"Tadi kamu keren banget," puji Ahyar bersungguh-sungguh, merujuk pada perkataan Risa tadi. Responnya tadi diluar dugaan Ahyar. Ahyar sudah ketar-ketir hubungannya dengan Ditrisya yang makin manis, akan kembali membuat Ditrisya menjaga jarak.
"Orang begitu capek rugi ditanggapi pakai otot."
Ahyar menepuk pelan helm Ditrisya usai membantunya mengaitkan tali pengait di bawah dagu.
Mereka bergegas menaiki motor. Ucapan santai Ditrisya membuat Ahyar malu, tadinya ia ingin menonjok Risa seandinya saja Risa bukan perempuan. Ia merasa bertanggung jawab atas harga diri Ditrisya sebab ia yang mengajak Ditrisya ke sana.
Tubuh Ahyar seketika menegang saat merasakan kedua lengan Ditrisya memeluk pinggang Ahyar dan dagunya menempel di pundak Ahyar. Ahyar tersenyum seperti orang bodoh. "Tumben pegangannya benar."
"Nggak keberatan, kan?"
"Jangan. Tetap gini terus." Takut Ditrisya melepaskannya, Ahyar sampai menangkup kedua punggung tangan Ditrisya yang bertumpukan tepat di atas perutnya.
Apa pun yang mungkin saja merasuki Ditrisya, Ahyar berterima kasih. Kapan lagi bisa dipeluk Ditrisya tanpa digoda-goda itu? Itu pun selalu berakhir dengan decakan lidah sebal.
Ahyar tidak keberatan berkendara malam-malam dan dipeluk dari belakang seperti sekarang. Ahyar tahu ia tidak sedang menjalani proses ini sendirian, bahkan sebelum kemarin Ditrisya mengatakan kalau Ahyar punya kesempatan memilikinya sejak awal. Saat itu, Ahyar bersumpah ingin mengukuhkan Ditrisya jadi miliknya. Namun, Ahyar sadar, itu tidak adil bagi Ditrisya.
Sampai saat ini Ahyar belum percaya diri membuka latar belakang hidupnya pada Ditrisya. Ia takut pandangan Ditrisya terhadapnya akan berubah jadi kasihan seperti segelintir orang yang perlahan-lahan Ahyar tinggalkan. Ahyar ingin seseorang berada di sisinya dan memperlakukan ia dengan baik bukan karena prihatin dengan nasib menyedihkan yang ia alami, melainkan karena apa yang ada di diri Ahyar sendiri. Dengan begitu, ia merasa dihargai dan keberadaanya memiliki arti.
Ahyar akui, di restoran tadi ia sempat lepas kendali dengan sedikit menyinggung salah satu penyebab ia putus dengan Sandra hingga Risa terpancing emosinya. Entahlah, Ahyar tiba-tiba teringat momen dimana Sandra menyuruhnya datang ke rumahnya. Ahyar berangkat tanpa curiga karena sebelumnya memang sering ke sana hanya sekadar menjemput Sandra dan menyapa orangtuanya sebentar jika kebetulan mereka ada di rumah.
Namun, setibanya di sana, Sandra mendudukkan Ahyar di hadapan papanya dan papa Sandra mulai bicara panjang lebar tentang keputusan Ahyar mengundurkan diri dari kampus. Alih-alih merenungkan apa yang dikatakan papa Sandra, dalam kepala Ahyar sibuk menerka-nerka sejauh mana kehidupan Ahyar yang Sandra bocorkan ke orangtuanya. Papa Sandra bahkan tahu Ahyar tumbuh di panti asuhan setelah dibuang di emperan toko oleh orangtua kandungnya. Demi Tuhan, mereka masih sebatas pacaran anak muda umur awal 20-an.
"Seharusnya, anak kayak kamu begini yang semangatnya nggak boleh kalah sama anak-anak dari keluarga normal. Jangan sampai orangtua kamu dimana pun mereka berada nggak menyesal sudah ninggalin kamu."
Itu merupakan satu perkataan papa Sandra yang paling menyinggung perasaannya saat itu.
Peduli setan! Ahyar tidak hidup untuk melakukan pembuktian kepada siapa pun. Bahkan saat papa Sandra dengan enteng mau membiayai kuliah Ahyar dan menjadikan Ahyar muridnya sampai sukses, Ahyar tanpa pikir dua kali menolak tawaran itu.
Pada akhirnya, Sandra minta putus dengan alasan Ahyar tidak mau diajak berkembang. Ahyar sangat kecewa. Dia merasa dicampakan dan menganggap Sandra tidak bisa menerima ia apa adanya.
Belakangan Ahyar sadar jika caranya menyikapi Sandra dan papanya sangat dangkal. Ahyar tidak terlalu menyalahkan diri, pasalnya saat itu ia berada di fase bimbang terhadap jati diri dan apa yang sesungguhnya ia inginkan. Untuk apa terlalu keras berjuang, jika intinya hidup hanya soal bertahan?
Namun, setelah Ditrisya menyambut tepukan tangannya, Ahyar tidak ingin memberi dia dirinya yang apa adanya. Ia ingin memberi apa yang dulu tidak ia beri pada Sandra, yaitu bagian terbaik dari dirinya.
***
Ahyar selalu suka melihat Ditrisya makan. Dia jelas sangat tahu cara Ditrisya menikmati makanan. Ditrisya tidak berusaha menjaga image dengan baru akan menyuap setelah makanan di mulut sudah tertelan. Pipinya akan mengembung karena kebanyakan makanan.
Sesuai permintaannya, mereka mampir ke warung pecel lele pinggir jalan dan membungkus dua porsi pecel lele untuk dibawa pulang, dimakan di kontrakan Ditrisya. Katanya, lantaran Ditrisya belum mau pisah dengan Ahyar.
Namun, Ahyar tahu Ditrisya sebenarnya hanya asal bicara. Sikapnya sejak keluar restoran tadi sangat aneh, dia terlalu banyak bicara dan tertawa untuk hal-hal yang menurut Ahyar biasa saja.
"A ...," secuil besar tahu Ditrisya suapkan ke depan mulut Ahyar. Ini dia satu lagi keanehan Ditrisya, beberapa kali dia menggoda Ahyar manja. Sesuatu yang jika Ahyar lakukan, pasti mendapat pelotan tajam darinya.
Ahyar mengembuskan napas pendek dan membuka mulut, menerima suapan itu. Makin dibiarkan, hal-hal manis itu tampak mengerikan.
"Enak, kan?" tanya Ditrisya menanti reaksi Ahyar. "Gurihnya nggak di luar doang, dalamnya juga kerasa banget."
Ahyar hanya mengangguk setuju, dan Ditrisya makin semangat memakan makanan di depannya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Ahyar benar-benar khawatir dan penasaran,
Ditrisya sama sekali tidak bertanya mengapa Risa berkata seperti itu atau meminta dijelaskan kenapa Ahyar tidak bilang sejak awal kalau Sandra adalah mantan pacarnya.
"Emangnya gue harus kenapa?" Ditrisya balik tanya.
"Nggak ada yang ingin kamu tanya-tanya?"
"Misalnya?"
Ahyar mengendikkan bahu. "Soal yang tadi. Soal Sandra atau Lisa, mungkin?"
"Kalau lo merasa ada yang perlu gue tahu, lo pastinya akan cerita sendiri, kan? Kalau lo nggak cerita, gue bisa ngerti itu mungkin sesuatu yang nggak mau lo bagi ke gue. Gue nggak mau nanya-nanya hal privasi, daripada lo nggak nyaman."
"Tapi lo penasaran, nggak?"
"Terus kalau gue penasaran kenapa?" Seperti menemukan sesuatu menggelikan, Ditrisya tertawa. "Apa yang lagi lo pikirin, Yar? Gue bilang, gue ngerti seandainya lo nggak mau berbagi masalah terlalu personal sama gue. Rasa penasaran gue nggak bisa dijadikan alasan buat cari tahu semua, kan? Tenang aja. Gue ngerti kenapa di depan yang lain lo bilang gue teman, sedangkan di depan Sandra tiba-tiba gue jadi pacar lo."
"Di ...," desah Ahyar. Ada banyak kesalahpahaman dari pernyataan Ditrisya. "Pertama yang mesti kamu tahu, aku siap terbuka masalah personal sama kamu, tapi aku nggak mungkin bilang semuanya sekaligus, kan? Aku serius waktu bilang ingin memulai bareng kamu. Dan yang kedua, aku nggak bisa main-main sama kata pacar ke kamu."
"Lo main-main sama kata pacar, lho, Yar. Karena keisengan lo, sampai sekarang orangtua gue tahunya kita pacaran."
"Itu sebelum aku sadar, kamu punya arti lebih buat aku."
Ditatapnya mata Ditrisya, dahi Ditrisya mengernyit entah bingung atau meragukan ucapan Ahyar. Ahyar meraih tangan kiri Ditrisya di atas meja dan mengenggamnya. "Aku sama Sandra putus karena--"
"Aku tahu." Ditrisya menarik tangannya dari genggaman Ahyar dan bergabung dengan tangan kanan memisahkan gading lele dengan tulangnya. "Di toilet tadi nggak sengaja ketemu Sandra dan dia cerita sendiri alasan kalian putus karena katanya takut gue salah paham."
Dengan santai Ditrisya mencocol daging kering lele ke sambal dan melahapnya. "Dia kayaknya masih sayang sama lo, tuh," ujarnya dengan pandangan menunduk, sibuk mencuil-cuil daging lele. Kemudian Ditrisya menatap Ahyar lagi, "dan biar dia nggak salah paham juga, gue bilang kalau kita nggak pacaran."
"Di!"
"Sama kayak lo, Yar, sejak kalian putus, dia belum pernah pacaran lagi."
"Terus kenapa?" Ahyar tidak menemukan dimana korelasinya. "Aku belum pacaran lagi nggak ada hubungannya sama Sandra."
"Masa, sih?"
Ahyar mengembuskan napas pendek sembari memutar pandangan ke arah lain, malas meningkahi Ditrisya yang lagi-lagi meragukannya kesungguhannya. Rasa-rasanya selama ini ia sudah terlalu banyak mengungkapkan perasaannya. Jika Ditrisya tetap ragu, Ahyar tidak tahu harus bagaimana agar Ditrisya mau percaya.
Seolah tak sadar peka dengan suasana hati Ahyar, Ditrisya lanjut makan tanpa beban.
"Nggak makan lagi?" Ahyar mendengus, lalu tahu-tahu suapan daging lele tersodor tetap di depan mulutnya. "Aa..." Ditrisya menuntut Ahyar membuka mulutnya.
Mulut Ahyar masih terkatup, sekalinya membuka, bukan makan yang diinginkannya. Melainkan berkata, "aku bingung sama kamu hari ini kenapa."
"Aku malah bingung sama kamu setiap hari."
"Apa yang menurutmu kamu kurang jelas dari aku?" tantang Ahyar, biar diperjelas sekarang juga.
Lantaran tak kunjung disambut Ahyar, Ditrisya memakan sendiri suapannya.
Belasan menit berlalu sejak Ditrisya hanya memberinya tatapan menyipit seolah tak habis pikir, hingga gadis itu sudah selesai makan dan sekarang sedang membereskan mejanya, Ahyar belum juga mendapat jawaban.
Habis sudah kesabaran Ahyar, ia menyusul Ditrisya ke dapur. "Lihat, Di, kamu bilang aku membingungkan. Padahal kamu yang lebih susah dimengerti. Kamu aja nggak tahu mana yang kamu bingungkan, jadi gimana aku bisa tahu mana yang bikin kamu bingung?" cecar Ahyar di belakang Ditrisya yang tengah mencuci tangan.
Ditrisya berbalik badan tiba-tiba, sejurus kemudian leher Ahyar tertarik merendah dan yang selanjutnya Ahyar sadari bibir Ditrisya menempel di bibirnya.
Hingga Ditrisya menjauhkan wajahnya, tubuh Ahyar masih kaku. Ditrisya menciumnya. Mencium bibirnya. Ahyar ingin tidak percaya, tetapi sensasi bibir Ditrisya menekan bibirnya masih terasa. Apa yang ada di pikiran gadis ini? Bahkan Ahyar tidak berani menyentuh dia berlebihan.
Kali ini Ahyar bisa membaca gerak Ditrisya, ketika Ditrisya berjinjit dan tangannya menyentuh rahang Ahyar, sedangkan satu lagi meraih tengkuknya dengan lembut, mata Ahyar memejam begitu saja menyambut bibir Ditrisya.
Ahyar merengkuh pinggang ramping dan menekan punggung Ditrisya merapat ke tubuhnya. Ahyar memangut lembut bibir tipis Ditrisya, sejenak melupakan kebingungannya dan alasan dibalik kenekatan Ditrisya berinisiatif mencium bibirnya.
Ditrisya mendorong d**a Ahyar, menyudahi ciuman mereka. Ditrisya mundur dua langkah menjauhi Ahyar. Dia menatap Ahyar dengan napas naik turun dan bibir tampak lembab.
"Kamu tahu ...," ujar Ditrisya terjeda usahanya menormalkan napas. "Ini yang bikin aku bingung. Kamu memperlakukan aku kayak spesial, kamu bicara kayak aku lah yang bikin kamu menemukan tujuan hidup dan baru kemarin kamu bilang ingin miliki aku. Bahkan kamu tadi balas ciuman aku.
"Tapi aku bingung, Yar, sebenarnya kita ini apa?"