Chapter 22

1329 Kata
"Adek lo sekarang deket sama si Davin, Ben?" Tanya Riko pada Beni sahabatnya. Beni mengangguk, "Iya," jawab cowok itu singkat sambil mengepulkan asap rokoknya ke udara. "Tumben lo ngebolehin seorang cowok deket adek lo." Kini giliran Eza yang bertanya. "Nggak tau kenapa gue percaya aja sama tuh anak," jawab Beni dengan pandangan melihat seorang yang baru saja masuk ke cafe. Eza dan Riko bertatapan mendengar penuturan Beni. Tiga cowok itu sekarang berada di café langgangan mereka. Menikmati suasana sore yang ramai karena semua orang sudah sibuk mengakhiri kegiatannya setiap sore harinya. "Gue sih ngerasa sama kayak lo," Ucap Eza. "Sama gimana maksudnya?" Tanya Beni penasaran akan alasan Eza. "Iya sama percayanya ke si Davin," ucapnya memperjelas. "Davin kayaknya cowok baik-baik, secara dia cucu pemilik yayasan. Yah walaupun dia sedikit agak bandel dikit sih," sahut Riko menimpali. "Tapi setahu gue emang dia baik deh, dia setia juga loh nggak perna tuh deket sama cewek sejak ceweknya pergi," ucap Eza yang membuat Beni menatapnya dengan keheranan. "Ceweknya pergi? Maksud lo pergi gimana?" Tanya Beni penasaran pada ucapan Eza. "Setahu gue sih dulu Davin punya cewek tapi ceweknya meninggal gitu, gue nggak tau detailnya. Tapi sejak itu dia udah nggak mau deket cewek lagi," ucapnya memperjelaskan pada Beni. "Lo tahu darimana, Za?" Tanya Riko. "Yah kan dulu si Davin tetangga gue sebelum gue pindah ke rumah gue sekarang, ya jelas lah gue sedikit tau tentang tuh anak," jawab Eza panjang lebar. "Yah tapi kalau lo masih ragu sih lo selidikin aja sendiri,Ben," ucap Eza sambil menyeruput cappucinonya. "Gue sih udah buat perjanjian sama dia, mengantisipasi supaya kejadian dulu nggak ke ulang lagi ke adek gue. kalau dia ngelanggar, dia tanggung resikonya," ucapnya dengan ekspresi santai tapi dengan nada tegas. "Kalau dia berani buat adek lo kenapa-napa, kita siap bantuin lo," Ucap Riko mantap. Beni mengangguk mengerti. *** Motor Davin berhenti tepat di depan gerbang rumah Reina. Gadis itu turun dan melepaskan helmnya dan menyodorkannya pada cowok itu. "Nggak mampir dulu, Vin?" tawar Reina. Davin menggeleng, "Nggak usah, gue langsung balik aja," "Oke deh sukses buat besok ya," ucapnya menyemangati Davin yang besok akan menjalankan ulangan sejarahnya. Cowok itu tersenyum lebar dan mengacak puncak kepala Reina yang membuat gadis itu berdebar tak karuan. "Yauda gue balik," pamit Davin sambil menaiki motornya. Dia menstater motornya dan meninggalkan Reina yang masih berdiri melihat kepergiannya. Senyum Reina tak luntur sedikit pun. Saat memasuki kamarnya pun dia masih dengan senyuman. Entah mengapa dia bahagia sekali dengan sikap Davin akhir-akhir ini. Apakah dia telah menyukai Davin?Entahlah Reina tak tahu itu, yang dia rasakan adalah nyaman saat berada bersama cowok ngeselin itu. "Apa gue uda suka sama lo ya, Vin?" gumamnya. Tangannya dia letakkan di depan dadanya. "Kenapa jantung gue degubnya kenceng banget, sih," "Biasanya kalau lo ngacak rambut gue debar itu nggak perna ada, kenapa sekarang debar itu tiba-tiba ada?" Tanyanya pada dirinya sendiri. "Ah Rein, lo baperan deh jadi cewek," teriaknya dalam kamar. Untung rumahnya tengah sepi hanya ada mbok Inah di lantai dasar yang jelas tak akan mendengar teriakannya. Setelah aksi berteriaknya Reina pergi memasuki kamar mandi membersihakan dirinya karena waktu sudah menunjukan pukul 17.15. *** "Eh mbak, di bungkasnya yang rapi, ya," ucapnya pada pelayan toko sepatu itu. "Iya mas, masnya dari tadi khawatir banget. Emang kadonya buat siapa sih?" Tanya pelayan itu. Davin tersenyum, "Calon pacar mbak, eh calon masa depan aja deh," Ucapnya asal. Pelayan itu pun tersenyum dan melanjutkan kegiatannya membungkus sepatu putih dengan gambar anjing snoopy itu. "Ini mas," Setelah beberapa menit menunggu pelayan itu menyodorkan bungkusan yang sudah di masukan dalam paper bag kepada Davin. Davin menerima paperbag dan membayarnya, "Makasih,mbk." "Iya mas sama-sama, semoga sukses sama masa depannya," gurau pelayan itu. Davin tersenyum tipis dan melenggang pergi dari toko sepatu itu. Davin melirik jam di pergelangan tangan kirinya jam menunjukan pukul 18.20. Dia baru saja sampai setelah membeli sepatu tadi. Dia melihat kegarasi pandangannya tertuju pada mobil sedan berwarna putih yang terparkir rapi di sebelah sedan hitam yang biasanya dia kendarai. Dia tau siapa pemilik sedan putih itu. Papanya pulang setelah beberapa minggu ini sibuk dengan urusan kerjanya di luar kota. Tunggu, tepatnya bukan beberapa minggu tapi memang sudah beberapa tahun papanya selalu sibuk dengan urusan kerjannya. Davin mendengus sebelum akhirnya melangkahkan kakinya memasuki rumah besarnya. "Baru pulang Davin?" Tanya Aruni pada anak bungsunya. Dia sekarang duduk di ruang tamu dengan Hendi Bagaskara suaminya. Tepatnya Papanya Davin. Davin mengangguk dan melanjutkan langkahnya menuju kamarnya di lantai dua. Tak menghiraukan tatapan Hendi yang masih mengamati putranya. "Davin jam 7 malam papa mau bicara sama kamu." Ucap Aruni. Davin berhenti melangkah. Dia menoleh kearah papanya pandangannya begitu sinis sekarang, "Penting?" Tanyanya dengan nada dingin. "Davin!" Tegur Aruni sedikit kesal dengan tingkah Davin yang tidak sopan dengan Papanya sendiri. "Davin capek, ma, mau istirahat," ucapnya pada Aruni. Cowok itu melanjutkan langkahnya menuju kamarnya. "Udah,ma, sabar. Davin perlu waktu untuk maafin papa," ucap Hendi sambil mengelus pundak istrinya. Menenangkan emosinya yang hampir memuncak. Davin merebahkan tubuhnya di atas kasur king size miliknya. Dia menatap langit-langit kamarnya. Pandangan begitu rapuh. "Maafin gue, ya," gumamnya lirih. Sedetik kemudian dia menutup matanya. Dok dok Dok "Den den Davin!" Tak ada sahutan dari dalam kamar. "Den,den Davin di panggil tuan besar di ruang keluarga." tetap tak ada sahutan. Suara ketukan berulang kali membangunkan Davin yang tengah ketiduran. Dengan mata yang masih susah untuk terbuka. Dia berjalan gontai menuju pintu kamarnya. dia membuka pintu itu dan mendapati Bi Yati yang sudah berada di sana. "Den Davin di panggil tuan besar di ruang keluarga" lapornya lagi. "Ada apa?" Tanya dengan nada khas orang bangun tidur. "Katanya penting den," ucap Bi Yati pada Davin. "Bilang lima belas menit lagi turun." Bi Yati pun mengangguk dan pergi dari hadapan Davin. Cowok itu menutup pintu kamarnya dan segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Lima belas menit sudah,Davin menuruni anak tangga dengan malas. Setelah mandi dan sholat dia segera menuju ruang keluarga di lantai dasar. Saat berada hampir di ujung tangga mata elangnya melihat seorang laki-laki paruh baya dengan kemeja biru yang dia kenakan sedang bercengkrama dengan Aruni mamanya. Ya, itu adalah Hendi Bagaskara Papanya yang baru saja pulang. Davin menghampiri kedua orang tuanya pandangannya menjadi datar saat mata elangnya menatap manik coklat milik Papanya. Dia segera memutuskan kontak mata dari sang Papa. "Apa kabar Davin? Papa sudah lama nggak pernah bicara sama kamu," sapanya membuka pembicaraan. Davin hanya diam dia duduk di single sofa di seberang papanya. "Baik," jawabnya dingin. "Gimana sekolah kamu,katanya kamu udah punya guru privat sendiri ya?" Davin hanya mengangguk sekilas. Aruni yang melihat tingkah anak bungsunya itu hanya diam sambil menahan emosi. Hendi yang tau dengan sikap istrinya pun mengelus punggung tangannya dengan lembut. "sebenernya ada apa aku di panggil kesini?" Tanyanya cuek pada sang papa. Hendi menoleh kearah Aruni istrinya. Memberi isyarat agar dia meninggalkan Davin dan Hendi berbincang berdua. Aruni mengangguk dan mulai melangkahkan kakinya menjauh dari ruang keluarga. "Papa mau minta maaf sama kamu," ucap Hendi mantap sambil menatap manik putranya lekat. "Semua yang papa lakuin ke kamu," lanjutnya lagi. Davin tak bergeming dia menatap segelas air putih di depannya. "Kamu salah paham tentang semuanya Davin. kamu nggak tau cerita sebenarnya," lanjutnya lagi namun tampaknya putra bungsunya hanya diam tak berniat merespon semua yang dia katakan. "Maaf nggak akan balikin semuanya kayak semula,pa." ucapnya masih memandang gelas di depannya. "Secuil pun nggak akan ada yang berubah," lanjutnya lagi. "Papa tau Davin. tapi semua bukan keinginan papa. Papa juga nggak berniat misahan kamu dengan saudara kamu sendiri," "Trus apa pa? papa selalu nggak perna adil sama anak papa sendiri. Davin disini selalu mendapat kasih sayang penuh dari mama. Tapi dia, dia ngerasain peluk mama aja nggak perna pa. bahkan bahagia aja nggak perna berpihak ke dia. Bahkan dengan keadaan dia yang saat ini pun papa nggak perduli sama dia, malah papa buat dia jauh dari kita semua." setelah mengucapkan itu Davin berdiri namun sebelum dia pergi. Dia bersuara. "Davin pengen dia balik kesini!" davin melangkahkan kaki menjauh menaiki tangga dan mengurung dirinya di kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN