Mikael POV
Saat ini aku tengah menangis terisak-isak di kamar tidurku, lebih tepatnya di rumah orang tuaku. Aku tidak mengerti, setelah pergi ke Boston secara tiba-tiba dua minggu yang lalu, Vian mendadak memutuskanku. Ia membuangku begitu saja tanpa penjelasan, bahkan ia tidak melakukannya sendiri. Dia menyuruh asistennya mengantarkanku pulang dan mengatakan bahwa hubungan kami berakhir begitu saja.
Apa masalahnya? bahkan saat ia pergi kami baik-baik saja. Lalu kenapa tiba-tiba ia mencampakkanku? Apa ia sudah bosan padaku?
"Huaaa ... b******k lu Vian! Seenaknya jadikan gua milik lu, terus buang gua begitu saja!" Aku terus berteriak marah dan histeris. Mengabaikan Mama dan Kakak yang sudah ada di sampingku. Mereka mencoba menghiburku, tapi aku nggak peduli. Hatiku sakit! Saat kami mulai dekat, saat aku mulai berharap dan memercayainya, ia membuangku begitu saja.
"Harusnya gua tahu sejak awal kalau dia hanya mainin gua," ocehku, masih sambil terisak.
"Sudah Mikael sayang, lupakan pria itu. Dia tidak pantas untuk ditangisi." Mama mencoba menenangkanku, memelukku erat.
"Diam!! Tinggalin gua sendiri!!" Dan buruknya aku, aku malah membentaknya. Mengusir Mama dan Kakak dari kamarku. Meski mereka mengerti dan akhirnya pergi meninggalkanku sendiri. Habisnya aku juga masih sakit hati ke Mama dan Papa, mereka sudah seenaknya serahin aku ke Vian begitu saja. Setelah pria itu bosan dan mengembalikanku, Mama malah balik menghiburku. Aku meringis mengingatnya, sungguh miris nasibku.
Aku hanya bisa kembali mengulung tubuhku dengan selimut, menyembunyikan kepalaku di balik bantal dan kembali menangis. Mengucapkan sumpah serapah dan caci maki kepada Vian, yang jelas tidak akan pernah didengarnya. Sambil terus menyalahkan diriku sendiri yang begitu bodoh jatuh cinta pada pria egois dan kejam sepertinya.
Seperti itu saja terus tingkahku, hingga seminggu berlalu begitu saja. Dengan sendirinya aku menyerah, pasrah dan tanpa sadar kembali ke kehidupanku sebelum bertemu dengannya. Kurasa air mataku sudah kering dan hatiku telah hancur oleh pria itu.
Pada akhirnya aku tak punya pilihan lain selain melanjutkan hidupku. Berhenti terpuruk untuk orang yang tak pantas. Akan kutunjukkan bahwa aku baik-baik saja!!
Meski aku tetap saja menghindari Alex. Dekat dengannya hanya akan mengingatku pada pria itu, jadi menjauhi adalah pilihan yang tepat bagiku saat ini. Agak sedikit nggak adil bagi cewek itu, tapi aku tidak peduli. Abangnya telah melukaiku dan aku berhak untuk menjauh dari mereka.
"Mika-chan! Yuk pergi, filmnya sudah mau mulai," ajak Niko sambil merangkul pundakku. Aku lalu tersenyum kepadanya. "Oke. Yuklah, cabut," membalas dengan manis. Kami pun berjalan beriringan, diikuti oleh teman-teman kami di belakang. Niko adalah seniorku, dia anak jurusan ekonomi. Kami satu klub, sejak kemarin aku masuk klub penelitian gaya hidup yang isinya mahasiswa yang hobinya hangout gitu. Namanya saja yang klub penelitian. Sok keren, tapi kegiatannya cuma kumpul bareng, jalan-jalan, kencan buta, kemping dan hal-hal nggak berguna lainnya. Aku nggak peduli sih, selama ikut klub ini bisa membuatku bersenang-senang dan melupakan pria itu sudah cukup.
Habis dari bioskop kami ngumpul di rumah Lensie, salah satu senior di klub. Dia bikin party nggak penting banget, tapi aku ikut saja, lumayan bisa ketemu banyak teman baru bahkan dari kampus lain. Aku udah terang-terangan mengatakan bahwa aku adalah gay dan ternyata, tanggapan orang di sekelilingku tak seburuk itu.
Aku masih mendapatkan perlakuan yang baik, masih bisa bercanda tawa dengan orang-orang yang kutemui lewat Lensie. Dan secara tak terduga, mendapatkan sebuah pengakuan yang tak pernah kubayangkan. "Mika-chan, lu mau jadi pacar gua?" Dari Niko. Cowok itu, entah sejak kapan duduk di sampingku.
Kalau dulu aku pasti senang ditembak kayak gini, tapi sekarang ... hatiku bahkan tak tersentuh dengar pernyataan cintanya. Mungkin karena aku baru saja dikecewakan, atau mungkin karena aku tahu ia cuma main-main. Gimana nggak berpikir begitu, orang kami baru kenal kemarin. Catat KEMARIN!!
Siapa yang percaya kata cinta seperti itu? "Gua nggak butuh pacar.” Jadinya, ya aku tolak. Menjawabnya tanpa menatapnya wajahnya sama sekali. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitiku lagi. Tak akan dengan bodohnya merasa senang hanya karena diperlakukan sedikit baik.
“Oh ... Kalau gitu ya sudah. Jadi teman saja.” Niko ditolak malah nyengir, melenyapkan kecanggungan sesaat itu. Tanpa sadar, aku ikut tertawa. “Bego, kita sudah temanan tahu.” Mungkin yang tadi cuma candaan doang.
***
Sulvian POV
Tok ... tok ...
Suara ketukan pintu menyadarkanku dari lamunan. Entah kenapa setelah aku menyingkirkan Mikael, bukan ketenangan yang kudapat, melainkan penyesalan. Wajah bocah berambut merah itu tidak pernah bisa meninggalkan pikiranku. Ia selalu berhasil membuatku termenung melamunkan dirinya.
"Masuk," kataku setelah beberapa saat.
Dari arah pintu masuk ruang kerjaku, memunculkan sesosok pria berpenampilan serba hitam dengan raut muka sangar yang dipenuhi luka sayat di beberapa bagian wajahnya. Yakub, pria itu salah satu asisten, sekaligus hitman pribadiku. Aku menemukannya di Iran, ia seorang mantan tentara bayaran.
"Ada masalah?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Tidak, Sir Juan. Hanya saja Mrs. Angelo menunggu Anda di lobi, beliau berpesan agar Anda menemaninya makan siang."
"Baik, siapkan mobil" Setelah menyampaikan urusannya, Yakub pergi menjalankan tugasnya. Begitu juga denganku yang segera berjalan menuju lobi, meninggalkan semua pekerjaanku.
"Ada urusan apa Ibu menemuiku?" Aku langsung bertanya ketika sampai di lobi, tapi ibuku hanya menatapku dengan raut muka tenang tak terbaca yang menjadi ciri khasnya.
"Mari kita bicarakan di luar," kata ibuku. Dengan nada bicara lembut, tapi terkesan dingin. Tak peduli bila ia sudah berubah menjadi pribadi yang lebih baik sekali pun ... sifat dasarnya yang dingin tidak akan benar-benar menghilang.
Sesampai di sebuah cafe bernuansa alam yang menyediakan berbagai tea dengan kesan sangat girly, hingga membuatku meringis melihat tempat menjijikkan yang dipenuhi oleh perempuan yang terus menerus menatapku seolah aku adalah mangsanya itu, Ibu hanya diam sambil menikmatinya jasmine tea yang dipesannya. Merasa tak lagi bisa tahan di tempat ini, aku memutuskan untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu.
"Ada masalah apa, sehingga Ibu membawaku ke tempat seperti ini?" Wanita berusia 60-an itu menatapku sebentar. Ia meletakkan cangkir tea yang sejak tadi dipegangnya. "Aku sudah mendengarnya dari adikmu. Bahwa kau telah berpisah dengan kekasihmu, kenapa? Aku bahkan telah menyiapkan resepsi pernikahan untuk kalian di Belanda."
"Hanya sudah bosan. Bocah itu hanya mainan, Ibu dan aku tidak pernah berkata ingin menikahinya. Resepsi itu tidak akan batal, Dean dan Marvis begitu bersemangat dengan rencana pernikahan itu, biarkan mereka yang menikmatinya."
"Kau yakin, Juan?"
Rupanya adik kecilku itu lagi-lagi mencampuri urusanku. Membawa Ibu ke dalamnya, membuatku diinterogasi seperti ini. Ditanya berulang-ulang, meski aku sudah menjawab dengan jelas. D membuatku harus berbohong padanya.
"Ya, sangat yakin." Aku tidak yakin, tapi aku tak mau mengakuinya.
Ibu hanya bisa menghela napas. Ia kelihatan kecewa atas keputusanku, tapi beliau tidak akan memaksakan kehendaknya, masalah pasangan hidup adalah sesuatu yang begitu sensitif untuk dibicarakan dalam keluarga kami. Tentu itu merupakan hal yang wajar, bila mengingat begitu banyak orang yang membenci dan menginginkan kematian kami. Kami tidak bisa dengan mudahnya menerima orang asing masuk di dalam keluarga dan mengambil risiko dihabisi oleh pasangan hidup kami sendiri.
"Kalau begitu Ibu, aku permisi dulu," pamitku. Segera berdiri, melangkah meninggalkan tempat mengerikan ini yang dibalas Ibu dengan anggukan kecil. Sedikit aneh untuk suatu hubungan ibu-anak yang normal, tapi sekali lagi tidak ada yang normal di keluarga Angelo. Bahkan pembicaraan singkat seperti ini saja sudah bisa kuanggap pembicaraan terpanjang yang pernah kami lakukan. Relationship bukanlah hal yang digemari oleh kami, orang-orang yang pada dasarnya penyuka kesendirian.
"Ah! Maafkan saya, Tuan." Aku melotot tajam, melihat seorang wanita bodoh di hadapanku. Tepat di depan cafe, dia sengaja menabrakkan dirinya padaku. Menggunakan tubuhnya untuk menggodaku. Wanita jalang itu mengesekkan paha dan payudaranya di tubuhku, sambil menatap mataku dengan manja. Seketika itu setan di dalam diriku terbangun. Aku mengepalkan kedua tanganku menahan amarah. Kudorong wanita itu, hingga ia terjatuh di depan Ade. Tak peduli, bila orang-orang yang mulai berdatangan.
"A-apa, Tuan?" Sepertinya ia begitu bodoh karena masih saja memasang wajah memelas mencoba menggoda. Apakah ia tidak sadar, bahwa aku begitu marah menatapnya? Saat aku berjalan mendekatinya, ia tersenyum tipis dan mengulurkan tangannya padaku. Si jalang ini berpikir aku akan membantunya berdiri. Jangan mimpi!
Kutatap ia dengan pandangan menghina dan kuinjak kaki kanannya, membuat ia berteriak kesakitan, tapi itu justru membuatku merasa senang. Menyeringai melihat wajahnya yang mulai ketakutan melihat reaksiku. "Dasar jalang!! Beraninya kau mendekatkan tubuh kotor itu kepadaku," makiku pada wanita itu, sambil terus menginjak kakinya hingga patah.
Orang-orang yang awalnya hanya menonton mulai mendekat mencoba menolongnya, tapi tentu tidak akan kubiarkan. Aku tersenyum sambil meronggoh sebuah pistol dari dalam sakuku. "Siapa yang berani mendekat akan kubunuh." Aku mengancam orang-orang itu, agar kembali mundur dan tidak ikut campur.
Manusia itu pada dasarnya hanya peduli pada dirinya sendiri, maka sesuai dengan dugaanku, sebagian dari mereka melarikan diri dan sisanya hanya pura-pura tak lihat saja.
"A-ampuni saya." Wanita itu memohon sambil menangis, tapi tentu aku tidak akan terpengaruh. Tangisan wanita hanyalah salah satu siasat busuk mereka. Kuangkat kakiku yang sedari tadi menginjak kaki wanita itu. Kemudian berjongkok di hadapannya, mengarahkan pistolku tepat ke wajahnya. Suasana hatiku tengah buruk dan si jalang ini berani membuatku marah, tentu saja tidak akan kuampuni. Tanpa keraguan sedikit pun, kutarik pelatuk pistolku hingga wajah wanita itu hancur. Darahnya membanjiri trotoar, merah pekat mengingatkan padaku siapa diriku yang sebenarnya. Aku yang merasa puas setelah menghancurkan apa yang tak kusukai.
"Yakub, bereskan mayatnya dan tutup mulut mereka. Yang berani memberontak atau lapor polisi bunuh saja." Kulepaskan jas yang kupakai untuk membersihkan darah di wajahku. Berjalan menuju mobil, meninggalkan Yakub membereskan masalah yang kubuat tanpa menunggu jawaban darinya.
Kulajukan mobilku menuju salah satu apartemenku yang letaknya tidak jauh dari cafe itu. Sesampai di apartemen, aku langsung berjalan menuju ke kamar mandi, membersihkan darah wanita jalang itu. Ini bukanlah pembunuhan pertamaku, tapi membunuh bukan hobiku. Biasanya hanya kulakukan untuk melindungi diri dari hitman yang dikirim oleh saingan bisnisku. Siapa sangka, bila hari ini aku bisa begitu emosi membunuh sia-sia seperti ini?
***
Alexandra POV
Sekarang gua lagi di depan Cafe Green. Harusnya sih sekarang gua lagi lunch bareng Nyokap dan Mr. Sok Perfect, tapi gara-gara gua telat ... bukannya lunch, gua malah muntah melihat mayat seorang cewek yang mukanya ancur. Gue lihat orang-orang kepercayaan abang gua tengah membereskan mayat itu, sebagian tengah sibuk mengancam dan menyogok para saksi buat bungkam.
Mau kaget juga gak bisa, rasanya gak heran malah. Kalau sudah begitu pasti abang tiran gua yang habisin itu cewek. Emang apa masalahnya?
Selesai muntah, gua hampirin Rei, salah satu asisten abang gua yang paling ramah dan paling bermuka cakep. Bukan berarti asisten abang gua jelek-jelek ya, mereka semua cakep plus bertubuh Proporsional, tapi semuanya sangar dan penuh bekas luka. Juga sangat kejam, ya sama kayak bosnya. Pengusaha kok gaya hidupnya kayak mafia, hadeh!!
"Rei, ada apa ini? Di mana Ibu dan Sir Juan?" Rei kaget begitu lihat gua. Mentang-mentang sudah lama nggak ketemu.
"Nona Alexandar, apa yang Anda lakukan di sini?" Ckckck ... bukanya dijawab, malah tanya balik pula.
"Janjian lunch." Gua cuma jawab singkat, dia juga ngerti kok.
"Nyonya Besar dan Sir Juan telah meninggalkan tempat ini beberapa menit yang lalu, Nona." Langsung tanggap saja, membungkuk hormat ke gua sambil ngejawab dengan benar.
Kalau mereka pergi sudah jelas nih perbuatan abang gua. Nyokap yang kelewatan lembut dan dingin itu nggak bakal mau ngotorin tangannya sendiri. Merasa nggak ada urusan lagi, gua pun cabut. Nggak mau ikutan drama kriminal abang tiran itu. Toh palingan dalam satu jam tempat itu sudah kembali seperti semula.
Gua lantas memilih ke rumah Mikael. Mau selesaikan hal yang ngeganggu gua selama ini, tapi pas sudah sampai malah bingung mau masuk apa nggak. Ragu-ragu, apa tunggu Mikael ke luar lalu gua culik, atau langsung tekan bel, masuk ala tamu yang sopan. Soalnya sejak putus sama abang gua dia jelas-jelas ngejauhin gua, takutnya nanti gak ketemu kalau pakai cara yang baik dan benar.
Mikael kesayangan gua malah jadi kayak gak kenal, mainnya sama senior terus. Semua itu gara-gara abang nyebelin gua, yang hanya bisa lari dari kenyataan kayak gitu. Sebel gua! Sudah jelas-jelas cinta sama Mikael, tapi disuruh nikah malah diputuskan. Dasar bodoh! Nggak paham perasaan cewek, perasaan cowok pun nggak paham!! Sekarang malah jadi pyscho terang-terangan lagi. Punya saudara kok begitu amat. Geram gua.
Menunggu dan menunggu hingga beberapa menit, gua bosan. "Mikael! Mikael!" Jadinya gua ganti teriak-teriak depan rumah Mikael, nggak pakai malu-malu lagi. Daripada nunggu sampai menjamur? Maklum, gua nggak sesabar penculik-penculik di luar sana.
Mikael nggak muncul, yang muncul ibu-ibu gitu. Dugaan gua mungkin itu nyokapnya. "Ada apa ya? teman Mikael?" Dan tante itu ramah, gak segalak Mikael pas baru kenal.
"Iya Tante, Mikael tidak masuk kuliah sejak dua hari lalu. Saya cemas, jadi datang menjenguk." Refleks saja, gua sok jaim. Biar nggak dibilang remaja gak punya sopan santun. Muka nyokapnya Mikael gak enak gitu, kayak maksim diri tersenyum. Menawarkan gua buat masuk ke dalam, nggak enak ngobrol di depan pagar katanya.
“Tante, ada apa? Coba ceritakan ke saya?" Gua langsung deh, bertingkah kayak teman anaknya yang perhatian.
Setelah gua ngomong gitu nyokap Mikael jadi mulai terbuka. Dia cerita semuanya, soal Mikael yang dibawa paksa dan dipulangkan paksa tanpa penjelasan oleh abang tiran gua, gimana Mikael mengurung diri dan menangis seminggu penuh sampe jadi anak kekinian seperti sekarang. Tiap hari main saja kerjaannya, bolos kuliah, tugas nggak buat. Pokoknya jadi sejenis mahasiswa numpang nama doang yang biasanya disebut dengan mahasiswa abadi gitu.
Gua mengeram marah, mengepal tangan kuat-kuat menahan emosi. b******k!! Biar abang gua juga nggak bakal gua biarkan begitu saja sahabat gua dipermainkan kayak gitu!
Menahan diri, gua mencoba meyakinkan Tante Helga – nyokap Mikael. "Tante tenang saja, saya bakal balas perbuatan Sir Juan dan juga membujuk Mikael berhenti bergaul dengan senior-senior yang hanya bisa merusaknya." Meski Tante Helga kelihatan nggak yakin sama omongan gua sih, tapi masa bodoh. Yang penting niat gua tulus dan gua bakal balikin Mikael ke Mikael kesayangan gua.
Maka dari itu, berakhirlah gua di Max Bar. Tempat nongkrong Mikael dan senior klub gaya hidup atau apa gitulah, menurut hasil pencarian gua. Untungnya bar ini milik Alice, teman kuliah gua dulu sewaktu masa-masa merantau penuh kelabilan masa muda.
Hehehe ... gua tertawa riang, dapat keuntungan besar mah kalau di sini. Sebagai sahabat pemilik, gue bisa masuk dengan leluasa. Tinggal langsung naik ke lantai lima, masuk ruang kerja Alice dan minta bantuan deh.
"Alice.!" teriak gua, begitu melihat cewek cantik itu keluar dari ruangannya. Dibalas dengan pekikkan penuh antusias juga. "Alex, ya ampun! Miss u so bad baby!!" Dia memeluk gua erat, menciumi pipi gua kiri-kanan, salam ala-ala bule gitu.
"Gua ada perlu di sini, apa kabar lu?" tanya gua, sambil melepas pelukannya dan mengelus sayang puncak kepalanya. Sedikit bernostalgia mengingat masa-masa dulu, saat dia selalu bergantung sama gua.
"Great baby!! Lu ada perlu apa? Yuk ikut ke bawah kita minum-minum." Alice langsung merangkul tangan gue dan dengan semangat kami berjalan ke arah lift.
Sesampai di meja paling pojok, Alice memesan beberapa gelas margarita yang menjadi favoritnya dan gua pun ikut memesan yang sama. Lalu menceritakan tentang Mikael, dan ternyata Alice mengenal Mikael juga. Sekali lagi, keuntungan ada di pihak gua.
Mereka selalu datang lewat jam 10 malam kata Alice, jadi gua mutusin buat menunggu mereka datang sambil menemani Alice dengan margaritanya. Sekalian menyusun rencana untuk merebut Mikael kembali.
***
Mikael POV
Sekarang aku ada di bar langganan senior-senior, bukan hanya hobi party nggak jelas. Mereka ternyata juga suka nongkrong di tempat kayak ini. Berhubung gua sudah jadi bagian dari geng mereka, gua ikutan datang juga. Agak sedikit nggak nyaman sih, berisik juga tempatnya, tapi ya nggak apa-apa deh! Yang namanya anak gaul memang gitu, kata Niko. Oh iya, sekarang kami berteman dekat lho ... kayak penembakan itu nggak pernah terjadi, dan malah dia mengenalkanku dengan banyak orang.
Lama kelamaan aku jadi terbiasa dengan gaya hidup mereka, ikuti arus saja. Jalan bareng-bareng di antara sekumpulan orang belum lama kukenal dan begitu sampai ke dalam, kami langsung berhamburan duduk di meja tengah yang selalu kami duduki waktu ke sini. Memesan minum dan cewek-cewek berpenampilan kurang bahan datang mendekat. Mereka duduk di pangkuan kami, selain aku tentunya. Gak doyan cewek soalnya, jadinya aku cuma ikutan ngobrol saja.
Setelah agak lama, teman-temanku sudah pada sibuk ngegrepein cewek-cewek itu, aku pun memutuskan untuk pindah tempat ke meja bartender. Tak lama, seorang cowok menghampiri aku, mengenalkan diri dengan nama Leon.
Entah nama asli atau bukan, aku nggak tahu, tapi tetap aku ladeni saja. Soalnya aku bosan. Kemudian setelah mengobrol cukup lama dan ternyata seru. Aku mengikuti Leon pindah ke meja yang lebih private, di dekat meja teman-temanku. Kami ngobrol makin seru, duduk makin dekatan dan tangan Leon sudah mulai rangkul-rangkul sok akrab. Biasalah, anak muda memang gitu, sama Niko juga kadang gitu. Jadinya aku nggak risih. Nah, yang bikin risih itu, pas lagi seru-serunya ....
BRAK!!
Mendadak meja tempat kami duduk digebrak begitu saja. Orang-orang berhenti menari, suara musik tak lagi terdengar. Aku langsung berdiri dari tempat duduk ku, menjauhkan Leon yang sejak tadi nempel-nempel.
"Apa maksud lu, Lex!!" bentakku ke Alex. Iya, dia yang menggebrak meja tadi.
Cewek itu malah menatapku dengan datar, mengabaikan teman-temanku yang juga mulai protes dengan kelakuannya. Ia malah mengambil mic kecil yang disodorkan oleh pemilik bar ini. "Perhatian semua, Gue bakal perlihatkan tontonan menarik. Jadi guys, lu semua tenang saja dan minggir sedikit ke pinggir. Beri gua tempat di dance floor." Setelah itu dia berbicara semau jidatnya.
Didukung oleh pemilik bar pula. Cewek itu menepuk tangannya sekali, sebagai isyarat agar pengunjung bar menepi. Sekaligus meminta keamanan bar menarik teman-temanku ke dance floor dan seorang dari mereka mengunci lenganku, membiarkanku berdiri di samping Alice, si pemilik bar.
"Alex, jelaskan! Apa mau lu!!" bentakku sekali lagi, tapi ia malah terkekeh. Benar-benar bikin malu, bikin kesal juga.
"Gua mau memberi peringatan ke orang-orang b******k yang sudah ngerusak lu! Gua nggak terima sahabat gua direbut dan diajak ke tempat-tempat kayak gini. Lu diam saja di sini, Mikael." Alex menepuk pipiku pelan sambil menyeringai mengerikan. Kata-katanya tenang, tapi sorot matanya tampak sangat dingin dipenuhi oleh kemarahan. Dia terlihat seperti Vian. Kakiku gemetaran, tak pernah menyangka akan melihat dirinya yang seperi ini. Kepribadian Alex yang tak pernah kutahu ada sebelumnya.
Cewek itu mendekati Niko dan teman-temannya yang marah, tapi ia tetap mempertahankan senyumannya. Tak lama Alex mulai memukuli Niko. Tentu saja Niko dan teman-temannya nggak tinggal diam. Mereka ada 14 orang mengeroyok Alex, tapi cewek itu nggak kelihatan takut sama sekali. Keamanan bar hanya berjaga menjauhkan pengunjung dari perkelahian itu.
Aku lalu melirik ke arah pemilik bar. Cewek cantik di sampingku lalu tersenyum. "Lu lihat saja, kalau Alex sudah serius dia bisa jadi kayak hewan buas!" Setelah ia berkata seperti itu, aku kembali memalingkan muka melihat perkelahian Alex. Yang benar saja? Mataku membelalak kaget melihatnya, Alex dengan gesit menghindari pukulan mereka dan membalas memukuli mereka sambil tetap terkekeh. Napasnya masih teratur, seolah ia sedang bermain bukannya berantem 14 lawan 1.
Sorakan penonton jadi tambah ricuh, termasuk Alice yang lagi teriak-teriak mendukung Alex. Aku hanya diam, sesekali meringis melihat perkelahian mereka. Saat ini hanya tinggal 5 orang yang masih bisa berdiri, 9 orang lainnya sudah jatuh merintih di lantai menahan sakit. Wajah mereka penuh darah akibat pukulan Alex. Tak lama kemudian, mereka semua sudah meringkuk kesakitan di lantai, sedangkan Alex hanya mendapat satu pukulan di pipi. Satu kata yang bisa kupikirkan, mengerikan. Apakah semua keluarga Angelo seperti itu?
Dan seolah belum puas juga, Alex kembali menginjak tangan kanan Niko. "Argh ... sakit!! Hentikan!! Gua mohon hentikan." Membuat Niko memekik keras sambil memohon dan Alex malah tersenyum manis meresponsnya.
"Gua hanya akan bilang sekali. Jauhi Mikael, kalian semua nggak boleh mendekatinya untuk alasan apa pun, telepon dan sosial media juga dilarang. Jangan coba-coba membujuknya atau menyakitinya. Terus, mulai hari ini dia keluar dari klub kalian. Sekali saja gua dengar kalian ada di dekatnya, bukan hanya ini yang kalian dapat. Ingat ini hanya peringatan. Berani menentang gua, maka siap-siaplah memesan tanah kuburan." Ia mengucapkan kata-kata kejam dengan tenang. Seolah-olah tengah mengobrol, tapi tatapan dinginnya memancarkan aura mengintimidasinya sangat kuat.
Sontak membuat orang-orang di bar ini terdiam menahan napas. Dia jelas serius dan bukan hanya mengancam. Itulah yang terlihat di pikiran kami semua. Niko dan teman-temannya hanya bisa gemetaran menundukkan kepala di hadapan cewek bongsor itu.
"Jawab!" Semakin ketakutan saat Alex membentak mereka.
"Kami janji akan menjauhi Mikael" Mereka segera menjawab dengan kompak. Kelihatannya aku telah kehilangan teman-teman baruku.
"Bagus! Sekarang pergi dari hadapan gua."
Setelah itu Niko dan teman-temannya segera pergi dari situ, sambil tertatih-tatih. Aktivitas bar kembali seperti semula. Keamanan kembali ke pos masing-masing, sedangkan aku hanya bisa terduduk gemetaran. Bisa kurasakan tanganku ditarik seseorang. Aku mengangkat kepalaku, melihat siapa yang menarikku. Itu Alex.
Aku terus diseret ke arah berlawanan arah dari pintu masuk. Hingga tiba di lift, Alex menekan tombol 5, membawaku ke lantai atas yang tak dibuka untuk umum. Begitu lift berhenti, aku kembali diseret paksa hingga tiba di sebuah pintu. Ia mengesek kartu anggota bertuliskan VIP berwarna gold.
Aku terkejut, mengetahui bahwa ada fasilitas seperti itu di bar ini. Dalam hati bertanya-tanya, sejak kapan Alex jadi member bar ini?
Begitu kami masuk ke dalam, aku langsung menuntut penjelasan. "Lex, apa maksud lu bawa gua ke sini? Yang tadi itu apa-apaan? Mereka itu teman-teman gua, tahu!" Dia menatapku tajam. Kemudian menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Aku kaget, panik seketika.
"Jangan takut, gua hanya mau bicara." Melihat sikap gua, Alex melunak. Ia berbicara lebih lembut dari biasanya.
"Lu nggak usah dekat-dekat gua!" Namun, itu malah membuatku tambah takut. Ia begitu mengerikan, bisa berubah sedrastis itu dalam waktu singkat. Hingga aku bahkan tak lagi yakin, siapa Alex yang selama ini kukenal.
"Hump, buahahaha!" Tiba-tiba saja, Alex tertawa terbahak-bahak. Raut wajahnya kembali terlihat konyol, kayak Alex yang kukenal. "Duh sorry Mikael. Gua, aduk ngakak!! Hahaha ... reaksi lu itu ya!" Ia tertawa makin keras, guling-guling di atas kasur sambil memegangi perutnya. Melihat tingkahnya itu, keraguanku hilang begitu saja. Ini Alex yang aku kenal.
Rasa lega menyelimutiku, seketika berubah jadi geram. "Alex, lu ngerjaiin gua!" Dan tahu-tahu saja, aku sudah memiting lehernya.
Akhirnya kami saling bergulat, memiting dan menjitak kepala satu sama lain. Lalu terbaring di atas kasur, dengan napas tak teratur. Menertawakan ketololan kami. Entah apa yang lucu, tapi perasaanku saat ini benar-benar terasa lega.
Aku bangun, mengambil dua kaleng bir yang tersimpan di lemari es kecil dalam ruangan ini. "Nih, Lex!" Kulemparkan satu ke Alex, ia mengambil dan meminumnya. Aku pun meminum bir milikku. Kemudian kami mulai berbicara. Aku menceritakan semua yang terjadi. Begitu pun cewek ini, ia menceritakan soal pembicaraannya dengan mamaku.
Rasanya aku bego sekali akhir-akhir ini. "Apa yang sudah gua lakukin selama ini ya?" Bahkan tak tahu apa yang kulakukan. Apanya yang anak gaul, itu cuma buang-buang waktu tak penting. Bergaul dengan teman yang bisa dengan mudah membuangku begitu saat ada masalah.
"Kebodohan yang wajar. Kalau patah hati wajarlah lu agak error gitu. Gue ngerti perasaan lu kok! Everything will be alright, Mikael," ucap Alex sambil menepuk pundakku. Aku menundukkan kepala, merasa malu. Setelah aku menjauhinya seperti itu, dia masih ada di sisiku. Menghiburku. Membuatku sadar, mana yang di sebut teman dan mana yang bukan.
Aku menatap Alex dengan penuh haru, tapi cewek itu hanya memutar matanya malas. Menatapku balik dengan ekspresi wajah minta digampar. Membuatku menghela napas, menyesal sempat terharu tadi.
Setelah itu, aku putuskan untuk pulang ke rumah dan berhenti bertingkah. "Oke. Gua bakal pulang sekarang.” Didukung sama Alex yang sok-sokan mau antar aku pulang, seperti memperlakukan anak cewek. "Bagus. Yuk, gua antarin lu." Agak kesal sih, tapi ya sudahlah.
Sesuai perkataannya, kami pulang ke rumahku bersama-sama. Alex menemaniku meminta maaf ke orang rumah dan setelah itu, baru dia pulang dijemput suaminya. Sebelum pulang, dia berkata akan membahas masalah Vian besok. Untuk yang satu ini aku masih bingung. Entah apakah aku masih menginginkan kembali dengan Vian atau tidak, tapi yang jelas aku masih begitu mencintai pria itu.