Chapter 20

1721 Kata
"Haduh ini lama banget ya allah, pengen pingsan gue." Itu adalah ucapan Ara yang sudah ke 8 kali saat mengikuti upacara hari ini. Dito yang berada di belakangnya pun berucap, "Elo ngomong mau pingsan udah ada 8 kali, kalau mau pingsan pingsan aja nggak usah ngode gue buat nyelamatin elo agar nggak jatuh," "PeDe banget siapa yang ngode lo," ucap Ara sinis. "Kinara Arshinta kayaknya gue harus ngasih pelajar ke lo supaya mulut lo itu nggak ngomong pedes trus." Dito mengucapan itu dengan nada penuh ancaman. Ara hanya diam tak berani menjawab. pasalnya dia ingat saat kejadian di kelas saat dia berteriak. Mendapati nilai ulangannya yang jelek dan Dito yang mengancamnya jika dia berteriak lagi.Reina yang sedari tadi hanya menjadi pendengar pun hanya tersenyum tipis. Ara sudah mulai memperlihatkan wajah pucat pasinya. Dan itu membuat Reina sekarang menahan tawanya. Namun tak beberapa lama saat pandangannya menoleh kearah Ara. Manik hitam Reina bertemu dengan manik coklat yang sangat familiyar buatnya. Davin trus menatap Reina dari kejauhan. Dan tak dia sadari sudut bibirnya pun terangkat keatas. Membentuk sebuah senyumannya khas miliknya. Reina yang melihatnya pun ikut tersenyum. Dia melihat penampilan cowok itu yang sedikit rapi dari sebelum-sebelumnya. Baju yang di masukan, dasi yang melingkar di leher dengan rapi walau terlihat sanggat longgar, ikat pinggang hitam yang dia kenakan juga topi yang bertengger manis di atas kepala cowok itu. Jauh lebih rapi dari pada tadi pagi saat di parkiran. Davin yang acak-acakan layaknya preman. "Yaela tatap-tapan ini upacara woy." Ara menyenggol lengan Reina keras. Gadis itu pun memutuskan kontak matanya dengan Davin. "Kayaknya lo berhasil deh buat Davin luluh, buktinya dia sekarang ikut upacara. Pakek seragam rapi banget lagi. Lo ngerti Na, setahun gue sekelas sama Davin and the geng gue nggak perna liat mereka ikut upacara," jelas Ara pada Reina. "Masak sih?" tanya Reina penasaran. "Iya si DARA itu mana mungkin ikut upacara kayak gini. Itu mustahil tau nggak," jelas Ara memberitahu. "DARA??" Tanya Reina bingung dengan siapa 'DARA' itu. "Davin Adam Rama Abi," jelasnya.Reina hanya menganggukan kepalanya singkat. Lalu mencoba melirik kearah geng DARA itu. Namun saat ini bukan Davin yang tersenyum namun Rama sahabatnya yang tersenyum lebar. Reina membalas senyuman Rama dengan lebar. Sedetik kemudian kembali melihat kedepan. *** Kelas XI IPA 4 sedang menunggu hasil ulangan minggu lalu. Para murid pun was-was dengan nilai yang akan mereka terima. Apakah mereka akan remedial ataukan aman. Mereka belum tau karena kertas ulangan mereka masih berada di hadapan Bu Wina guru Matematika. "Iya anak-anak ibu sudah mengoreksi semua hasil ulangan kalian minngu lalu. Dan hari ini ibu akan membagikannya pada kalian. Namun sebelum ibu bagikan, saya akan membacakan siapa yang mendapatkan tiga urutan nilai tertinggi di kelas ini," ucap bu Wina tegas di depan kelas. Semua murid menatap Bu wina dengan antusias. Tak terkecuali Abi, Adam dan Rama. Mereka juga sedang menunggu hasil ulangan mereka dengan hati yang berdebar. Namun berbeda dengan Davin yang sangat santai bahkan terkesan biasa saja seperti tidak akan terjadi apa-apa pada hasil ulangannya. "Baik ibu akan mengurutkannya dari yang tertinggi terlebih dahulu." Bu Wina mulai membaca siapa nama murid yang mendapat nilai tertinggi. "Yang pertama dengan nilai hampir mendekati sempurna dengan nilai 98 adalah Sonia Arlinda Putri silahkan maju mengambil hasil ulangan kamu." tepuk tangan pun teredengar di penjuru kelas. Yang di panggil pun mulai maju ke depan kelas mengambil kertas hasil ulangannya. Sonia memang terkenal murid pintar di kelas XI IPA 4 tak heran jika dia memiliki nilai yang mendekati sempurna. "Berikutnya dengan nilai 94 di dapatkan oleh Faris Ramdhan Prasetya," Faris pun maju mengambil hasil ulangannya. Cowok berkaca mata itu pun juga mendapat tepuk tangan dan juga sorakan pujian dari teman-teman sekelasnya. "Yang terakhir mendapatkan nilai 92 dia adalah...," Bu Wina mengantungkan bicaranya yang membuat seluruh siswa menatapnya was-was. "Kayaknya gue deh, Ram," ucap Abi pada Rama yang hanya diam sambil bermain bolpoin di tangannya. "Davin Reksa Bagaskara," Sontak kelas menjadi hening sesaat tak percaya dengan apa yang di ucapkan Bu Wina barusan. Davin berdiri dari duduknya mengambil kertas ulangannya dan tersenyum puas saat melihat angka 92 tercetak jelas dengan tinta warna hitam. Bukan warna merah seperti yang dia dapat sebelumnya. Saat Davin akan beranjak kembali ke bangkunya suara tepuk tangan dan sorakan tak percaya menggema di penjuru kelas itu. Davin hanya tersenyum simpul. "Selamat ya Davin, nilai kamu mulai kembali membaik. Terus pertahankan," pesan Bu Wina pada cowok dingin dan datar itu. "Baik, bu," Ucap Davin singkat dan duduk di bangkunya. "Wah gila lo, Vin. Nilai lo bagus banget. Nggak sia-sia dong les privatnya." Goda Adam pada cowok di sebelahnya. Davin hanya mengendikan bahunya sebentar. Lalu menatap lekat kertas di genggamannya. Dalam hati dia sedang bersorak merayakan kemenangannya atas ulangan pertama setelah Reina menjadi guru lesnya. Dia ingin segera memamerkan nilainya kepada gadis yang telah membantunya. Rama yang duduk di depannya pun melirik Davin sekilas. Lalu cowok itu tersenyum lebar dan berpaling dari pandangannya pada Davin. "Baik sekarang kita lanjut kemateri selanjutnya," Ucap Bu Wina setelah selesai membagikan kertas ulangan pada muridnya. *** "Na, kantin yuk gue laper nih," suara Ara lagi-lagi menganggu kosentrasi Reina. "Lo duluan aja sama Gilsya ntar gue nyusul" sahutnya santai sambil terus mencatat semua yang ada di papan tulis. "Bener nih?" Reina hanya mengangguk sekilas masih sibuk dengan kegiatannya. Ara langsung mengajak Gilsya yang sedang mengerjapkan matanya karena baru bangun tidur. Jam pertama tadi adalah pelajaran sejarah namun Pak Darma hanya menjelaskan sekilas dan meninggalkan catatan di papan tulis lalu melenggang pergi sampai bel istirahat berbunyi pun beliau tak kembali. Itulah yang di jadikan para penghuni kelas untuk tidur. Karena hanya itulah pilihan satu-satunya sebab Rifki selaku ketua kelas melarang para rakyatnya untuk keluyuran di luar kelas. "Loh nggak sama Reina?" Tanya Gilsya yang lengannya sudah di tarik oleh Ara menjauh dari kelas mereka. Sepeninggal Ara dan Gilsya, Reina masih terus menyalin catatan itu dengan rapi di buku tulisnya. Gadis itu sama sekali tak menyadari saat seorang tengah duduk di sebelahnya. "Udah nyatetnya udah bel istirahat," suara dengan nada super datar itu membuat aktifitas Reina berhenti. Dia menoleh kearah suara itu berasal betapa terkejudnya saat mendapati Davin duduk di sebelahnya. "Sejak tadi," Davin tau jika Reina membuka suara pasti yang akan gadis itu lontarkan adalah pertanyaan yang Davin sudah sangat hafal. Reina melotot kearah Davin, "Lo kok tau kalau gue bakal ngasih pertanyaan yang jawaban itu?" "Bisa ditebak kebiasaan lo," Gadis itu memajukan bibirnya sebentar, kebiasan Reina. Davin yang mengetahui tingkah laku gadis di sebelahnya hanya tersenyum tipis. "Lo ngapain kesini? Kangen gue?" Tanya Reina pada cowok yang masih diam di sebelahnya. "Nih." Davin menyodorkan kertas ulangannya yang sudah dia lipat layaknya surat. Reina menerima kertas itu dengan dahi yang menampakan kerutan, "Apa nih? Surat cinta? Atau puisi?" "Sertifikat rumah," ucapnya santai. "Yeee, gue serius nanya juga," "Bawel lo buka aja." perintah Davin ketus Reina membuka kertas itu dengan tenang. Dan betapa terkejudnya dia saat melihat dua angka dengan tulisan bolpoin warna hitam pekat bertengger di pojok kanan atas kertas itu. "Ini nilai lo?" tanyanya masih tak percaya. Davin tersenyum lebar lalu menganggukan kepalanya. "Ternyata lo nggak bego amat ya, Vin," Davin melirik Reina dengan pandangan tajam. Sedangkan gadis di sebelahnya malah tertawa lepas. "Lo kalau ngomong asal ceplos, ya," ujarnya ketus pada gadis itu. "Hehe maapin becanda." Reina menghentikan tawanya saat mendapati pandangan tak suka Davin. "So hadiahnya apa?" sesuai perjanjian yang telah mereka berdua sepakati Reina harus memberi hadiah Davin karena nilai cowok itu saat ini terbilang sangat bagus. Reina mengernyitkan dahinya. Berpikir keras dengan apa yang akan dia berikan pada Davin nanti. "Kelamaan lo kalau mikir," ucap Davin tak sabaran. "Gue belom kepikiran mau ngasih lo apa," jawabnya jujur karena memang dia belom tau apa yang akan dia berikan pada cowok itu. Davin membuang nafasnya kasar menatap Reina lekat. Gadis itu memasang wajah memelas agar tidak kena marah Davin yang nampaknya sedang menahan emosi. "Yauda karena lo nggak tau, ntar pulang sekolah ikut gue," ucap Davin. "Kemana?" "Ngikut aja," "Lah kan ntar ada jadwal les," Libur dulu," dengan entengnya Davin menjawab, yang membuat Reina melongo. "Udah ini itu istirahat, berenti nyatet. Kita ke kantin," "Tapi vin..." Belum sempat menjawab Davin sudah menutup buku tulis Reina dan segera menarik lengannya secara halus. Keluar kelas yang sudah Nampak sepi penghuni. Sepanjang koridor yang mereka lewati tak henti-hentinya Reina dan Davin menjadi tontonan. Bagaimana tidak Davin sekarang sedang menggandeng tangan Reina erat. Reina awalnya memberontak tapi cowok nyebelin itu malah mempererat genggamannya. "Vin, lepasin. Gue risih dilihatin fans lo kayak gitu," ucap Reina lirih di tengah berjalannya. "Nggak!" "Lagian kayak mau nyebrang aja pakek gandengan," "Biarin." "Davin," rengeknya pada cowok itu. Davin berhenti di tengah koridor yang ramai. Menatap manik hitam Reina dengan tajam. "Iya iya nggak protes lagi," ucap Reina disusul dengan manyunan bibirnya yang selalu dia tampilkan saat sebal. Dengan gemas Davin mengacak rambut Reina sampai berantakan. Reina semakin memanyunkan bibirnya kesal. Davin tersenyum penuh kemenagan melihat ekspresi Reina. Sontak kejadian itu membuat para murid yang berada di sekitar mereka pun terkejud melihat kejadian itu. Lah Davin romantis banget. Itu Reina beruntung banget deh gue juga pengen. Reina anak baru aja udah bisa luluhin hati Davin. Hebat! Berbagai macam bisikan yang masih di dengar oleh keduanya pun membuat Reina malu. "Tuh kan gue malu jadi bahan ghibahan sama mereka," "Biarin mereka ngomongin lo yang baik-baik" "Iya tetep aja kan." wajah Reina memelas. Davin yang mengetahui perubahan wajah gadis itu pun tersenyum tipis. Tangannya terulur untuk merapikan kembali rambut Reina yang telah berantakan akibat ulahnya. Lagi-lagi para murid yang mengetahui hal itu pun terperanjat tak percaya. Momen yang perlu di abadikan seorang Davin berperilaku manis terhadap seorang perempuan. Reina hanya diam tak berniat berontak. "Udah ke kantin gue laper," Setelah mengucapkan itu Davin menarik lengan Reina lagi, mengandengnya lembut layaknya seorang pasangan yang tak ingin berjauhan. Yang di lakukan Reina hanya diam dan menurut. Benar yang dikatakan Davin. Para murid tadi tidak ada yang mengumpatnya dengan cacian pedas atau tatapan tak suka, malah memujinya karena telah membuat sang Raja luluh di tangannya. Dia sedikit terheran pasalnya dia sendiri tak pernah melakukan apa-apa pada cowok itu. Tetapi mereka beranggapan lain. Entah mengapa Davin si cowok jutek, dingin dan tidak terlalu perduli dengan seoarang perempuan bisa bersikap beda saat dirinya bersama Reina. Memang mereka baru mengenal setelah seminggu ini. Sifat Davin juga perlahan berubah meski terkadang ciri khas cowok itu tetap dia tunjukan.Tetapi menurut sahabatnya pun Davin sudah mulai mebuka hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN