***WULAN**"
Kantor suamiku sangat sepi, karena sedang jam makan siang, bahkan Widya, Sekretaris Mas Ervan, tidak ada ditempat. Semoga Mas Ervan belum keluar, untuk makan siang, harapku di dalam hati.
Pintu ruangan Mas Ervan tidak tertutup sempurna, pasti dia ada di dalam, pikirku.
Kudorong pelan daun pintu itu, kulongokkan kepalaku ke dalam ruangan kantor yang luas, dan nyaman itu. Tidak ada Mas Ervan di balik meja kerjanya.
Kemana dia?
Aku hampir saja memanggil namanya, saat aku mendengar suara orang yang sedang bicara dari arah di mana sofa berada.
Aku menatap ke arah datangnya suara dan....
Satu tanganku mencengkeram tas berisi oleh-oleh, untuk Mas Ervan, dan juga tas tanganku dengan erat. Sedang tangan yang satunya, membekap mulutku untuk menahan pekikan, yang hampir melompat dari mulutku.
Mas Ervan, dan seorang wanita yang aku yakin adalah Puspa, tengah duduk membelakangi ku.
Aku sangat yakin, dari apa yang aku lihat dari balik punggung mereka. Kalau Puspa duduk di atas pangkuan Mas Ervan, itu hal yang selama ini tidak pernah aku lakukan, sepanjang pernikahan kami.
Terdengar dengan jelas, suara Mas Ervan yang sedang berbicara.
"Makan yang banyak, vitamin yang diberi dokter kemarin, diminum dengan teratur. Jangan terlalu kecapekan, jangan banyak pikiran, biar kamu sehat, bayi yang ada di dalam rahim kamu juga sehat, Sayang," suara Mas Ervan terdengar sangat lembut, dan kalimat yang diucapkannya tentang bayi di dalam rahim Puspa membuatku terpana. Kata terakhir yang diungkapkan Mas Ervan, membuat buku jariku yang mencengkeram tas berisi kado, dan tas tanganku jadi memutih.
'Sayang'
Mas Ervan memanggil Puspa dengan sebutan sayang.
Sayang, Mas Ervan bahkan tidak pernah memanggilku dengan sebutan Sayang.
"Siap, Tuan besar, semua perintah Tuan besar akan saya turuti" terdengar sahutan Puspa dengan suara manja.
"Tuan besar? Panggil aku sayang juga, Sayang" nada suara Mas Ervan yang seperti ini baru pertama kalinya aku dengar. Nada suaranya terdengar seperti pria yang baru beranjak dewasa.
"Bapak jangan sampai keceplosan, memanggil saya seperti itu di depan Ibu, Pak. Saya tidak mau perasaan Ibu terluka. Saya sangat menyayangi Ibu. Saya lebih baik berdosa karena membohongi Ibu, demi menjaga perasaan Ibu, dari pada harus menyakiti hati beliau, Pak," suara Puspa meski lirih, tapi aku bisa mendengarnya. Itu membuat hatiku bergetar, air mata yang dari tadi sudah membasahi pipiku, kini semakin deras mengaliri dari kedua mataku.
Aku mundur sambil menutup daun pintu. Tubuhku bergetar, jantungku berdebar, dengan langkah terseok, aku berusaha melangkah menuju toilet yang berada tidak jauh dari ruangan Mas Ervan.
Aku pandang wajahku, di cermin yang ada di dinding toilet.
Pantaskah aku marah?
Pantaskah aku membenci mereka?
Tidak!
Aku yang sudah meminta mereka untuk menikah.
Aku yang sudah memberi mereka kesempatan.
Tapi....
Kenapa mereka bisa secepat ini saling dekat?
Kenapa Mas Ervan bisa bersikap begitu mesra kepada Puspa?
Hhhh....
Salahkah, jika aku terbakar api cemburu?
Salahkah aku, jika ada perasaan marah di dalam hatiku?
Aku tidak pernah berpikir, kalau akan begini jadinya.
Tapi Puspa tetap ingin menjaga perasaanku, aku bisa mendengar ketulusan dari suaranya, tapi Mas Ervan ... entahlah..
Tapi mendengar Puspa sudah hamil, aku juga menjadi bahagia.
Aku hanya bisa berharap, Mas Ervan tidak melupakan aku, tidak membuang aku. Sejak dilahirkan, aku tidak pernah hidup kekurangan. Aku selalu mendapatkan yang aku inginkan. Tapi Allah mengujiku, aku tidak akan bisa memberi Mas Ervan keturunan. Hal yang paling diinginkan setiap orang. Seberapa banyak harta yang kami miliki, ternyata tidak mampu membuat rahimku selamat dari penyakit itu.
Saat takdir Allah sudah berkehendak, memang tidak ada yang bisa bilang tidak, tunggu, atau jangan..
Inilah takdirku, hidup sebagai wanita yang tidak bisa memberikan keturunan pada suaminya.
Inilah takdirku, menjadi istri tua atas keinginanku sendiri.
Inilah takdirku....
Sekarang aku hanya bisa berharap, Mas Ervan tidak meninggalkan aku.
Aku hanya bisa berharap, Puspa memegang janjinya untuk memberikan anaknya kepadaku.
Tapi sekarang aku tidak lagi berani berharap, Mas Ervan tidak membagi cintanya. Melihat sikap mereka berdua, jelas sudah kalau cinta sudah tumbuh di antara mereka, dan aku sadar kalau hal itu sangat wajar, sangat manusiawi.
Apa yang terjadi, adalah resiko yang harus aku tanggung, dari keputusanku untuk menikahkan mereka.
Aku segera membersihkan wajahku dari air mata, kemudian mengambil masker kain yang ada di dalam tas tanganku, juga kaca mata hitam yang juga kuletakan di dalam tasku.
Setelah memasang masker, dan kaca mata hitam, aku segera ke luar dari toilet, dan aku bersyukur, karena suasana kantor belum terlalu ramai.
***
Tiba di rumah aku langsung bertemu Bik Imah.
"Apa kabar, Nyonya" sapa Bik Imah.
"Baik Bik, bagaimana kabar Bibik, dan yang lain juga?"
"Alhamdulillah kami baik, Nyonya. Senang Nyonya sudah pulang, barang-barang Nyonya, tadi diantar supir sepupu Nyonya ke sini, dan sudah diletakan di depan pintu kamar Nyonya."
"Ya terimakasih Bik. Puspa mana, Bik? Kok tidak kelihatan?" tanyaku pada Bibik, aku ingin tahu apa jawaban Bibik.
"Eeh ... anu, itu ... anu, tadi Puspa pamit, ingin keluar sebentar. Tidak tahu ingin kemana, Nyonya. Mungkin ke warung ada yang dibeli," jawab Bik Imah dengan suara gugup.
Kutarik nafas panjang, untuk menghilangkan sesak di dadaku.
Bik Imah orang yang sudah bersamaku sejak awal kami menikah, tega membohongiku. Hhhhh ... apakah itu untuk menjaga perasaanku?
Ya Allah....
Ampuni aku, dan kami semua jika ternyata keputusanku menikahkan Mas Ervan, dan Puspa, akhirnya membuat banyak orang harus mengarang kebohongan.
"Ya sudah Bik, aku ke atas dulu, kalau Puspa datang suruh temui aku di kamarku ya."
"Iya, baik Nyonya."
Aku naik ke lantai atas, lalu masuk ke dalam kamarku, sambil menarik koperku masuk ke dalam kamar.
Kubuka koperku, kuambil oleh-oleh yang sudah aku siapkan untuk Puspa.
Sebuah dompet bermerek berwarna hitam. Kutimang-timang dompet itu sesaat, lalu kuletakan di atas tempat tidur. Kuambil dompetku dari tas tanganku, kuambil sejumlah uang, lalu kumasukan ke dalam dompet yang kubelikan untuk Puspa.
Aku berpikir, biasanya orang yang hamil pasti ngidam, dan mungkin saja Puspa ngidam ingin membeli sesuatu, tapi ia tidak mau meminta pada kami.
Aku tidak ingin anak kami, yang nanti dilahirkan jadi suka ngeces air liurnya. Karena menurut orang dulu, jika Ibu hamil ngidam, ingin sesuatu, dan tidak kesampaian, maka anaknya akan terus ileran. Entah benar, atau tidak aku tidak tahu juga.
Tapi aku akan berusaha menjaga Puspa dengan baik, agar anak kami yang dikandungnya sehat.
'Anak kami'
Pantaskah aku menyebutnya begitu.
Sedangkan sangat jelas kalau itu adalah anak mereka, anak Mas Ervan, dan Puspa. Semoga Puspa tetap pada janjinya, untuk membiarkan aku menjadi Ibu bagi anak yang dikandung, dan dilahirkannya nanti, aamiin.
***AUTHOR***
Puspa pulang dengan naik taksi, karena Ervan ternyata ada janji bertemu Relasinya siang ini.
Sampai di rumah, Puspa disambut Bik Imah dengan wajahnya yang terlihat cemas.
"Nyonya mencarimu, aku katakan kamu ke luar sebentar, untuk membeli beberapa keperluan" kata Bik Imah dengan suara cemas.
"Ibu sudah pulang?" tanya Puspa kaget.
"Iya, baru saja, cepat temui beliau di kamarnya."
'Ya Allah....
Maafkan aku, jika karena aku orang harus berbohong, sekarang bukan cuma aku, dan Pak Ervan yang harus berbohong demi menjaga perasaan Ibu, tapi Bibik juga, ampuni kami ya Allah,' batin Puspa.
Puspa menyerahkan tas berisi kotak makanan yang sudah kosong ke tangan Bik Imah, setelahnya cepat ia menaiki tangga menuju kamar Wulan. Dengan jantung berdebar, dan hati cemas, Puspa mengetuk pintu kamar Wulan.
"Masuk" sahutan Wulan terdengar dari dalam kamar.
Pelan Puspa membuka pintu kamar Wulan.
"Maaf, Bu. Ibu memanggil Saya?"
"Duduklah Puspa, apa kabarmu?" Wulan menunjuk ke arah sofa di depannya.
Puspa mengangguk, lalu duduk di tempat yang ditunjuk Wulan.
"Alhamdulillah, saya baik Bu, Ibu sendiri bagaimana?"
"Saya juga baik? Bagaimana dengan Bapak?"
"Alhamdulillah, Bapak juga sehat Bu"
"Syukurlah."
Wulan berjalan ke arah meja riasnya yang besar, dan berukir indah, ia mengambil sesuatu dari atas meja itu.
Sebuah dompet berwarna hitam, kemudian Wulan kembali mendekati Puspa. Lalu duduk di sofa lain, yang berbatas meja dengan sofa yang diduduki Puspa.
"Ini, aku belikan ini saat di Singapura untukmu, Puspa. Aku juga sudah memasukan uang dua juta ke dalamnya."
Puspa menatap Wulan dengan pandangan bingung.
"Terimakasih dompetnya, Bu. Tapi uang dua jutanya buat apa?"
Hampir saja Wulan menjawab, untuk Puspa kalau ingin membeli sesuatu saat ngidamnya saat ini, tapi Wulan teringat kalau Puspa, dan Ervan belum menyampaikan secara langsung kabar kehamilan Puspa kepadanya.
"Itu untukmu, kalau-kalau kamu ingin membeli kebutuhanmu Puspa."
"Tidak perlu Bu, gaji yang saya dapat dari Ibu saja, hampir tidak saya pakai, karena Ibu sudah mencukupi semua kebutuhan saya."
"Terima saja Puspa, simpanlah. Mungkin suatu saat nanti kamu membutuhkannya."
"Tapi Bu ...."
"Simpan saja Puspa."
"Baiklah Bu, terimakasih. Apa Ibu ingin makan siang? Biar saya siapkan."
"Kamu sudah makan siang Puspa?"
"Sudah Bu," jawab Puspa.
"Temani aku makan ya."
"Oh ... iya Bu."
Di meja makan.
Wulan makan dengan ditemani Puspa yang hanya duduk diam saja.
"Puspa."
"Ya Bu."
"Apa ada yang ingin kamu ceritakan atau sampaikan."
"Maksud Ibu?"
"Ya, mungkin saja selama aku pergi, ada sesuatu kejadian, atau ada kabar, dan cerita yang ingin kamu sampaikan," pancing Wulan, berharap Puspa menceritakan tentang kehamilannya.
Tapi Wulan harus menelan kecewa, karena Puspa menggelengkan kepala.
"Tidak ada sesuatu yang ingin Saya ceritakan pada Ibu, semuanya berjalan seperti biasanya saja Bu," jawab Puspa.
"Ooh ... begitu ya. Apa belum ada tanda-tanda kalau kamu hamil Puspa?"
Pertanyaan Wulan membuat Puspa terkejut. Tadinya ia ingin Ervan, yang menyampaikan tentang hal itu pada Wulan. Tapi karena Wulan bertanya langsung kepadanya, terpaksa Puspa harus menjawabnya.
"Engh ... Saya sudah hamil Bu, masih hitungan minggu" jawab Puspa pelan dengan wajah menunduk, ia takut untuk menatap wajah Bu Wulan.
"Alhamdulillah, jaga dengan baik kandunganmu Puspa. Jangan sampai terjadi sesuatu pada bayi kami, jika kamu perlu sesuatu katakan saja kepadaku."
Wulan sengaja menekankan kata 'bayi kami' pada ucapannya, agar Puspa ingat akan janjinya.
Dan bagi Puspa sendiri kata 'bayi kami' itu tak urung menggores luka di hatinya. Tapi ia berjanji, untuk berusaha sabar, dan ikhlas apapun yang terjadi nanti.
"Ya Bu, saya akan berusaha menjaga kandungan saya dengan baik."
"Kamu sudah ke dokter?"
"Iya sudah Bu"
"Diantar Bapak?"
"Tidak, saya pergi sendiri Bu" jawab Puspa dan itu jujur, meskipun Wulan meragukan kejujuran Puspa, setelah apa yang dilihatnya di kantor suaminya tadi.
--
Wulan bingung karena Ervan bersikap aneh pagi ini.
Biasanya setelah sholat subuh Ervan tidak pernah tidur lagi, tapi kali ini Ervan kembali naik ke atas tempat tidur. Ia mengeluh pusing, lemas, dan mual.
"Mas pasti masuk angin, aku gosok pakai balsem ya Mas." tawar Wulan.
"Terimakasih Dek, tidak usah, aku malah tambah mual kalau mencium bau balsem."
"Apa Mas mau minum obat, biar aku ambilkan obatnya ya Mas."
"Tidak usah Dek, akhir-akhir ini tiap pagi aku memang seperti ini, tidak perlu diobati nanti juga bisa sembuh sendiri."
"Bisa sembuh sendiri bagaimana?"
"Ya, nanti juga bisa sembuh sendiri, aku mau tidur lagi sebentar ya Dek."
Ervan memejamkan matanya, ia tidak mungkin mengatakan, kalau Puspa adalah obat dari sakitnya.
Tadi malam ia memang tidak ke paviliun Puspa, bagaimanapun ia, dan Wulan sudah hampir dua minggu tidak bertemu, jadi wajar saja kalau mereka saling melepas rindu.
Wulan ke luar dari kamar, ia berpikir kalau sudah beberapa hari suaminya begitu, berarti Puspa tahu soal itu.
Ia yakin, selama ia pergi pasti suaminya tidur di kamar Puspa. Memikirkan hal itu sebenarnya membuatnya sakit hati, tapi Wulan sadar kalau dirinya sendiri, yang menginginkan suaminya berpoligami.
Wulan menemui Puspa di dapur, Puspa tidak seperti orang ngidam yang kadang merasa terganggu dengan bau-bauan dari bumbu dapur, tidak juga terlihat lemes atau mual-mual, dia terlihat biasa saja.
"Puspa"
"Ya Bu"
"Ikut saya ke atas sekarang"
"Iya Bu"
Puspa mengikuti langkah Wulan menaiki tangga. Di depan pintu kamar Wulan mereka berhenti.
Wulan membuka sedikit pintu kamarnya.
"Bapak sakit Puspa, katanya sudah beberapa hari ini setiap pagi selalu merasa pusing, mual dan lemas, apa kamu tahu hal itu Puspa?" tanya Bu Wulan dengan mata tepat menuju ke bola mata Puspa.
Puspa melirik ke arah Ervan yang berbaring di atas tempat tidurnya, lalu kepala Puspa mengangguk ragu.
"Iya Bu"
"Apa obat yang Bapak minum agar ia merasa lebih baik, dan bisa ke kantor Puspa?"
Puspa terdiam sesaat, tidak mungkin mengatakan, kalau Ervan kembali sehat setelah menciuminya.
Itu akan sangat menyakitkan pastinya bagi perasaan Wulan.
Puspa menggelengkan kepala.
"Bapak tidak pernah minum obat apapun setahu saya Bu. Sakitnya sembuh dengan sendirinya."
"Oh, begitu ya, biasanya berapa lama Bapak bisa berhenti lemas begitu Puspa?"
"Biasanya cuma sebentar kok Bu" jawab Puspa dengan mata kembali melirik Ervan.
"Ya sudah, terimakasih ya Puspa. Kamu bisa kembali ke bawah".
"Baik Bu" Puspa melirik Ervan sekali lagi, sebelum melangkah menjauh, dan turun dari lantai atas menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.
Puspa tidak tahu apakah Ervan akan cepat pulih dari pusing, mual, dan lemasnya tanpa menciuminya.
Puspa berharap, Ervan akan pulih dengan sendirinya, karena ia tidak mau Ervan sampai mempunyai ketergantungan terhadap dirinya, yang pasti hal itu akan membuat ia merasa tidak enak kepada Wulan nantinya.
***BERSAMBUNG***