8. EyangSebenarnya, kirab akan dilakukan nanti malam, sekitar pukul sembilan dan baru akan mulai jalan tengah malam. Tapi persiapan sudah dilakukan sejak sore, mulai dari cawan yang akan diisi air dan bunga tujuh rupa untuk memandikan pusaka, sampai tandu khusus untuk menaruhnya. Kursi-kursi untuk para tamu undangan juga sudah depersiapkan di dalam pendopo.
Mungkin bagi sebagian orang, acara kirab seperti ini dikatakan musyrik atau melenceng dari agama. Tapi bagi Naren, ini adalah sebuah tradisi, sebuah budaya yang harus dijaga agar tetap lestari, dan menjadikannya ciri khas daerah. Yakini apa yang memang perlu diyakini, biarlah adat tetap menjadi adat dan agama tetap jadi pedoman hidup.
Naren memang tak terlalu paham dengan adat jawa, tapi memikirkan jika semua adat akan luntur tergerus waktu, rasanya agak sesak juga.
“Aden katanya mau menikah ya?”
Berkedip, Naren terasadar saat suara Paidi—salah satu abdi dalem yang paling dekat dengan Naren, terdengar lagi. Dari sekian banyak abdi dalem di keraton, cuma Paidi saja yang tidak memandang Naren rendah hanya karena Naren bukan keturunan darah jawa murni. Naren bahkan masih ingat betapa dirinya justru membenci adat jawa karena ini.
Tidak, Naren tak perlu memkikirkan itu lagi. Semua sudah berakhir. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana melewati hari ini tanpa rasa bosan sebelum pulang besok pagi. Dan malamnya, Naren bisa mengikat Sashi lewat lamaran.
Melihat wajah kalah Sashi rasanya sudah cukup untuk Naren.
Senyum Naren terkulum. Ditatapnya Paidi ramah. “Iya, Kang. Dan saya enggak akan mececoki keraton karena pernikahan saya. Saya cuma mau minta izin sama Eyang karena masih menghormati beliau.”
Menatap lalu lalang orang di sekitar keraton, mata Naren justru tak sengaja melihat Sashi yang tampak kesusahaan berjalan, mendekatinya dengan senyum lebar. Tak jauh dari Sashi, Naren bisa melihat kakak sepupunya yang baru akan berbalik.
Naren mengulum senyum manis saat jarak Sashi tersisa dua langkah.
“Sashi, kita ke dalam dulu yuk? Kakek mau ketemu sama kamu.”
Bola mata Sashi membesar, bibirnya bahkan nyaris terbuka untuk melontarkan makian. Tapi sepertinya Sashi berhasil mengendalikan diri dan tersenyum lugu. “Iya, Mas.”
Sumpah demi apa?
Sashi memanggil Naren dengan sebutan Mas? Ini dunia enggak lagi mau kiamat kan? Jangan-jangan spongebob sudah pindahan ke desa konoha.
Naren pengin tertawa ngakak. Tapi ia tahan karena teringat keberadaan Paidi. Berdehem, Naren memasang senyuman lagi. “Kenalin. Ini Kang Paidi, pengasuh aku selain Kang Cipto waktu kecil.”
“Sugeng Sonten, Mbakyu,” sapa Paidi ramah, agak menundukkan kepala sebagai penghormatan.
Sashi tersenyum dan mengangguk. “Selamat sore juga Kang.”
Naren yang mendengar itu cuma mengangkat alis. Sashi paham sapaan dalam bahasa jawa krama ya? Naren baru tahu. Tapi rasanya agak enggak percaya juga sih. Jangan-jangan tidur di kamar tamu keraton membuat Sashi kerasukan setan jawa.
Tanpa sadar, Naren bergidik. Kayaknya mereka harus segera pergi dari keraton secepatnya sebelum Sashi tiba-tiba bisa nyiden dan menari jawa. Horor juga sih kalo begitu jadinya. Bisa mendadak tuli telinga Naren mendengar nyanyian Sashi.
“Yuk pergi sekarang. Udah ditunggu sama Eyang. Habis ini beliau sibuk soalnya.” Naren mendekat dan mengamit lengan Sashi, lalu tersenyum ramah pada Paidi. “Mari, Kang.”
“Inggih, Den.”
Berjalan beriringan menuju singgasana Sang Raja, Naren bisa merasakan ketegangan di sisi kanannya. Sedari tadi juga Sashi diam tak bersuara.
Naren menundukkan kepala, berbisik di telinga Sashi. “Lo beneran tadi manggil gue Mas? Gue nggak salah dengar kan? Lo manis banget sih.”
Tapi Sashi tetap diam dan terus berjalan, menganggap omongan Naren cuma angin lewat.
Tapi Naren tak menyerah dan berbisik lagi. “Lo nggak lagi kesurupan kan? Tegang banget dari tadi, macam cacing listrik.”
“Nusuk perut lo pake tusuk konde dosa nggak sih? Rasanya gue pengen bunuh lo sekarang,” balas Sashi, berbisik—setengah mendesis, dengan nada sinis yang tidak ditutup-tutupi.
Naren menggigit bibir bawahnya menahan tawa. Sashi benar-benar terlihat lucu kalau lagi gugup seperti sekarang, tampak imut dan judes sekaligus.
Naren melihat ruangan eyangnya yang tersisa sepuluh langkah. Beberapa pengawal tampak berjaga di depan pintu, membuat suasana ruangan itu semakin horor saja. “Lo takut sama Eyang?”
“Nggak!” balas Sashi, terlalu cepat. “Satu-satunya hal yang gue takutin di dunia ini cuma Tuhan.” ia menoleh dan memasang wajah galak. “Dan satu-satunya hal yang gue benci itu terikat sama lo.”
“Hm.” Naren mengangguk singkat, memasang raut wajah pura-pura polos. “Padahal gue seneng kalo terikat sama lo. Lumayan kan ada yang nemenin bobok di rumah.”
“Mati aja lo, setan!” desis Sashi, dengan wajah memerah dan tanduk yang sudah keluar dari kepala. Aura keanggunan yang tadi terpancar dari kebaya yang dikenakan Sashi, kini menghilang, berganti aura hippodevil yang buas.
Dan, kali ini Naren sudah tak sanggup menahan tawa. Ia bahkan sampai menutup mulutnya agar tak memancing perhatian. Ya Tuhan, kenapa enggak dari dulu saja sih Naren bawa Sashi ke sini?
Kan lumayan bisa dapat tontonan gratis.
Kini, jarak ruangan Pakubuwono hanya tersisa dua langkah. Naren segera menormalkan ekspresi wajahnya dan memasang senyum manis. Tanpa banyak bicara, para pengawal yang berjaga langsung membiarkan Naren dan Sashi masuk.
Sebenarnya tadi Naren sudah sempat bertemu dengan kakeknya—sekadar bersilaturahmi dan memberi salam. Naren juga menceritakan soal Sashi yang ikut berkunjung. Mungkin dari luar kakeknya itu terlihat berwibawa dan tegas—menampilkan citranya sebagai seorang Raja dengan segala pemikiran kunonya. Tapi jika mereka cuma berdua saja, Sang Raja hanya akan jadi kakek yang menyayangi cucunya.
“Selamat sore, Eyang,” sapa Naren, memecah lengang sekaligus membuat Sang Raja mendongak dari kegiatannya menekuri sesuatu di atas meja. Beliau mengukir senyuman ramah.
“Wah, sudah datang rupanya kamu Ngger. Duduk dulu,” ujarnya, dengan medok jawa yang khas dan berwibawa.
Naren mengangguk dan segera menuruti perintah. Ajeng juga mengikuti dengan langkah kaku. “Inggih, Eyang.”
“Jadi ini calon ngantenmu, Ngger? Ayu banget. Siapa namanya?”
Naren tersenyum manis. Ia menatap Sashi yang kini memasang wajah kaku. “Inggih, Eyang. Namanya Sashikirana. Orangnya emang pendiem Eyang, malu-malu kucing. Padahal mah biasanya suka malu-maluin.”
Dan Naren cuma bisa meringis ngilu saat cubitan maut Sashi mendarat di pahanya.
Sashi mengangguk dan mengukir senyuman. “Salam kenal, Eyang.”
“Mbok ya ojo gugup ngono toh nduk ayu, santai kalau sama Eyang. Eyang ndak suka gigit orang.” tawa Sang Raja terdengar, raut wajahnya yang dipenuhi beberapa keriput tertarik, makin menegaskan usia dan kematangannya.
Dan Naren belum sempat menanggapi eyangnya saat pintu tiba-tiba diketuk dan muncul seorang laki-laki berperawakan gagah, wajah pribumi berbalut beskap megah berwarna hitam. Langkahnya tegas, senyum penuh wibawa tersungging di bibirnya yang agak tebal.
Ketika jarak tersisa dua langkah, pria itu mengangguk hormat. “Nuwun sewu, Eyang. Maaf mengganggu. Tapi Eyang sudah ditunggu tamu di luar.”
“Hm. Suruh tunggu sebentar, Eyang masih ada perlu sama calon mantu.”
“Inggih, Eyang.”
Dan Naren masih bisa melihat pria itu melayangkan tatapan sinis pada Naren sebelum berbalik dan keluar dari ruangan. Naren sendiri tidak tahu apa alasan Sang Putra Mahkota itu membencinya?
Apa karena Naren cuma aib di keraton dan tak seharusnya berada di sini?
Padahal Naren sama sekali tak berminat untuk merebut tahta darinya.
Daripada jadi raja dan bersandiwara setiap waktu, lebih baik Naren jadi kuli bangunan saja.
***
“Wagelaseh. Sumpah ya. Seumur-umur gue kenal sama lo, Sashi, baru kali ini gue liat lo mati gaya. Mana nih taring yang biasa lo liatin ke gue? Udah tumpul ya?”
Naren berujar di sela-sela tawanya. Kini mereka sedang dalam perjalanan ke kamar Sashi, melewati taman bonsai kesukaan eyangnya yang tak banyak orang lewat. Sedang Sashi sendiri masih memasang wajah jengkel.
“Ha-ha-ha.” Sashi tersenyum mengejek. “Ketawa aja sepuas lo Bejo! Dan liat nanti siapa yang bakalan malu pas kita nggak jadi nikah!”
Sebelah alis Naren terangkat. “Oh ya? Siapa bilang kita nggak jadi nikah? Besok keluarga gue bakal ke rumah Bunda Ratu buat lamar lo.”
“NGGAK USAH NGACO KALO NGOMONG!”
Naren segera membekap mulut Sashi, matanya menatap awas pada sekitar, “Sssttt. Jangan keras-keras kalo ngomong. Calon istri Raden Mas itu harus anggun. Nggak boleh teriak kayak orang utan.”
Dan Sashi berontak sekuat tenaga. “Tangan lo bau pete astaga! Lo abis makan nggak cuci tangan ya!”
Naren mengangguk tengkuknya, tersenyum polos. “Lupa. Tadi makan sambel pete enak banget soalnya. Jarang-jarang kan makan pete kalo di rumah.”
Mata Sashi melotot, dengan tangan refleks membersihkan mulut bekas bekapan tangan biadab Naren. “Astaga! Bibir gue terkontaminasi bakteri level seribu! Najis.”
“Apasih lebay banget. Awas aja nanti kalo kita udah nikah terus lo mendesah-desah di bawah tangan gue.”
“LO NGOMONG APAAN SIH BEJOOO! Sialaaaan!”
Dan, tawa Naren meledak. Ia buru-buru kabur sambil setengah menjinjing jarik super ribet yang ia kenakan sebelum sepatu Sashi mendarat di kepalanya.
Astaga... kenapa mengusili Sashi bisa semenyenangkan ini sih?
***