9. Yang Disembunyikan.
Meski setengah jengkel, Ajeng tetap mengikuti saran Naren untuk mandi lagi dan berganti kebaya warna hitam. Acara pembukaannya sendiri baru akan dimulai pukul sembilan malam nanti, dengan dihadiri banyak pejabat penting dari pemerintahan, mulai dari anggota DPRD sampai gubernur Jawa Tengah.
Jujur saja, Ajeng masih jengkel gara-gara Naren yang tiba-tiba membawanya bertemu eyangnya—Sang Pakubuwono ke XIII, tanpa persiapan sama sekali. Dari dulu Ajeng memang diam-diam mengagumi segala sesuatu yang berhubungan dengan keraton, adat istiadat, dan budaya jawa—terlepas dari ibu Ratu yang memang suka bercerita soal keraton.
Dan bertemu dengan sosok pemimpin yang dihormati itu, jelas membuat Ajeng gugup setengah mati. Apalagi dengan Naren yang terus-terusan menggodanya kayak anak kecil. Rasanya Ajeng pengen mukul kepala Naren pakai palu thor, biar amnesia sekalian.
Oke, biar saja. Sekarang Naren boleh merasa menang dan berada di atas angin. Tapi setelah ini, Ajeng janji akan segera membalaskan dendamnya. Berkali-kali lipat lebih kejam.
Ajeng baru keluar dari kamar saat waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Seorang pelayan keraton sudah menunggu sedari tadi untuk mengantarkan Ajeng ke tempat jamuan makan malam. Membayangkan jika dirinya akan makan satu meja dengan anggota keraton membuat perut Ajeng mendadak mulas.
“Loh, Sashi? Kok kamu ada di sini?”
Langkah Ajeng mendadak terhenti. Di sampingnya, berdiri seorang cewek berbalut kebaya serupa dengan milik Ajeng. Memiringkan kepala, Ajeng mencoba mengais ingatan di kepalanya. “Eh, lo... Dinda ya?”
Cewek itu mengangguk semangat. Ya, Ajeng ingat Dinda, teman masa SMAnya dulu, pernah berada dalam satu organisasi yang sama. Dan yang paling Ajeng ingat dari Dinda adalah, bahwa cewek itu adalah mantan pacar Naren.
Astaga... Ajeng rasanya ingin tertawa. Kenapa dunia bisa sesempit ini sih?
“Lo juga kenapa bisa ada di sini?” Ajeng mengukir senyum kaku. Mereka akhirnya berjalan beriringan menuju ruang makan. Dalam hati Ajeng meruntuki nasibnya yang malang—sudah jatuh ketimpa beton.
Tawa merdu Dinda terdengar—tidak terlalu keras dan berirama. Membuat Ajeng sempat berpikir bahwa cewek itu memang berlatih tertawa agar terdengar anggun. “Aku ke sini diajak Karna, sih. Tunanganku.”
Kening Ajeng berkerut. “Karna itu siapa ya?”
Dinda memandang Ajeng tak percaya. “Kamu beneran enggak tahu Karna?”
Ajeng meggeleng polos. Dinda menghela napas berat. “Karna itu cucunya Pakubuwono, calon penerus kasunanan Surakarta.”
Eh?
Ajeng berkedip-kedip, mencerna ucapan Dinda. Jangan-jangan yang dimaksud Karna itu cowok yang kemarin masuk ke ruangan Eyangnya Naren ya? Yang ganteng pake banget dan berwibawa itu? Kalo beneran iya, Dinda beruntung banget sih...
Tikung tidak, ya?
“Kalo kamu ke sini sama siapa? Setahuku, cuma keluarga dekat aja yang dibolehkan makan di sini—eh, kok itu kayak Naren ya?”
Dan Ajeng belum sempat menanggapi saat jarak mereka hanya tersisa lima langkah dari ruang makan. Dinda tersenyum manis pada Ajeng sebelum duduk di kursi kosong sebelah Karna. Dan, tebakan Ajeng memang benar seratus persen.
Mencoba mengukir senyum dan menelan gugup, Ajeng melangkah pelan-pelan menuju para anggota keraton yang sudah duduk di kursinya masing-masing. Sebuah meja besar berada di tengah-tengah mereka, dengan berbagai macam hidangan yang sudah tersaji. Melihat kursi yang kosong di samping Naren, Ajeng duduk di sana, masih dengan senyum kaku terlukis. Dinda yang duduk tepat di seberang Ajeng memasang wajah penasaran.
Doraemon! Tolongin! Ajeng lagi butuh pintu ke mana saja sekarang! Pengen menghilang secepatnya.
Sampai kapan sih ini bakalan berlangsung? Ajeng pengen cepat-cepat pulang dan memeluk ibu Ratu! Kalau perlu sambil merengek-rengek agar ia tak jadi menikah sama si songong Naren.
“Nah, semua sudah berkum—”
“Maaf aku baru datang eyang,” seorang cowok—mungkin berusia sekitar enam belas tahun, datang dengan gaya serampangan. Bahkan masih sempat menunduk-nunduk untuk membenarkan sepatu selopnya, membuat blangkonnya nyaris jatuh.
Ajeng menggigit bibir bawahnya menahan tawa. Ternyata anggota keraton ada yang absurd juga ya? Ajeng pikir cuma Naren makhluk alien di keluarga ini.
“Parno, yang sopan sama eyang. Udah dibilangin berkali-kali tapi ndak ngaruh juga ya buat kamu?” Citra berujar dengan nada setengah berisik, tapi bisa Ajeng dengar dengan jelas. Dari bentuk mata dan hidung mereka yang nyaris serupa, Ajeng bisa menebak kalau Parno ini anaknya Citra.
“Maaf Bunda.” meski diucapkan dengan nada menyesal, tapi Ajeng tak melihat hal yang sama di raut wajah Parno. Cenderung datar dan tak ambil pusing. Cowok itu langsung duduk di samping bundanya.
Dari yang Ajeng lihat, ada sekitar dua belas orang penghuni meja, dan cuma beberapa saja yang Ajeng tahu.
“Jadi, sebelum kita mulai acara makan, Eyang mau mengumumkan sesuatu.” suasana yang tadinya hening kini mendadak semakin hening. Dan Ajeng cuma bisa menelan ludah gugup dan tersenyum kaku saat mata Eyang beralih padanya, sorotnya teduh sekaligus terlihat berwibawa. “Perkenalkan, ini Sashikirana, calon istri Rendra. Dan pernikahan mereka akan digelar di sini.”
Ajeng nyaris tersedak liurnya sendiri. Jantungnya meronta-ronta. Astaga. Astaga. Astaga. Pura-pura mati sekarang bisa nggak sih?
“Tapi Eyang,” Sang pangeran menyela, “Apa ndak sebaiknya Eyang pikirkan dulu? Narendra cuma dikenal di lingkungan keraton saja, Eyang. Bakal jadi berita besar kalau masyarakat sampai tahu—”
“Ndak usah bantah kamu Ngger.” Potong Eyangnya tegas. “Sekarang ini saat paling tepat buat mengumumkan keberadaan Rendra sebagai anggota keluarga. Walau bagaimanapun, dia berhak dapat pengakuan.”
Semua terdiam, tak ada yang berani bersuara. Ajeng sendiri tegang di tempatnya, meremas kedua tangannya gugup. Melirik ke arah Naren, cowok itu cuma diam dengan sikap kaku.
Kenapa Ajeng harus terlibat drama keluarga ini sih?
“Sebelumnya Naren minta maaf, Eyang.” Naren berujar tegas, “Maaf, tapi Naren enggak bisa nurutin maunya Eyang. Naren ke sini cuma mau memperkenalkan Sashi karena masih menghormati Eyang. Naren enggak butuh pengakuan.”
Kemudian hening lagi. Hanya tarikan napas yang terdengar. Dan Ajeng terkesiap ketika Naren menggenggam tangannya, erat, seolah sedang meminta kekuatan.
“Yang dibilang Gusti Pangeran memang benar. Kehadiran Naren cuma akan bikin malu, dan kejadian di masa lalu bakal terulang lagi.” Naren mengambil napas, mengendalikan emosi yang nyaris meledak. “Biarin Naren balik ke kehidupan Naren yang dulu, Eyang, berdua sama Bunda. Tanpa embel-embel gelar dan nama besar Eyang.”
Dan, Ajeng nyaris meringis saat genggaman tangan Naren makin kencang.
“Besok Naren ambil penerbangan pagi. Terima kasih sudah mau menyambut Naren, Eyang. Permisi.”
Ajeng cuma bisa menurut ketika Naren menariknya pergi menjauh dari meja makan, meninggalkan suasana tegang yang terasa mencekik leher. Dan, untuk kali pertama, Ajeng merasa bersyukur karena ada Naren di sampingnya. Sebab Ajeng benar-benar tidak tahan dengan tatapan tajam yang sedari tadi dilayangkan kepadanya, seolah Ajeng adalah makhluk asing yang perlu diwaspadai.
Tapi Ajeng juga penasaran, sebenarnya apa yang terjadi dengan Naren dan keluarganya di keraton?
****
Ajeng baru selesai berganti baju ketika Naren tiba-tiba membuka pintu kamar dan menerobos masuk. u*****n Ajeng nyaris keluar, tapi tertelan lagi saat melihat wajah kusut Naren. Cowok itu juga sudah berganti pakaian dari beskap hitam ke kaus polo dan celana jeans. Cowok itu buru-buru menarik Ajeng keluar.
“Kita mau ke mana?” tanya Ajeng akhirnya.
Melihat mood Naren yang tidak baik, Ajeng memilih buat menyimpan lagi makian yang sedari tadi ia tahan. Bukannya apa-apa, Ajeng cuma enggak mau memancing keributan di dalam keraton. Malu kalau dilihat orang.
“Lo laper kan? Kita cari makan di luar, sekalian nonton kirabnya sama warga sekitar.” Naren menghentikan langkahnya dan menatap Ajeng lekat. “Lo nggak keberatan kan karena enggak jadi makan sama Eyang?”
Ajeng cuma meggeleng sebagai jawaban. Dan mereka segera masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan di pintu gerbang khusus untuk para anggota keraton yang ingin keluar tanpa takut terjebak macet karena kirab di gerbang utama. Perjalanan mereka berlalu dalam hening.
Ajeng yang sudah tidak tahan lagi akhirnya bertanya. Ia melirik Naren yang masih fokus mengemudi. “Lo ada masalah apa sih sama Eyang dan keraton? Nggak mau cerita sama gue?”
Naren cuma diam.
“Kenapa kita nggak pulang ke Bandung sekarang aja?”
Tiba-tiba, Naren menepikan mobilnya di kiri jalan. Ajeng mengerjab dan mentatap cowok itu bingung. “Kenapa?”
“Boleh gue peluk lo sekarang?” suara Naren terdengar putus asa, ada kelelahan dan rasa frustrasi di matanya, membuat Ajeng mendadak iba. “Sekaliiii, aja, please? Setelah ini lo boleh pukul gue sepuasnya.”
Dan, entah setan mana yang merasuki Ajeng, ia mengguk pasrah. Di detik selanjutnya, Naren sudah memeluk tubuh Ajeng erat-erat, seolah sedang membagi bebannya dengan Ajeng.
Untuk pertama kalinya semenjak lulus SMA, Ajeng membiarkan Naren memeluknya sampai cowok itu merasa lebih baik.
****