Mikael POV
"Bangun sayang, sudah siang. Temanmu datang nih." Sayup-sayup aku mendengar suara Mama membangunkan aku, tapi aku masih begitu mengantuk jadi kutarik selimut hingga menutupi kepalaku.
"Masih ngatuk, Ma. Lagian hari minggu juga. Suruh pulang saja." Mengeluh masih sambil memejamkan mata, mencoba kembali melanjutkan tidurku. Lalu tak lama kudengar suara langkah kaki menjauh dan pintu tertutup. Mama pengertian deh! Aku pun kembali memasuki alam mimpi, tapi mendadak gangguan datang.
BRAK! Buk! Buk! Buk!
Pintu kamarku dibuka dengan kasar. Bisa kurasakan badanku tengah dipukuli berkali-kali menggunakan bantal, diiringi dengan suara teriakan yang memekikkan telinga.
"Bangun!! Bangun!! Jangan ngebo lu!! Mikael, bangun!!"
"Iya ...iya ... Gue bangun!! Puas lu!!!" Siapa lagi kalau bukan ibu-ibu rese satu itu.
Aku membuka selimut yang menutupi tubuhku dengan kasar. Mukaku kubuat semasam mungkin. Sedangkan si cewek pengganggu tidurku ini, hanya cengengesan nggak jelas. "Nah gitu dong! Yuk sarapan, terus lu ikut gua ke rumah utama." Kemudian mengucapkan hal gila sambil senyum manis.
Aku langsung kesal. "Cih. Sarapan sih boleh, tapi ke rumah lu? Gua ogah!! Entar ketemu abang b******k lu lagi." Pasang muka bete, nggak mood dengan pembicaraan mengenai pria itu.
Dia malah mencubit pipiku gemas. "Ih ... nggaklah, palingan ketemu bonyok gua doang." Aku kembali mendengus gak suka mendengar perkataannya. Dengan malas, berjalan ke arah dapur tanpa membalas omongannya.
Karena sama-sama sudah kelaparan, kami pun sibuk makan dalam diam. Habis itu aku kembali ke kamar untuk mandi. Setelah sudah bersih dan wangi, aku kembali ke ruang tamu menemui cewek resek itu dengan muka kusut dan sebel, tapi pas sampai di ruang tamu, muka kusutku seketika tergantikan menjadi senyuman lima jari. "LEXIE. LEXUS. GUA KANGEN!!! KASIH KE GUA. SINI!! SINI!!" Bersemangat melihat si kembar tengah di gendong Mama dan Papa. Aku suka banget dengan anak-anak, apalagi bayi si Alex cakep kayak emak bapaknya. Jadi makin suka.
"Duh Mikael, jangan teriak-teriak begitu, mama jadi kaget kan," omel mamaku, sambil mencubit pelan lenganku.
"Habis Alex nggak kasih tahu kalau dia datang bawa twins. Kalau tahu, kan gua mandinya cepetan dikit." Aku membela diri, mengambil Lexie dari gendongan Mama. Mereka sangat mudah dibedakan, Lexie berambut cokelat kayak Fabian. Sedangkan kembarannya Lexus, berambut hitam kayak Alex. Walaupun mukanya masih mirip-mirip dikit sih ... namanya juga kembar.
"Mana bonyoknya, Ma?" tanyaku ke Mama, sambil menimang Lexie. Aku baru sadar kalau Alex maupun Fabian nggak kelihatan.
"Ada di halaman, sedang ngobrol dengan Hyori," jawab papaku. Hyori adalah kakak perempuanku.
"Oh... terus mereka ke sini pagi-pagi buat apa, Pa?"
"Mana papa tahu, itu,kan teman kamu Mikael. Lagi pula ini bukan pagi lagi, sudah hampir jam satu siang," ucap papa sambil geleng-geleng kepala. Aku hanya nyengir kuda, sambil mengambil Lexus dari papaku. Sekarang si kembar sudah ada di gendonganku. Mereka sangat jinak, nggak rewel gitu.
"Mikael ajak si kembar jalan-jalan dulu ya," pamitku sambil berjalan ke halaman mencari Alex. Aku berniat mengajaknya ke mall bareng si kembar.
Begitu ketemu langsung kusamperin. "Lex, mana Kak Hyori? Mama bilang bareng lu, kok lu malah duduk sendirian sambil cabutin bunga mama gua sih. Fabian ke mana?" bertanya beruntun sampai membuat Alex memutar mata bosan.
"Ih ... tanya satu-satu dong! Hyori ditelepon temannya jadi masuk ke dalam, gua ke sini nggak bareng Fabi dan gua lagi nungguin lu tahu! Mandi kayak cewek aja lu, sampai hampir satu jam. Yuk jalan, bawa mobil lu, gua ke sini di antar tadi." Dia ngomel-ngomel masih sambil cabutin bunga Mama.
"Biar! Daripada lu mandi cuma tiga menit, jorok banget. Yuklah jalan! Kita ke mall, gua mau sekalian belanja." Aku ikutan ngomel, masa bodoh dia mau nunggu berapa jam.
"Eh, bentar. Kita mau ke rumah gua! Kan tadi gua sudah bilang." Yaelah, Alex protes lagi.
"Gua nggak mau! Nih minggu, lagian gua nggak siap ke tempat yang penuh dengan kenangan abang lu! Jalan ke mall atau gua molor lagi!" Finalku, kali ini aku nggak mau kompromi, gimana pun hatiku masih sakit gara-gara Vian. Jadi, Alex yang harus mengalah.
"Ya sudah, gua nyerah,” ujarnya. Aku tersenyum puas jadinya.
***
Sulvian POV
"Dasar tidak berguna! Bagaimana mungkin kalian bisa tidak tahu kalau perhiasan yang dipajang hilang! Apa saja kerja kalian!!" bentakku ke beberapa karyawan di Tiffany Jewerly, salah satu toko perhiasan milikku yang terletak di sebuah mall yang cukup besar. Tadi pagi aku mendapat laporan, bahwa ada beberapa perhiasan yang dicuri dan di sinilah aku sekarang. Ditemani oleh Yakub, memarahi orang-orang tidak berguna ini.
"Maafkan saya, Tuan. Saya tidak menyangka kalau ada karyawan yang berani mencuri barang dagangan di tempat ramai seperti ini." Pria setengah baya yang merupakan manajer toko ini, tengah menjelaskan dengan gugup di hadapanku, tapi tentu aku tidak peduli.
"Karena itulah kalian bisa kecolongan. Mentang-mentang toko terletak di tengah mall yang ramai, kau bisa seenaknya pergi dan meninggalkan toko di tangan karyawan baru!! Kau pikir dengan maaf masalah akan selesai!!" Aku kembali berteriak padanya di depan toko, mengabaikan orang-orang yang mulai melirik karena penasaran. Pria itu hanya menundukkan kepalanya kehilangan kata-kata.
"Jika sudah –" Aku baru mau melanjutkan membentak pria setengah baya itu, tetapi ponsel-ku berbunyi tanda panggilan masuk membuatku berhenti membentaknya. Kuangkat ponsel-ku, tanpa melihat ID si pemanggil.
Sulvian : siapa ini? Ada apa?
Alexandra : ini gua adik lu, gua titip anak gua selama beberapa hari ya!!
Sulvian : dasar perempuan bodoh!! Kau pikir aku ini tempat penitipan anak!
Alexandra : itu kan penerus lu juga! Kalau nggak titip ke elu terus ke siapa? Lu kan tahu kita nggak bisa percaya ke sembarangan orang. Kalau mereka dicelakai gimana.
Sulvian : ke mana suamimu?
Alexandra : ikut kegiatan kampus selama dua minggu, udah pokoknya titip ya!! Mereka ada di belakang lu, gua cabut dulu!!
Klik.
Telepon terputus.
Dasar kurang ajar! Belum selesai bicara, sudah seenaknya memutuskan sambungan telepon. Karena kesal, aku kembali menghubungi adik kecilku, tapi nomornya sudah tidak aktif.
"Apa maunya!? Yakub, cari tahu di mana keponakanku!" titahku ke Yakub. Ia sudah berdiri siaga di belakangku. Tadi aku mengangkat telepon menggunakan loudspeaker, jadi aku yakin Yakub sudah tahu tugasnya.
"Mereka ada di restoran tepat di belakang Anda, Sir Juan. Bersama Tuan Muda Mikael," lapor Yakub. Membuatku terkejut seketika. Refleks aku membalikkan badan ke arah yang di maksud oleh Yakub. Yang benar saja, bocah berambut merah itu tengah duduk di sebuah meja, di dalam restoran itu sambil menggendong salah satu keponakanku. Di sampingnya, ada sebuah kereta dorong bayi yang kuyakini keponakanku yang lain ada di dalam kereta dorong itu. Akan tetapi, adik kecilku tidak ada di sana. Apa maksudnya ini? Jika mengingat kata-kata perempuan itu di telepon tadi, harusnya ia juga berada di mall ini sekarang. Namun, kenapa Mikael malah sendirian di sana?
"Yakub, bereskan masalah di sini!" tTerpaksa aku meninggalkan pekerjaanku ke Yakub. Berjalan pergi ke arah restoran di seberang toko perhiasanku. Tanpa perlu menunggu jawaban dari pria itu. Karena aku yakin, Yakub bisa menanganinya. Sekarang masalahku adalah bayi-bayi itu.
***
Mikael POV
'Gua ada urusan mendadak, penting! Titip anak gua beberapa hari ya!! Entar gua jemput kalau urusan gua sudah kelar. Bye ^o^)/'
Dahiku mengerut membaca pesan singkat dari Alex. Dengan kata-kata tak bertanggung jawab, lengkap dengan emoticon segala. Tadinya kami lagi makan di mall, tapi mendadak cewek resek itu bilang mau ke toilet. Udah 10 menit belum kembali, tiba-tiba mengirim pesan seperti ini. Dia kira anaknya itu barang apa, main titip begitu saja! Aku mencoba meneleponnya, tapi nomornya sudah tidak aktif. Kenapa?
Sekarang aku benar-benar kebingungan dibuatnya. Setelah meletakkan Lexie yang dari tadi kugendong ke kereta bayi, aku berniat pergi ke rumah Fabian mengantarkan twins pulang ke ayahnya. Akan tetapi langkahku terhenti lantaran menabrak seorang pria bertubuh tinggi, yang entah sejak kapan ada di belakangku. Aku menengadah, melihat siapa yang kutabrak.
Deg!
Pria b******k itu! Melihatnya, tanpa pikir lagi, aku langsung saja berbalik arah mencoba menghindarinya. Heran, kenapa bisa bertemu di sini. Namun, tanganku dicengkeramnya, otomatis aku langsung memutar kepalaku untuk protes.
"Lepaskan nggak lu!" bentakku pada pria itu.
"Tidak. Aku ada perlu denganmu." Dia seperti biasanya tak pernah mau mendengarkan.
"Cih. Gue nggak ada urusan sama lu!" Kupasang muka sedatar mungkin, berusaha menyembunyikan sakit hatiku.
"Kemarikan mereka. Mereka milikku!" Tangan pria itu menunjuk ke arah twins, seraya memberi perintah.
"Enak saja! Lu pikir twins itu barang! Mereka bersama gua, pergi lu sana! Sekalian lepasin tangan gua!" Aku mencoba meronta, melepas cengkeraman di tanganku. Walau tahu usahaku bakal sia-sia. Sebab, cengkeraman tangan Vian sangat kuat.
Vian lalu melepaskan tangannya, tapi kemudian ia mendorong tubuhku. Mendesakku ke arah dinding kaca di restoran ini. Ia mengunci pergerakanku, hingga aku tidak bisa lari. Aku meringis karena sikapnya yang kasar. Kali ini aku sudah tidak lagi menahan diri.
"Apa mau lu!" ucapku ketus, sambil mendongkakkan kepalaku menghadapnya.
"Adikku menitipkan mereka padaku. Kau pulanglah dan berikan mereka padaku." Ia berkata dengan tenang. Melirik ke arah kereta bayi, tapi sorot matanya tidaklah setenang kata-katanya. Bisa kulihat ada berbagai emosi yang tidak kupahami di sana.
"Nggak! Gua nggak mau dengarin perintah lu! Alex titip mereka ke gua!" Aku kembali protes, sambil mendorong Vian agar menjauh, tapi apa daya. Dia jelas lebih kuat dari ku, bahkan ia tidak bergeser satu cm pun.
"Mungkin kau lupa, Mika-chan. Mereka keponakanku, lebih baik kau pergi dan tinggalkan mereka padaku." Entah kesambet apa, mendadak pria itu menghela napas dan berbicara lembut padaku. Kontras sekali dengan sikap kasar yang sedari tadi ia tujukan padaku.
"Huh!? Lebih baik kata lu? Ngaco! Emang orang kasar kayak lu bisa ngurus bayi? Yang ada malah lu kelewat emosi dan menyakiti mereka!" Aku tidak akan tertipu lagi dengan sikap sok lembutnya, palingan hanya bertahan lima menit doang.
"Kau ini keras kepala ya! Baiklah jika itu yang kau inginkan." Ia mulai membentak padaku. Tuh kan, apa kubilang. Sikap baiknya cuma bentaran doang.
"Nggak ya nggak! Gua bakal panggil satpam kalau lu tetap maksa." Aku mulai sewot, sikapnya benar-benar seenaknya.
"Tidak akan ada yang mau menolongmu. Sadarlah, dan lihat sekeliling. Setelah perlakuanku padamu, apa pegawai restoran ini ada yang mencoba menolong? Ada yang datang menegur? Tidak ada, bukan? Aku punya setengah dari saham mall ini" Vian tersenyum sinis sambil mengangkat alisnya. Ia tampak kelihatan sangat angkuh. Aku baru sadar, meski kami membuat keributan tidak ada yang berani protes. Huh!! Tuan besar dan kekuasaannya.
"Sialan lu!" umpatku kasar.
Sekarang aku tahu percuma melawannya, tapi aku juga tidak mungkin meninggalkan twins padanya. Aku tahu mereka keponakannya, tapi Hei! Dia seorang yang tiran, kejam dan pemarah. Siapa yang bisa menjamin, kalau dia tidak kehilangan kesabaran dan menyakiti twins?
Aku mengepal tanganku erat-erat, mengumpulkan keberanian untuk memelototinya. "Gua tetap nggak bakal serahin ke lu! Apa jaminannya kalau lu nggak bakal kehilangan kesabaran dan berbalik menyakiti mereka?" Aku bersikap sesinis mungkin, meminta penjelasan.
Ia mengerutkan alisnya tampak berpikir sebentar. "Baiklah, kau dan anak-anak itu ikut denganku." Mulutku menganga lebar tak percaya, aku ikut sama dia? Itu artinya aku bakalan nginap di rumahnya sampai Alex balik? Nggak ... nggak ... aku nggak mau!
"Siapa sudi! Emang lu siapa gua? Gua nggak mau ikut sama lu!" pekikku frustrasi. Dari tadi aku sudah menahan rasa sakit hatiku, berada sedekat ini dengannya. Dan sekarang dengan mudahnya, ia menyuruhku ikut dengannya. Setelah ia membuangku begitu saja. Dadaku sesak, mataku memanas ... bisa kurasakan air mataku mulai jatuh. Aku benci padanya, gara-gara dia aku menjadi begitu cengeng.
Namun, pria ini tidak pernah peduli dengan orang lain. Ia mengangkatku seperti karung beras dan membawaku pergi bersamanya. Memerintahkan pelayan restoran itu, untuk membawa twins mengikutinya. Aku sudah tidak lagi melawan, rasanya percuma berbicara dengan orang seegois Vian.
Sulvian POV
Hari ini sungguh buruk! Kenapa aku harus terjebak di situasi seperti ini?
Aku duduk di sofa ruang tamu apartemenku. Memijit keningku lelah. Setelah membawa Mikael dan keponakanku ke sini, bocah itu malah menangis tanpa henti dari tadi! Demi Setan! Dia laki-laki berumur 20 tahun! Kenapa ia begitu cengeng? Setelah berhasil menjauhkannya dari ku selama dua bulan ini, kenapa sekarang aku harus terjebak lagi dengannya.
Harusnya kutinggalkan saja ia di mall tadi! Bahkan bayi-bayi itu begitu tenang dibandingkan dengan Mikael. Dasar bocah merepotkan! Dan hal sialan apalagi yang membuatku, justru merasa bersalah melihat tangisannya. Hatiku terasa teriris melihatnya seperti ini.
Argh! Aku tidak tahan lagi.
"Cukup! Berhentilah menangis seperti perempuan!" bentakku.
Ia berhenti menangis, tapi sekarang wajahnya berubah menjadi takut dan tangannya gemetaran. Sialan! Ada apa dengannya? Aku benar-benar tidak suka situasi seperti ini. Bahkan wajah ketakutannya, ikut membuatku merasa sedih.
"Apa peduli lu! Lu pikir gua takut sama lu, dasar b******k!" Dasar bocah! Ia malah nyolot begitu, padahal sudah terlihat jelas bahwa ia ketakutan.
Semua ini membuatku gila! Aku tidak tahan melihatnya seperti ini. Dua bulan menjauh darinya sudah cukup membuatku sadar kalau aku menginginkannya di sisiku. Aku ingin dia menurut padaku. Aku ingin dia mencintaiku. Baiklah! Kuakui aku memang seorang gay sekarang, aku sadar bahwa aku mencintainya. Tadinya aku berniat melepaskannya dan tak pernah muncul lagi di hadapannya. Membiarkan ia hidup bebas jauh dari ku, tapi terima kasih pada adik kecil kurang ajarku. Yang membuat kami bertemu dan terjebak dalam situasi seperti ini. Kali ini, selamanya tidak akan pernah kulepaskan bocah ini. Tidak peduli jika ia menangis dan memohon untuk pergi dari ku, selamanya tidak akan pernah kulepaskan walau harus mengurungnya di sisiku.
Aku berjalan mendekatinya, menariknya ke pelukanku, memaksa ia duduk di pangkuanku. Mengabaikan sikap memberontaknya, kulingkarkan tangan kiriku di pinggang rampingnya. Mendesak ia hingga punggungnya menempel pada dadaku. Tangan kananku membelai lembut pipinya, menghapus sisa air matanya. Aku hirup dalam-dalam aroma rambutnya, aroma yang begitu kurindukan bagai candu. Aku sungguh tidak mengerti kenapa selama ini aku begitu keras kepala tidak bisa menerimanya begitu saja, padahal berada di dekatnya seperti ini saja, sudah membuatku merasa begitu nyaman.
"Kenapa lu lakuin ini?" bisik Mikael lirih, tapi terdengar sangat jelas di telingaku. Karena jarak kami yang begitu dekat. Dia mempertanyakan sikapku padanya.
"Karena aku ingin. Karena kau milikku, Mika-chan. Saat ini dan selamanya." Aku tak menjawabnya dengan baik, tak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Yang kutahu hanyalah kalimat memerintah. Bertindak seenaknya, mencoba membuatnya paham dengan tindakanku.
Kupererat pelukanku, kali ini kedua tanganku sudah melekat kokoh di pinggangnya. Namun, Mikael malah marah. Ia memberontak, mencoba lepas dari pelukanku. Meskipun ia tahu bahwa tindakannya percuma saja. Karena aku jelas jauh lebih kuat darinya. Dengan frustrasi ia berteriak padaku, "Gua bukan barang milik lu! Yang bisa seenaknya lu buang begitu bosan, ambil kembali kalau ingin!" Sepertinya, perasaanku tak sampai padanya.
"Kau memang bukan barang, kau kekasihku, Mikael." Kuperlembut cara bicaraku, sambil menciumi puncak kepalanya. Berharap emosi Mikael yang meledak-ledak bisa tenang, tapi dia tak tenang. Malah bersikap semakin liar. Meski itu justru membuat ia terlihat manis di mataku. Kurasa ia benar-benar telah sukses mengubahku tanpa disadarinya.
"Hah!? Kekasih lu bilang? Masih punya muka lu ngaku-ngaku gitu? Ingat lu yang buang gua gitu aja tanpa penjelasan apa pun! Lu yang campakkan gua duluan!" Mikael mencemooh padaku. Ia kembali menangis, raut wajahnya tampak begitu terluka.
Aku kehilangan kata-kata. Bertanya dalam hati, seberapa besar aku telah melukainya selama ini? Hatiku terasa tertohok, merasa sangat bersalah. Namun, kata maaf ataupun cinta bukan sesuatu yang akan kuucapkan dengan mudah. Malah mungkin selamanya tidak akan pernah kuucapkan. Aku hanya bisa mencoba menyampaikan kembali dengan tindakanku. Menarik tubuhnya hingga semakin mendekat padaku, mengecup kedua matanya dengan lembut. Berharap dia berhenti menangis.
"Aku tidak akan melakukannya lagi. Mulai sekarang aku berjanji akan memperlakukan mu dengan baik, aku akan menjaga dan menghargaimu," kataku serius. Setidaknya itu yang bisa kukatakan padanya. Karena pasti akan kutepati, aku adalah orang yang selalu memegang omonganku.
Mikael menatap mataku dalam diam. Ia tidak lagi memberontak. Wajahnya sedikit memerah, sangat imut melebihi wanita sekalipun. "Kenapa? Setelah lu buang gua, sekarang lu berbuat begini ke gua?" Ia bertanya, lalu menundukkan kepalanya. Kedua tangannya sibuk memainkan ujung kaus yang ia pakai, tampak salah tingkah dan gugup.
"Karena aku menginginkanmu di sisiku. Karena kau berharga bagiku dan karena aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu," ucapku lembut padanya. Seolah bukan diriku sendiri. Aku melakukan hal yang tidak pernah kulakukan selama ini, mengucapkan kata-kata yang bahkan tidak pernah kupikirkan. Otakku bekerja sendiri mengikuti kemauan hatiku. Aku telah kalah dari perasaanku padanya.
Raut muka Mikael lalu berubah terkejut tidak percaya. Ia terdiam kehilangan kata-kata, atau mungkin sibuk dengan pikirannya sendiri. Membuatku tergelitik untuk menyentuhnya, mengecup pelan bibirnya. Ia tidak menolak. Kulirik wajahnya, mencoba membaca ekspresinya. Tatapan matanya menjadi sedikit lembut berkaca-kaca ... sungguh manis.
Kuelus wajahnya menerusuri garis rahangnya. Ia pun menutup matanya, menikmati sentuhanku. Kulanjutkan mengecup keningnya, lalu hidungnya dan kemudian turun ke bibirnya. Saat ini posisi kami telah berubah. Ia duduk mengangkangiku. Wajah kami saling berhadapan, satu tanganku di punggungnya mengelus di sekitar tulang belakang. Tangan yang lain di sekitar wajahnya. Kembali kulumat bibirnya, Mikael kemudian membalas ciumanku dengan antusias. Namun, perlahan tidak terburu-buru. Kedua tangannya telah melingkar di leherku, memainkan ujung rambutku. Ia bahkan melepas kunciran rambutku, mengacaknya dengan cara yang seksi.
Ciuman yang awalnya lembut, berubah menjadi semakin menuntut. Entah siapa yang memulai, kini kami saling menjilat, menggigit, dan melumat seolah kecanduan. Lidah kami bertemu saling menggelut, berdansa bersama. Tanganku mulai menjelajahi tubuhnya, mengelus perutnya.
"Hue ... hueee ...." Hingga suara tangisan bayi-bayi itu, menyadarkan kami ke kenyataan. Segera Mikael meloncat turun dari pangkuanku, pergi menimang si kecil, meninggalkanku yang begitu kesal. Aku lupa, kami seharusnya mengasuh setan-setan kecil itu. Dengan terpaksa aku juga melakukan hal yang sama kepada keponakanku yang lain.
Mikael tersenyum saat melihatku menimang bayi itu. "Gua nggak tahu kalau lu bisa ngurus bayi," ucapnya, sedikit bercanda.
"Tentu saja bisa! Tidak ada yang tidak bisa kulakukan!" Dan kubalas dengan percaya diri, membuat ia tertawa kecil. Sepertinya ia sudah memaafkanku. Baguslah, setidaknya aku tidak perlu berkata maaf padanya. Akhirnya kami malah jadi mengurus mereka. Dasar adik tidak berguna! Lihat saja nanti, aku akan membalasnya karena sudah menjadiku pengasuh anaknya.
***
Mikael POV
Aku tersenyum-senyum sendiri mengingat perkataan Vian beberapa hari yang lalu. "Karena aku menginginkanmu di sisiku, karena kau berharga bagiku dan karena aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu." Bolehkah kuanggap itu sebagai pernyataan cinta? Lagian sekarang aku sudah kembali tinggal di apartemennya. Setelah menenangkan twins, Vian mengajakku bertemu Papa dan Mama untuk memintaku kembali tinggal bersamanya. Awalnya papaku nolak, tapi pria itu pemaksa dan jelas sangat berbahaya. Maka dari itu Papa terpaksa membiarku kembali padanya.
Dia benar-benar seenaknya. Apalagi sekarang aku ke kampus dikawal oleh Rei, salah satu asistennya. Entah ia tahu dari mana mengenai persoalan di bar selama kami putus dulu, yang jelas Vian marah-marah dan memerintahkan Rei mengikuti aku 24 jam selama ia tidak sedang bersama denganku. Bahkan ia memberlakukan sangat banyak peraturan yang menguntungkannya saja. Harusnya aku protes, tapi aku malah luluh mengingat sikap lembutnya padaku tempo hari.
Mungkin aku terlalu mudah memaafkannya, tapi apa boleh buat aku. Sudah terlanjur cinta kepadanya. Apalagi selama beberapa hari ini, kulihat ia benar-benar mengurus twins dengan sangat baik. Sampai-sampai aku shock melihat sesosok Sulvian yang kasar dan pemarah itu ... bisa begitu piawai dalam mengurus bayi.
"Tuan Mikael, saya permisi dulu," pamit Rei. Suaranya membangunkanku dari lamunan, kulihat di hadapanku sudah ada Vian yang tengah bersandar di depan mobilnya. Dibalut setelan jas berwarna abu-abu yang begitu pas di badannya. Begitu tampan hingga ia menjadi pusat perhatian orang-orang yang lewat, baik cewek mau pun cowok. Bahkan ada sekelompok senior cewek yang mendekatinya mencoba merayu Vian-ku.
Aku yang kesal melihat keganjenan mereka, buru-buru berjalan mendekatinya. Salah satu dari senior itu merangkul lengannya. Aku ingin berteriak marah, tapi Vian sudah membentaknya terlebih dahulu. "DASAR PEREMPUAN JALANG!! JAUHKAN TANGAN KOTORMU DARI KU!!" Menghempaskan senior itu dengan kasar, hingga ia terjatuh terduduk di halaman kampus. Pandangan matanya terlihat marah dan menghina. Aku sampai tak bisa berkata-kata melihat seberapa kasar dia. Padahal lawannya cewek, tapi kenapa ia bisa sekasar itu?
"Sakit ... apa-apaan kamu! Bagaimana kalau lukaku membekas? Kau harus tanggung jawab." Senior yang jatuh itu telah bangun dibantu oleh temannya. Ia protes marah ke Vian, menunjuk pahanya yang tergores aspal saat jatuh tadi. Sontak membuat anak-anak yang kepo datang berhamburan, berniat nonton. Beginilah sikap mahasiswa kurang kerjaan. Akan tetapi muka Vian malah terlihat semakin marah, ia kembali membentak senior cewek itu, mengabaikan massal yang sedang kepo.
"PERSETAN!! ITU YANG PANTAS DIDAPATKAN WANITA JALANG SEPERTI MU! ENYAH DARI HADAPANKU, SEBELUM KUPATAHKAN TANGANMU!" Seketika itu massal langsung heboh, ada yang bersorak mendukung Vian, ada yang menghina dan mencemoohnya karena berbuat kasar pada cewek.
Senior cewek itu tampak tidak takut. Ia malah menantangnya, "Coba saja kalau berani? Aku akan lapor ke polisi," ucapnya, disertai senyum culas meremehkan. Aku langsung ketakutan. Bukan takut Vian dilaporkan, tapi takut senior itu dicelakai oleh Vian. Bergegas aku mendekat, tapi terhalang oleh anak-anak yang tengah bersorak ricuh.
Vian lalu tersenyum sinis, menatap cewek di hadapannya merendahkan. Lalu tanpa basa basi, ia mencengkeram tangan kanan senior itu. Membengkokkan tangan cewek itu ke belakang, membalik badannya dan menginjak punggung senior itu tanpa ampun. Wajahnya terlihat senang, terkekeh sampai tangan kanan perempuan itu benar-benar patah.
Cewek itu memekik, terisak-isak karena tangannya yang baru saja dipatahkan. Massal terdiam, aku pun terpaku shock!! Bahkan di tempat seramai ini dia sesantai itu mematahkan tangan seseorang? Betapa menakutkannya laki-laki yang kupacari.
Tidak hanya sampai di situ, setelah teman-temannya cewek itu mendekat mencoba menolongnya, Vian tersenyum makin mengerikan. Ia mengeluarkan pisau dari sakunya, meletakkan pisau itu di leher senior cewek yang tengah menangis ketakutan. Mengancam dengan suara dingin tampak angkuh. Di tangan satunya, ia menggenggam sebuah pistol berlaras panjang yang sudah dipasangi peredam suara.
"Jadi jalang, ucapkan selamat tinggal pada hidupmu."
Melihat Vian mulai menggores leher cewek itu, aku langsung tersadar dari rasa shock. Buru-buru aku berteriak, "Vian, hentikan!" Lalu berlari ke arahnya. Kali ini tidak sulit bagiku, karena anak-anak yang tengah shock itu membukakan jalan untukku. Aku segera memeluknya dari belakang, menghentikannya sebelum ia benar-benar membunuh senior itu.
"Oh, Mikael. Aku sedang memberi pelajaran pada wanita jalang ini," ucapnya santai, terlihat kalau emosinya telah surut.
Agak menakutkan, tapi aku harus melakukan sesuatu. Aku harus membujuknya. "Dengan mematahkan tangannya? Itu kejam, Vian. Hentikan." Aku meminta dengan lembut, agar dia mau mengerti.
"Tidak, aku berniat menghabisinya." Namun, ia seperti tak mengerti maksudku, wajahnya tampak sangat serius saat mengatakan itu. Lalu ia menunjuk ke arah samping, ada Rei dan beberapa orang berpakaian serba hitam. Aku menaikkan alisku menatap Vian, setelah melihat orang-orang itu. Dia pun melanjutkan kata-katanya, "Rei dan orang-orang itu akan membereskan mayatnya, menyembunyikan kasus ini dengan baik." Memberiku penjelasan seolah semua ini hal sepele.
Setelah itu aku langsung terdiam, dia sungguh serius. Merasa tak mungkin bisa membujuknya, kulemparkan pandangan ke sekeliling. Mencoba mencari pertolongan, tapi anak-anak yang nonton sudah pada gemetaran ketakutan, dan kelompok cewek senior tadi menangis semakin kencang, mereka tahu pria ini tidak hanya menggertak.
"Hentikan! Kumohon ... aku tidak mau mencium bau darah dari tubuhmu. Kalau kau sampai membunuhnya." Pada akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah merengek asal. Berharap dia berhenti dengan sendirinya, tapi Vian tidak peduli. Dia hanya mengelus rambutku lembut, lalu menatap cewek itu dengan tajam.
"Tidak usah takut Mikael, bau darahnya akan segera hilang setelah mandi." Kemudian ia berjalan mendekat ke arah senior yang sedang mencoba lari, tapi sayang tangannya tertangkap oleh Vian yang membuatnya menjerit keras.
"Pembunuh! Menjauh dari ku! Apa yang kalian lihat? Tolong aku, kumohon ... lepaskan!" Beserta pekikan lainnya. Hal sia-sia yang bahkan tidak membuat Vian terganggu sedikit pun. Orang-orang hanya tetap menonton sambil menjaga jarak, begitu juga denganku. Yang hanya bisa terpaku diam di tempat, melihat sisi gelap dari pria yang kucintai.
Begitu Vian melayangkan pisaunya, tangan yang memegang pisau ditahan oleh Alex. "Dasar gila lu!! Belum cukup apa minggu lalu lu bunuh orang di depan cafe! Sekarang lu mau lakuin lagi di kampus gue! Please, kalau mau jadi psikopat di tempat sepi, jangan tempat ramai kayak ini! Ini nih, yang ngebuat para kolega kita mengecap jelek ke keluarga kita! Lu sama Bokap sama saja. Dikit-dikit habisin orang, cuma karena masalah sepele!" Aku langsung mengembuskan napas lega, terduduk lemas mendengar omelannya. Massal yang menonton pun menahan napas penasaran dengan apa yang akan terjadi.
"Jangan ikut campur urusanku. Perempuan jalang ini sudah bersikap kurang ajar dan ia pantas dihabisi" Vian masih saja bersikap dingin, memasang ekspresi wajah tidak terbaca. Sedangkan Alex yang sudah melepaskan cengkeraman tangannya, hanya memutar matanya malas. Kembali berargumen, membawa-bawa namaku di dalam perdebatan mereka. Hingga akhirnya, Vian terpengaruh juga.
Dia menatapku lalu kembali menatap Alex dan Rei. Setelah itu, ia menyimpan pisau dan pistolnya. "Baiklah, untuk kali ini akan kulepaskan." Lalu ia menarik tanganku, merangkul pinggangku menuntunku masuk ke dalam mobil.
Sebelum pergi, aku sempat melihat Alex tersenyum menenangkan. Sedikit merasa tenang, aku duduk manis. Menunggu Vian masuk dan duduk di kursi pengemudi. Kemudian melajukan mobilnya menjauh dari kampus.
Sepertinya aku tidak perlu khawatir akan cemburu pada cewek-cewek yang mendekatinya, tapi sebaliknya ... aku jadi sangat mengkhawatirkan nyawaku sendiri. Cemas jika suatu saat aku membuatnya marah, ia akan membunuhku juga. Aku meringis takut membayangkan kemungkinan itu. Namun, segera kutepis pikiran buruk itu. Menggenggam kedua tanganku erat, yang kini tengah gemetaran hebat. Mendadak mobil terhenti di pinggir jalan, aku langsung terkejut semakin takut. Kulirik ke arah Vian, ia menatapku lembut. Seolah orang yang berbeda.
"Tidak apa-apa. Jangan takut Mikael, aku tidak akan pernah menyakitimu," ucapnya. Sangat lembut, lalu mengambil tanganku ke genggamannya. Menciumi keduanya bergantian, meninggalkan rasa hangat yang membuatku berhenti gemetaran. Setelah itu ia tersenyum hangat padaku.
"Percayalah padaku Mikael." Aku mengangguk sebagai jawaban, lidahku masih terlalu kelu untuk berbicara. Setelah itu ia mencium bibirku lembut tanpa nafsu, hanya rasa sayang yang kurasakan. Refleks aku pun membalas ciumannya. Vian kelihatan lega setelah itu. Ia pun kembali melajukan mobil sambil mengambil telepon. Menelepon Alex, menyuruhnya menjemput twins dari apartemennya setelah melihat cewek itu ada di kampus tadi. Sementara aku hanya diam sibuk dengan pikiranku sendiri.
***
Sulvian POV
Kututup pintu kamar Mikael, perlahan agar tidak membangunkannya. Setelah pulang dari kampus tadi, ia tertidur begitu saja di mobil. Selama perjalanan kami juga tidak banyak bicara, hal ini membuatku sedikit khawatir. Apakah ia menjadi takut padaku?
Kembali aku mengingat hal gila yang kulakukan tadi. Kuhempaskan badanku jatuh ke kursi malas yang terletak di beranda. Bukan berarti aku begitu senang membunuh dan menyiksa wanita jalang itu. Hanya saja, setiap kali ada perempuan yang menyentuhku seenak saja selain keluargaku, membuatku kehilangan kontrol atas emosiku. Kenangan kelam itu terus mengulang-ulang di kepalaku. Seperti sebuah kaset rusak yang membuat setan gila di dalam hatiku terbangun. Membuatku begitu bersemangat menikmati teriakan putus asa wanita yang kusiksa. Aku tahu bahwa aku sakit, tapi selama tidak ada orang bodoh yang berani mengusikku, maka itu tidak akan menjadi masalah. Selama aku hidup sendiri tanpa ikatan dengan siapa pun, maka aku tidak perlu memikirkannya.
Namun sekarang berbeda, ada Mikael di sisiku dan ia jelas tidak akan memahami ketiadaknormalanku. Terlebih, aku takut jika suatu hari aku akan menjadi cukup gila untuk membunuhnya dengan tanganku sendiri. Memikirkannya saja, sudah membuatku sakit kepala.
Semakin aku mencintai bocah itu, semakin berat hari yang akan kujalani mulai sekarang. Aku butuh orang yang bisa melindungi Mikael dari ku. Jika aku kehilangan kontrol atas emosiku. Dean dan Marvis, selama ini hanya mereka yang bisa kupercaya untuk segala masalahku, tapi mereka tidak di sini sekarang. Dan kehidupan tidak selalu berjalan seperti apa yang kuharapkan. Mereka punya kehidupan sendiri dan ada perusahaan yang harus mereka tangani.
Bunyi bel membawaku kembali dari lamunanku. Aku kemudian melangkah berjalan ke depan, membukakan pintu. Adik kecilku muncul dengan raut muka dinginnya, seperti memberiku sebuah sinyal. Membuatku tersadar bahwa ia bisa ku pergunakan.
Perempuan ini telah kulatih sendiri sejak dia berumur 4 tahun. Selain dia mempunyai badan yang terhitung terlalu tinggi dan kuat untuk seorang wanita, ia juga menguasai beberapa cabang bela diri hingga sabuk hitam. Ahli menggunakan pisau, pedang, senjata api, racun dan bahkan merakit bom. Ia juga ahli menggunakan komputer, seorang hacker handal yang mampu mencuri informasi apa pun. Serta ahli dalam menyembunyikan orang, tanpa bisa kulacak. Dan yang paling penting, di saat mendesak ia mampu mengontrol emosinya dengan sempurna. Mengambil keputusan tepat tanpa keraguan, serta terbiasa dengan siksaan fisik dan mental.
Memang terdengar seperti seorang agen, tapi itulah adik kecilku. Karena saat muda dulu, aku masih begitu takut dengan traumaku ke Abigail. Maka kulampiaskan dengan melatih adik kecilku secara berlebihan dan keji. Tak jarang aku memukuli dan mematahkan tulangnya cuma karena hal sepele. Bahkan waktu ia berumur tujuh tahun, aku pernah memaksanya minum racun cuma karena ia salah menebak jenis racun ular yang kutunjukkan padanya. Bila kuingat kembali masa kecil kami ... jujur saja. Aku merasa kalau aku terlalu kejam dan b******k dalam mendidiknya.
Tidak heran adik kecilku menjadi tidak normal dan benci kepadaku, tapi lihat sisi baiknya. Dia tumbuh menjadi seorang yang begitu kuat dan bisa diandalkan. Ia mampu melindungi dirinya sendiri dari pembunuh bayaran yang disewa oleh saingan bisnis kami.
"Masuklah," perintahku. Kemudian berbalik badan, berjalan ke arah beranda ruang tengah.
"Gua mau ambil anak-anak gua. Kenapa lu suruh gue masuk dan apaan senyuman menjijikkan tadi?” Diikuti olehnya, meski sambil mengeluh.
"Aku butuh bantuanmu, ini mengenai Mikael." Kuabaikan keluhan itu, berbicara semau ku. Duduk santai, menyilangkan kedua kakiku.
"Oke. Kebetulan gua juga mau bicara mengenai hubungan lu dan Mikael." Lihatlah, sepertinya keberuntungan masih ada di pihakku. Setidaknya aku tidak perlu repot-repot membujuknya untuk bekerja sama. Dia sendiri juga peduli pada sahabatnya itu.
Setelah itu kami pun mulai membuka pembicaraan mengenai Mikael. Memang awalnya ia marah. Karena aku sempat menolak bocah itu dan kehilangan kontrol hingga hampir membunuh di depan Mikael, tapi setelah itu semua berjalan sesuai keinginanku. Ia bersedia membantu melindungi Mikael dari ku. Bila aku menjadi cukup gila untuk melukai bocah kesayanganku itu. Bahkan sebagai bonus, adik kecilku berjanji akan menjauhkan laki-laki lain yang mencoba mendekatinya.
Dengan ini berarti kami telah berdamai. Aku akan berhenti mengatakan bahwa ia tidak berguna dan mencoba untuk tidak mengasarinya lagi. Bagaimanapun juga, kami ini saudara kandung, bukan? Bahkan aku yang membesarkannya sendiri, karena Ayah memberikan tanggung jawab mendidiknya padaku.
***
"Vian, Lexie dan Lexus di mana?" tanya Mikael. Ia tiba-tiba muncul dari kamar tamu. Dengan mata setengah tertutup, tanda ia baru bangun tidur.
"Sudah diambil adikku," aku menjawabnya. Menepuk sofa kosong di sampingku, memberi tanda agar ia duduk di situ.
"Oh ... hem," gumam Mikael tak jelas, masih belum bangun sepenuhnya. Ia lalu duduk di sampingku, menuruti perintah sambil menyandarkan kepalanya ke lenganku. Karena perbedaan tinggi badan kami yang cukup jauh, ia tidak bisa bersandar di pundakku.
Tampaknya ia sudah tidak lagi memikirkan kejadian tadi siang, inilah salah satu sifatnya yang kusukai. Cepat melupakan hal buruk yang menimpanya dan melanjutkan hidupnya tanpa melihat ke belakang. Berbanding terbalik denganku, yang masih terjebak dengan masa lalu.
"Mikael, kemari. Duduk di pangkuanku," pintaku baik-baik, tidak memerintah dan ia menurut begitu saja tanpa protes.
"Ada apa?" Dan baru bertanyanya setelah terbangun sepenuhnya di atas pangkuanku. Kukecup keningnya penuh sayang. "Anak manis. Aku suka saat kau menurut seperti ini." Mengusap puncak kepalanya. Mikael terlihat bingung, tapi ia tersenyum dan itu sudah cukup untukku. Aku menariknya ke pelukanku. Sedangkan ia menyandarkan kepalanya ke dadaku, menyembunyikan wajahnya dari pandanganku.
"Um ... gua boleh tanya sesuatu?" Mikael terlihat gugup saat bertanya. Mata besarnya itu, menatapku intens.
"Tentu. Apa yang mau kau tanyakan?" Aku sedikit senang jadinya.
"Lu sering membunuh cewek yang deketin lu? Kenapa?"
Namun, tubuhku menegang setelah mendengar pertanyaannya. Merasa bingung, apakah aku harus memberitahukan sisi tergelapku? Apa ia akan tetap bersedia di sisiku setelah tahu kekejamanku? Atau sebaiknya, aku menghindar? Tidak ... tidak ... aku harus membicarakan hal ini. Mengabaikannya sekarang, hanya akan membuatku kesulitan nantinya.
Kutarik napas panjang, mengembuskannya pelan. "Ya, jika mereka cukup jalang untuk menyentuhku tanpa permisi." Memberinya jawaban dengan raut wajah datar, mencoba menyembunyikan rasa jijikku di hadapan Mikael.
"Tapi kenapa? Cewek itu lemah. Nggak seharusnya lu jahatin gitu." Kali ini Mikael bertanya dengan suara yang sangat pelan. Ia terlihat ragu dan bingung, gelisah menunggu reaksiku.
"Mereka tidak lemah Mikael. Banyak dari wanita itu yang tampak rapuh tak berdaya, tapi bisa berubah jadi sangat berbahaya jika menginginkan sesuatu. Aku membenci mereka. Bahkan jijik jika harus bersentuhan dengan mereka," jelasku tenang, tapi dalam hati aku mengutuki Abigail, sumber dari traumaku.
"Benarkah?" Mikael mengangkat kepalanya menatapku, membuatku tergoda untuk menciumnya. Bola matanya yang biru dan besar tampak berbingkai cantik di wajah bulatnya yang manis. Sepertinya dia lagi-lagi mengganti softlens yang mencolok itu.
"Iya, jangan tanya lagi. Satu hal yang perlu kau yakini, percaya saja padaku dan aku tidak akan pernah menyakitimu."
"Oke." Aku tersenyum lembut padanya setelah mendengar jawabannya. Merasa lega, mengetahui bahwa dia cukup bisa menerima sisi burukku. Walaupun tidak semua kutunjukkan padanya. Hanya sebagian kecil, bagian terluar dari kegelapan hatiku.
Kugendong Mikael ke kamarku. "Mau apa lu?" Membuatnya sedikit panik, gugup dan tampak mengemaskan, hingga aku jadi ingin menggodanya sedikit.
"Kau tahu apa yang kuinginkan, bocah kesayanganku,” bisikku. Mikael langsung terdiam. Pipinya merona, tampak begitu memesona. Kurasa ia tahu apa yang kami lakukan dan jelas ia tidak menolak.
***
Mikael POV
Aku terbangun di kamar tidur Vian, membuat mukaku memanas mengingat apa yang kami lakukan semalam. Untung saja ia sudah berangkat kerja, jadi aku tidak perlu bertemu dengannya dan menghadapi pagi hari yang memalukan. Segera aku berjalan ke arah kamar mandi, berbersih untuk ke kampus.
Kalau kuingat-ingat kembali, rasanya aku tidak pernah melihat pria itu tidur maupun bersantai. Ia selalu tidur lebih larut dan bangun lebih pagi dari ku. Padahal aku saja bangun jam enam pagi. Dia juga selalu memakai pakaian resmi kantoran, bahkan di hari minggu. Sampai-sampai aku bertanya sendiri, apa dia tidak pernah beristirahat? Kenyataan ini membuatku sadar, bahwa aku benar-benar tidak mengenalnya sama sekali. Selain adiknya yang memang teman sekampus ku, aku tidak mengenal keluarganya sama sekali.
Apalagi setelah kejadian kemarin. Vian bahkan mengaku kalau ia cukup sering membunuh orang, seperti itu sesuatu yang normal. Lalu kenapa kehidupannya seperti itu? Setelah kuingat kembali, aku juga baru sadar kalau semua asistennya, selain Rei, berpenampilan serba hitam dan menakutkan. Mereka membawa senjata ke mana-mana.
Tubuhku seketika merinding ngeri mengingatnya. Kenapa hatiku harus terjebak pada pria psikopat sepertinya? Apakah hidupku akan baik-baik saja setelah ini?
Setelah siap aku langsung ke ruang tamu. Di situ sudah ada Rei dan dua orang pria bertubuh besar seperti bodyguard yang menungguku. Perintah Vian seperti biasanya.
"Rei, mereka siapa? Gua kira yang ditugasi ngejaga gua cuma lu," tanyaku ke Rei, heran melihat kedua pria sanggar itu. Soalnya, biasa nggak ada mereka.
"Mereka Mark dan Cif, Tuan Mikael. Bodyguard Anda mulai sekarang. Atas perintah Sir Juan." Aku langsung menghela napas mendengar jawabannya. Sudah kuduga.
"Cih. Emang lu aja nggak cukup? Buat apa bodyguard segala, kampus aman kok. Siapa juga yang mau celakai gua," omelku, tanpa niat menentang. Hanya mengeluh saja nggak apakan? Toh aku ngerti percuma protes, mereka hanya menjalankan perintah.
"Tidak, Tuan. Saat ini situasi tidak cukup baik. Apalagi minggu depan pertunangan Anda dan Sir Juan akan diumumkan secara resmi. Setelah itu, saya yakin bahwa saingan bisnis akan mengincar nyawa Anda untuk memancing kemarahan Sir Juan." Mataku melebar seketika, mulutku mengangga tidak percaya.
What the hell!?
"Pe-pertunangan? Siapa ...?" tanyaku terbata-bata, saking kagetnya.
"Sir Juan dan Anda, Tuan Mikael. Anda tidak mengetahuinya? Acaranya akan diadakan di Belanda. Bersamaan dengan hari pernikahan Sir Dean dan Sir Marvis." Mendengar penjelasan Rei, aku makin bingung. Dengan cepat aku kembali bertanya, "Siapa mereka? Gua nggak tahu tuh? Lu gak salah? Antarin gua ke tempat Vian."
Aku sama sekali tak ada gambaran mengenai rencana pertunangan itu. Aku butuh penjelasan, semua ini membuatku gila.
"Maaf, Tuan. Sir Juan sudah berangkat ke Belanda terlebih dahulu tadi pagi. Saya mendapat perintah untuk mengantarkan Anda ke kampus untuk mengikuti ujian yang masih tersisa tiga hari. Setelah itu baru saya akan mengantarkan Anda ke sana bersama Nona Alexandra. Dan pesan dari Sir Juan, bila Anda bingung dan butuh penjelasan, Anda bisa bertanya kepada Nona, beliau tahu semuanya lebih detail dari saya."
"Ya sudah, ayo ke kampus!"
Bahkan penjelasan panjang lebar Rei juga tak membantuku. Yang ada, aku malah makin sewot. Gila aja! Aku yang mau tunangan, tapi nggak tahu apa-apa dan malah cewek resek itu lebih tahu. Nggak masuk akal, kan? Dan lagi, Mama dan Papa gimana? Mereka tahu?