Dulu, mungkin aku akan segera angkat kaki dan bersembunyi di toilet, lalu menangis sesenggukan di sana kalau melihat dan mendengar hal seperti ini. Namun, sekarang lain ceritanya. Aku tidak akan menghabiskan waktu untuk menangisi masa lalu.
"Ada lagi yang perlu kita bicarakan?" Pertanyaan Mas Ray menyemburkan kelegaan yang membuat plong sesak di dadaku dalam sekali waktu. Berakhir juga sesi jaga imejku.
Aku mengangguk tapi tidak mengiakan. Aku justru melempar pertanyaan lain kepadanya untuk memastikan kerjasama perusahaannya dengan KAP tempatku bekerja. "Ada lagi yang mau Anda tanyakan tentang proses audit ini?"
Mas Ray menggeleng. Raut wajahnya tampak menegang seperti sedang memikirkan hal lain dan terburu-buru ingin menyelesaikannya. Aku kenal betul ekspresi Mas Ray yang seperti itu. "Tidak ada. Pastikan saja sebelum RUPS dilaksanakan semua berjalan lancar dan tidak ada yang namanya keterlambatan laporan."
"Kami bekerja secara profesional. Semua akan beres sebelum Rapat Umum Pemegang Saham di laksanakan."
"Baiklah. Kalau begitu, pertemuan ini selesai."
"Baik, Pak."
Mas Ray bangkit dari duduknya. Kupikir, demi etika, ia akan menjabat tanganku sebagai rekan kerja. Namun, hanya Ollin yang melakukannya ketika kami semua sudah berdiri dan siap meninggalkan meja. Tidak masalah. Setidaknya, sekarang aku tahu karakter Mas Ray yang sebenarnya jika dia sedang berada di dalam circle pekerjaannya.
"Sampai ketemu lagi, Bu Nala." Ollin tersenyum ramah padaku sebelum menyusul bosnya yang sudah lebih dulu berjalan keluar dari dining area ini. Ternyata Ollin lebih beretika daripada bosnya.
Dering ponsel menyelamatkanku dari rasa kesal yang diakibatkan sikap pongah Mas Ray. "Iya, Bang. Sudah beres, nih. Sekarang lagi di kasir."
Beres berurusan dengan bill dan kasir, aku segera keluar dari restoran. Kulihat Mas Ray dan Ollin masih berada di pelataran parkir saat aku tiba di sana. Mas Ray sepertinya sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel di depan mobilnya. Masa bodoh dengan mereka. Urusanku dengan mereka sudah selesai malam ini. Sialnya, pandanganku malah berserobok dengan pandangan Ollin. Padahal, aku sedang berusaha untuk menghindari mereka. Mau tidak mau aku tersenyum pada Ollin. Dan lebih parahnya lagi, aku juga harus mengangguk dan tersenyum ramah pada Mas Ray ketika ia berbalik dan melihatku. Kalau statusku bukan sebagai pegawai KAP Erik Julian & Partners, aku pasti akan membuang muka.
"Pulang, Bu?" Basa-basi Ollin membuatku ingin tertawa. Ya, iyalah aku mau pulang. Memangnya aku mau nginep di restoran ini? But, aku menghargai usaha Ollin untuk tetap terlihat akrab denganku.
"Iya."
Sorot lampu dan kilatan warna cat body mobil yang baru saja memasuki pelataran parkir menguapkan kekakuanku. Untungnya, dia cepat datang. Kalau tidak, aku harus berlama-lama menahan rasa jengkel.
Wait! Tidak ada untungnya sama sekali. Jantungku malah berdetak semakin kencang dan tubuhku seakan dikuasai ketegangan ketika mobil yang menjemputku berhenti dan pemiliknya keluar menghampiriku.
"Pak Eros?" Kulihat Ollin melotot dan matanya seolah-olah akan melompat ke luar.
Eros tersenyum lalu menyapa Ollin. "Hai!"
Eros kemudian melihat ke arah Mas Ray. Aku ingin menepuk jidat, tapi tidak kulakukan. Ya, ampun! Ngapain juga sih pakai acara melihat-lihat Mas Ray segala? Kuintip sedikit seperti apa reaksi Mas Ray dari sudut mataku. Gengsi dong kalau harus melihatnya secara langsung. Syukurlah, Mas Ray tampak biasa saja. Kemarahannya pada Eros dan aku mungkin sudah memudar. Bisa jadi Mas Ray sudah move on. Semoga saja.
"Ray." Aku mendengar nada ragu saat Eros berusaha menyapa Mas Ray. Aku sih berharap Mas Ray tidak menjawab dengan sarkasme. Dan bersyukur, akhirnya Mas Ray menjawab hanya dengan anggukan dan senyuman super tipis. Sebenarnya, mungkin, ia tidak tersenyum tapi hanya menarik kedua ujung bibirnya saja hingga bibir seksinya tampak menipis. Namun, kulihat kilat dendam masih tersemat dalam tatapannya. Mengerikan kalau mengingat bagaimana Mas Ray hampir menghabisi Eros saat ia menuduh aku dan Eros berselingkuh. Untungnya, semua segera terselesaikan dan tidak sampai kebablasan walaupun Mas Ray tetap berasumsi aku dan Eros berselingkuh.
"Kami permisi. Selamat malam." Aku segera mengakhiri pertemuan canggung ini. Kutarik tangan Eros untuk segera angkat kaki. Berlama-lama meet up dengan mantan bisa mengakibatkan gangguan emosi dan pencernaan. Bikin pusing, mual, dan muntah.
***
"Kupikir kamu akan bertemu dengan CFO Gracious Grow untuk membicarakan soal audit ini." Eros menuturkan keterkejutannya dalam perjalanan pulang.
"Nala juga pikir gitu, Bang. Kebanyakan yang berhubungan langsung dengan masalah auditor eksternal adalah CFO. Bukan CEO. Nala juga heran dan sempat mau menolak saat Pak Erik meminta Nala untuk bertemu Mas Ray."
"Ada bagusnya juga sih, Na. Bisa buat latihan biar kamu enggak gampang kena mental kalau ketemu Ray di luar jam kerja. " Eros mentertawaiku. Suara tawanya bikin aku naik darah. Aku mencubit tangannya yang dengan lincah sedang mengoper tuas gigi.
"Auw! Sakit, tau!"
"Abang juga sih kadang-kadang nyebelin," kataku dengan nada geram. "Nala tuh sudah move on."
"Kalau sudah move on, harusnya kamu sekarang sudah punya cowok dong. Sudah tiga tahun lho, Na. Kamu masih betah menjanda?"
Pertanyaan dan ucapan Eros kadang membuatku malu dan sedikit marah. Bagaimana aku bisa move on kalau di ingatanku masih melekat semua memori tentang Mas Ray? Aku mengumumkan aku sudah move on ke seluruh dunia karena aku tidak mau dianggap lemah. Manipulator sejati. Iya, itulah aku.
"Susah mencari cowok yang benar-benar tulus sayang tanpa embel-embel apa pun di negeri Wakanda ini, Bang. Apalagi, Nala janda."
"Sorry, ya, kalau bukan gara-gara aku, kamu dan Ray mungkin masih bersama." Irama penyesalan yang terlontar dari mulut Eros membuatku merasa bersalah.
Selama ini Eros tak henti-hentinya menyalahkan diri sendiri karena menjadi penyebab putusnya ikatan pernikahan antara aku dan Mas Ray. Namun, aku pun tak bisa menyalahkannya. Apa yang terjadi hanyalah kesalahpahaman. Sayangnya, Mas Ray tidak mau mendengar dan memercayai bukti ketidakbersalahan kami. Ia justru lebih memercayai ucapan Iva. Ia terlampau sayang kepada adiknya sampai melupakan fakta. Kadang aku berpikir mungkin Mas Ray memang ingin berpisah dariku, makanya ia menutup mata dan telinganya dari bukti yang ada.
"Bukan salah Abang. Aku dan Mas Ray yang terlalu egois. Sudahlah, Bang, jangan membahas itu lagi. Bosen." Kucoba mengalihkan arah pembicaraan ke topik lain. "Abang sendiri gimana? Percuma punya cewek banyak, tapi kalau pulang ke rumah enggak ada yang nyambut, nyiapin makan, dan mijitin."
"Sembarangan kamu kalau ngomong. Ada si Dona dan si Doni yang menyambutku setiap aku pulang."
Aku menepuk jidatku setengah kencang. Kalau terlalu kencang takut sakit. "Jiaaah! Emang si Dona Doni bisa nyiapin makan, bisa mijitin Abang?"
"Yang penting kan ada yang menyambut dulu," balas Eros sambil tertawa.
"Sinting, masa kucing suruh menyambut."
Ya, seperti inilah pertemananku dengan Eros. Meskipun banyak orang di luar sana yang tidak senang kepada kami karena kami berdua dianggap pelaku kecurangan dalam pernikahan, tapi aku dan Eros lebih memilih mengabaikan anggapan itu. Relasi pertemanan yang tulus lebih penting daripada anggapan orang. Karena di saat kita benar-benar jatuh dan tenggelam, teman yang tuluslah yang akan membantu mengangkat kita ke permukaan. Bukan anggapan dan penilaian orang lain.
***
"Pagi, Mbak." Teny menyelonong masuk ke ruang kerjaku.
Aku mengangkat dan mengarahkan pandanganku ke wajah gadis manis yang sudah berdiri di depan mejaku. "Pagi. Ada apa, Ten?"
"Dipanggil Pak Bos."
"Pak Erik sudah datang?" Aku mengernyit. Tidak seperti biasanya Pak Erik datang pagi-pagi.
"Sudah, Mbak. Begitu dia datang, langsung nyari Mbak Nala."
"Oke deh."
Aku bangkit berdiri. Pak Erik pasti ingin mengetahui hasil pertemuanku dengan Mas Ray semalam. Aku bergegas ke ruangannya.
"Ini perintah langsung, Nala. Kamu enggak bisa protes. Kamu yang memimpin inspeksi dokumen dan observasi perusahaan. Hanya itu saja. Untuk tracing informasi dari data dan dokumen, nanti tim Pak Ivan yang turun. Raymond minta prosesnya dipercepat. Dia minta kamu mengirimkan langsung daftar dokumen yang dibutuhkan untuk proses audit pagi ini sebelum dia berangkat ke Singapura."
"Kalau hanya daftar dokumen yang dibutuhkan kan bisa dikirim via email, Pak," aku tetap memprotes.
Woops! Pak Erik mendelik. Sebentar lagi dia murka nih.
"Dia mintanya kamu yang ngasih langsung ke dia." Bener kan Pak Erik ngamuk. Suaranya saja sengaja ditekan supaya menggeram dan terdengar seram. "Sekarang!"
Aku tersentak dan hampir melompat dari kursi. Daripada diamuk lagi, aku segera berdiri. "Iya, Pak. Oke, saya pergi ke Gracious Grow sekarang."
"Gitu, dong! Saya kan enggak perlu keluar banyak energi pagi-pagi begini. Mana belum sarapan lagi," cetusnya.
Lha, suruh siapa enggak sarapan? Sekarang kan jadinya kayak orang "saraf". Pagi-pagi ngamoook! Tapi, enggak apa-apa. Daripada aku dipecat, lebih baik aku turuti saja kemauannya. Lagipula, aku masih membutuhkan gajiku untuk membayar cicilan apartemen yang kutempati sekarang.
Membawa berkas-berkas yang dibutuhkan, aku langsung tancap gas ke Gracious Grow. Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan gugupku saat melewati pintu lobi. Kulihat lobi GG, Gracious Grow, masih belum berubah. Sama seperti tiga tahun lalu. Petugas resepsionisnya pun masih yang dulu. Hanya satpam yang berjaga yang sudah berbeda. Beberapa pasang mata memandang heran padaku ketika berpapasan. Namun, tidak sedikit yang menyapa. Mungkin mereka masih ingat kalau aku mantan istri bos mereka. Ah, aku tak peduli dengan itu. Tujuanku datang ke sini untuk menemui sang CEO. Itu saja.
"Selamat pagi, Bu Nala." Sapaan disertai senyuman ramah terlontar dari bibir merah si resepsionis. Rupanya dia masih mengenaliku.
"Selamat pagi. Pak Raymond sudah datang?"
"Sudah, Bu. Ibu sudah ditunggu di ruangannya."
"Baiklah. Terima kasih."
Aku masih ingat betul di mana ruangan Mas Ray dan dalam waktu kurang dari lima menit saja aku sudah berada di depan meja Ollin di lantai lima tepat di depan ruang kerja Mas Ray. Ollin yang akhirnya menjembatani pertemuanku dengan Mas Ray di ruang kerjanya.
"Saya permisi, Pak, Bu," kata Ollin sebelum meninggalkan kami berdua.
Canggung menjadi atmosfer baru di ruangan ini. Aku dan Mas Ray saling diam, mengamati, dan memandang selama beberapa saat. Tampilan semi-casual Mas Ray sungguh meresahkan. Bagaimana tidak meresahkanku? Mas Ray sengaja memakai rompi rajut bewarna biru gelap yang kurajut sendiri sebagai hadiah ulang tahunnya untuk melapisi kemeja putih ketat yang dikenakannya. Apa maksud Mas Ray melakukan semua ini? Hm, mencurigakan.