Shafira masih menundukkan wajahnya. Ia tak ingin menatap Leo saking malunya. Ini kali pertama bagi dirinya memberanikan diri membuka kemeja seorang pria. Dengan jari telunjuknya, Leo mengangkat wajah Shafira agar membalas tatapannya.
"La-lalu ...."
Leo menyunggingkan senyuman di bibirnya. Tatapan matanya seolah menyapu bagian bibir tipis Shafira. Ibu jarinya mulai mengusap bibir tipis itu dengan lembut.
"Cium aku!" bisik Leo.
Shafira benar-benar tak ingin melakukan apa yang di pinta Leo. Selain tak memiliki perasaan apapun padanya, Shafira juga semakin membenci Leo hari demi hari lantaran terus saja memaksa melakukan yang tak disukainya.
"Aku bilang, cium aku!" seru Leo sembari mencengkram rambut Shafira dengan kuat.
Shafira sedikit memekik pelan sekaligus meringis kesakitan disaat Leo mencengkram rambutnya yang panjang. Mau tak mau Shafira pun melakukan apa yang di pinta Leo. Ia lantas menempelkan bibirnya pada bibir Leo begitu saja. Hal tersebut terjadi beberapa detik, lalu Leo melepaskan bibirnya. Ia menatap kesal pada gadis yang tampak bingung dengan sikapnya barusan.
"Apa kau terlalu bodoh? Kenapa kau tidak bisa melakukannya dengan benar? Kau membuatku kesal saja!" gerutu Leo menatapnya tajam.
"A-aku ti-tidak tau bagaimana ...."
"Apa kau tidak pernah berciuman sebelum bertemu denganku?" tanya Leo masih menatapnya kesal.
Shafira menggelengkan kepalanya perlahan menanggapi pertanyaan Leo. Leo meraih lengan Shafira lalu mencengkramnya kuat.
"Iiissshh ...." Shafira meringis kesakitan merasakan cengkraman Leo di lengannya.
"Kau jangan menipuku! Remaja sepertimu diluaran sana sudah hidup bebas bersama kekasihnya ... bagaimana mungkin kau belum pernah berciuman dengan laki-laki sebelum bersamaku? Kau pikir aku bocah berusia lima tahun yang dapat dengan mudah kau bohongi?" ujar Leo tak percaya bahwa Shafira memang belum pernah berciuman dengan pria manapun.
"Tapi aku tidak berbohong ... aku tidak pernah pacaran karena aku-aku ...."
"Aku apa???" tanya Leo tak sabar mendengarnya.
"Karena aku tidak punya waktu untuk berbagi dengan orang lain, sepulang sekolah aku harus bekerja untuk membantu keuangan keluargaku!" sahut Shafira.
"Dimana ayahmu?" tanya Leo.
Shafira terdiam lantaran bingung harus menjawab apa.
"Kenapa kau diam?" tanya Leo lagi.
"Aku tidak tau dimana dia ... aku bahkan tidak mengenalnya." sahut Shafira.
Leo menatap mata Shafira mulai berair.
"Ibumu bukan ibumu ... kau tau kan!" kata Leo.
Shafira menganggukkan kepalanya. Isak tangisnya pun sayup-sayup mulai terdengar.
"Kau masih membantunya mendapatkan uang setelah semua yang dia lakukan padamu?" tanya Leo.
"Aku-aku hanya ingin dia menyayangiku, hiks-hiks-hiks ...." sahut Shafira menangis dengan posisi duduknya yang masih diatas kedua paha Leo.
Leo menghela nafas dan kepalanya terasa berdenyut lantaran tak suka mendengar suara tangisan seorang wanita.
"Berhentilah menangis! Kau membuatku pusing saja!" gerutu Leo kemudian menurunkan Shafira dari kedua pahanya. Shafira masih menangis diatas ranjang tidur, sementara Leo meraih kemeja serta surat kontrak pernikahannya dengan Shafira. Ia lalu pergi keluar dari pintu kamar. Ketika pintu itu dibuka ....
Bbbrruuukk....
Leo melompat kaget melihat kedua orang tuanya terjatuh kelantai. Tak hanya itu saja, Shafira bahkan ikutan kaget melihat Miya dan Gustaf tersungkur kelantai kamar.
"Haaaah, kenapa aku memiliki orang tua konyol seperti mereka berdua?" gerutu Leo auto tepok jidat.
Miya dan Gustaf segera bangkit sambil cengengesan.
"Hehehe, kami hanya ingin mengecek Shafira saja, apa dia sudah tidur atau belum?" kata Miya sembari cengengesan serta beralasan.
"Ya, itu benar!" sahut Gustaf menimpali.
Leo melirik Shafira yang sedang mengelap air matanya dengan tissu.
"Shafira, ikut aku pulang!" seru Leo.
"Hei, ini sudah malam!" pekik Miya tak mengizinkannya.
Tak ingin banyak bicara, Leo lantas menunjukkan surat kontrak pernikahan yang sudah ditandatangani oleh Shafira.
"Dia istriku!" kata Leo singkat.
Miya dan Gustaf saling melempar senyum lantaran merasa senang akhirnya putra mereka yang begitu arogan akan segera menyelenggarakan pesta pernikahan yang begitu megah. Leo menatap kedua orang tuanya dan tau apa yang ada di dalam pikiran mereka.
"Jangan harap aku akan membuat acara pesta pernikahan ... karena itu tidak akan terjadi!" kata Leo lagi dengan nada datar dan sikapnya yang dingin.
"Hei, yang benar saja kau ini!!! Bagaimana semua orang akan tau kalau kami sudah punya menantu di keluarga ini???" pekik Miya lagi.
"Tetap tidak!" seru Leo tak mau kalah.
"Shafira, cepatlah! Apa kau seekor kura-kura, hah? Kau lamban sekali!" teriak Leo tak sabar ingin segera kabur dari kedua orang tuanya yang terus mendesaknya untuk menyelenggarakan pesta pernikahan bersama Shafira.
Shafira cepat-cepat menghampiri Leo, sekalian ia ingin berpamitan dengan Miya dan Gustaf yang telah menjadi ibu serta ayah mertuanya. Ketika Shafira akan melakukannya, Leo dengan sigap menarik tangannya lalu menyeret Shafira untuk ikut bersamanya kembali kerumah.
"A-aku belum berpamitan." kata Shafira.
"Tidak perlu! Setelah masa kontraknya habis mereka bukan mertuamu lagi!" sahut Leo.
Shafira lalu diam dan hanya melangkah mengikuti Leo dari belakang, sementara Miya berdengus kesal setengah mati lantaran keinginannya melihat Leo mengenakan jas pernikahan harus pupus karena Leo bersikeras tak mau membuat pesta pernikahannya.
"Sabar sayang ... yang penting putra kita sudah menikah sekarang dan sebentar lagi kita pasti akan mendengar kabar baik dari mereka! Kita akan segera punya cucu yang tampan seperti diriku!" seru Gustaf.
"Tidak! Cucuku harus cantik seperti neneknya!" pekik Miya kesal.
"Oh, oke-oke ...." sahut Gustaf begitu takut ketika Miya kesal.
Sepanjang perjalanan kembali kerumah, Leo melirik Shafira yang tampak sedih setelah mereka membahas mengenai ayah kandungnya. Shafira memang tidak pernah mengetahui siapa ayah kandungnya, namun ketika ia masih kecil Vani pernah mengatakan padanya bahwa ia tidak memiliki ayah kandung dikarenakan ibunya seorang wanita penghibur, lantas tak tau siapa pria yang menghamili ibunya.
"Hiks-hiks-hiks ...." Shafira kembali menangis ketika semua ucapan Vani dulu terngiang di telinganya.
Leo kembali melirik Shafira lagi dan melihat air mata yang mengalir di pipinya. Entah apa yang membuat hati Leo sedikit terenyuh lalu ia merangkul pundak Shafira.
"Berhentilah menangis." ucap Leo dengan nada yang membuat Shafira sedikit tenang.
Shafira seakan memerlukan tempat sandaran. Tanpa sadar ia merebahkan kepalanya di pundak Leo sembari mengelap air matanya yang terus mengalir.
"Apa salahku sehingga mereka semua membenciku karena ibuku berkerja sebagai seorang wanita penghibur? Ibuku yang melakukannya, bukan aku ... tapi mereka semua menatapku dengan tatapan kebencian!" ucap Shafira kembali menangis seolah ingin menumpahkan segala uneg-uneg di dalam hatinya yang selama ini terpendam di dalam hatinya.
Reno dan supir pribadi Leo tampak melirik Shafira dari kaca spion. Mereka seolah mengerti apa yang tengah dirasakan gadis belia tersebut. Leo tak bergeming. Ia hanya bisa merangkul Shafira dengan tujuan untuk sedikit menenangkannya.
Tiba dikediamannya, Leo menoleh pada Shafira yang masih menyandarkan kepalanya di pundaknya. Ia menoleh kesamping dan melihat Shafira ternyata sudah tertidur pulas lantaran terlalu lelah menangis.
"Haaaah, gadis ini benar-benar membuatku pusing saja! Tadi dia menangis, sekarang dia malah tertidur pulas ... bagaimana mungkin dia bisa berjalan sendiri ke kamar?" gerutu Leo kesal.
"Tuan, jika anda ...."
Leo menatap Reno dengan tatapan membunuh.
"Dia istriku!" seru Leo kesal.
"Hehehe, saya tau tuan," sahut Reno cengengesan sembari gemetar ketakutan mengetahui Leo kesal padanya.
Mau tak mau Leo harus menggendong Shafira dan membawanya masuk ke dalam rumah. Lalu ia membaringkan tubuh Shafira diatas ranjang tidurnya. Leo menatap wajah Shafira yang masih basah akan air matanya. Ia mengusapnya dengan lembut.
"Kalau saja kau menurut padaku ... aku pasti akan mencoba menghilangkan kesedihanmu," ucap Leo dalam hatinya sembari membelai lembut rambut Shafira.