Chapter 21

1934 Kata
Davin dan Reina tiba di kantin yang sudah ramai. Lagi-lagi mereka menjadi pusat perhatian. "Vin, gue ke Ara sama Gilsya ya," izin Reina pada cowok yang masih menggenggam tangannya. Davin hanya mengangguk dan melepaskan gengamannya. membiarkan Reina pergi menghampiri kedua sahabatnya. Matanya terus mengawasi Reina sampai dia duduk di meja yang berada di dekat tembok. Cowok itu pun melangkah menghampiri teman-temannya yang sudah berada di pojok kantin. Sudah ada Rama, Adam dan Abi yang tengah menikmati baksonya. "Na, gue nggak salah liat kan. Waktu lo masuk kantin tadi tangan lo di gandeng Davin?" ucap Gilsya yang meminta penjesalan pada Reina. "Iya gue di paksa. Sebenernya gue gak mau. Risih gue di liatin fansnya Davin," jawab Reina sambil mengambil cemilan di depan Ara. "Lo beruntung loh, Na. di luar sana banyak yang pengen deket sama Raja SMA kita tapi lo malah santai dan bersikap cuek aja," ujar Ara di sela makan baksonya. "Gue gak niat deket sama dia lagian dia sendiri yang deketin gue dengan jadiin gue guru dadakan dia," "Tapi dalam hati lo pasti bangga udah bisa deket sama Davin," Gilsya ikut menimpali. Reina menggeleng, "Nggak tuh, gue biasa aja," Elak Reina. "Karena lo belom move on?" ucapan Ara mengenai hati Reina sangat telak. Ara memang sudah tau soal masa lalu Reina yang di tinggal tanpa kepastian. Yang membuat Reina menutup hatinya rapat-rapat. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa cinta pertamanya akan kembali dan memiliki perasaan yang sama dengan dirinya. "Lo masih jaga perasaan lo buat orang lain, dan dia, belom tentu juga jaga perasaannya buat lo. Ayolah, Na. move on. Dia ninggalin lo tanpa penjelasan soal perasaannya sama lo. Dan lo masih nutup hati lo buat Davin?" ucap Ara mencoba menyadarkan Reina pada sikapnya. "Lo nyebut dia cinta pertama tapi lo nggak tau perasaan dia apa sama kayak yang lo rasain? Lo nggak tau kan, Na. berenti buat berharap, ada banyak orang yang masih sayang tulus sama lo, coba lo buka hati lo perlahan," Suara Ara melirih saat mengetahui wajah Reina yang sendu. Dia megusap pundak sahabatnya dengan lembut. "Gue nggak bermaksud buat nyuruh lo lupain dia. Tapi setidaknya lo harus maju jangan berhenti gitu aja saat dia pergi," Ucapnya menenangkan Reina. Gadis itu mengangguk pelan sambil mengusap buliran air mata yang sudah jatuh. Gilsya yang masih tak tau soal Reina pun juga ikut menenangkan Reina. "Walaupun gue nggak tau apa yang terjadi sama lo. Gue nggak pingin lo sedih dan terpuruk trus, Na. kunci dari semuanya adalah iklhas." setelah mengucapkan itu Gilsya mengenggam tangan gadis di depannya dengan penuh kasih seorang sahabat. "Makasih ya kalian berdua emang sahabat terbaik buat gue," ucapnya sambil tersenyum. "Kita pasti jadi yang terbaik,Na," ucap Ara tulus sambil tersenyum. "Pasti itu." Gilsya pun ikut menimpali. *** Sesuai janjinya, Davin mengajak Reina pergi jalan-jalan. Setelah mengantar Reina untuk mengganti seragamnya dengan pakaian santai. Davin pun pulang dan melakukan hal yang sama kemudian menyusul gadis itu. "Kita mau kemana?" Tanya Reina pada cowok yang sibuk menyetir motor kesayangannya. "Ngikut aja," ucapnya dengan sedikit berteriak. Davin melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Reina yang berada di belakangnya dengan sigap melingkarkan tangannya di pinggang Davin. "Davin, lo mau ngebunuh gue ya!" sentaknya namun percuma cowok itu tak memperdulikan ucapanya. Reina masih mempererat pelukannya ketakutan dengan ulah Davin. Davin yang masih fokus pada jalanan yang ramai pun tersenyum kemenagan di balik helm full facenya. Dia melirik tangan Reina yang tengah memeluknya erat. Dia terus melajukan motornya. Setelah beberapa menit aksi kebut-kebutan gila yang di lakukan Davin. Dia berhenti di parkiran sebuah pusat perbelanjaan yang terletak tak jauh dari pusat kota. Cowok itu melirik gadis di belakangnya yang masih memeluknya erat dengan wajah yang dia tenggelamkan di pundak Davin. "Heh bangun malah tidur," panggil Davin sambil menepuk tangan Reina yang masih melingkar di tubuhnya. Reina mendongakkan wajahnya melihat sekelilinganya. "Kita udah sampai?" Davin mengangguk singkat. Gadis itu turun dari motor Davin, melepaskan helm dan menyerahkan kepada cowok nyebelin di depannya. Cowok itu menerima helm dari Reina, dia ikut turun dari motornya dan mengandeng tangan Reina lembut. "Ayo." Reina tak memberontak sedikit pun saat pergelangan tangan kanannya di gandeng Davin. Bahkan mengeluarkan suara pun tidak dia lakukan. Dia ngambek pada cowok itu karena aksi ngebut-ngebutan yang membuat dia ketakutan. Davin yang menyadari ada gelagat aneh pada Reina pun melihat wajah gadis di sampingnya dengan lekat. "Lo marah?" suara datarnya pun terdengar di telinga Reina. Namun gadis itu memilih diam. "Gue minta maaf," ucapnya masih dengan nada datar. Reina masih tak menanggapi ucapan Davin. Dia berlagak budeg karena masih sebal dengan cowok itu. "Rein gue minta maaf," Ucapan Davin barusan sangat lembut di telinga Reina membuat gadis itu menghentikan langkahnya. Menatap wajah tegas di sampingnya yang juga menatapnya. "Akhirnya lo bisa manggil nama gue," ucapnya santai. Davin terdiam dengan ucapan gadis itu. Iya benar dia memang baru pertama kali memanggil gadis itu dengan namanya bukan kata heh yang biasanya dia ucapkan. "Gue suka," ucapnya lagi sambil meninggalkan Davin yang masih terdiam di tempatnya. Davin menghelai nafasnya panjang lalu menyusul Reina yang sudah jauh di depan. Dia mendapati Reina yang berdiri di depan toko sepatu memandang sebuat sepatu yang terpajang di etalase. Davin ikut melihat kearah pandang cewek itu. "Lo suka?" Reina mengangguk. "Kenapa nggak beli?" tanyanya pada cewek di sampingnya yang masih melihat sepatu warna putih dengan bergambar anjing snoopy. "Sepatu gue udah banyak, kalau bunda tau gue beli, pasti kena marah akibat boros jadi cewek," ucapnya jujur. "Kalau gitu nggak usah beli," ucap Davin cuek. "Tapi lucu Limited lagi," ujarnya dengan wajah memelas. Davin membuang nafasnya kasar melihat tingkah Reina seperti anak kecil sekarang. "Udahlah, berhenti kayak anak kecil. Mau es cream?" tawarnya yang langsung di sambut dengan wajah semangat oleh Reina. Davin mengandeng gadis itu menjauh dari toko sepatu. "Lo tunggu bentar gue mau beli es cream jangan kemana mana ntar lo ilang," ucapnya dan pergi meninggalkan Reina. Gadis itu menurut dia duduk di sebuah bangku panjang dia melihat sekelilingnya yang ramai pengunjung. Sampai matanya melihat seorang cowok yang perna dia temui. Cowok itu tengah berjalan kearahnya. "Loh Bryan, lo disini juga," sapanya pada seorang cowok bertubuh tinggi putih dengan lesung pipi yang terlihat saat dia tersenyum. "Ehh Reina, hay. Iya gue disini lagi mampir, lo sama siapa?" tanyanya pada gadis itu. "Gue sama temen gue tapi masih beli es cream, tuh." Reina menunjuk Davin yang sedang antri memesan Es cream. Namun Bryan tak bisa melihat wajah Davin karena cowok itu membelakanginya. Cowok itu mnegangguk, "Oh dimana-mana es cream mulu ya lo," Bryan terkekeh. "Hehe udah kebiasaan," Tak lama ponsel Bryan berbunyi nyaring. Dia melihat layar ponsel yang menampilkan nama seseorang disana. "Aduh, Na. gue harus pergi ada urusan lain soalnya," pamitnya pada gadis itu. "Oh oke Bry, gpp moga bisa ketemu lagi," ucapnya sambil tersenyum. Bryan tersenyum sebelum melangkah pergi dari hadapan Reina. Lima menit kemudian Davin datang dengan satu cup es cream ukuran sedang dengan toping parutan coklat yang langsung menggoda Reina. "Nih." Davin menyodorkan cup es cream itu pada gadis di depannya dan ikut duduk disampingnya. Reina menerima es itu dengan semangat. "Makasih, Davin. baik banget deh tau aja gue suka coklat," "Jangan banyak-banyak juga nggak baik," Reina hanya mengangguk sekilas. "Loh lo kok nggak beli?" tanyanya saat mengetahui cowok itu hanya diam sambil memandang kearahnya. Davin hanya menggeleng pandangannya tetap berpusat pada wajah Reina yang seperti anak kecil. "Kalau gitu lo harus coba ini, ayo buka mulut lo." Perintahnya pada cowok di sampingnya. Davin menurut dia membuka mulutnya dan membiarkan Reina menyuapinya dengan sesendok es cream coklat itu. "Gimana enak kan?" wajah Reina begitu senang saat Davin menikmati es cream itu. Sedangkan cowok itu hanya mengangguk tanpa bersuara sedikit pun. "Habis ini kita pulang gue udah janji sama abang lo akan bawa lo pulang sebelum magrib," lapornya pada Reina yang masih asyik dengan cup es cream di tangannya. "Iya," jawabnya singkat dan kembali pada kegiatannya. Davin tersenyum lebar melihat wajah polos Reina. Ada rasa gemas setiap kali bersama gadis itu. Dia selalu merasa nyaman dan senang setiap kali bersama gadis yang baru di kenalnya seminngu ini. Suka? Entahlah Davin tak tau tentang perasaannya. Jika memang dia nyaman bersama Reina mungkin ini awal untuk dirinya. Membuka lembaran baru dan melupakan semua kejadian yang membuatnya terpuruk. *** Hari demi hari terus berganti. Davin dan Reina sekarang terlihat selalu bersama. Entah itu berangkat bareng atau saat di kantin mereka selalu bersama tidak perna berpisah. Sebenarnya Reina selalu menolak dengan adanya Davin di setiap harinya tapi cowok itu selalu memaksa. Katanya dia sudah berjanji kepada Beni akan menjaga Reina kapan pun dan dimanapun. "Vin, lo kok nggak ke Rama sama yang lain sih," tanya Reina. Cowok itu menggeleng singkat tangan kirinya memegang sedotan dan mengaduk jus jeruk di hadapannya. Sedangkan tangan kanannya sedang memegang ponselnya. Sekarang Reina dan Davin berada di kantin, duduk berhadapan ditengah ramainya para penghuni sekolah saat jam istirahat berlangsung. Ara dan Gilsya tidak bisa menemani Reina ke kantin, karena mereka berdua harus menyalin catatan sejarah yang belum mereka selesaikan. Davin sekarang mengawasi gadis di depannya yang tengah menikmati makan baksonya. Sadar dirinya diawasi Davin gadis itu pun menatap bola mata cowok di depannya dengan keheranan. "Kenapa?" "Nggak pa-pa lo lucu," ucapnya jujur yang membuat Reina melotot. "Nggak usah melotot gitu ntar bola mata lo ikut nyebur ke kuah bakso loh," Davin mengucapakan itu tanpa beban sedikit pun. Reina memanyunkan bibirnya kedepan "Jahatnya," Davin terkekeh pelan saat melihat ekspresi yang selalu dia sukai dari gadis di depannya itu. Davin memperhatikan setiap inci dari wajah teduh gadis di depannya. Begitu cantik dan sangat sederhana tanpa make up sedikit pun. Itulah yang bisa di simpulkan Davin. Dia tersenyum tipis melihat setiap gerak gerik gadis yang menjadi guru privatnya. "Besok gue ulangan sejarah jadi ntar lo harus ngelesin gue," lapor Davin. "Iya gue inget, lo udah ngomong dengan kata yang sama udah ada 10 kali, Vin. Tenang aja gue nggak pikun," Davin hanya tersenyum geli mendengar jawaban dari Reina. "Lo sekarang sering senyum ya, Vin?" "Oh ya?" "He'em, beda banget nggak kayak dulu, dulu lo datar banget sama gue, ngomong juga suka nyakitin tapi sekarang udah berubah. Yah walau kadang omongan yang nusuk banget itu masih ada," ucapnya blak-blakan. Davin lagi-lagi tersenyum mendengar penuturan Reina yang sangat spontanitas tanpa berpikir terlebih dahulu. "Vin, gue masih punya hutang ke lo," ucapnya pada cowok dihadapannya. "Hutang apa?" Tanya Davin polos. "Gue belom ngasih lo hadiah buat ulangan lo minggu lalu," "Oh itu, gampang," Reina berdecak mendengar jawaban dari Davin, "Gampang gampang mulu, suka bener kalau gue punya banyak hutang ke lo," "Biarin, biar gue bisa terus sama lo," Reina terdiam mendengarkan ucapan cowok di depannya. Davin menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Nggak usah ngeliatin gue kayak gitu. Ntar lo suka lagi sama gue," ucap Davin lalu tersenyum. "Ihh najis," Cibirnya dengan bibir yang sengaja dia manyunkan. Davin yang melihatnya langsung mencubit hidung Reina gemas. Sontak kejadian itu pun menarik banyak pasang mata. Para siswi yang bisa di sebut fans Davin pun terpana melihat kejadian sangat langka itu. Banyak dari meraka yang menjerit tertahan melihat adegan yang mereka liat barusan. Reina yang merasa menjadi tontonan pun merasa malu. Namun sangat beda dengan cowok di hadapannya yang malah terlihat santai-santai aja.davin melepaskan cubitannya dari hidung Reina. Cowok itu pun tersenyum dan menyeruput jus jeruknya. "Vin, gue ke kelas dulu, ya," pamitnya pada cowok di depannya. Namun belum juga dia melangkah tangan besar Davin mencekalnya. "Kenapa buru-buru, makanan lo belom habis," "Gue malu jadi tontonan, gue risih," lapornya. Davin melihat sekelilingnya, "Oke, ayo balik," tangan Davin pun langsung menggandeng pergelangan tangan Reina lembut. Gadis itu tak berontak dia hanya diam saat Davin mulai mengajaknya berlalu. menjauh dari area kantin yang sekarang sedang riuh akibat ulah sang Raja SMA Dwija.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN