09 | Tidak Jadi Bersimpati

2358 Kata
"Bye, Pacar." Ditrisya menatap Ahyar malas, lebih tepatnya, sudah terbiasa dengan celetukan jahil lelaki itu. Sejak usai makan malam, Ahyar mendadak jadi pendiam. Dia hanya tertawa saat ada yang melempar lelucon, tidak lagi ingin jadi pusat perhatian dengan menunjukkan perhatian berlebihan dan menggombal pada Ditrisya. Ditrisya tidak bisa menebak apa sebabnya, entah bosan atau lelah. Makanya ia segera menyuruhnya pulang, sementara ia sendiri akan menginap di sini malam ini. "Untung belum jalan," suara Ibu. Keduanya menoleh dan melihat Ibu berjalan tergesa dari pintu rumah ke arah mereka, menenteng sebuah paper bag. Ibu menyodorkan paper bag itu pada Ahyar. "Apa ini ...?" tanya Ahyar menggantung. "Ibu bungkusin sedikit buat kamu, siapa tahu tengah malam nanti lapar. Atau kalau mau dimakan besok, nanti langsung taruh kulkas, terus diangetin sebelum makan." "Perasaan setiap aku mau pulang, aku nggak pernah dibungkusin makanan." "Sengaja. Biar kamu cepat kangen masakan Ibu, jadinya sering-sering pulang." Ibu beralih menatap Ahyar. "Kamu juga kalau kangen masakan Ibu, boleh mampir ke sini. Nggak usah nunggu diajakin sama Tri." Ahyar hanya mengangguk kaku. "Ya udah, Ibu masuk dulu. Kuah Ibu masih di atas kompor," ujar Ibu, kemudian berjalan cepat masuk rumah. "Lo kenapa sih?" Ditrisya akhirnya menyerukan pertanyaan yang sejak tadi dia tahan lantaran tidak ingin dianggap terlalu penasaran, salah-salah nanti Ahyar besar kepala, dikiranya Ditrisya peduli padanya. "Gue perhatiin lo tiba-tiba nggak banyak omong." "Cie perhatian," canda Ahyar menyeringai gagal. Ahyar bersiap menaiki skuternya, memakai jaket karena malam ini udara lumayan dingin. "Pulang dulu ya, Yang. Jangan tidur dulu, nanti aku telepon kalau udah sampai kostan." Ditrisya mendecakkab lidah, Ahyar ini sadar tidak kalau candaannya tidak lucu. Entah kenapa, Ditrisya merasa senyum Ahyar malah membuat lelaki itu tampak kasihan. "Lo terbebani Ibu nyuruh lo manggil dia Ibu? Ya elah, nggak usah dianggap serius kali." "Apanya yang nggak usah dianggap serius." "Ya, manggil Ibu gue Ibu. Ibu emang biasa nyuruh teman anak-anaknya manggil dia Ibu. Nggak lantas artinya dia beneren anggap lo anak dan dia jadi Ibu lo juga." "Gimana kalau gue ingin Ibu lo beneran jadi Ibu gue?" "Enggak boleh. Ibu gue nggak akan pernah jadi Ibu lo, kasihan kalau Ibu sampai ketambahan beban hidup." Mata Ahyar menyorot mata Ditrisya, senyum di wajah Ahyar perlahan memudar dan rahang Ahyar tampak mengetat. Ditrisya mengingat-ingat lagi apa yang barusan keluar dari bibirnya, sepertinya tidak ada yang salah dengan ucapannya. Lalu kenapa Ahyar terlihat sedih? "Yar... " panggilnya takut-takut. Detik selanjutnya, Ahyar tersenyum tipis. "Tenang aja, Di. Gue nggak pernah mimpi punya sesuatu yang emang sejak awal nggak ditakdirkan buat gue miliki, kok." "Mak-sudnya?" Kepala Ahyar menggeleng pelan. "Pulang dulu ya, Pacar. Sweet dreams." *** Sialan. Senyum terakhir Ahyar membuat Ditrisya tidak bisa tenang. Berkali-kali ia keluar masuk room chat kontak Ahyar, mengetik sebaris pesan, lalu menghapusnya lagi. Ia khawatir Ahyar sakit hati atas ucapannya. Setelah dipikir-pikir lagi, apa mungkin Ahyar tersinggung saat Ditrisya menyebutnya sebagai beban? Kalau dipahami secara menyeluruh, Ditrisya tidak menunjuk pada satu orang yaitu Ahyar, melainkan semua anak. Ia teringat ada istilah umum bahwa anak adalah beban untuk setiap orangtua mereka. "Ah, bodo." Ditrisya menyimpan ponselnya di atas meja. "Bagus dong, dia sebel sama gue. Jadi nggak akan ganggu-ganggu gue lagi. Gue tinggal mikirin alasan biar Ibu nggak nanya soal dia lagi." Ditrisya menepuk mengembuskan napas, berusaha fokus menyelesaikan pekerjaannya. Tidak peduli berapa kali ia mensugesti diri, tetap saja Ditrisya tidak bisa sepenuhnya bodo amat. Namun, selain logika yang berkata bahwa marahnya Ahyar adalah hal bagus, hati kecil Ditrisya merasa ada yang mengganjal. Ia tidak mungkin bisa tenang dan berlagak bodo amat, setelah tanpa sengaja menyinggung perasaan orang lain. Kalaupun mereka harus mengakhiri, sebut saja hubungan atau urusan diantara mereka, itu harus diakhiri baik-baik sekalipun dimulainya tidak baik- baik. Ditrisya memberi waktu sampai besok atau lusa, kalau Ahyar masih belum juga menghubunginya lebih dulu seperti beberapa hari belakangan, Ditrisya lah yang akan menghubunginya duluan. Ditrisya sedang dalam perjalanan pulang, seperti biasa lewat jalanan depan bengkel Bambang. Dari kejauhan, Ditrisya melihat Bambang menyusuri jalan sambil menggerakkan tongkat dengan geer magnet dibawahnya. Bengkel Bambang sudah buka, tapi seperti tidak ada kegiatan di sana. Hanya ada Doni duduk mengantuk di dekat alat pompa bensin eceran di depan bengkel. Hati Ditrisya mengiba, makin menyadari betapa mahalnya harga sebuah kepercayaan, terlebih untuk bisnis jasa kecil-kecilan. Ditrisya menepi di depan bengkel Bos Bambang, bermaksud membeli bensin meski ia sebenarnya paling anti beli di pedagang eceran. Sudah tidak jelas ukurannya, jauh lebih mahal pula. Doni langsung berdiri, dia sepertinya masih mengenali wajah Ditrisya. Ditrisya tersenyum seadanya. "Bensinnya satu liter, ya." "Siap, Kak," jawabnya bersemangat. "Bengkelnya baru buka lagi, ya?" tanya Ditrisya berbasa-basi. Raut wajah Doni sedikit muram, tapi masih berusaha memberi senyuman. Terlihat jelas dia masih merasa bersalah. "Iya, tapi dari tadi pagi nggak ada yang datang. Biasanya ada aja yang cek motornya di sini. Nggak tahu deh, gimana kalau seterusnya gini terus." "Pelan-pelan, nanti orang pasti lupa. Itu, aku lihat bos kamu lagi nyisir jalan nyari sisa paku, kan?" Doni mengangguk pelan. "Udah tiga hari, padahal kemarin udah nggak nemu paku lagi. Tapi hari ini masih disisir ulang." Doni mengangkat selang bensin dan Ditrisya lantas menutup tangki bensin motornya. "Bang Ahyar, gimana kabarnya, Kak?" "Eh?" Ditrisya terkesiap tiba-tiba ditanya soal Ahyar. "Kenapa kamu nanya dia ke aku?" "Bang Ahyar bilang, Kakak temannya dia." Teman? Hubungan aneh yang dimulai dari kebohongan dan terus berlanjut karena terjebak kesalahpahaman ini sepertinya belum layak masuk kategori pertemanan. Namun, dikira berteman tentu jauh lebih baik, daripada dikira pacaran, cukup keluarganya saja yang mengira begitu. "Oh iya, dia baik. Kamu bisa tanya dia sendiri," jawab Ditrisya lantaran Doni tampak sangat mencemaskan Ahyar. Doni mengembuskan napas panjang. "Bang Ahyar larang aku hubungi dia dulu sementara ini, katanya kalau Bos Bambang tahu aku masih berhubungan sama Bang Ahyar, dia akan marah. Padahal yang punya ide awal buat nyebar rantau paku itu aku, cuma Bang Ahyar yang ngatur gimana caranya biar nggak ketahuan." "Nggak usah khawatirin Ahyar, orang kayak dia gampang menyesuaikan keadaan." Ditrisya teringat saat Ahyar membentak keras Doni, menyuruhnya meninggalkan dia waktu itu. Dilihat dari fisik, siapa pun akan sepakat mereka bukan saudara kandung. Pasti ada alasan lain mengapa Ahyar rela memikul tanggungjawab sendirian demi Doni. "Tetap aja nggak adil buat Bang Ahyar. Bos Bambang sekarang jadi benci banget sama dia, sedangkan buat Bang Ahyar, Bos Bambang satu-satunya keluarga yang dia miliki." "Mereka keluarga?" Pertanyaan itu lolos begitu saja, meski ia sudah bersiap pergi. Sudah terlanjur, Ditrisya simak jawaban Doni lalu pergi. "Bukan keluarga sebenarnya. Bang Ahyar nggak punya keluarga." Kening Ditrisya berkerut, satu jawaban Doni malah menimbulkan sejuta pertanyaan lain. "Tunggu, maksud kamu, mereka sebenarnya bukan keluarga?" Doni menganggukkan kepala. "Terus keluarga Ahyar di mana? Maksud kamu, Ahyar di sini merantau gitu jadi nggak punya siapa-siapa selain Bos Bambang?" Kali ini kepala Doni menggeleng, membuat kening Ditrisya kelihatan seperti kulit jeruk kering. "Bang Ahyar belum cerita ya, Kak? Dia itu nggak pernah tahu keluarganya di mana, orang katanya dia pas bayi dibuang di emperan toko. Dia besarnya di panti asuhan." Deg! Aliran darah Ditrisya seolah terhenti beberapa detik. "Jadi dia nggak punya ibu?" "Jangankan ibu, bapak, kakak, adik, dia nggak punya. Bang Ahyar nggak pernah malu sama latar belakangnya, kadang dia sering pakai itu buat bahan bercandaan. Cuma, kalau bisa, jangan pernah curhat masalah keluarga ke dia. Bisa-bisa dia jadi lebih sentimentil, daripada yang punya masalah." "Kenapa begitu?" Doni mengendikkan bahu. "Mungkin karena dia nggak pernah merasakan berada dalam sebuah keluarga?" Ditrisya tidak tahu harus bereaksi apa, ia masih berada di ambang antara terkejut dan tak percaya. "Bang Ahyar belum cerita masalah itu, ya, ke Kakak?" Doni membaca ekspresi Ditrisya. Ditrisya tersenyum canggung. "Kami nggak sederkat itu sampai dia harus cerita masalah pribadinya." "Wah, masa?" Doni nampaknya berpikir kejauhan tentang mereka. "Kalau gitu Kakak pura-pura aku tadi nggak bilang apa-apa, ya. Takut Bang Ahyar marah." "Iya, tenang aja." Ditrisya masih cukup waras untuk tidak ujuk-ujuk menyinggung masalah itu di depan Ahyar, bagaimana jika Ahyar mungkin saja menganggap latar belakangnya sebagai aib. Dirinya saja waktu kecil sering merasa terbuang akibat perhatian orangtuanya terbagi dengan kedua kakaknya, terlebih saat Dhika lahir dan seolah semua perhatian hanya tertuju pada dia. Anak yang dibuang, ternyata benar-benar ada. "Kak," panggil Doni, sekaligus mengembalikan fokus Ditrisya dari purasa pikirannya. "Tolong jangan jauhi Bang Ahyar ya, Kak. Bang Ahyar kelihatannya memang kayak orang nggak bisa serius, tapi aku berani jamin dia bukan orang jahat. Kalau kata Bos dulu, Bang Ahyar hidup sesukanya itu karena dia merasa nggak punya nama baik yang harus dia jaga dan orang-orang yang ingin dia bikin bangga." Ditrisya hanya bisa mengerejapkan mata, tertegun mendengar penuturan terakhir Doni. Dan Ditrisya pun baru paham maksud, perkataan Ahyar semalam, "gue nggak pernah mimpi punya sesuatu yang emang sejak awal nggak ditakdirkan buat gue miliki." *** Fakta bahwa Ahyar bayi ditinggalkan orangtuanya di emperan toko dan tumbuh besar di panti asuhan, membuat Ditrisya kian resah oleh rasa bersalah. Otaknya memutar ulang saat dimana Ahyar seolah takjup saat Ibu menyendokkan lauk ke piringnya dan menuntunnya memanggil dia Ibu. Lalu, tanpa memperhitungkan tidak semua orang beruntung punya keluarga lengkap dan harmonis seperti keluarganya, Ditrisya berkata bahwa Ibunya tidak akan pernah jadi Ibu Ahyar dan dia adalah beban. Meski sekali lagi, bukan itu maksudnya. Ditrisya putuskan tidak akan menunggu beberapa hari, begitu sampai di rumah nanti, ia akan langsung menghubungi Ahyar. Walaupun kalau dipikir-pikir, Ditrisya tidak sepenuhnya salah. Dia bukan orang pintar yang bisa baca pikiran, apalagi kehidupan masa lalu seseorang. Ah, sudahlah. Ditrisya tidak akan menyibukkan diri mencari alasan pembenaran. Bagaimana pun juga, hati seseorang terluka atas ucapannya. Sekalipun Ahyar salah paham, maka artinya kesalahan ada di cara Ditrisya menyampaikan. Ditrisya benci dirinya sendiri, sebab mengakui bahwa dia sangat lega melihat Ahyar duduk di lantai terasnya saat Ditrisya tiba di rumah. Menyadari kedatangan Ditrisya, kepala Ahyar mendongak, lalu senyum lelaki itu terbit di wajahnya. "Hi, Pacar. Lama banget pulangnya." Ahyar beranjak menghampiri Ditrisya yang masih terpaku di atas motor. Mendadak Ditrisya merasakan matanya hangat dan pandangannya sedikit mengabur oleh cairan entah sumbernya dari mana. Gadis itu mengerejapkan mata beberapa kali. Hatinya bertanya-tanya, bagaimana Ahyar bisa bertahan sendirian, sedangkan tumbuh dewasa adalah masa paling sulit. "Pacar, lo kelilipan?" Dengan cepat Ditrisya memalingkan wajah, menghindari tatapan Ahyar. Ia mematikan mesin motornya dan turun, sama sekali tidak sadar kalau ia belum menurunkan standar motor. Ia memekik saat motor itu akan jatuh menyamping, jika saja Ahyar tidak menahan salah satu setirnya. "Lagi mikirin apa, sih, sampai nggak fokus begitu?" sembur Ahyar. "Ini kalau tadi sampai jatuh, lo keluar ongkos lagi buat servis. Lo sendiri yang rugi. Jangan mentang-mentang motornya udah butut, jadi sembrono pakainya. Taruhan sama gue, gue yakin lo nggak akan ganti motor, paling enggak sampai lima tahun ke depan." Ditrisya menghembuskan napas lelah. Ocehan Ahyar membuat mood mengharu biru, mendadak jadi merah menyala. Ditrisya tunggu dengan sabar sampai ocehan Ahyar berhenti sendiri. Niat minta maaf sekarang mengikis sisa empat puluh persen saja, mungkin akan terus terkikis tergantung seberapa lama ocehan Ahyar berakhir. " ... spion rusak kemarin gue yang ganti, kalau ini sampai rusak lagi, lo mau minta ganti rugi siapa? Lo kan pelit banget. Jadi, kenapa jam segini baru pulang?" Ahyar mengakhiri ocehannya dengan cara aneh. Ditrisya memutar bola mata, lalu melengos beranjak dari hadapan Ahyar. Ahyar mengikutinya di belakang. Hanya beberapa langkah mencapai teras, Ditrisya melihat tas kertas berlogo butik baju muslim, paper bag kotak makanan milik Ibu. Belum sempat Ditrisya bertanya, Ahyar sudah menyambar tas itu dari lantai. "Berhubung gue orangnya tahu diri dan tahu lo perhitungan, gue balikin wadah ini nggak kosongan. Gue masak sendiri, lho," ujarnya bangga. "Kalau pun beli, gue juga nggak akan tahu, kan?" "Ck, serius ini gue sendiri yang masak. Ganteng-ganteng gini gue jago masak kali." "Nggak ada hubungannya ganteng sama bisa masak. Lo ke sini cuma mau ngasih ini, kan?" Ditrisya mengambil tas makanan itu dari tangan Ahyar. "Udah gue terima. Terima kasih, lo bisa pulang." "Eh," cegah Ahyar saat Ditrisya hendak berpaling. "Itu gue sengaja isi dua porsi, jangan makan sendiri, nanti nggak habis." "Oh, kalau enak bisa gue makan lagi buat besok." Ahyar sengaja mengembuskan udara keras-keras lewat mulut. "Lo ini sengaja berlagak nggak peka atau memang pengalaman lo sama cowok semenyedihkan itu, sih?" "Itu lebih nggak nyambung lagi." Ditrisya menayap Ahyar datar. "Bukan nggak nyambung, lo-nya aja yang nggak paham," dengus Ahyar. "Artinya tuh, sengaja gue isi dua porsi biar bisa dimakan bareng gue." "Oh ...," Ditrisya manggut-manggut. "Kalau gue nggak mau makan bareng lo, lo mau ambil kelebihan makanannya gitu?" Ucapan Ditrisya sukses membuat Ahyar menganga sesaat. Mungkin seperti itulah jalan pikiran orang pelit. "Ckckck, lo bisa makan buat besok." Ahyar memasukkan kedua tangannya ke kantong jaket sambil berpaling. "Gue balik aja, deh. Bilangin terima kasih buat Ibu lo, masakannya sangat enak. Itu makanan terenak yang pernah gue makan. Serius. " "Lo mau langsung pergi?" Ditrisya menggigit bibir ketika pertanyaan itu lolos dari mulutnya. Ahyar menahan langkahnya dan hanya mengangguk. Ditrisya berdecak, tidak menyangka Ahyar tidak mendesak kemauannya dituruti seperti sebelumnya. Ditrisya mengembuskan napas, lalu berbalik badan, berlagak sibuk membuka kunci pintu sambil berkata cepat, "kalau lo mau, kita bisa makan ini bareng." "Apa? coba ulangi, suara lo tadi kurang jelas." "Kita bisa makan ini bareng-bareng." Dalam hati Ditrisya merutuk kenapa kunci pintu ini tiba-tiba sulit dibuka. Bahkan tanpa melihat dengan mata, Ditrisya tahu di sampingnya, Ahyar sedang menyeringai jahil. "Katanya tadi nggak mau makan bareng gue." "Kan tadi lo yang mau gitu." Kunci akhirnya berhasil diputar, Ditrisya membuka pintu setengah lalu menatap Ahyar. "Kalau nggak mau ya udah. Pulang aja." "Bener nih, mau gue pulang?" Ditrisya memejam sambil meremas handel pintu, kesal pada dirinya sendiri. Sungguh ia sangat menyesal sempat mencegah Ahyar pergi. Tampaknya hatinya selembut selimut bayi, sampai-sampai ia iba hanya karena Ahyar bilang masakan yang dibungkuskan Ibunya adalah makanan terenak yang pernah dia makan. Ditrisya kasihan, seumur hidup barangkali Ahyar belum pernah merasakan masakan seorang ibu. "Jadi, maunya gue pulang apa makan sama lo, nih, Pacar?" Ahyar menaik-turunkan alis jenaka. Bibir Ditrisya baru dibuka hendak menjawab, tepat saat Ahyar mendahului, "ya udah, deh. Berhubung Pacar ingin makan bareng, gue nggak jadi pulang." Dan sekonyong-konyong lelaki itu masuk lebih dulu ke rumah Ditrisya, seolah itu adalah rumahnya sendiri
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN