PART. 6

2408 Kata
***PUSPA*** Dari sejak selesai sholat subuh tadi Pak Ervan tidak berhenti hooeekk, hooeekk. Beliau mengeluh sakit perut, dan kepalanya pusing. Tapi Beliau tidak mau aku kerik lagi, sakit, kapok, katanya. Terpaksa aku ikut tidak turun dari atas ranjang, karena beliau sangat betah mencium rambutku, dan meletakan satu tangannya di atas gundukan bukit kembar di dadaku. "Puspa," panggil beliau dengan suara lirih. "Ya, Pak," aku menolehkan kepala, karena dari tadi beliau memintaku berbaring dengan punggung menempel di d**a Beliau. Tangan Beliau meraih daguku, dan bibir veliau mencium bibirku lembut. Beliau melepaskan ciumannya. "Obat mual ku sepertinya aroma rambut, dan rasa bibirmu, Puspa," kata beliau, membuatku tersenyum dengan wajah terasa panas. Hatiku mendadak jadi seperti kebun bunga yang ditumbuhi bunga yang tengah mekar. "Hmm ... wajahmu merah seperti buah strawberry ...." Beliau menekan-nekan hidungnya ke permukaan wajahku. "Baumu enak ...." sekarang leherku yang jadi sasaran hidung, dan juga bibir beliau. "Bapak tidak pergi ke kantor?" tanyaku pelan. "Nanti agak siang saja, aku masih ingin mencium aroma tubuhmu, Puspa." Aku memutar tubuhku, lalu menenggelamkan wajahku di d**a beliau. "Badan Bapak juga enak aromanya," kataku sambil mendongakkan wajahku ke arah wajah Beliau. Kepala beliau menunduk, lalu bibirnya mengecup puncak hidungku. "Aku mencintaimu," bisik Beliau tepat di depan wajahku. "Terimakasih untuk cinta Bapak kepada saya. Semoga rasa cinta Bapak kepada saya, tidak akan mengurangi kadar cinta Bapak kepada Ibu," sahutku pelan, ku usap d**a beliau lembut, saat melihat kilat kekesalan di mata Beliau. "Puspa ... bisakah sebentar saja hanya ada aku, dan kamu? Jangan ada nama orang ketiga hanya untuk sejenak saja?" Pak Ervan melepaskan pelukannya di tubuhku. "Maafkan saya, Pak. Saya hanya ingin, tidak lupa kalau ada Ibu yang harus kita jaga perasaannya. Bapak pernah berkata, kalau Bapak sangat mencintai Ibu, begitupun saya juga, sangat menyayangi Ibu," tanganku ingin mengusap lagi d**a beliau, tapi Beliau bangun dari rebahnya. "Ya kamu benar, Puspa. Aku memang sangat mencintainya, dan karena rasa cinta itulah aku mau menikah denganmu." Pak Ervan melangkah ingin ke luar kamar, tapi aku segera berdiri di hadapannya untuk mencegahnya ke luar dari kamar. "Pak, jangan membawa rasa marah ke luar dari rumah. Karena itu akan menimbulkan akibat buruk. Maafkan saya jika sudah menyinggung perasaan Bapak. Maafkan saya ya Pak," dengan sedikit ragu aku memeluk Beliau, ku jinjitkan kakiku, agar bibirku bisa meraih bibir beliau. Mataku terpejam, saat bibirku mencium bibir beliau, tapi beliau diam saja, dan sungguh itu membuatku malu bukan kepalang. Aku melepaskan bibirku dari bibir beliau, dan melepaskan tanganku dari tubuh Pak Ervan. "Bapak sensitif sekali sekarang, sedikit-sedikit marah, ngambek, persis perempuan yang lagi datang bulan," kataku akhirnya dengan perasaan sangat kesal, karena ciumanku beliau abaikan. "Itu karena kamu tidak mau memahami apa yang aku inginkan, Puspa. Aku ingin berusaha bersikap adil kepada kalian berdua, aku ingin memberikan kepadamu seperti apa yang aku berikan pada Wulan, aku ...." "Bapak, yang merasakan adil, atau tidaknya Bapak, itu adalah saya, dan Ibu. Bagi saya sudah cukup kita seperti ini, saya tidak ingin jadi orang yang serakah, Pak," ucapku, berharap beliau mau mengerti. Pak Ervan mendongakkan wajahnya ke atas, kedua tangannya diletakan di pinggang. "Hhhhh ... kenapa kita harus terjebak pada situasi seperti ini, Puspa?" "Pak" ku elus d**a beliau pelan. "Ini takdir yang harus kita jalani, saya berusaha untuk ikhlas, Pak. Saya harap, Bapak, dan Bu Wulan juga begitu. Di luar pintu paviliun ini, jangan mencoba merubah apa yang sudah jadi kebiasaan kita, Pak. Seperti Bapak katakan, di dalam paviliun ini Bapak milik saya. Tapi di luar sana, Bapak milik Bu Wulan. Bagi saya itu sudah cukup adil, Pak," kujatuhkan kepalaku di d**a beliau. Kedua tangan Beliau memelukku erat, wajah Beliau tenggelam dihitamnya rambutku. "Bapak harus tahu, setitik saja cinta Bapak untuk saya, sudah sangat membuat saya merasa bahagia, merasa sangat berharga. Jadi Bapak tidak perlu membagi hati Bapak sama banyak untuk Ibu, dan saya, Pak,"  ucapan ku itu membuat mataku jadi berkaca-kaca, tapi bibirku mengukir senyum bahagia. Tangan Pak Ervan kurasakan mengelus punggungku lembut. "Puspa, usiamu jauh lebih muda dariku, tapi pikiranmu sungguh luar biasa. Aku tidak tahu, dari mana datangnya ketulusan hati seperti yang kamu miliki," bisik beliau diatas kepalaku. "Saya hanya manusia biasa, Pak. Manusia yang berusaha untuk memberikan rasa sayang, dan cinta saya secara ikhlas karena Allah, itu saja," jawabku pelan. Pak Ervan mengecupi kepalaku berulang kali. "Aku mencintaimu, aku mencintaimu ...." ucap beliau dalam setiap kecupannya. 'Aku juga mencintai Bapak,' balasku meski hanya kuucapkan di hati saja. -- ***Ervan*** Kukecup kepala Puspa berulang kali dan kuucapkan 'aku mencintaimu' dalam setiap kecupanku. Puspa mendongakkan wajahnya. "Bapak harus pergi ke kantor sekarang, tapi sebelum itu kita sarapan dulu ya, Pak," katanya dengan mata berkaca-kaca. Kutahan dagunya dengan tanganku. Kukecup keningnya. Kukecup kedua matanya. Kukecup puncak hidungnya. Kukecup kedua pipinya. Dan terakhir kukecup bibirnya, bukan hanya kukecup tapi aku berniat memakan bibirnya yang merupakan obat dari rasa mual, dan pusing di kepalaku. Kulepaskan bibirnya, kudekap erat tubuhnya. Ya Allah.... Apakah aku pria yang tidak setia karena sudah membagi cinta? Ya Allah.... Apakah aku berdosa karena sudah beristri dua? Ya Allah.... Aku tidak tahu ini benar, atau salah, tapi aku tidak bisa mencegah rasa ini hadir di dalam hatiku. Ya Allah.... Aku hanya ingin memohon kepada MU. Berikan kelapangan d**a, kesabaran, dan keikhlasan bagi kami bertiga. Mudahkan jalanku, dan buka selalu pikiranku, agar bisa berbuat adil bagi kedua istriku. Aamiin.... Itulah harapan yang terucap dalam lubuk hatiku. Ku benamkan kepalaku di rambut Puspa, entah kenapa aku selalu merasa nyaman, dan tenang setiap kali melakukan ini. "Pak" Puspa menggoyangkan lenganku. "Bisa tidak kalau kita berada di 'dunia kita berdua' ini panggil aku dengan panggilan mesra Puspa, jangan Bapak!" "Ummm ... Bapak ingin saya panggil apa?" wajah Puspa mendongak suaranya terdengar manja, dan aku senang mendengar suara manjanya. "Yank, Bang, Beib, Honey, Mas ...." "Jangan Mas!" "Kenapa?" "Karena ...." "Karena kamu tidak mau, panggilanmu sama dengan panggilan Wulan untukku iya'kan?" "Tidak begitu juga, tapi ...." kepala Puspa menggeleng, bibirnya mengerucut, pipinya digelembungkan. "Hhhh ... ya sudah, kalau kamu lebih nyaman memanggilku Bapak, ya tidak apa-apa, kamu sebenarnya memang lebih cocok menjadi anakku, dari pada istriku," kataku akhirnya dengan perasaan kesal. "Enghhh ... apa sih, kok ngambek lagi!?" Puspa mencubit dadaku. "Aww! Sakit Puspa," seruku pura-pura kesakitan. "Masa begitu saja sakit, Pak?" tanyanya tidak percaya. "Coba aku cubit kamu, rasakan sakit tidak" aku langsung mencubit bukit putih yang menyembul dari atas baby doll, yang lupa dia kancingkan bagian dadanya. Eeh bukan dia yang lupa, tapi aku yang tadi saat berbaring membuka kancingnya. Wajah Puspa langsung merah merona saat aku mencubitnya. "Sakitkan?" tanyaku. Dia menggelengkan kepala dengan bibir dimanyunkan, membuat aku ingin mengecup bibirnya lagi. "Beri aku satu kecupan, baru aku mau sarapan," kataku memberi penawaran kepada Puspa, bibir Puspa semakin dimanyunkan, sehingga aku tidak bisa menunggu dia memberi kecupan, tapi akulah yang mengecup bibirnya. Hhhh ... Puspa, bagaimana aku tidak jatuh cinta padamu, kamu membuat hidupku kembali penuh dengan harapan indah akan masa tuaku, hari tua bersama anak cucuku kelak. --Beberapa hari kemudian-- ***AUTHOR*** Puspa mengangkat telponnya yang terus berdering sejak tadi. "Bapak," gumamnya. "Assalamuallaikum Pak, ada apa?" tanya Puspa. "Walaikumsalam, lagi di mana? Kenapa lama sekali telponnya baru diangkat? Kamu sedang apa? Lagi sama siapa di sana" tanya Ervan beruntun bernada curiga. "Saya di rumah, telponnya di meja dapur, saya lagi menyapu di teras samping. Lagi sama Bik Imah, dan Bik Isah. Bapak mau tanya apa lagi?" kata Puspa sedikit kesal, karena menerima berondongan pertanyaan dari Ervan. "Ooh ... makan siang sudah siap belum?" "Sudah, Bapak mau pulang, dan makan siang di rumah?" tanya Puspa. "Tidak, aku lagi banyak pekerjaan, tapi kamu yang harus mengantarkan makan siang untukku ke kantor. Minta Mang Darto mengantarmu Aku tunggu, jangan pakai lama. Aku sudah lapar" sambungan terputus sebelum Puspa menjawab. "Tumben minta antar makan siang. Akhir-akhir ini Bapak suka aneh, Bik" gumam Puspa pada Bik Imah. Bik Imah, dan Bik Isah saling pandang lalu sama-sama mengukir senyuman. "Sudah Puspa tidak usah menggerutu, cepat sana anter makan siang buat suami tercinta," goda Bik Isah, membuat wajah Puspa langsung merona merah. "Iih Bibik" sahutnya dengan wajah cemberut. Bik Imah dan Bik Isah tertawa melihat wajah Puspa. Puspa segera menyiapkan makan siang dalam tempat makan. Ada nasi putih. Ada sayur asem daun belinjo plus buah belinjonya. Ada ikan bawal goreng. Ada sambal terasi. Dengan diantar Mang Darto, Puspa pergi ke kantor Ervan. Ini pertama kalinya Puspa datang ke kantor Ervan, Mang Darto mengantarkannya sampai ke depan ruangan Ervan. Pintu ruangan Ervan terbuka, dua orang lelaki, dan satu orang perempuan ke luar dari dalam ruangan Ervan. Mang Darto mengatakan pada Puspa kalau yang perempuan adalah Widya, dia sekretaris Ervan. Sedang yang dua orang lelaki itu, entah siapa, Mang Darto tidak tahu. "Puspa!" seru salah satu lelaki yang usianya lebih muda dari lelaki satunya. "Dirly, kok bisa di sini. Om Ray, apa kabar, Om" Puspa menjabat tangan Dirly, dan mencium tangan lelaki yang dipanggilnya Om Ray. "Puspa sendiri kenapa di sini?" tanya pria yang dipanggil Puspa, Om Ray. "Ini ngantar makan siang Pak Ervan," jawab Puspa sambil mengangkat tas berisi makanan di tangannya. "Ooh ... jadi Pak Ervan Bosmu itu, Om Ervan ya?" tanya Dirly. Ervan yang berdiri di dekat Ray hanya diam saja sejak tadi, setelah ia meminta sekretarisnya kembali ke tempatnya. Dan, Ervan juga menyuruh Pak Darto agar meninggalkan kantornya. "Iya, beliau Bosku," jawab Puspa. "Jadi Puspa ini kerja di rumahmu, Van?" tanya Ray pada Ervan. Ervan mengangguk, matanya melirik ke arah Puspa dengan tatapan yang sulit diartikan. "Puspa ini saat sekolah, sering belajar kelompok di rumahku, dengan Dirly, dan tiga orang temannya yang lain. Siapa namanya? Oh ya, Hadi, Celine sama Yanuar ya, benar'kan, Puspa, Dirly?" "Iya" Puspa, dan Dirly menganggukan kepala. "Tapi lima sahabat ini pisah setelah lulus SMA, Dirly kuliah di Bandung, Hadi pergi ke Amerika, Celine ada di Jogja, Yanuar ada di Australia, dan Puspa tetap di Jakarta ya, Puspa?" "Iya, Om" Puspa mengangukan kepalanya. "Wahh Mas Ray perhatian sekali dengan teman-teman Dirly ya Mas" puji Ervan. "Ya, itu harus, Van. Kita harus tahu pergaulan anak kita seperti apa, jaman sekarang jangan sampai dilepas begitu saja" sahut Ray. "Ya, benar" Ervan mengangguk-anggukan kepalanya. "Nah Dirly, sekarang kamu sudah tahu ke mana kalau mau ketemu Puspa. Cari saja Puspa di rumah Om Ervan. Om Ervan pasti tidak akan keberatan, kalau kamu datang ke rumahnya untuk ketemu Puspa, iya kan, Van?" tanya Ray. Puspa melirik kearah Ervan tepat saat Ervan juga melirik ke arahnya. "Ya tentu saja boleh" Ervan menganggukan kepalanya. "Nah, karena sudah dapat ijin boleh datang ke rumah Om Ervan, jadi sekarang kita pulang dulu ya Dirly, kapan-kapan saja, nanti kamu ke rumah Om Ervan, buat ngobrol sama Puspa. Mamahmu pasti sudah menunggu kita untuk makan siang. o Oke Puspa, Ervan kami pulang dulu" pamit Ray. Puspa menyalami mereka berdua, dan sempat bergurau sesaat dengan Dirly, yang saat sekolah menjadi salah satu sahabatnya. Setelah Ray dan Dirly pulang. Ervan segera menarik lengan Puspa, agar masuk ke dalam ruangannya. "Mana makan siangku, aku sudah lapar," katanya. Puspa mengeluarkan kotak-kotak berisi makanan dari dalam tas, dan meletakannya di atas meja. "Bapak mau makannya pakai piring apa langsung makan dari kotak nasinya saja, Pak?" tanya Puspa dengan suara lembut. "Itu piring sama sendoknya sudah ada di meja sana" tunjuk Ervan ke arah meja kecil di sudut ruangan kantornya. Setelah menelpon Puspa, dan sebelum Ray datang tadi, Ervan memang meminta OB untuk membawakannya piring, sendok, dan air minumnya. Puspa memindahkan nasi, dan lauk pauknya ke dalam piring, lalu meletakannya di hadapan Ervan. "Suapi!" kata Ervan. "Eeh, apa?" Puspa meragukan pendengarannya, atas apa yang diucapkan Ervan barusan. "Aku mau makan, kalau kamu suapi" jawab Ervan dengan tatapan, dan suara yang membuat Puspa jadi bingung. "Tapi Pak ...." "Ya sudah kalau tidak mau, aku tidak jadi makan" Ervan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Puspa jadi bingung sendiri. "Bapak kenapa jadi aneh akhir-akhir ini, tiap pagi sakit, manja sekali, sensitif sekali, suka ngambek, dan marah tidak jelas. Saya jadi bingung, Pak." Puspa menatap Ervan dengan pandangan bingung. "Sini," Ervan menggapaikan tangannya, ingin meraih tangan Puspa. "Ada apa?" Puspa berdiri di hadapan Ervan, Ervan menarik tubuh Puspa, sampai terduduk di atas pangkuan kedua pahanya. "Eeeh ... Pak, jangan seperti ini. Ini di kantor, Pak" Puspa ingin berdiri dari pangkuan Ervan, tapi kedua lengan Ervan memeluknya kuat. "Pak, Pak, jangan, Pak ...." Puspa berusaha menepiskan tangan Ervan yang mulai menjelajahi dadanya. "Aku ingin kantor ini juga menjadi 'dunia kita berdua' Puspa," bisik Ervan di telinga Puspa. "Tidak Pak, jangan seperti ini. Saya mohon, Pak. Biarkan hanya Paviliun itu saja yang menjadi tempat di mana 'dunia kita berdua' berada, Pak," air mata Puspa mengalir di pipinya. Ervan melepaskan pelukannya. Puspa segera bangkit dari atas pangkuan Ervan. "Hhhhh ... kamu terlalu kuat memegang komitmenmu, Puspa. Jujur, kadang itu membuat aku merasa tidak cukup berharga buatmu." Ervan menarik nafas dengan suara sangat berat. Puspa berlutut di hadapan Ervan, air mata benar-benar sudah membanjiri pipinya. "Pak, maafkan jika saya melukai hati Bapak, sungguh saya tidak bermaksud melakukan itu, tapi saya tidak bisa mengabaikan perasaan Ibu, beliau memang tidak di sini, beliau memang tidak melihat apa yang kita lalukan, tapi saya takut akan memendam rasa bersalah kepada beliau, jika kita melakukan hal seperti yang Bapak inginkan, di tempat yang harusnya hanya menjadi milik Bapak, dan Ibu. Tolong pahami perasaan saya, Pak" Puspa menggenggam jemari Ervan. Ervan segera membawa Puspa ke dalam pelukannya. "Puspa, aku tidak tahu, kamu ini manusia, atau malaikat. Tidak adakah sesuatu yang bisa membangkitkan kemarahanmu." "Saya marah, kalau di tempat di mana 'dunia kita berdua' berada, Bapak mengabaikan saya," sahut Puspa dengan suara manja. "Dan kamu tahu, aku tadi hampir meledak karena rasa cemburu yang sudah sampai di ubun-ubun pada Dirly." "Eeh, Bapak cemburu pada Dirly.Dia sahabat saya, Pak." "Tapi tatapannya tidak bisa menyembunyikan rasa cintanya padamu, Puspa." "Bapak sekarang sudah jadi paranormal, atau pakar ekspresi sih?" goda Puspa. "Hhhh ... aku serius, Puspa." "Iya saya tahu, terimakasih atas rasa cemburunya, sekarang Bapak makan siang dulu ya." Puspa meraih piring berisi makanan di atas meja. Dan ia membiarkan Ervan membawa untuk duduk lagi di atas pangkuannya. Ervan mengambil piring berisi makanan itu dari tangan Puspa. "Kita makan berdua, dan biar aku yang menyuapi kamu." "Terserah Bapak saja, yang penting Bapak mau makan siang," jawab Puspa akhirnya. Mereka berdua tidak tahu, kalau Wulan tengah melangkah memasuki bangunan di mana kantor Ervan berada. Tangannya menentes tas berisi oleh-oleh untuk suaminya. Wulan sengaja tidak memberitahukan kepulangannya, karena ingin memberikan kejutan kepada suami yang sangat dirindukannya, setelah hampir dua minggu berpisah. Setelah ia, dan sepupunya dijemput di bandara, oleh supir sepupunya, ia minta diturunkan di depan kantor Ervan. Sedang koper pakaian, diminta agar diantarkan ke rumahnya. Bibir Wulan tersenyum sumringah, membayangkan reaksi suaminya saat ia tiba-tiba muncul di ruangan kantornya. Apa lagi ia membawakan oleh-oleh, berupa jam tangan dengan harga selangit, untuk suaminya tercinta. ***BERSAMBUNG***.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN