PART. 1
Aku seorang Cinderella tanpa sepatu kaca.
Aku seorang Cinderella yang hidup bertabur air mata.
Aku seorang Cinderella yang mungkin harus berakhir di panti jompo saat tua.
Inilah kisahku si ISTRI MUDA.
--
Aku memang istri muda.
Tapi jangan berpikir aku perusak rumah tangga orang.
Aku memang istri muda.
Tapi jangan berpikir aku perebut suami orang.
Aku memang istri muda.
Tapi jangan berpikir aku seorang wanita selingkuhan.
Aku memang istri muda.
Tapi jangan berpikir aku wanita penggila tahta, dan kekayaan.
Aku memang istri muda.
Tapi aku menikah tanpa cinta.
Semua aku lakukan, hanya karena belas kasih pada sesama wanita.
Semua aku lakukan, karena balas budi juga jasa.
Semua aku lakukan, demi membuat wanita lain bahagia.
Aku Puspa kinanti, si istri muda.
***
Puspa
Aku terhenyak demi mendengar apa yang diucapkan Ibu angkatku, Bu Wulan namanya. Beliau adalah wanita yang membawaku ke rumahnya delapan tahun lalu, saat usiaku masih sepuluh tahun.
Saat itu aku terlunta-lunta di jalanan, tanpa Ayah, tanpa Ibu, yang sudah dengan begitu tega meninggalkan aku sendirian di bawah sebuah jembatan, dimana banyak berkumpul para tuna wisma, dan anak jalanan.
Saat itu aku tengah terlelap didinginnya cuaca malam.
Kami memang tidak punya tempat tinggal setelah diusir dari rumah petak kontrakan kami.
Ayah kehilangan pekerjaan sebagai supir, karena kedapatan majikannya mengkonsumsi narkoba, yang entah, Ayah dapatkan dari mana.
Sedang Ibu selama ini hanya bekerja sebagai buruh cuci yang tak seberapa penghasilannya.
Aku tidak tahu, apa alasan mereka meninggalkan aku sendiri.
Aku tidak tahu, kenapa mereka membuang aku yang darah daging mereka
Aku sungguh tidak tahu....
Untungnya aku terbiasa hidup di jalanan, berjualan koran, dan mengamen bersama teman-temanku yang juga hidup dibawah garis kemiskinan.
Aku bertemu Bu Wulan di pasar, aku sering membantu membawakan belanjaan Bu Wulan jika beliau berbelanja ke pasar.
Sampai suatu hari, beliau menawariku ikut tinggal di rumahnya setelah beliau mendengarkan ceritaku, tentang kisah hidupku.
Tawaran yang tidak aku sia-siakan.
Aku membantu semua pekerjaan dirumahnya semampu yang aku bisa.
Pegawai di rumah beliau menerimaku dengan tangan terbuka.
Aku disekolahkan sampai kini telah lulus SMA.
"Puspa ... kamu mendengarkan Ibu?" suara lembut wanita berusia tiga puluh lima tahun di depanku membuyarkan lamunanku.
"Iya, Bu."
"Ibu mohon Puspa, tolong Ibu, meski Bapak tidak pernah mengeluh, tidak pernah mengatakan keinginannya, tapi Ibu sadar, Bapak butuh seorang istri yang bisa melayani lahir, dan batinnya, dan lebih dari itu, Bapak pasti menginginkan memiliki keturunan. Jadi Ibu mohon, luluskan permohonan Ibu." Bu Wulan menatapku dengan tatapan sendu, tersirat suatu harapan di dalam matanya, agar aku bersedia meluluskan permohonannya.
"Puspa, kalau kamu tidak mau selamanya menjadi istri muda Bapak tidak apa. Tapi Ibu mohon, tolong berikan keturunan pada Bapak yang bisa kami asuh sebagai anak kami. Setelah itu kamu bisa pergi. Ibu akan memberikan satu toko bangunan Ibu untuk kamu melanjutkan hidupmu, Puspa. Tapi Ibu lebih suka kalau kamu tetap di sini merawat anak-anak bersama nantinya."
"Ibu, aku.... "
"Ibu mohon Puspa. Ibu memilihmu untuk jadi istri Bapak karena kamu pilihan terbaik menurut Ibu. Ibu mohon bantu Ibu, Puspa. Kamu tahukan, Ibu tidak bisa lagi melayani Bapak seutuhnya karena penyakit yang Ibu derita, kamu juga tahu, kalau rahim Ibu sudah diangkat, dan tidak mungkin memberikan keturunan pada Bapak. Jadi Ibu mohon dengan segala kerendahan hati Ibu, tolong luluskan permintaan Ibu," jemari Bu Wulan menggenggam jemariku erat.
Air mata membasahi pipi kami berdua.
Tiba-tiba Bu Wulan jatuh berlutut di hadapanku.
"Bu ... Bu, jangan begini Bu."
"Ibu rela mencium kakimu, asal kamu mau meluluskan permintaan Ibu."
Ku bimbing bahu Bu Wulan, agar ia kembali duduk di atas kursi di depanku.
"Ibu, aku akan meluluskan permintaan Ibu," kalimat yang ke luar dari mulutku, membuat Bu Wulan memelukku dengan erat.
Ucapan terimakasih bertubi ke luar dari mulutnya disela-sela isakan.
"Ibu, apa Ibu benar-benar rela, ridho, dan ikhlas menikahkan aku dengan Bapak, aku tidak mau melukai hati Ibu. Jika Ibu merasa terluka tolong beri tahu aku, agar aku tahu."
"Ya, Ibu ridho, rela, dan ikhlas Puspa." Bu Wulan yang sudah melepaskan pelukannya di tubuhku mengangguk, membuatku yakin dengan keputusan yang sangat cepat aku ambil.
--
Menjadi istri muda.
Pastinya bukanlah impian semua wanita.
Tapi dimalam jumat ini, selepas sholat Isya, aku sudah duduk dihadapan penghulu, dengan dua orang saksi, dan juga wali hakim tentunya, karena aku tidak tahu di mana keberadaan Ayahku selama ini.
Aku sudah siap menyandang gelar yang bisa didapat tanpa harus menjalani pendidikan dulu.
"ISTRI MUDA"
ISTRI MUDA.
Bukan istri simpanan.
Bukan wanita selingkuhan.
Bukan perebut suami orang.
Bukan penghancur rumah tangga orang.
Ijab kabul sudah dilakukan dengan satu tarikan nafas oleh Pak Ervan Sofyan, beliau adalah seorang lelaki berusia 40 tahun yang tidak pernah banyak bicara.
Ingin tahu sosok beliau seperti apa?.
Tahu Attalarick syah kan?
Nah seperti itulah sosok beliau.
Tinggi, putih, ramping, ganteng dan gagah, jadi jangan pernah berpikir kalau beliau itu bertubuh gemuk dengan perut gendut dan kepala hampir botak.
Tapi jangan berpikir kalau aku tertarik kepada beliau, aku seorang gadis yang hanya tertarik pada pria muda, bukan pria tua seperti beliau, meskipun beliau sangat menarik.
Sungguh, aku tidak bisa membaca apa yang ada didalam pikiran, dan perasaan Bu Wulan saat ini.
Bibir beliau memang tersenyum ke arahku.
Tapi pancaran mata, dan mimik wajahnya tak terbaca.
Aku hanya berharap, Bu Wulan, tidak menyesali semua ini.
Ini keinginannya, aku hanya mengabulkannya.
--
Jika kamar tidur Ibu, dan Bapak ada di lantai atas, maka kamar tidurku, dan Bapak disiapkan Ibu di kamar yang ada di bagian samping rumah.
Dengan teras sendiri, dan taman bunga tepat di depan kamar.
Sebenarnya tidak bisa disebut kamar, karena sangat luas, dan mempunyai bagian seperti rumah pada umumnya.
Ada ruang tamu, ruang makan, ruang tengah, dapur, dan kamar tidur meski semua serba kecil.
Kalau tidak salah orang menyebut ruangan seperti ini sebagai paviliun.
Aku sudah mengganti pakaian akad nikah tadi yang berupa busana muslim berwana putih, dengan daster batik kesukaanku. Jujur aku sangat gelisah. Aku bingung harus bagaimana. Aku pastinya tahu, jika ingin memiliki anak seperti yang diinginkan Bu Wulan, maka aku harus hamil dulu.
Jika aku ingin hamil maka aku harus ... bagaimana menyebutnya ya? Bercinta, tapi kami tidak saling cinta, tidur bersama ... hmmm mungkin sebutan itu lebih baik.
Apa aku siap menyerahkan kehormatan yang aku jaga selama ini kepada beliau.
Tapi dengan menerima pernikahan ini, artinya aku harus sudah siap menerima semuanya.
Pak Ervan, beliau sangat pendiam, tidak banyak bicara, tidak banyak tingkah, apakah beliau akan seperti itu juga nanti saat kami 'tidur bersama'.
Kalau beliau diam saja, aku diam saja, lalu bagaimana?.
Tok..tok..
"Assalamualaikum."
Suara ketukan, dan panggilan di pintu depan membuatku terjangkit kaget.
"Walaikum salam" sahutku pelan.
Aku beranjak ke luar kamar, kubuka pintu dengan perlahan.
Pak Ervan berdiri di depan pintu kamarku, dengan memakai kaos oblong putih, dan celana pendek biru tua.
Tampilan beliau, jauh lebih muda dari usianya, kalau beliau seperti ini.
Aku membuka lebar pintu dengan jantung berdebar kencang dan hati sedikit was-was.
Tanpa kusadari, keringat sudah muncul di dahi dan kedua telapak tanganku.
"Duduklah Puspa, kita harus bicara" Beliau menunjuk sofa ruang tamu setelah menutup, dan mengunci pintu.
'Mengunci pintu' kenyataan itu semakin membuatku gemetar.
Ini pertama kalinya aku berada dalam satu ruangan tertutup berdua saja dengan seorang pria.
Aku duduk tepat di hadapan beliau.
"Pertama aku ingin meminta maaf karena harus membuatmu masuk kedalam situasi seperti ini," ucap Beliau pelan.
Aku tidak menjawab, kepalaku menunduk tidak berani menatap wajah beliau.
Kedua belah jemari di kedua tanganku saling bertaut di pangkuanku.
Aku benar-benar gugup.
"Aku sendiri tidak tahu, apa yang merasuki pikiran istriku sehingga memiliki keinginan seperti ini Puspa."
Aku tetap diam, karena tidak tahu harus bicara apa.
Tinggal selama delapan tahun bersama Beliau, tidak bisa membuatku dekat dengan Beliau seperti kedekatan ku dengan Ibu.
"Aku sudah berulang kali mengatakan kepada istriku, aku tidak perlu istri selain dia, aku tidak ingin anak-anak yang bukan dari rahimnya, aku sudah cukup bahagia hidup bersamanya, orang mungkin menilai ku munafik. Tapi aku sungguh tidak bisa melihat dia terluka, aku sangat mencintai istriku Puspa...jadi apapun yang terjadi diantara kita sekarang atau nanti itu karena aku hanya ingin meluluskan keinginannya..itu saja".
Aku hanya mengangguk saja, tapi hatiku menjawab kalau aku juga melakukan ini, atas dasar rasa sayangku kepada istri beliau ... itu saja.
Dan sebuah kejutan buatku, karena bisa mendengar Pak Ervan bicara panjang lebar seperti tadi.
"Puspa ... istriku menginginkan anak dari pernikahan ini, kamu tahukan itu artinya kita harus ... harus, yah ... aku kira kamu sudah cukup umur untuk memahami maksudku. Hhhhh ... apa kamu sudah siap untuk hal itu?"
"Aku ... aku, aku mencoba untuk siap, Pak," jawabku gugup, tanpa berani mengangkat kepalaku, karena wajahku terasa panas saat mengucapkan jawaban yang aku lontarkan.
"Baiklah Puspa, semakin cepat kita lakukan, semakin cepat kamu hamil, semakin cepat kamu melahirkan, semakin cepat pula kamu bisa terbebas dari pernikahan ini. Aku yakin, kamu juga seperti wanita lain yang mengharapkan menikah karena cinta, dengan seorang pria yang pastinya jauh lebih muda dari aku" tanpa melihat ke arah beliau, aku tahu kalau beliau sudah berdiri dari duduknya.
"Aku tunggu kamu di kamar tidur, Puspa." Beliau melangkah masuk ke dalam kamar tidur.
Tuhan....
Aku rasa bohong kalau Bu Wulan tidak menangis saat memikirkan suaminya tidur dengan wanita lain.
Ya Tuhan....
Ampuni aku, jika pada akhirnya ini melukai hatinya, aamiin.
Kutarik nafas untuk mengusir rasa sesak di dadaku.
Aku tidak tahu ini benar atau salah.
Tapi ini sudah terjadi.
Semua resiko harus aku tanggung sendiri.
Perlahan aku bangkit dari sofa, dan melangkah memasuki kamar tidur yang pintunya tertutup.
Pelan kuputar handel pintu dan mendorong daun pintu dengan tangan gemetar, dan jantung berdebar.
Kupejamkan mata sesaat, dan kutarik nafas panjang sebelum kakiku melangkah masuk ke dalam.
Ya Tuhan....
Situasi ini lebih menakutkan dari pada ujian kelulusan yang membuatku gugup kemarin.
Ya Tuhan....
Tolong bantu aku melewati semua ini.
Aku masuk, dan langsung berbalik untuk mengunci pintu.
Aku tidak berani menatap ke arah Pak Ervan yang sudah berbaring di atas ranjang.
Aku duduk di tepi ranjang, lalu menaikan kedua kakiku ke atas ranjang secara perlahan.
Aku masih belum berani menatap Pak Ervan. Aku berbaring miring dengan posisi punggung menghadap beliau.
Kutarik selimut untuk menutupi tubuhku, dari d**a sampai ke mata kakiku. Tidak ada gerakan, tidak ada suara, selain desahan nafas kami berdua.
Aku diam, Pak Ervan diam.
Sepertinya malam ini akan kami habiskan dengan begini saja.
'KAMI'
Pantaskah aku, dan beliau disebut 'KAMI'.
Hhhhh ... entahlah ... entahlah, aku sudah pasrah pada apa yang akan terjadi akibat dari pernikahan ini.
***BERSAMBUNG***