Prolog
Lift terbuka, memperlihatkan sesosok pria bersetelan jas rancangan desainer ternama yang tampak melekat pas di badannya. Ia berjalan dengan angkuh dan penuh percaya diri. Sontak, membuat orang-orang yang tengah beraktivitas di ruang tunggu salah satu perusahaan elektronik ternama itu terhenti. Mereka yang berada di ruangan itu terpukau karena daya tariknya. Pria itu adalah Sulvian Juan Angelo. Pria berumur 35 tahun yang masih single ini, merupakan CEO dari perusahaan ini sejak tiga tahun silam. Ya, sejak adiknya yang dulunya merupakan pimpinan di sana tiba-tiba menghilang begitu saja. Setidaknya, itulah kabar yang menyebar di antara karyawan-karyawan perusahaan tersebut.
Pria ini memiliki wajah yang terbilang tampan dengan mata tajam yang dingin, rambut sedikit panjang sebahu yang selalu terikat rapi di belakang lehernya. Memiliki tinggi 193 cm, dengan bentuk tubuh proporsional yang bahkan tak mampu tertutupi oleh setelan jas mahalnya itu.
Ia menatap tajam kepada para karyawan, "LIHAT APA KALIAN! KEMBALI BEKERJA!" dan membentak mereka. Kemudian dengan angkuhnya, ia berjalan kembali ke ruang rapat yang menjadi tujuan awalnya. Ya, pria itu mungkin menawan dari penampilan. Akan tetapi, tidak dengan kepribadiannya. Kata tolong, maaf dan terima kasih adalah kata-kata tabu baginya. Jadi, jangan harap akan mendapat perlakuan baik dari seorang Sulvian Juan Angelo.
***
Sulvian POV
Setelah membentak orang-orang tak tahu diri itu, sekarang di sinilah aku. Di ruang rapat yang sudah diisi oleh lima orang anggota keluarga Angelo. Ya, ini adalah pertemuan keluarga pertama kami setelah tragedi yang merenggut nyawa ratusan anggota keluarga lainnya 23 tahun silam. Hanya kami berenam yang berhasil selamat. Tentunya dengan mengesampingkan adik perempuanku, Alexandra yang belum lahir pada saat itu.
Setelah terdiam sesaat, Ayah memulai pembicaraan. "Maksud pertemuan ini adalah untuk mengangkat Sulvian menjadi kepala keluarga, menggantikan saya yang sudah tidak muda lagi," kata ayahku tegas dan singkat seperti biasanya. Kabar yang tak lagi mengejutkan. Mengingat bila, umur Ayah sudah menginjak kepala enam saat ini.
Itu jelas bukan pertanyaan atau diskusi, ini adalah pernyataan. Semua yang hadir di sini sudah tahu dan menerima keputusan ini dengan baik, karena memang sudah jelas aku sebagai anak laki-laki tertua, yang akan mewarisi posisi Ayah.
"Memang sudah saatnya Kak, saya yakin semua yang ada di ruangan ini setuju. Namun, kita punya masalah lain," kata paman Albert – adik kembar ayahku. Yang tak lain adalah ayah dari Dean dan Marvis, sepupuku.
"Maksudmu, Albert? Masalah apa?" tanya ibuku.
"Kita sudah punya kepala keluarga baru, tapi kita tidak memiliki seorang pun penerus. Haruskah keluarga kita jatuh karena tidak ada seorang pun dari putra-putra kita yang akan menikah? Kita semua tahu, bahwa sejak tragedi itu ... Sulvian, Dean dan Marvis memiliki trauma terhadap wanita yang sampai sekarang masih belum bisa disembuhkan. Dan jelas, saya maupun Kakak yang sudah berumur, tidak mungkin lagi memiliki anak. Jika demikian, bukankah masalah penerus harus kita bicarakan baik-baik?" jawab Paman Albert, memberi pertanyaan lain yang membuat kami semua terdiam. Sadar benar, jika apa yang ia sampaikan itu benar. Sejak tragedi itu, aku dan sepupu-sepupuku membenci kaum hawa. Bahkan Dean dan Marvis sudah dengan terang-terangan, menyatakan bahwa mereka adalah gay, sedangkan aku? Aku hanya melajang tanpa menjalin hubungan dengan wanita maupun pria.
"Bagaimana dengan Alexandra? Dia bahkan lahir setelah tragedi itu." Marvis memecah keheningan. Ia mengingatkan kami akan adanya anggota keluarga lain yang tidak hadir di sini.
Aku paham maksud Marvis, tapi masalahnya mereka tidak tahu bahwa adik kecilku itu, sudah dengan seenaknya meninggalkan keluarga kami karena menolak permintaan Ayah untuk memberi kami penerus. Kurasa aku harus menyampaikan hal ini terlebih dahulu.
Namun sebelum sempat ku sampaikan, Ayah telah lebih dulu menimpali. "Alexandra telah putus hubungan dengan keluarga kita sejak tiga tahun lalu. Karena saya memintanya melahirkan beberapa orang penerus."
"Bagaimana mungkin Kakak melepaskannya begitu saja? Jika ia menolak, kita bisa coba membujuknya pelan-pelan. Alexandra satu-satunya yang bisa memberi kita penerus." Mendengar penuturan Ayah, paman Albert meminta penjelasan.
"Dia menangis histeris, kemudian menghilang selama sebulan dan kembali sambil menyatakan kekecewaan dan sakit hati kepada saya. Apa yang bisa saya lakukan sebagai seorang ayah, jika melihat putri tunggal saya yang selalu tenang tiba-tiba bersikap seperti itu? Saya hanya bisa diam dan melepas kepergiannya. Bila itu membuatnya lebih bahagia," terang ayahku. Kalau tak salah memang itu yang terjadi saat itu.
Suasana kembali tenang, kami semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Mau bagaimana lagi, adik kecilku itu memang terlalu kekanakan dan egois, tapi itu 3 tahun yang lalu. Bagaimana dengan sekarang?
"Mungkin sudah saatnya kita membawa kembali Alexandra. Saat itu dia masih anak-anak dan labil. Saya rasa tidak ada salahnya, jika kita mencoba berbicara kepadanya sekali lagi," usulku. Disambut dengan baik oleh seluruh anggota keluarga. Setelahnya, satu persatu anggota keluarga meninggalkan ruang rapat dan kembali ke perusahaan mereka masing-masing. Meninggalkan aku yang diserahi tugas membawa adik kecilku kembali.
Aku pun segera bertindak, mencari keberadaannya. Dan begitu dapat, aku akan segera pergi untuk menyeretnya kembali pada keluarga Angelo.