Tiga tahun kemudian
"Jangan di sini, Mas. Iva baru datang."
Semampuku, aku berusaha mengelak dari ciuman bertubi-tubi yang dilancarkan Mas Ray. Kucoba turun dari meja bar mini yang ada di ruang makan di mana aku duduk sekarang, tapi Mas Ray dengan sigap menahanku. Kedua kakinya yang sudah berada di antara kakiku tidak mau bergeser sedikit pun. Ia justru semakin menekan bukti gairah di balik celana katun hitamnya ke area sensitifku. Sial. Aku benci seperti ini. Mas Ray selalu sukses membuatku tidak berdaya. Bukan hanya pesonanya yang mengagumkan, tapi setiap sentuhannya pun mempunyai daya tarik luar biasa yang tidak bisa kutolak. Mas Ray kembali menghujaniku dengan ciuman sampai bibir ini rasanya menebal dan sedikit perih. Priaku ini paling jago membuatku "klepek-klepek". Apalagi, gerakan tangannya yang cekatan dan tak terduga yang tiba-tiba menari-nari di balik bra-ku. Oh, itu bisa membuatku meledak kapan saja. Namun, aku harus menahan serbuan hasratku dan juga hasrat Mas Ray yang menggila. Iva bisa sekonyong-konyong turun dari kamarnya dan menyetop proses dimulainya "cocok tanam" ini.
...
"Mbak. Mbak Nala!"
Oh, my God! Aku mengerjap lalu kupukul pelan-pelan kepalaku agar memori panas bersama Mas Ray segera rontok dan terhempas. Sudah tiga tahun sejak perceraianku dengan Mas Ray, aku masih saja mengingat momen-momen b*******h yang pernah kami lewati bersama. Enggak bisa move on? Itu masalahnya. Move on tidak semudah membalik telapak tangan, Ferguso!
Aku menghela dan mengembus napas perlahan berusaha mengembalikan konsentrasiku. Faktanya, aku sekarang ada di ruang kerjaku dan di hadapanku sudah ada Teny, staf human capital.
"Kenapa, Mbak?" Teny terdengar mulai kepo dan menurutku itu hal yang wajar. Ia melihatku melamun sembari menopang dagu dengan kedua tangan. Pandanganku tadi mungkin terlihat melompong.
Aku berpura-pura memijat dahiku seperti orang yang sedang menderita migren. "Sakit kepala. Efek kurang tidur kali."
"Mau Teny ambilin obat?"
"Tidak perlu. Sebentar lagi juga sembuh kok. Ada apa, Ten?"
Dari sorot matanya, aku masih melihat kekhawatiran. Dia kemudian berkata dengan irama sedikit ragu. "Beneran Mbak enggak apa-apa?"
"Bener. Swear." Aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V untuk meyakinkannya.
"Pak Erik memanggil Mbak."
"Iya. Saya akan segera menemui Pak Erik." Aku menegakkan punggung memperlihatkan kalau aku akan baik-baik saja. "Tuh, kan, udah baikan."
Teny tersenyum lega lalu bangkit dari duduknya. "Kalau gitu, saya kembali ke ruangan saya dulu ya, Mbak."
"Thanks ya, Ten."
Teny tersenyum sambil mengangguk sebelum keluar dari ruanganku. Ramah sekali gadis yang satu ini. Aku segera menemui Pak Erik di ruangannya. Pria yang memiliki gelar SE, M.Ak, CPA di belakang namanya itu telah menanti kehadiranku di sana. Aku sendiri tidak percaya bisa bekerja di KAP ini dengan Pak Erik sebagai bosku. Semua orang tahu penyebab perceraikanku dengan Mas Ray adalah karena adanya tuduhan perselingkuhan antara aku dengan Eros, adiknya Pak Erik. Keberadaanku di sini seakan membenarkan tuduhan tersebut. Namun, aku tidak peduli lagi dengan penilaian orang. Yang menjalani dan tahu hidupku itu aku sendiri. Jika mereka bicara buruk tentangku lantas tidak suka denganku, itu masalah mereka. Aku dan Eros tidak pernah melakukan hal yang dituduhkan Iva. Itu sudah cukup untuk membuatku dan Eros tetap berteman sampai saat ini.
"Jadi, saya yang harus menemuinya, Pak?" Aku berusaha memperjelas keberatanku atas perintah Pak Erik.
"Kamu itu manager in charge. Ya, kamulah yang harus menemuinya. Lagi pula, inilah saatnya kamu membuktikan diri kalau kamu itu tidak hanya cantik, tapi juga cerdas." Pak Erik terus berusaha mendorongku.
Aku tahu Pak Erik tidak berniat merendahkanku berbicara seperti itu. Aku pun ingin membuktikan diri kepada dunia kalau aku juga punya otak. Selama ini banyak yang memandang sebelah mata kemampuanku sebagai seorang akuntan, padahal tidak sedikit yang tahu kalau aku juga kuliah mengambil jurusan Akuntansi sembari berkarir sebagai model. Aku sadar banget kalau tubuh, kecantikan, dan kejayaan keluarga punya batas waktu kadaluarsa. Oleh karena itu, aku berusaha memanfaatkan kinerja otakku untuk memperbaiki imej tersebut.
"Perusahaan itu perusahaan raksasa. Klien premium kita kali ini butuh seorang manajer untuk meyakinkan kalau mereka tidak salah pilih Kantor Akuntan Publik," lanjut Pak Erik.
"Oke, Pak. Saya akan menemui klien kita."
***
Seperti yang sudah dikatakan Pak Erik bahwa pertemuanku dengan klien premium adalah di restoran ini. Seharusnya aku bertiga bersama rekanku yang lain, tapi entah kenapa satu per satu rekanku itu berusaha menghilang. Ada yang beralasan mendadak pusing sementara yang lain beralasan ada panggilan mendadak dari Bos alias Pak Erik. Bagaimana sih ini? Kenapa semuanya mendadak menjadi tidak profesional begini? Seharusnya mereka tahu kalau aku bisa saja mengacaukan pertemuan ini mengingat klien yang akan aku hadapi adalah sumber petakaku di masa lalu.
Berusaha untuk berpikir positif dan tetap tenang, aku bersabar menunggu kedatangan klien tersebut. Sinting. Aku dikerjai. Aku sudah menunggunya selama hampir dua jam. Lama-lama perutku kembung karena terus menerus minum minuman yang sudah tiga kali kupesan. Aku akan menunggu sepuluh menit lagi. Jika dia tidak muncul, maka Pak Erik bisa memecatku karena aku tidak profesional.
Untung saja aku belum angkat kaki. Klien itu akhirnya datang. Dia berlajan menuju mejaku dengan langkah arogan, seperti biasanya. Tanpa perlu pengamatan lebih dalam, dari radius satu kilo meter pun aku tahu kalau itu adalah klien KAP tempatku bekerja. Aku sangat mengenalnya, pun perempuan yang berjalan di sampingnya.
Sebenarnya aku malas memandang wajahnya, tapi demi kesopanan dan demi pekerjaanku akhirnya aku mengalah. Dia masih sama seperti tiga tahun lalu. Garis rahangnya masih tampak sempurna, kumis dan janggut tipisnya masih ia pertahankan, dan damn! Dia masih terlihat setampan Jamie Dornan saat dia menumbuhkan kumis dan janggutnya.
Aku segera menepis pikiran konyolku dan beberapa detik kemudian suara peringatan menggema di kepala. "Jangan lupa, Nala. Dia juga yang membuat matamu bengkak dan hatimu sakit. Gara-gara itu kamu tidak mandi hampir seminggu lamanya dan ujung-ujungnya Mami harus membawamu ke spa hanya untuk mandi." Huft, mengerikan kalau mengingat masa-masa kegelapan dulu.
"Selamat sore. Anda terlambat dua jam." Aku berkata dengan nada sinis. Oh, Lord! Aku tidak seharusnya seperti ini. Di mana profesionalistasku kalau aku tidak bisa memisahkan urusan pribadi dan pekerjaan? Aku mengembus napas lalu tersenyum manis. Terpaksa. "Silakan duduk," lanjutku mempersilakan klien besar pertamaku dan asistennya untuk duduk.
"B-Bu Nala, 'kan?"
Ollin rupanya masih mengenaliku. Ia terlihat gugup ketika berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau wanita yang sedang berhadapan dengannya adalah Nala Wiyana, mantan istri bosnya.
Aku tidak ingin memperjelas siapa aku dengan kata-kata. Aku hanya mengangguk mengiakan.
"Ya, ampun! Bu Nalla. Apa kabar?" Reaksi Ollin begitu mengejutkan. Ia langsung melangkah ke sisi kursi dan mengulurkan tangannya ke arahku meminta bersalaman.
Aku tidak bisa menolak. Akhirnya aku jabanin kemauan Ollin berjabat tangan. Lagi pula, memang seharusnya seperti ini, 'kan?
"Kabar saya baik. Gimana kabar kamu? Kamu terlihat lebih kece sekarang, Lin." Aku berbasa-basi memuji Ollin. Namun, Ollin sekarang memang berbeda dengan Ollin tiga tahun lalu. Wanita ini tampak lebih dewasa dan penampilannya sudah sedikit berubah. Lebih fashionable. Ya, setidaknya Ollin yang sekarang mengenakan setelan blazer yang berwarna senada dengan rok pensilnya. Nyambung. Tidak lagi mengenakan blazer merah dan rok hijau atau mengenakan kemeja kotak-kotak dipadu dengan celana bermotif polkadot. Funny.
"Kabar saya baik, Bu. Ah, Bu Nala bisa saja." Ollin tersipu malu. "Ibu yang terlihat makin glowing."
"Ehm." Dehaman Mas Ray menginterupsi obrolanku dengan Ollin. Iris cokelat kehijauannya menatapku sesaat, kemudian teralih kepada Ollin. "Saya rasa kita berada di sini bukan untuk reuni."
"Iya, Pak. Maaf," kata Ollin.
Mas Ray menarik kursi lalu duduk. Ollin duduk di sampingnya. Seketika udara di ruangan ini menjadi lebih dingin. Buku-buku jariku nyaris membeku. Setelah sekian lama, sore ini aku bisa duduk berhadapan lagi dengan pria yang telah mematahkan hatiku. Jika dulu aku hanya bisa bermanja-manja kepadanya, kali ini aku harus bisa menunjukkan kepadanya kalau aku adalah wanita yang mandiri.
"Anda hanya sendirian?" Pertanyaan bergaya formal Mas Ray membuatku tersentak. Mas Ray serius.
"Iya. Kebetulan rekan-rekan saya yang lain sedang ada kesibukan. Apa ada masalah jika saya hanya sendirian?" Aku menanggapi dengan tidak kalah serius.
"Tidak."
"Baiklah. Sebentar." Aku segera memanggil waiter dan memintanya menyiapkan minuman untuk kami bertiga. Namun, sebelumnya aku memberi tawaran kepada Mas Ray dan Ollin untuk memesan minuman apa yang mereka inginkan meskipun aku tahu betul minuman favorit Mas Ray.
"Saya tidak ingin membuang waktu. Jadi, kapan proses auditnya bisa dilaksanakan?" tanya Mas Ray dengan keseriusan dua kali lipat dari sebelumnya.
"Jadi, Bapak setuju dengan kerja sama kita?" Aku hanya heran kenapa Mas Ray langsung menanyakan jadwal pelaksanaan audit, padahal ia belum menyetujui kontrak kerja sama antara perusahaannya dengan KAP tempatku bernaung sekarang.
Tatapan Mas Ray terarah kepadaku. Ya, Tuhan. Jantungku berdebar-debar. Rasanya dag dig dug enggak karuan. Aku tidak sabar menunggu apa yang akan dikatakan Mas Ray selanjutnya setelah menatapku begitu dalam.
"Kenapa Anda bertanya lagi soal kerja sama? Bukankah saya sudah menandatangani kontrak kerja sama dengan KAP Anda? Apakah tidak ada koneksi antara Anda dengan atasan Anda?"
Sial. Aku salah duga. Kukira Mas Ray menatapku karena sesuatu yang lain. Aku tiba-tiba merasa jadi orang paling t***l sedunia. Aku ingin sekali mencekik Pak Erik. Kenapa dia tidak bilang padaku kalau Gracious Grow, perusahaan Mas Ray, sudah berkontrak dengan KAP miliknya?
Aku segera memutar otak untuk berkelit sedikit. "Oh, iya. Saya baru ingat."
"Jadi, kapan akan dilaksanakan?" tandas Mas Ray. Sejak awal pertemuan raut wajah Mas Ray tampak tak bersahabat. Aku memakluminya karena jauh sebelum pertemuan ini kami berdua memang saling bermusuhan.
Aku mengembus napas. Kesal. Mas Ray seperti sengaja menekanku dengan ketidaktahuanku akan masalah kontrak itu. Beruntung, si waiter datang dan menyajikan minuman yang dipesan hingga aku bisa membasahi kekeringan di tenggorokanku yang diakibatkan oleh rasa malu sekaligus jengkel.
"Begini, Pak Raymond Bratadhikara. Divisi kami akan mengirimkan daftar dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam Audit Checklist. Dokumen tersebut dapat mencakup salinan Laporan Audit sebelumnya, rekening koran, nota keuangan, dan buku besar. Kami akan mengecek dulu kesehatan perusahaan Bapak dan itu memakan waktu sekitar satu sampai dua bulan. Setelahnya, barulah kami bisa memulai audit." Aku melanjutkan dengan menjelaskan sedikit proses audit yang akan dijalani.
"Apakah Anda akan turun langsung ke lapangan untuk mengaudit?" Pertanyaan Mas Ray berikutnya sedikit membuatku tersinggung. Dia sepertinya tidak senang kalau aku ikut ambil bagian dalam prosesnya nanti.
"Itu tergantung Pak Erik. Bisa saja saya tidak diikutsertakan dalam tim. Bisa jadi manajer lain yang memimpin proses audit perusahaan Bapak." Aku langsung memvonis kalau aku mungkin saja tidak akan ikut ambil bagian dalam proses audit perusahaan Mas Ray. Mungkin Mas Ray akan senang dan tidak akan membatalkan kontrak jika aku tidak ikut serta.
"Oke. Saya akan tunggu pelaksanaannya. Kapan kalian akan mengirimkan daftarnya?"
"Besok sudah bisa kami kirimkan."
Aku melirik Ollin. Wanita itu tengah sibuk mencatat. Mungkin ia mencatat semua yang kuucapkan tadi. Entahlah. Aku tidak ingin tahu. Aku hanya ingin pertemuan ini cepat berakhir. Usahaku untuk membuktikan diri kepada Mas Ray aku simpan dulu. Sementara.
Tiba-tiba kudengar ponsel Mas Ray berbunyi. Tidak bergeser atau memang sengaja ingin memperdengarkan percakapannya di telepon, Mas Ray menerima panggilan telepon itu di depanku.
"Iya, Sayang. Tunggu, ya. Mas sebentar lagi pulang." Mas Ray mengucapkan itu tanpa berusaha mengecilkan volume suaranya.
Sakit hati? Tidak. Semua rasa sakitku yang disebabkan Mas Ray sudah lewat. Yang ada di kepalaku kini, bagaimana caranya aku bahagia. Dan kebahagiaanku adalah melihat Mas Ray tidak bahagia. Itu saja.