Kaki Serra terbawa kembali ke arena tarung. Ia datang bukan untuk bertarung lagi, tetapi mengambil barang miliknya.
"Nona, kenapa kau kembali?" tanya Sammy. Pria itu mengerutkan keningnya, apakah mungkin wanita di depannya ingin bertarung lagi?
"Aku ingin mengambil barang belanjaanku. Seseorang yang menolongku kemarin mengatakan bahwa aku bisa mengambilnya padamu."
Sammy berpikir sejenak. Mengaduk-ngaduk memori otaknya kemudian wajahnya berubah ceria. Ia ingat tentang barang itu.
"Jadi, Nona adalah wanita yang ditolong Tuan tempo hari?"
"Tuan?"
"Iya, pemilik tempat ini."
"Oh." Serra mengomentari singkat. Jadi sekarang ia tahu ke mana arahnya jika ia ingin membayar hutang itu.
"Sebentar. Aku ambilkan barangmu." Sammy meninggalkan Serra. Melewati kerumunan werewolf yang semakin ramai.
Menunggu beberapa saat, Sammy datang dengan belanjaan Serra yang tertinggal dua hari lalu.
"Sampaikan ucapan terima kasihku pada Tuanmu." Serra di dunia nyata jarang sekali mengucapkan kata terima kasih. Kalimat itu begitu keramat untuknya. Mengucapkan terima kasih artinya ia membutuhkan bantuan orang lain dan mengakui bahwa ia adalah wanita lemah. Namun, baru tiga hari di dunia werewolf ia sudah mengucapkan kata terima kasih sebanyak dua kali.
"Baik, Nona," jawab Sammy.
Serra meninggalkan tempat itu. Sammy memastikan Serra sudah benar-benar hilang dari pandangan matanya lalu ia kembali ke ruangan tempat tuannya berada.
"Tuan. Nona Ariel mengucapkan terima kasih." Ia menyampaikan ucapan terima kasih Serra pada Aldebara.
Sesungguhnya Aldebara sudah mendengar percakapan Serra dan Sammy. Telinga tajamnya bahkan masih bisa mendengar langkah kaki Serra.
Aldebara tak menjawab. Sammy segera meninggalkan ruang kerja majikannya.
Suara pikiran banyak orang membuat kepala Aldebara pusing. Sudah bukan rahasia umum jika Aldebara bisa mendengarkan apa yang orang lain pikirkan. Di Dark Moon Pack, ia adalah satu-satunya orang yang bisa menembus pikiran Alpha Kevyn.
Tidak mau mendengarkan lebih banyak, Aldebara melemahkan kemampuannya. Kemudian ia membuka buku tentang sejarah bangsa werewolf.
Hanyut dalam bacaannya. Aldebara tidak menyadari bahwa matahari sudah mulai bergerak kembali tenggelam.
"Tuan!" Hingga sebuah suara menghentikan Aldebara membaca bukunya. Ia menutup buku yang tadi ia baca lalu menatap lurus ke pria yang baru saja datang.
"Aku tidak menemukan aktivitas apapun di Black Forest." Vallen, tangan kanan Aldebara melaporkan hasil pengamatannya sejak semalam hingga satu jam lalu di sebuah hutan yang disebut hutan hitam. Tempat di mana bangsa penyihir tinggal. Setelah kematian semua klan penyihir, hutan itu menjadi semakin mengerikan. Tidak pernah ada yang keluar selamat dari hutan itu. Dikatakan bahwa hutan itu sangat luas. Dipenuhi oleh pohon-pohon berbentuk aneh dengan tak ada sinar matahari yang masuk ke dalam sana. Kalaupun ada yang bisa keluar dari sana maka pasti akan terkena gangguan jiwa.
Menurut tetua werewolf, arwah klan penyihir tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam tempat tinggal mereka. Maka dari itu klan werewolf dilarang memasuki Black Forest jika masih ingin selamat.
"Amati terus hingga purnama tiba! Jika jiwa Alaric Orlando masih ada, pasti akan ada aktivitas di Black Forest."
"Baik, Tuan." Vallen menundukan kepalanya kemudian pergi meninggalkan Aldebara.
Seperginya Vallen, Aldebara tidak melanjutkan aktivitas membaca, ia diam dengan wajah yang tidak tahu menyiratkan apa. Wajahnya terlihat dingin, lebih dingin dari biasanya.
Aldebara tidak pernah ingin purnama tiba. Alasan dari ketidakinginan itu adalah karena belahan jiwanya tewas tepat di malam purnama. Dan tahun ini, ketika purnama tiba maka tepat 20 tahun kepergian wanitanya. Purnama hanya akan mengingatkannya bahwa ia gagal melindungi kekasihnya.
Sampai detik ini Aldebara masih mencintai mendiang mate-nya. Wanita yang memiliki tatapan sehangat sinar mentari. Memiliki senyuman seindah bunga di musim semi. Dan memiliki kecantikan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Ouryne, nama itu selalu ada di benak Aldebara. Ia terus mengingatnya tanpa merasa bahwa ia melakukan kebodohan dengan semua itu. Bagi Aldebara, semua tentang Oury tidak akan ia lupakan. Bahkan setiap detik kebersamaannya dengan Oury selama 7 tahun masih melekat kuat diingatannya. Tak ada yang bisa menggeser ingatan itu. Atau mebih tepatnya Aldebara tidak mengizinkan siapapun melakukan itu.
Ia selalu menjauhi wanita. Berbagai kalangan wanita, dari kaum bangsawan hingga ke pelayan datang silih berganti menawarkan tubuh kepadanya, tetapi Aldebara tidak pernah melirik mereka sedikitpun.
Namun, meski tahu Aldebara tidak pernah mengizinkan siapapun mendekatinya, para wanita tetap berusaha keras. Mungkin saja Aldebara akan melirik mereka jika mereka terus mengunjungi Aldebara. Dengan kesempurnaan yang dimiliki oleh Aldebara, tentu saja para wanita akan tergila-gila padanya. Kehilangan malu untuk terus bersikap murahan di depan Aldebara.
Sampai detik ini tidak ada yang berhasil. Dan mungkin selamanya tidak akan berhasil mengingat hati Aldebara sudah menyerupai batu. Mati dan sangat keras.
♥♥♥
Serra kembali ke kediamannya. Ia datang tepat waktu karena Lucy sedang dalam perjalanan menuju ke kamarnya. Apalagi yang membawa Lucy ke sana jika bukan karena Debora.
Brak! Pintu kamar Serra terbuka kasar. Wajah murka Lucy terlihat mengerikan.
Serra menghela nafas malas. Ia sudah tahu alasan Lucy datang ke kediamannya. Debora, pelayan sialan itu benar-benar pengadu. Ckck, apa Debora pikir ia takut pada Lucy? Tidak. Ia tidak takut sama sekali.
"Kau apakan pelayanku, hah!" suara Lucy memekakan telinga Serra. Mata tajamnya seolah ingin mengubur Serra hidup-hidup. Keanggunan dari wajah itu lenyap berganti dengan wajah penyihir gelap yang mengerikan.
Serra mengerutkan keningnya. Berpikir seolah ia tak mengerti pertanyaan Lusy. "Apa maksudmu, Lucy?" Serra amnesia sesaat.
Darah Lucy makin mendidih. Bagaimana bisa Serra semakin menjengkelkan setelah melewati kematian. Benar-benar ingin mati sekali lagi.
"Hentikan sandiwara sialanmu, Serra!" murkanya.
Serra masih memasang wajah bodoh. "Aku tidak tahu apapun yang kau katakan, Lucy. Jelaskan padaku biar aku tahu."
"Kau menyerangku, sialan!" Debora bersuara marah.
Serra makin mengerutkan keningnya. "Kenapa semua orang di kediaman ini suka membuat cerita. Kemarin Aleeya yang membuat cerita dan sekarang pelayan ini. Apa kalian sedang ada ajang pemilihan untuk pembuatan film layar lebar?"
Lucy tidak tahu apa yang Serra katakan tentang film layar lebar. Ia baru mendengar tentang hal itu. Sepertinya Serra sudah mulai gila setelah kejadian di sungai.
"Tutup mulutmu! Kau menyerangku dan sekarang berpura-pura tidak tahu!" Debora kembali menyalak seperti anjing gila.
Serra menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya menyiratkan seolah Debora sungguh putus asa karena menjebaknya seperti ini.
"Aku tidak menyangka bahwa kau akan melukai dirimu sendiri karena aku menolak perintahmu untuk pergi ke tukang jahit. Kau sangat mengerikan, Debora. Kau tidak menyayangi dirimu sendiri. Aku tidak tahu kalau kau senekat ini." Serra masih bertingkah polos.
Sikap Serra membuat Debora makin jengkel. Dadanya seperti ingin meledak. Sementara Lucy sedang menilai Serra apakah Serra berbohong atau tidak. Dan ia tidak menemukan kebohongan di mata dan raut wajah Serra. Meski begitu Lucy tahu bahwa pelayannya tidak berbohong. Ia bisa membaca pikiran pelayannya. Lucy tidak menyangka bahwa Serra mampu berbohong dengan sangat baik.
"Lucy, jangan terus menyalahkanku. Jelas-jelas Aleeya dan Debora mengada-ada. Bagaimana mungkin aku yang lemah bisa membuat Aleeya dan Debora mengalami luka-luka. Bukankah itu mustahil? Anak dan pelayanmu suka sekali memfitnahku." Serra memainkan kata-kata dengan baik. Ia membuat dirinya seakan tak bersalah sedikitpun. Licik, Serra adalah dewinya untuk hal ini.
Debora menatap Lucy putus asa. Ia benar-benar berkata jujur. Ia tidak mengada-ada. Untuk apa ia memukuli dirinya sendiri sampai tulangnya patah demi menjebak Serra. Hal yang sangat bodoh.
"Kau! Kau wanita licik!" Debora menunjuk Serra tidak terima. Ia nyaris menangis karena putus asa. Merasa bahwa ia diletakan dalam posisi penjahat.
Serra tak berubah sama sekali. Kepolosan di wajahnya tentu akan membuat semua orang percaya apa yang ia katakan adalah kebenaran.
"Cukup!" Lucy tidak tahan lagi. Ia muak melihat sandiwara Serra. Hanya membuat darahnya mendidih. "Sekarang pergi ke tukang jahit dan ambil pakaianku! Aku akan memakainya besok untuk pergi ke pertemuan penting."
Serra tersenyum manis. "Baik, Ibu tiri." Ia menjadi anak penurut hanya dalam sepersekian detik.
Serra melewati Debora, ia membisikan kata-kata ke telinga Debora, "Kau payah!"
"Nyonya." Debora merengek pada Lucy. Ia meminta pembelaan atas ejekan Serra.
Lucy memelototkan matanya pada Debora. Ia jelas mendengar apa yang Serra katakan pada Debora. Namun, ia menahan dirinya untuk tampak terlihat bodoh. Ia jelas akan dibenci oleh suaminya karena menyiksa Serra dengan alasan bahwa Serra kurang ajar padanya. Melihat bagaimana pandai Serra beakting, maka Lucy akan menggunakan cara lain.
Serra meninggalkan kediaman McKenzie. Lalu Lucy mendatangi seorang pria yng berprofesi sebagai pembunuh bayaran.
"Bunuh Serra. Aku akan berikan berapapun yang kau minta."
Pria dengan wajah tampan, tidak terlihat seperti pembunuh sama sekali menatap Lucy acuh tak acuh. "Aku harus mendapatkan bayaran yang setimpal. Aku tidak hanya berurusan dengan wanita yang ingin aku bunuh tetapi juga Aldebara. Penguasa Dark Moon Pack."
"Tentu saja. Aku tahu cara menghargai orang dengan baik." Lucy mengeluarkan kantung hitam berisi koin emas, "Ini untuk uang muka."
"Baiklah." Pria itu menerima kantong dari Lucy. "Aku akan membawakan tangannya untukmu." Pembunuh bayaran itu mempunyai ciri khas dalam membunuh. Ia selalu memberikan bagian tubuh dari targetnya pada orang yang memerintahkannya.
"Aku tidak sabar untuk menerimanya, Dark."
Usai melakukan pertemuan rahasia itu, Lucy memakai jubah kerudungnya. Bergerak cepat meninggalkan tempat persembunyian si pembunuh bayaran.
Kali ini Lucy yakin Serra akan kehilangan nyawa. Dark tidak pernah gagal menjalankan tugasnya.
Kau tamat, Serra. Lucy menyeringai licik.