Chapter 16

1236 Kata
"Na kantin yuk mumpung jamkos nih" Rengek Ara pada gadis di sebelahnya. Namun nihil Reina tak memperdulikannya. "Ishh, Na. ayo dong," Reina mendongakkan kepalannya melihat Ara yang tengah memasang wajah memelasnya. "Lo ke kantin sama Gilsya aja ya gue lagi BM," Ucapnya singkat dan kembali menengelamkan kepalanya di tumpuan tangannya. Ara mengerucutkan bibirnya kedepan dan mulai berdiri dari tempatnya. Dia menghampiri meja Gilsya yang terletak di dekat jendela. Gadis itu tengah membaca n****+. "Sya, kantin yuk," ajaknya pada gadis berambut Dora itu. Gilsya berpaling dari n****+ yang dia baca dan memandang kearah Reina yang tengah terlelap di mejanya. Kemudian kembali menatap gadis di depannya dengan kebingungan. "Nggak sama Reina?" tanyanya heran yag melihat Reina tak beranjak dari bangkunya. "Lagi BM katanya, yuk lah laper gue mumpung jamkos nih." Gilsya hanya menurut dengan ajakan Ara dan mulai meninggalkan Reina di kelas yang hanya ada dirinya saja, karena penghuni kelas telah keluar karena jamkos. Davin berjalan di koridor depan kelas. Rencananya dia akan kerooftop namun saat pandangannya tak sengaja melihat gadis yang tengah menengelamkan kepalanya di meja nomor dua dari belakang. Davin berhenti melangkah saat mengamati rambut panjang yang tergerai dengan jepit rambut kecil berwarna biru mengikat poni gadis itu kebelakang. Dia menyadari siapa gadis itu. Tanpa ragu Davin memasuki kelas yang tengah sepi dan hanya ada dia dan gadis itu. Davin duduk di sebelah gadis itu yang tak lain adalah Reina. Reina masih pulas dalam tidurnya, dia kelelahan karena semalam dia menangis. Untung hari ini pak Joko guru B.Inggris absen karena anaknya masuk rumah sakit. Alhasil kelasnya free dan dia bisa mengistirahatkan mata dan pikirannya. Davin masih setia di samping Reina. Meski wajah Reina tak terlihat karena gadis itu memalingkan wajahnya menghadap tembok. Tangan besar Davin mengambil jepit biru yang tengah mengikat poni Reina. Membenarkannya karena jepit itu sedikit longgar. Reina mengeliat di posisinya, wajahnya dia dongakkan dan mengusap wajahnya pelan. Dia masih belum sadar akan kehadiran Davin di sebelahnya. Pandangan Reina menyapu seisi kelas yang sepi dan saat itu pun pandangannya bertemu dengan manik coklat milik Davin di sebelahnya. Reina terlonjak kaget saat melihat Davin sudah berada di dekatnya. "Sejak kapan lo ada disini?" Tanyanya dengan raut kebingungan. "Dari sejak lo tidur," jawabnya singkat. "Ara kemana?" Davin hanya mengendikan bahunya keatas. Karena dia memang tak tau Ara kemana. "Pasti lo usir dia ya biar lo bisa duduk disini?" tuduh Reina asal. Davin hanya memutar bola matanya malas. "Gue bener nggak tau," ucapnya. Reina mengambil ponselnya yang berada ditas. Mengecek siapa tau Ara memberinya pesan namun tidak ada notifikasi sama sekali. Davin yang masih setia disamping Reina pun mengambil ponsel gadis itu dengan paksa. "Ehh, Vin. hp gue balikin," Davin tak menghiraukan omelan Reina dia mengetik di atas papan keyboard ponsel itu. Sedetik kemudian ponsel di saku celana kanannya berbunyi. Davin memencet tombol merah dan mengembalikan ponsel warna silver itu pada Reina. Reina mengambil ponselnya dengan kasar, "Gue kira bakal lo jual," ucapnya asal yang berhasil membuat cowok itu tersenyum tipis. Davin bangkit dari duduknya dan menggandeng tangan kiri Reina lembut. Gadis itu hanya melongo masih dengan posisi duduk dibangkunya. "Ikut gue," ajaknya. "Kemana?" Davin tak menjawab pertanyaan Reina dia menyeret gadis itu untuk menjauh dari tempatnya dan keluar kelas. Di rooftoplah sekarang mereka berdua berada. Davin duduk di kursi kayu panjang yang ada disana. Gadis di belakangnya pun mengikutinya. Reina melihat cowok di sampingnya yang mengeluarkan kotak yang berisi rokok. Cowok itu mengambil sebatang nikotin itu dan menyalankannya dengan pemantiknya. Reina yang melihat itu tertegun. "Vin, lo ngerokok?" Tanya Reina heran. Davin menoleh dia mengangguk lalu membuang kepulan asap itu keudara. Sontak udara yang tadi bersih seketika menjadi tercemar akibat ulah Davin. Reina mengibaskan tangannya di depan wajahnya. Mengahalang udara tercemar itu memasuki hidungnya. Davin yang mengetahui tingkah tak nyaman gadis di sebelahnya mengeluarkan suara beratnya. "Lo nggak suka cowok ngerokok?" tanya Davin dengan raut wajah khawatir. Reina hanya menggeleng pelan dan masih menutupi hidungnya. Bukannya sok cantik atau apa namun, dia memang tidak terbiasa dengan asap rokok yang mematikan itu. Bang Beni yang juga perokok pun tidak pernah merokok dekat dengan Reina karena itu akan membuat gadis itu terbatuk dan parahnya Reina bisa mematahkan semua batang nikotin itu agar tidak bisa dihisap. Davin membuang rokoknya yang masih menyala panjang ke tanah. Menginjaknya dengan ujung sepatunya. Dia melihat Reina yang sudah bernafas lega. "Maaf," ucapnya singkat. "Buat?" Tanya Reina blo'on karena tak mengerti maksud Davin. "Udah ngerokok di depan lo." Reina mengangguk pelan. "Lo bisa nggak sih, Vin. berhenti buat nyebat barang mematikan itu?" ucapnya tiba-tiba yang membuat Davin menoleh kearahnya. "Kenapa?" tanya Davin ingin tau. "Lo nggak sayang apa sama nyawa lo," Davin terdiam namun matanya masih menatap lekat manik hitam Reina. "Akan gue coba." Reina mengangguk pelan, " Setidaknya buat diri lo sendiri, Vin." Davin tersenyum tulus. Senyuman khasnya yang dia tampilkan kepada gadis yang baru dia kenal beberapa hari ini. Davin masih mengamati wajah Reina yang damai. Sampai akhirnya pandangannya melihat lingkaran di bawah mata indah gadis itu. "Lo habis nangis?" ucapnya yang membuat Reina menggelang cepat menyembunyikan kebohongannya dengan menunduk. "Boong aja trus." sindir Davin pada Reina. "Gue nggak boong, kok." Reina masih saja berbohong padahal Davin sudah tau. "Kalau nggak boong kenapa pas gue tatap mata lo, lo malah nunduk." ucapan itu sukses membuat hati Reina berhenti berdetak. Ucapan Davin tepat mengenai sasaran. Reina menundukan kepalanya. "Kenapa?" Pertanyaan Davin kali ini sangat lembut bahkan seperti menyiratkan keperdulian. "Gue nggak pa-pa." jawabnya singkat. matanya melihat ujung sepatunya. "Oke kalau lo nggak mau cerita, gue nggak maksa," ucap Davin. Reina mendongakkan kepalnya menatap davin yang sudah melihat lurus kedepan. "Lo perduli sama gue?" tanya Reina yang membuat cowok itu menoleh. "Karena lo temen gue." jawab Davin. Reina mengkerutkan dahinya tidak mengerti maksud cowok itu. "Sejak kapan?" Reina kembali bertanya. "Sejak lo mau bantu gue dengan cari jadi guru privat gue," jawabnya jujur. "Kan waktu emang lo yang mohon ke gue," Davin menatap lekat manik Reina. Kemudian mengendikan bahunya dan kembali menatap lurus kedepan. Reina memanyunkan bibirnya kedepan setelah mendapat jawaban dari cowok ngeselin itu. Davin memang memiliki kepribadian ganda yang sering kumat kapan saja. Buktinya tadi dia begitu dingin lalu berubah menjadi sosok yang hangat dan perduli sekarang menjadi Davin yang ngeselin seperti sedia kala. Reina menjadi khawatir dengan cowok di sampingnya apa cowok itu normal atau tidak. Reina melihat Davin intens dari bawah sampai atas. 'Nggak ada yang beda' gumam Reina. Davin yang merasa di amati pun melirik Reina dengan pandangan datar. "Ngapain liatin gue?" Reina nyengir kuda saat kepergok mengamati cowok dingin bin jutek plus nyebelin itu. "Nggak kok," ucapnya singkat karena Davin mengamatinya dengan tatapan yang sulit di artikan. "Heh, lo bukannya ulangan ya hari ini? Kenapa lo disini? Bukannya lo di kelas,ya? Lo bolos?" Tanya Reina bertubi-tubi, Reina baru teringat ucapan Davin kemarin jika hari ini dia ada ulangan Matematika. "Udah selesai," jawab Davin. "Pasti lo jawabnya asal-asalan?" tuduh Reina asal ceplos. Davin hanya menggeleng, "Gue ngerjainya bener nggak ada yang ngasal," Reina menautkan alisnya, "Awas kalau nilai lo jelek," ancamnya pada cowok itu. Davin tidak takut dengan ancaman Reina. Dia malah mengacak puncak kepala Reina dengan gemas. "Lo tenang aja," lalu dia menjauhkan tangannya dari kepala Reina. Reina hanya tersenyum lebar saat Davin meyakinkannya. Padahal hati gadis itu masih was-was. Bagaimana jika Davin mendapat nilai bagus oh sungguh dia akan merasa senang. Namun ,Bukan masalah itu yang dia pikirkan namun masalah hadiah apa yang bakal dia berikan pada cowok nyebelin itu. Reina masih berpikir keras di balik senyumannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN