08 | Panggil Ibu

2480 Kata
"Keluarga lo menyenangkan," ujar Ahyar saat dalam perjalanan pulang dari rumah makan terdekat. Ayah mentraktir mereka, sesuatu yang Ditrisya yakini tidak akan Ayah lakukan jika bukan karena Ahyar. "Hmm, tunggu sampai lo ketemu personil lengkapnya." "Gue jadi nggak sabar." "Lo nggak lagi mikir gue bakal beneran ngajak lo ke wisudahannya adik gue, kan?" Ditrisya bertanya penuh kewaspadaan. Ibunya ada-ada saja, bagaimana bisa dia mengundang orang asing menghadiri seremonial penting di keluarganya. Ahyar memacu motornya pelan-pelan, sengaja ingin berlama-lama di jalan. Menikmati udara malam yang sejuk, dengan ditemani seseorang yang mudah membuatnya tertawa. "Ibu--" "Ibu?!" ulang Ditrisya meragukan pendengarannya. Enteng sekali Ahyar menyebut Ibunya dengan panggilan itu. "Ajakan lo nggak penting karena Ibu udah ngundang gue langsung. Kalau gue nggak datang, nanti Ibu anggap gue nggak menghormati dia." Ahyar melanjutkan. "Lo nggak butuh anggapan dari Ibu." "Nggak butuh gimana? Gue harus proper dong, sebagai calon menantu." Plak! Ditrisya sontak memukul punggung Ahyar agar dia sadar kekonyolan yang barusan dia katakan. "Calon mantu dengkulmu! Ini semua gara-gara lo! Lo yang mulai, udah gue beresin, dimulai lagi!" "Aduh aduh, sakit, Di." Ditrisya terus memukul-mukul Ahyar, menumpahkan segala kekesalannya, tidak peduli seruan Ahyar yang menyuruhnya berhenti karena tindakannya mungkin saja membahayakan mereka. Ahyar terpaksa menepikan motor milik Ditrisya itu dan melompat turun menyelamatkan diri, sementara Ditrisya masih duduk mengangkang di boncengan dengan wajah banteng dan napas naik turun. "Enak aja salah gue, salah lo sendiri!" Ahyar mengacungkan telunjuknya di depan muka Ditrisya, tidak mau mengalah. "Lo yang bilang ke adik gue kalau lo pacar gue!" "Mereka tahu nama gue darimana kalau bukan dari lo?" Ahyar ngotot tidak mau kalah. "Pas adek lo ngira kita pacaran, lo bisa lurusin, bukannya malah nyebut-nyebut nama gue dan bilang kita ini mantan." "Ya, itu kan ..." Ditrisya tergagu. Ragu apa ia perlu menjelaskan dibalik keputusannya membiarkan keluarganya mengira dirinya dan Ahyar sudah putus, bukan bersikukuh meluruskan fakta sebenarnya. "Itu apa?" tantang Ahyar berkacak di pinggang. "Baru gue kasih tahu nama, nyokap lo langsung mengenali gue. Dia bilang, oh pasti kamu pacarnya Ditrisya, ya? Ayo masuk, Nak. Duh, ganteng sekali kamu, mirip Gunawan Sudrajat pas masih muda." Ahyar menirukan ucapan Ibu dengan sedikit bumbu improvisasi. "Terus gue mesti jawab enggak, bukan, Tante. Gitu? Bisa-bisa nyokap lo kecewa berat karena nggak jadi punya calon mantu ganteng mirip Gunawan ini. Dan lo, harga diri lo pasti hancur setelah ketahuan bohong ngaku-ngaku punya pacar padahal sebenarnya masih jomlo." Ditrisya turun dari motor hanya agar bisa balas berkacak pinggang di hadapan Ahyar. Ia semula ingin menerima ini sebagai salahnya, tapi ucapan terakhir Ahyar kesannya terlalu percaya diri, di sisi lain merendahkan Ditrisya. Ahyar mengangkat dagu, menunggu Ditrisya akan bicara apa dengan tatapan setajam itu. "Pe--" Tin! Suara klakson menyentak perhatian keduanya sumber suara. "Woi! b**o ya? Kalau mau parkir jangan di depan jalan!" teriak seorang pengemudi mobil yang hendak keluar dari gerbang bangunan perkantoran di belakang mereka. Ditrisya dan Ahyar saling lirik, lalu mengembuskan napas bersamaan. Sambil menuntun motornya agar tidak menghalangi mobil, Ahyar hanya bisa menatap sebal si pemilik mobil karena sadar posisinya yang salah, sementara di belakangnya Ditrisya mengangguk-angguk kecil minta maaf. Begitu mobil itu berlalu, mereka atmosfer di sekitar sudah tidak mendukung perdebatan. Ditrisya mengajak Ahyar langsung pulang karena besok ia harus bekerja. "Oh ya, ngapain lo ke rumah gue?" tanya Ditrisya baru berkesempatan tanya ketika mereka baru tiba di rumah Ditrisya. "Nggak, tadinya gue mau bilang kalau gue serius mau berbisnis." "Bisnis apa?" "Nggak tahu. Makanya gue nyamperin lo. Otak lo, kan, dipenuhi bayang-bayang uang. Siapa tahu lo bisa menerawang peluang gue juga." Ditrisya mencibikkan bibir mencibir. "Kenapa lo berpikir gue pasti mau tahu informasi itu? Lo mau bisnis atau jadi pengangguran sejati, gue nggak akan peduli." "Jahat banget, sih, sama pacar juga." Ditrisya menendang tulang kering Ahyar tanpa peringatan, membuat lelaki itu mengumpat keras. Jangan kebanyakan disebut, nanti lo keterusan ngarep kita beneran pacaran," ucapnya tanpa merasa berdosa sudah membuat Ahyar kesakitan. "Bukannya kita udah pacaran?" "Ck." "Maksud gue, keluarga lo tahunya kita pacaran kan. Daripada dijodohin sama cowok nggak jelas, mending sama gue yang udah jelas-jelas ganteng." Ditrisya menatap Ahyar malas. "Ganteng, sih, tapi buat apa? Masa depan lo nggak jelas." "Ya, ayo dibikin jelas bareng-bareng. Kalau bisnis gue sukses, kan nantinya buat lo juga. Lagian masa depan lo sendiri juga belum jelas. Lo punya uang, tapi lo nggak tahu mau dipakai buat apa uang itu." "Nggak usah sok tahu!" "Di, lo sadar nggak sih, ibarat panci dan tutupnya, kita ini saling melengkapi." Ditrisya membuka mulut tak percaya, "lo nggak bisa cari analogi yang bagusan?" Ahyar mengibaskan tangan. "Yang penting intinya. Lo suka cari uang, gue tahu cara menghabiskan. Jadi kalau kita jadi pasangan, pas itu. Kekurangan gue lo tutupi, kekurangan lo gue yang tutupi." "Maksudnya, gue yang kerja, lo yang jadi bapak rumah tangga?" "Nggak ada masalah sama itu, kan? Yang penting pos-pos tugas terisi." Ditrisya hendak menendang tulang kering Ahyar lagi, tapi kali ini gagal lantaran Ahyar gesit menghindar. Ahyar menjulurkan lidah mengejek. "Mending lo pulang sekarang, gue juga b**o ngapain ngeladenin orang kayak elo." Ahyar tertawa renyah, ekspresi kesal Ditrisya sangat lucu. "Ya udah, ya udah, aku pulang dulu ya, Pacar?" Ditrisya melotot makin lebar, tawa Ahyar makin besar. "Pulang nggak lo?! Jangan sampai gue bakar skuter butut ini," ancamnya menendang ban skuter Ahyar. "Nggak papa bakar aja, asal gue dapat lo sebagai gantinya. Kayaknya enak juga dinaiki." "Heh!" *** Hari besar Andhika Catur Putra akhirnya tiba juga. Setelah berjuang di perguruan tinggi selama empat tahun lamanya, hari ini dia bisa mengenakan baju toga. Tidak semua anggota keluarga ikut menyaksikan saat namanya di panggil, dengan gelar sarjana di belakang namanya langsung di auditorium kampus tempatnya menimba ilmu. Dia hanya didampingi Ayah, Ibu, pacarnya, Ditrisya, dan Ahyar. Demi Dhika, Ditrisya rela mengambil cuti sehari. "Tiga dua satu ..." Cekrek! Satu lagi foto berhasil Ahyar abadikan dengan kamera miliknya. Ahyar melihat hasil jepretannya, Ibu dan Ayah nampak serasi dengan kain batik pasangan, pun dengan kekasih Dhika yang hari ini mengenakan dress semi kebaya, sedangkan Ditrisya merasa percaya diri dengan dress batik dengan potongan sederhana. Semua orang di foto itu tersenyum lebar, kecuali Ditrisya yang senyum sok manis tidak mau menunjukkan gigi. "Bang, ikutan sini, minta tolong fotoin orang lain." seru Dhika, dalam waktu singkat bisa menerima Ahyar sebagai calon kakak ipar. "Nggak, nggak usah, dia nggak suka difoto," cegah Ditrisya. Buat apa orang asing ikut foto keluarga. "Mana ada model nggak suka difoto," tampil Ibu lalu memanggil Ahyar, "sini, Nak Ahyar. Ikut foto, biar ada kenang-kenangan." Ditrisya mendesah. Ia sudah tahu hal ini akan terjadi saat dengan terpaksa ia minta Ahyar untuk memenuhi undangan Ibunya dan pura-pura jadi pacarnya, sampai Ditrisya menemukan kesempatan untuk bilang kalau mereka sudah putus. Ahyar akhirnya meminta tolong seseorang untuk memegang kameranya, sementara ia memposisikan diri di sebelah Ditrisya. Menarik pinggang kecil Ditrisya yang kontan membuat gadis itu menyikut perutnya. "Lihat ke kamera, Sayang." "Sayan-" Cekrek! Tepat saat Ditrisya memekik di wajah Ahyar, momen itu tertangkap jelas di kamera. Dhika berdecak keras. "Mbak Tri kalau mau sayang-sayangan nanti aja, nggak enak sama yang motoin. Sekali lagi, tapi yang bener ya." Wajah Dirisya memerah menahan malu. Ia berusaha tidak mengabaikan tawa Ahyar yang menggelitik telinganya. "Awas ya," ancam Ditrisya. Maka tidak heran kalau semua foto setelah kejadian itu wajah Ditrisya terlihat datar, Ahyar sudah membuatnya kehilangan minat tersenyum. Dalam foto itu pasti tak akan ada yang mengira mereka pasangan jika tangan Ahyar tak merangkul pinggang Ditrisya. *** Perayaan hari wisuda Dhika dilanjutkan dengan acara makan malam bersama di rumah keluarga Ditrisya. Sepanjang hari itu Ditrisya masih di sana, begitupun juga dengan Ahyar yang kini menjadi pusat perhatian. Lebih diperhatikan daripada sang bintang yang semestinya adalah Dhika. Tapi tampaknya Dhika tak mempermasalahkannya, buktinya dia bisa berbaur dan ikut menyambut kehadiran Ahyar. Di saat para wanita sedang menyiapkan makanan, para lelaki bercengkrama di ruang tengah bak kumpulan raja. "Tante Tli, dipanggil Eyang. Diculuh ke dapul," panggil Alan, anak ke dua Dwipa yang masih berusia tiga tahun. "Tuh, sana. Cewek harusnya di dapur," suruh Eka mengusir sang adik yang nimbrung diantara para lelaki. Setia duduk di samping Ahyar. "Khawatir banget pacarnya diapa-apain." Itu benar. Ditrisya khawatir, menjurus ke takut jika sampai keluarganya menanyakan hal aneh-aneh pada Ahyar, atau parahnya akan mengatakan sesuatu yang tak seharusnya orang luar tahu. Sekaligus memastikan Ahyar tidak sembarangan bicara lagi. Ditrisya belum juga beranjak sampai Ibu sendiri yang turun tangan langsung menyeretnya, bukan menyeret tangan, melainkan daun telinga sekalian. Entah apa lagi yang dipikirkan Ahyar, baik tentangnya, maupun tentang keluarganya. Makan malam sudah siap. Ibu sangat kompak dengan kedua menantunya yang jago masak. Bahkan Wilda pun sudah menunjukkan potensi jadi menantu idaman, gadis cantik bermata bulat itu tak segan-segan mengupas bawang merah dan merajangnya halus. Sedangkan Ditrisya, mana mau dia menyentuh bumbu-bumbu dapur berbau menyengat. Ibu memsak banyak sekali makanan, kebanyakan tentu makanan kesukaan Dhika. Keluarga itu duduk melingkari meja makan besar berbentuk persegi panjang, Ibu menatap bahagia anak-anaknya yang sudah menemukan pasangan masing-masing. Meskipun dua diantaranya belum diresmikan. "Jadi Ahyar dan Tri udah pacaran berapa lama?" tanya Maya, Istri Eka. "Seminggu." "Enam bulan." Semua mata saling lempar pandang bingung, pasangan itu menjawab kompak dalam detik bersamaan, namun dengan jawaban berseberangan. "Yang benar seminggu apa enam bulan, nih?" Maya memastikan. Sesaat Ditrisya dan Ahyar saling adu pelototan mata yang hanya mampu kedua orang itu pahami sendiri artinya. Hingga kemudian Ahyar tertawa garing dan mengalah, mempersilahkan Ditrisya yang menjawab. "Enam bulan." "Tapi kami sempat putus, dan balikan lagi seminggu lalu," sambung Ahyar. "Ya, maksudnya begitu." Ditrisya menambahkan. Terdengar bunyi oh panjang dari beberapa suara berbeda. "Pantas aja waktu itu Tri ngotot kalau dia nggak punya pacar. Jadi waktu itu kalian dalam masa break ceritanya?" "Ya, bisa dibilang begitu." "Sampai-sampai Ibu ambil jalan terakhir buat jodohin Mbak Tri sama anak temannya Ayah." Beritahu Eka, "Udah sempet tuh si Bobby main ke sini, tapi Tri nya sengaja nggak pulang." "Yeah, Mas pikir sendiri lah," Dhika menyempatkan menelan makanannya sebelum melanjutkan, "Biarpun anak Haji juragan sembako, model kayak si Bobby mah nggak ada apa-apanya dibandingin sama Bang Ahyar. Biar jelek-jelek gini, seleranya Mbak Tri tinggi juga-Hei!" Dhika mengakhiri dengan teriakan saat sebuah pisang di lemparkan ke arahnya. Dan Ditrisya adalah tersangkanya. "Apa maksdunya ngatain aku jelek? Kamu udah ngerasa seganteng Lee Min Ho?" "Aku sih orangnya pedean." Dhika mengulurkan sebelah tangannya melingkari punggung Wilda, "Kalau aku nggak seganteng Lee Min Ho, mana mau Suzy jadian sama aku?" Wilda menutup muka karena malu. Semua orang tertawa, sementara Ditrisya berlagak mau muntah. "Ditrisya cantik, kok," ucapan Ahyar seketika menghentikan tawa, suasana berubah hening tiba-tiba dan perhatian sepenuhnya terpusat padanya. Ahyar melemparkan lirikan disertai senyum simpul pada Ditrisya yang sukses membuat gadis itu menahan napas. "Cantiknya natural. Tanpa dempulan bedak, lipstik, atau alis yang bisa bikin garis wajah berubah. Aku senang melihat wajah cantik dia tanpa dihalangi semua itu. Dia nggak berusaha mempercantik diri lagi karena dia sangat tahu aku menyukai dirinya yang seperti ini." "Ciee..." Eka bersiul heboh di kursinya. Ditrisya merasakan wajahnya memanas, buru-buru gadis itu menunduk menyembunyikan wajahnya. Bukan, ia tidak tersipu, wajahnya panas karena Ahyar sukses mempermalukan dirinya. "Cie yang mukanya merah cie..." Ditrisya memelototi semua orang yang dengan sangat menyebalkan meledeknya, sayangnya semakin Ditrisya menunjukkan kekesalan, semakin puas mereka. "Kalau aku yang ada di posisi kamu, Mbak, Ibu pasti udah ngebet minta dinikahi." Kali ini kakak ipar kedua Ditrisya ikut bicara, "Punya pacar model begini harusnya cepat-cepat dikandangin, bener nggak, Bu? Biar nggak capek jagain." Sudah pasti Ibu mengangguk setuju. "Iya nih, buruan deh, Bang. Biar jalan aku sama Wilda juga mulus nantinya. Kalau kendaraan kalian belum berangkat, gimana kami bisa gerak?" "Dasar lo nya aja yang ngebet pingin nikah," cibir Ditrisya. "Kami masih nyantai, belum mikir ke arah sana. Ahyar sendiri yang bilang kalau dia nggak bakal nikahin aku sebelum dia punya rumah, mobil, deposito, reksadana, asuransi. Sedangkan sekarang, kalian tahu sendiri kan, kerjaan dia masih belum tetap." Selain status hubungan mereka, keduanya memang tak menutupi apapun. Semuanya tahu Ahyar masih pengangguran. "Tapi kan Ahyar nggak mungkin nganggur selamanya." "Nah, itu. Berati ngomongin nikahnya nanti, kalau dia udah nggak nganggur lagi." "Aku, sih, sebenarnya ada rencana mau buka usaha," ungkap Ahyar. Ayah merespon dengan antusias. "Bagus itu. Mau buka usaha apa?" "Ehm... Masih riset, sih, Om. Tapi kayaknya untuk sekarang bisnis yang paling seksi sesuai budget saya masih makanan sama clothing line." Ayah manggut-manggut. "Om selalu menjadi pendukung terdepan anak-anak muda yang punya mimpi besar. Nggak seperti anak-anak Om yang kerjanya cari aman aja." Keempat anak Ayah memutar bola mata. Mereka punya bantahan sendiri mengenai itu sebenarnya, tapi itu sama saja dengan mengulang-ulang perdebatan sebelum-sebelumnya. Mereka berempat bersikeras tak mau jadi eksekutor mimpi Ayah yang belum kesampaian hingga sekarang, yaitu jadi pengusaha. "Baru juga rencana, jangan banyak sesumbar dulu, Sayang. Nanti kalau gagal malu." Ditrisya mengingatkan, mengelus lengan Ahyar pura-pura mesra. "Paling enggak udah ada kemauan. Setelah itu pasti ada jalan keluar. Ibu kasih tahu ya Mbak, kalau hati sudah sama-sama srek, nggak baik menuntut banyak hal dari laki-laki sebelum menikahi kamu. Kamu akan belajar apa itu kesabaran, kesetiaan, dan komitmen kalau memulai semuanya dari bawah sama-sama dan mencapai puncak juga bersama. Yang harus kamu hindari itu orang yang nggak punya pandangan ke depan," nasehat Ibu. Ditrisya menegakkan punggung dari sandaran kursi, bersiap memberitahu bahwa Ahyar adalah tipe orang yang harus dia hindari itu. Namun, keduluan Ibu menambahkan, "kamu jadi perempuan jangan kasar kalau ngomong sama laki-laki, nanti jadi kebiasaan kalau udah jadi istri, nggak bisa hormat sama suami." "Nggak apa-apa, Tante. Ditrisya mungkin lagi kesel aja dari tadi diledekin, biasanya dia manis dan sangat ngedukung saya." Lihat betapa pintar Ahyar memainkan perannya. Gombalannya membuat Ditrisya makin terlihat seperti pacar tidak tahu diri, sedangkan dia makin dipuji-puji. "Makan lagi yang banyak, Nak Ahyar." Ibu menaruh dua potong daging ke piring Ahyar. Sesaat Ahyar terpaku, jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. "Kenapa?" tanya Ibu hati-hati. "Udah kenyang, ya? Tadi Ibu lihat kamu lahap sekali makannya." "Enggak, enggak, Tante." Ahyar menggeleng cepat. "Untung Tante nawarin, tadinya malu mau nambah." Ibu tertawa diiringi desahan lega. "Kirain apa. Nggak usah malu-malu, anggap aja rumah sendiri. Dan kalau bisa jangan panggil Tante, kamu bisa ikut Tri dan yang lain manggil saya Ibu." Ahyar menelan mudah serat. "Bo-leh?" tanyanya kaku. Ahyar tidak sadar, Ditrisya terus menatapnya dari samping dengan kening berkerut. Ia ingat sekali tempo hari lalu Ahyar dengan enteng memanggil Ibu. Ditrisya akhirnya tahu itu hanya salah satu cara Ahyar menjahilinya karena tadi Ahyar tetap memanggil Ibu dan ayahnya dengan panggilan Om dan Tante. Lalu sekarang, di saat Ibu memberi izin, dia tampak kaget dan seolah tak percaya. "Ya boleh, lah. Wilda juga manggil saya Ibu. Coba panggil, I-bu." Ditrisya bisa melihat jakun Ahyar bergarak menelan ludah, bibir lelaki itu bergetar seperti ingin membuka tapi ditahan-tahan. "I-bu," gumam Ahyar sangat pelan pada akhirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN