24 | The Grade C

1472 Kata
"Lo nggak bilang Ahyar udah punya pacar." Mendengar suara yang dikenalinya, pelan-pelan Ditrisya kembali duduk di atas closet meski hajatnya sudah tuntas dan celana sudah dinaikkan. "Mana gue tahu Ahyar nggak boleh datang kalau udah punya pacar. Lo cuma suruh gue mastiin Ahyar datang," suara Sisil menimpali suara Risa. "Seingat gue, gue juga bilang kalau Ahyar bagian penting dari surprise ini." "Jadi lo beneran mau bikin mereka balikan?" "Sisil..., sumpah acara ini kacau gara-gara lo. Gue nggak tahu apa maksud lo muji-muji cewek grade C itu di depan Sandra, padahal lo tahu sejak putus daru Ahyar, Sandra belum pacaran lagi sama cowok lain." Mulut Ditrisya menganga, tak menyangka dengan apa yang didengarnya. Dan dia menyebut Ditrisya apa barusan? Cewek grade C? "Ya, maaf. Gue kira Sandra belum mau pacaran lagi karena mau fokus studinya, mana gue tahu kalau dia belum bisa move on dari Ahyar. Lagian mereka putusnya udah lama banget. Apa, sih, yang bikin dia nggak bisa move on?" Sisil mempertanyakan persis seperti yang ada di pikiran Ditrisya, ia juga sangat penasaran apa yang dilihat Sandra dari seorang Ahyar. Baru-baru ini aja masa depannya terlihat ada harapan, sebelumnya sangat suram. Mana pengangguran, menggagungkan tampang, mengentengkan hari esok padahal buat banyak orang besok adalah misteri mengerikan, dan punya otak culas menebar ranjau paku di jalanan. "Eh, San, tadi nggak mau barengan kita," ujar Risa sesaat setelah terdengar pintu toilet terbuka dan tertutup perlahan. Ditrisya mendesah. Kenapa Sandra harus muncul di saat krusial? "Baru kerasa. Kalian udah mau selesai?" "Iya, nih, udah. Mau ditungguin?" "Nggak usah, duluan aja balik ke meja. Biar nggak kosong." "Oke, deh. Kita duluan, ya." Ditrisya memasang telinga, menunggu Sandra masuk ke bilik toilet, barulah ia keluar dari bilik tempatnya. Ditrisya mengaliri kedua tangannya dengan air untuk menghilangkan busa sabun cuci tangan, sembari memperhatikan penampilannya yang terpantul dari cermin besar toilet. Selain pilihan pakaiannya, sepertinya tidak ada yang salah dengan penampilannya. Wajahnya bersih, dalam artian tidak ada noda saus atau belek di sudut mata. Rambutnya juga rapi, tidak lepek dan tidak mengembang juga juga. Namun, kalau dipikir-pikir lagi, pilihan bajunya pun sebenarnya tidak bisa dianggap salah. Jika yang lain boleh memilih memakai dress, lalu mengapa memilih pakai jeans dan kaos dianggap tidak punya gaya? Kenapa Ditrisya harus memaksakan diri memakai dress (mahal dan pemakaiannya repot saat naik motor) jika ia sangat percaya diri dan nyaman dengan celana jeans dan kaos, hanya demi mengejar label grade A dari orang lain? Uh, itu sama sekali bukan gayanya. Sekarang Ditrisya paham kenapa Ahyar sangat mengutamakan 'bungkus' badan, itu karena dia ada di lingkungan judgemental. Ditrisya tersenyum canggung saat salah satu pintu bilik toilet di belakangnya terbuka dan Sandra keluar dari sana. Sungguh, Ditrisya masih tidak habis pikir bagaimana Sandra yang anggun ini bisa punya sahabat sekurang ajar Risa. Main judge orang sembarangan. Lagipula, apa urusan dia dengan selera Ahyar? Membela teman tidak perlu sampai sebegitunya, malah Sandra terlihat santai-santai saja. "Omongan Risa tadi, tolong jangan diambil hati, ya," ujar Sandra sambil mencuci tangan. "Walaupun aku nggak tahu kenapa dia ngomong begitu, aku anggap dia cuma asal ngomong. Lagian lucu aja, sih. Kalau ngomongin grade, aku jadi ingat Strawberry di supermarket." Ditrisya menarik tangannya dari aliran air dan menarik dua lembar tisu untuk mengeringkan tangan. Sandra mengikik halus. "Kamu lucu ternyata, cocok sama Ahyar." "Berati kamu juga lucu." Ditrisya tersenyum sekali lagi pada Sandra, sebelum memberi isyarat dirinya akan pergi lebih dulu. "Gimana cara kamu melakukannya?" ujar Sandra tepat saat Ditrisya hendak beranjak. Alis Ditrisya menukik tak mengerti. "Merubah Ahyar. Aku penasaran gimana cara kamu meyakinkan dia?" "Nggak seperti itu." Ditrisya mengusap tengkuk, bingung bagaimana menjawabnya. Ada bagian dari dirinya merasa bangga lantaran dianggap memberi dampak positif bagi Ahyar, namun di sisi lain itu terlalu sombong dan mengecilkan upaya Ahyar untuk mengubah pola pikir. "Sisil terlalu berlebihan muji aku. Nggak banyak yang aku lakukan sama Ahyar kecuali berantem masalah uang dan gaya hidup kami. Dia sering mencela aku, sebaliknya, aku juga sering mencela dia. Mungkin dari sana akhirnya Ahyar sadar kalau dia hidup bukan buat hari ini aja. "Dia sendiri yang ingin mulai dari bisnis. Produknya, konsepnya, persiapannya, semua Ahyar yang mikir dan jalanin sendiri. Kalau nggak ada dorongan kuat dari dalam diri, rasanya nggak mungkin seseorang mau keluar dari zona nyaman." Sandra tersenyum kecil. "Mungkin karena dia akhirnya ketemu sama orang yang tepat." Ditrisya menggeleng. "Sebelum ketemu sama aku, dia pasti udah melewati banyak proses dan kejadian yang pelan-pelan mempengaruhi dia. Termasuk, perpisahannya sama kamu, mungkin?" "Waktu ajak kamu ke sini, Ahyar memangnya nggak cerita apa-apa tentang aku?" Ditrisya menggeleng pelan. "Dia bilang, dinner buat temannya yang baru balik dari luar negeri." "Oh, iya, sih, sekarang kami teman," gumam Sandra. "Dulu, bisa dibilang aku kurang sabaran. Aku orangnya ambisus, pastinya aku ingin pacarku juga bisa mengimbangi aku. Tapi Ahyar bahkan kayak nggak punya keinginan apa-apa, bukannya berubah, Ahyar malah drop out dari kampus. Papaku sempat menasehati dia dan menawarkan biaya kuliah kalau seandainya kendala Ahyar ada di biaya dan Ahyar menolak dengan alasan yang menurut Papa nggak jelas. Orangtuaku menyuruh kami putus dan ngirim aku ke luar negeri karena takut Ahyar ngasih pengaruh buruk ke aku. Kami akhirnya putus karena sama-sama keras kepala, itulah kenapa tadi Ahyar sempat mengungkit masalah dia ditinggalin karena miskin. Kesan yang beredar di orang-orang sekitar kami, aku tega ninggalin dia saat dia lagi terpuruk. Risa, orang terdekat aku, dia tahu kalau maksud aku nggak begitu. Makanya tadi dia responnya sensitif sekali." "Ah ...." Ditrisya tidak tahu harus memberi reaksi apa. Ia bahkan tidak menyangka Sandra akan membuka sedetil itu penggalan masa lalunya dengan Ahyar kepadanya. "Kenapa kamu cerita itu ke aku?" "Karena kamu pacarnya Ahyar sekarang. Aku ingin memastikan kamu nggak salah paham sama respon Risa tadi," jelas Sandra dapat diterima oleh akal Ditrisya. "Nanti kamu mungkin akan dapat cerita sedikit berbeda dari Ahyar. Apa pun itu, aku senang Ahyar akhirnya berubah." Ditrisya menghela napas. Si b******k Ahyar menyia-nyiakan perempuan baik dan waktunya yang berharga. Seandainya dulu dia mau berkembang bersama Sandra, bisa jadi dia sudah sesukses Vinno atau temannya yang lain. "Pasti banyak yang disesali, ya, dari hubungan yang berakhir bukan karena kemauan, tapi karena keadaan?" Ditrisya bisa bayangkan bagaimana dilemanya posisi Sandra saat itu. Seandainya ia dalam posisi itu pun Ditrisya akan memilih meninggalkan Ahyar, rugi sekali mengabdi jadi b***k cinta di usia muda. Perandaian sama jika Ahyar sampai detik ini belum menunjukkan tindakan konkrit mau berubah, Ditrisya pasti akan meninggalkannya juga. Akan lebih merepotkan mengatasinya jika baper-baper lucu ini berubah jadi cinta. "Ya, bohong kalau aku bilang nggak ada yang aku sesali. Tapi kamu jangan salah paham. Intinya, aku senang lihat perubahan Ahyar dan aku sangat dukung hubungan kalian. Aku mungkin akan lebih menyesal kalau Ahyar masih belum berubah atau malah tampah parah." Senyum getir di ujung kalimat Sandra memberi Ditrisya pemahaman sendiri, perempuan anggun ini jelas-jelas masih menaruh harap pada waktu untuk mengulang lagi hubungannya dengan Ahyar. Ditrisya hanya menganggukkan kepala. Bahkan saat Risa tadi mencoba merendahkan ia, Ditrisya tidak merasa seminder ini berhadapan dengan Sandra. Deg! Ditrisya baru menyadari satu hal. Mungkin saja, bukan hanya Sandra yang menyesal. Ahyar tiba-tiba mengajaknya kemari dan di depan Sandra mengakuinya sebagai pacar, padahal beberapa saat sebelumnya menyebut Ditrisya sebagai teman, bukankah itu dilakukan dengan alasan? Perasaan apa ini? Kenapa Ditrisya kembali meragukan Ahyar? "Mau keluar bareng?" tanya Ditriya ingin menyudahi obrolan. "Duluan aja, aku mau touch up sedikit." Sekali lagi Ditrisya menganguk. Namun, ia membalikkan badan lagi pada langkah kedua karena merasa harus mengatakan sesuatu, "Sandra," panggilnya. "Ya?" "Aku sama Ahyar nggak pacaran," tuturnya. "Lakukan saja apapun, nggak perlu khawatir aku salah paham." "Aku nggak ngerti ...." Ditrisya hanya memberi sebuah senyum, ia yakin Sandra sangat mengerti maksud ucapannya. Setelah menganggukkan kepala sopan, Ditrisya keluar dari toilet itu. Ahyar sudah menunggunya di luar, Ahyar mengajaknya langsung pergi setelah Ditrisya membuat wajah Risa merah padam. "Udah?" sambut Ahyar saat Ditrisya menghampirinya di pelataran. Ditrisya menganggukkan kepala ringan. "Tapi sekarang lapar lagi. Habis dikeluarin, minta diisi lagi." "Dasar." Ahyar menjitak main-main kepala Ditrisya. "Ya udah, mau makan apa lagi?" tanyanya dengan senyum mengembang, barangkali senyum ini juga lah yang membuat Sandra susah melupakan dia. Ditrisya penasaran, sebenarnya berapa banyak perempuan yang Ahyar beri senyuman itu? "Di," panggilan Ahyar menyentak Ditrisya. "Nggak jawab malah bengong." "He he." Ditrisya menyengir t***l. Setolol pikirannya yang sempat mengira senyum itu hanya diberikan padanya. Haruskah ia menganggap serius peringatan Lisa agar berhati-hati pada Ahyar? Namun, ada rasa berat harus mundur begitu saja karena rendah diri dan cemas ia salah menilai Ahyar. Maka, tidak ada jalan lain, selain menguji dan memperjelas perasaan Ahyar terhadap Ditrisya. ***** temen-temen, di sana ada orang nggak ya? barangkali ada satu atau dua, aku mau ngasih info kalau mulai besok cerita ini akan update setiap hari jam 13.00 yaa terima kasih. saran dan kritik sangat aku tunggu buat koreksi aku dan perkembangan cerita
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN