8. Kejutan Duka

1490 Kata
Raymond  Sepanjang siang aku jadi kepikiran obrolanku dengan Pak Axel tadi pagi kalau pasangan selingkuh biasanya akan menikah setelah bercerai dari pasangannya. Namun, itu tidak terjadi pada Nala dan Eros. Saat aku bertanya pada Nala kapan dia dan Eros akan meresmikan hubungan, jawaban Nala malah ngegas dan berang. Huft! Seiring berjalannya waktu, Nala semakin sulit kupahami. Dering notifikasi membuyarkan lamunanku. Iva? Aku segera membuka pesan pendek Iva. Sial, dari kemarin aku berjanji pada Iva untuk membawa Nala bertemu dengannya, tapi tidak kulakukan. Aku justru melakukan hal ... ya, ampun! t***l banget sih aku ini. Kalau sudah begini, bagaimana aku harus membujuk Nala? Aku mengangkat gagang telepon. “Bu Ol, setelah jam makan siang nanti, tolong panggil Bu Nala untuk ke ruangan saya.” “Bu Nala sudah diganti oleh orang baru, Pak. Kata penggantinya, dia keluar dari project GG.” Penjelasan Ollin dari ujung telepon membuat hatiku mencelus. Pasti gara-gara kemarin Nala memutuskan keluar dari project GG. Aku memukulkan kepalan tangan ke meja. Aku perlu melampiaskan rasa kesalku meskipun rasanya tulang tangan ini seperti remuk. Sakit. Selama beberapa waktu aku membiarkan Ollin ngomong sendirian di telepon. Aku tidak tahu apa yang dia katakan padaku. Tapi saat kewarasanku kembali memenuhi diri, aku segera mengakhiri obrolanku dengan Ollin. Otakku kembali kupaksa bekerja keras mencari cara agar aku bisa bicara dengan Nala dan mungkin meminta maaf atas ucapan kasarku kemarin. Aku kembali menghubungi Ollin. Bingung, bingung deh si Ollin aku kerjain. “Cari alamat Bu Nala sekarang.” Kuperintahkan Ollin untuk mencari di mana Nala tinggal sekarang. Setahuku, Nala sudah tidak lagi tinggal di rumah maminya. Ollin memang bisa diandalkan. Tidak sampai setengah jam, alamat Nala berikut dengan nomer telepon apartemennya sudah kukantongi. Setelah memimpin meeting bersama Dewan Direksi, aku memutuskan untuk ke apartemen Nala. Kusingkirkan semua gengsiku demi Iva. Wait! Demi Iva? Ah, aku bingung. Dada ini rasanya mengembang terlalu besar dan mengempis terlalu dalam hingga aku kesulitan bernapas ketika aku melangkah menuju lobi apartemen Nala. Keamanan di sana lumayan ketat, tapi aku beruntung punya nama belakang Bratadhikara dan dikenal sebagai pemilik saham terbesar perusahaan properti yang mengelola apartemen tersebut. Aku percaya Nala sendiri tidak tahu kalau aku merupakan bagian dari pemilik gedung tempatnya tinggal saat ini. Namun, Eros mungkin tahu. Hampir jam 22.00 ketika kulirik jam tangan di tangan kiriku. Sekarang aku sudah berada di depan pintu apartemen Nala. Nala pasti sudah pulang dan semoga saja aku tidak menemukan Eros di sini. Sambil berharap-harap cemas, aku menekan bel. Aku berdiri dengan wajah yang sengaja kuarahkan tepat ke door viewer. Sekali lagi kutekan bel. Aku yakin Nala sedang galau di balik pintu antara ingin membuka atau tidak. Setelah menyiksaku menunggu hampir sepuluh menit, Nala akhirnya membuka pintu. Aroma lili menyeruak menggoda penciumanku, mengingatkanku akan ... sudahlah. Rambut Nala terbungkus handuk putih yang dililit ke belakang kepalanya. Ia hanya mengenakan tanktop berwarna ungu tanpa bra dan hotpants hitam. She’s so hot, membuat air liurku tiba-tiba memenuhi mulut. Huft! Sepertinya Nala baru saja mandi. Aku datang di waktu yang tepat. Bisikan iblis mengiang di telinga. Duh, enggak benar nih! “Ada apa?” Nala bertanya dari celah pintu tanpa mempersilakanku masuk. “Aku mau bicara.” “Apa tidak ada besok sampai harus bicara malam-malam begini?” Sial, Nala benar-benar marah padaku. Aku harus ngapain? Oh, my God! Aku harus melakukan apa?! Serangan panik tiba-tiba menyerbu. Aku tidak terbiasa ditolak dan Nala satu-satunya orang yang kerap melakukan hal tidak biasa itu. “Aku minta maaf.” Tiga kata teraneh lolos begitu saja melewati bibirku. Aku bahkan tidak menyadari saat mengatakannya dan terkejut setelahnya, tapi aku berusaha untuk tetap terlihat tenang. “Aku mau minta maaf soal kemarin.” “Aku maafkan. Sudah, ya. Selamat malam.” Nala menutup pintu, tapi tanganku secara spontan menahannya dan malah memaksa membuka celah lebih lebar. “Mas, kamu mau ngapain? Kamu enggak boleh masuk!” Nala mencegahku untuk masuk. Ia menghalangi jalanku dengan merentangkan kedua tangan. Lucu. Dia pikir dia sekuat Hulk atau Wonder Woman? Beraninya menghalangi jalanku. Aku menangkap pinggang rampingnya. Sedikit berjongkok, kuadukan pelan pundak kiriku ke perutnya, lalu kuangkat tubuhnya dan kugendong ala fireman’s carry. Yes! Akhirnya aku bisa menerobos masuk setelah kutendang pintu sampai tertutup. “Mas, turunkan aku! Mas, apa-apaan sih kamu?!” Nala meronta di pundakku. Kurasakan kepalan tangan mungilnya memukul-mukul punggungku dan suaranya yang sedikit serak terus berteriak minta diturunkan. Wow! Aku berhenti setelah beberapa langkah. Terdiam di satu titik, kuedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. Nala tinggal di apartemen sesempit ini? “Mas, turunkan aku!” Kudengar lagi teriakan Nala. Aku bingung akan menurunkan Nala di mana. Tidak mungkin aku akan masuk ke kamarnya. Kupilih sofa panjang di depan mini bar. “Ah!” Erangan Nala yang tertahan saat punggungnya menyentuh badan sofa terdengar sangat seksi menyentuh telingaku. Rambut basahnya yang terbebas dari handuk tampak berantakan di bawah kepalanya. Namun, itu menambah daftar keseksiannya selain suara, kakinya ramping mulusnya, dan p******a yang tetap menggunung sempurna meskipun sedang berbaring. Gila! Mulai lagi deh pikiranku travelling ke pusat erotisisme. Kenapa Nala selalu bisa membangkitkan hasratku meskipun dia tidak melakukan apa-apa seperti saat ini? Padahal, dia tidak lebih cantik dan seksi dari Agnes. Namun, hanya Nala yang bisa membuatku terbakar, bahkan tanpa dia menyulutkan api. “Kamu apa-apaan sih, Mas?” Nala bangkit lalu menurunkan kakinya dari sofa. Sorot matanya menusukku dengan kemarahan. “Mau apa Mas ke sini?” Aku menyusuri setiap sudut ruangan selama beberapa saat sebelum melihat Nala dengan tatapan yang lebih tenang. “Sejak kapan kamu tinggal di tempat seperti ini?” “Tempat seperti apa maksud Mas?” Kulihat Nala mengernyit. Ia sepertinya kaget dengan pertanyaanku. “Ya, tempat ini.” Aku membenamkan tangan ke saku celana. Rasanya aneh mau menunjuk dengan tangan atau pandangan ruangan sempit di mana ruang tamu, ruang makan, sekaligus dapur menjadi satu tanpa partisi. Menurutku apartemen ini sangat tidak mencerminkan Nala. Nala tipe clingy girl dan hedonis, tidak masuk akal dia mau tinggal di apartemen bertipe studio yang sederhana ini. “Kenapa dengan tempat ini? Apa salahnya aku tinggal di sini?” Nada bicara Nala terdengar meninggi. Dia mungkin tersinggung. “Apa Mas datang ke sini hanya untuk mengomentari tempat tinggalku?” “Tidak. Aku hanya heran kenapa Eros tidak memberimu tempat tinggal yang lebih layak dari apartemen ini.” Tanpa sadar aku ingin merendahkan Eros dengan ketidakmampuannya memberi tempat tinggal yang lebih mewah untuk kekasihnya ini. Ups, sepertinya aku salah bicara. Nala berdiri dan gelagat dia bakalan murka sudah terlukis di wajah dan sorot matanya yang mencabik-cabik dadaku. Gemes deh melihatnya seperti itu. “Karena Bang Eros bukan Mas! Dia memberi kesempatan padaku untuk menjadi diri sendiri dan membebaskanku untuk mengembangkan kemampuanku,” katanya dengan nada tinggi, hampir berteriak. “Apa enggak salah, tuh? Kapan aku pernah mengekangmu? Selama kita berpacaran sampai menikah, kamu bebas melakukan apa saja.” Aku menimpali dengan tak kalah sadis, tapi enggak pakai nada tinggi. Cukup nada datar sesuai dengan ke-cool-anku. Kali ini Nala berkacak pinggang. Ia mungkin sedang bingung mencari alasan, makanya dia pura-pura marah dan galak. Namun kulihat bibirnya terbuka sesaat kemudian. Dengan irama yang jelas dan tegas, Nala berkata, “Mas itu mengekangku dengan cara halus. Setiap kali aku ingin menyetir mobil sendiri, Mas selalu bilang, ‘Jangan. Nanti kamu stres dengan kemacetan.’. Setiap kali aku ingin memasak, Mas bilang, ‘Jangan. Nanti kuku kamu patah, jarimu bisa teriris pisau.’. Setiap kali aku mengatakan ingin bekerja, Mas bilang, ‘Jangan. Nanti kamu capek. Buat apa kerja? Memangnya kamu masih kekurangan uang untuk belanja tas, baju, dan semua keperluanmu.’. Bahkan, Mas memberiku kartu kredit unlimited agar aku tetap sibuk dengan duniaku sendiri. Mas tidak pernah memberiku kesempatan untuk berkembang. Mas itu toxic.” Jadi, semua yang kulakukan untuk membahagiakannya itu salah? Dia sudah gila kalau menganggap pernikahan yang kubina dengan cinta dan kasih sayang hanya sebuah toxic realtionship. Aku percaya setiap wanita di dunia ini pasti akan merasa senang diperlakukan seperti ratu. Mereka berani bertarung dengan sesamanya hanya untuk memperebutkan pria yang bisa memperlakukan mereka seperti itu. Namun, kenapa Nala tidak menyukainya? Ah, mungkin itu hanya pengalihan issue karena sekarang dengan Eros, dia tidak lagi bisa seperti dulu. “Kalau memang Eros lebih baik, kenapa kalian tidak menikah saja? Kurasa, kalian akan jadi pasangan yang serasi. Hidup saling mendukung dan penuh pengertian.” Sial, kata-kataku mungkin terdengar seperti pria gila yang sedang cemburu. Namun, Tidak bisa kupungkiri dadaku memang berdebar kencang dan nyaris meledak mendengar Nala menyanjung Eros. “Mas kayaknya pengen banget aku menikah sama Eros.” Nala menatap nanar padaku. Bibirnya kemudian menyunggingkan senyuman sinis dan jujur saja aku sedikit miris melihatnya. “Tenang saja, Mas. Aku pasti akan menikah dengan Eros. Eros sudah setuju untuk menikah denganku dalam waktu dekat.” Goddamnit! Jadi, beneran Nala mau menikah dengan Eros? Enggak. Enggak boleh! Meskipun selama ini aku berusaha untuk tidak mau tahu, tapi mengetahui kabar duka itu langsung dari Nala sangat menyakitkan. Ya, Tuhan! Apa yang kurasakan ini? Kenapa aku tidak rela kalau Nala akan menikah dengan Eros.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN