Chapter 3

1258 Kata
Reina dan Ara sedang berjalan menuju ruang guru untuk mengantar buku tugas para murid. Di tengah perjalanan, Reina bercerita tentang kejadian semalam yang menimpanya. "Sumpah kemarin gue takut banget, kalau yang di ambil uang gue sih nggak masalah. Tapi kalau yang di minta lain-lain gimana?" Reina bercerita dengan rasa ketakutannya. "Hust ah, bicara lo serem bener. Lagian ngapain sih sendiri malem-malem. Lo kan cewek, minta anter bang Beni kan bisa," ucap Ara sedikit memarahi sahabatnya yang suka ceroboh. "Iya gue kira semua baik-baik aja. Nggak akan ada kejadian kayak kemaren. Eh ternyata di luar dugaan gue." Reina sedikit histeris menceritakannya. "Trus kok lo bisa di tolong sama cowok itu sih?" tanya Ara penasaran. Reina menggeleng, "Gue nggak tau dia dateng dari mana, yang jelas dia jadi pahlawan gue malam itu," jelas Reina. "Dia ganteng nggak, Na?" tanya Ara nyleneh. Reina berdecak dengan kelakuan Ara, "Iya mana gue tau, waktu itu gelap banget. Gue cuma samar-samar lihat mukanya. Kepala dia di titup pakek kupluk hoddynya. Yang paling gue inget tuh bau parfumnya, Hangat." Reina berucap dengan menutup matanya, seolah sedang mengingat kembali wangi parfum cowok yang kemarin menolongnya. "Sayang banget lo nggak inget wajahnya, tau gitu gue mau bantuin lo nyari dia," ucap Ara. "Ngapain pakek di cari segala, gue udah bilang makasih kok," ucap Reina sewot. "Iya siapa tau dia jodoh lo." setelah mengucapkan itu Ara tertawa lepas. "Apaan deh, lo mah ngaco." Reina tak terima dengan apa yang di ucapkan Ara barusan. Ara kembali tertawa panjang sampai mereka berdua pun sampai di ruang guru. Reina dan Ara mencari meja bu Siska, guru bahasa indonesianya. Namun, dia tidak sengaja melirik ke dalam ruang kepala sekolah yang terbuka. Ada seorang cowok bersama seorang wanita paruh baya yang tengah berbicara serius dengan bapak kepala sekolah. Sekilas Reina menatap manik hitam cowok itu, yang ternyata juga menatapnya. "Na, ayo," ajak Ara menyenggol lengan Reina agar segera berjalan. Reina hanya mengangguk dan kembali ke kelas. *** Di ruang kepala sekolah suasana begitu memanas. Bukan karena cuaca, namun sedang ada perdebatan di sana. "Saya harap bapak tidak membeda-bedakan anak saya dengan murid yang lain. Jika dia memang salah, tegur saja. Saya sangat senang jika bapak ikut membantu saya," ucap seorang wanita paruh baya yang duduk berhadapan dengan bapak kepala sekolah. "Saya paham, bu. Tapi saya sama sekali tidak membeda-bedakan anak ibu. Apa lagi menutup-nutupi keburukannya selama di sekolah. Dia sebenarnya anak yang pintar saya akui itu. Tapi terkadang dia juga bersikap seenaknya di sekolah." jelas pak Heru selaku kepala sekolah. Wanita itu menghembuskan nafasnya panjang sambil melihat wajah anak bungsunya yang telah menatap ujung sepatu yang dia kenakan. Pandangannya beralih kembali ke pak Heru. "Kalau begitu, apa yang bisa saya lakukan untuk merubah sikapnya, pak?" tanya wanita itu lagi. "Menurut saya, ibu harus mencarikannya guru les agar nilainya kembali membaik. Dan mungkin juga dia harus belajar lebih disiplin," ujar pak Heru menyarankan. "Baik pak, terimakasih untuk sarannya. Saya akan segera mencarikan guru les privat untuk Davin," Ucap Sonya sambil tersenyum lebar. Davin melotot kaget ke arah mamanya, "Ma, Davin nggak mau kalau mama yang nyariin Davin guru les," tolak Davin ngotot. "Trus siapa? Kamu bisa nyari guru les privat sendiri?" Aruni berganti bertanya. Davin terdiam, untuk saat ini dia tidak tau siapa yang bisa di andalakan menjadi guru les privatnya. "Maaf, bu. Saya ada rekomendasi murid terpintar di angkatan Davin. Mungkin dia bisa membantu menjadi guru les privat," usul pak Heru. "Sangat saya terima usul dari pak Heru. Kalau boleh tau siapa ya pak?" tanya Aruni. "Dia Reina anak 11 ipa 2. Davin bisa menemuinya sendiri dan memintanya untuk menjadi guru les. Jika di rasa Davin tidak mau mendapat guru les atas pilihan ibu," "Lah, kok saya, pak. Yang harus nyari siswi itu?" Davin protes dengan apa yang di katakan pak Heru. "Itu adalah bentuk usaha kamu jika kamu tidak mau dengan guru pilihan mama mu," ucap pak Heru serius. Aruni tersenyum puas karena sudah membuat anak bungsunya kapok. "Bagaimana, Vin?" tanya Aruni dengan senyum lebarnya. Davin dengan terpaksa pun menyetujui usulan sang mama dan pak Heru. Mulai detik ini dia harus mencari siswi yang bernama Reina. *** Reina sedang berjalan sendiri di koridor lantai bawah yang akan membawanya ke koperasi sekolah. Letak koperasi bersebelahan dengan kantin. Itu tandanya dia harus melewati juga lapangan basket yang selalu ramai oleh siswa yang sedang jam pelajaran olahraga. Dengan santainya Reina berjalan sampai dia tidak sadar ada bola basket yang sedang menuju ke arahnya. "Woy, awas!" Teriak seorang cowok dari arah lapangan agar Reina menghindar. Namun sayang, gadis itu tidak mendengar. Dan... Bugh... Suara benturan keras dari bola basket dan kepala Reina terdengar. Dan dalam hitungan detik dia pun pingsan. "Na, lo udah sadar?" suara yang amat Reina kenal terdengar di telinganya saat dia membuka mata. "Gue ada di mana?" tanyanya dengan suara lirih tak bertenaga. "Lo ada di UKS, tadi lo pingsan karena kena bola basket dari anak kelas sebelah. Tapi saran gue lo jangan marahin dia deh," ucap Ara mewanti-wanti Reina agar tidak memarahi sang pelaku pelempar bola basket tadi. "Emang kenapa?" tanya Reina heran. "Dia Davin, cucu pemilik yayasan, kalau dia dateng kesini mending lo ikhlasin semua yang terjadi sama lo hari ini," jelas Ara serius. Reina mengerutkan dahinya. "Lo nggak niat ngambilin gue minum apa?" ucap Reina karena sejak dia sadar Ara tidak memberinya minum. Malah memberitahu hal yang tidak penting. "Astaga gue lupa, nih minum dulu." Ara menyodorkan segelas air putih untuk Reina minum. "Gue ke toilet bentar ya, kita lagi jamkos kok. Jadi lo nggak usah khawatir nggak masuk kelas," ucap Ara lalu pergi dari hadapan Reina. Reina hanya mengangguk. Dia berusaha bangun dari rebahannya. Punggungnya dia senderkan di tembok. Kepalanya masih lumayan pening namun tidak parah. Suara langkah kaki terdengar mendekat, tiba-tiba knop pintu terdengar di putar. Reina melihat siapa yang datang di balik tirai yang masih tertutup. Seorang cowok dengan tubuh tinggi dan bola mata besar mendekatinya. Dia masih mengenakan seragam basket. Apa ini yang namanya Davin, batin Reina dalam hati. "Lo udah siuman?" tanyanya datar tanpa ekspresi. Reina melihat bola mata cowok itu, tidak ada rasa bersalah di matanya. "Oh jadi lo yang ngelempar bola ke gue?" tanya Reina ketus. "Gue nggak sengaja, lagian gue udah teriak agar lo menghindar tapi lo tetep aja nggak denger." cowok itu ikut ketus. Dia tidak mau di salahkan. Reina berdecak, "Ada ya cowok model lo kayak gini. Udah tau salah malah nyolot. Nggak bilang maaf pula." lagi-lagi Reina kesal karena tidak ada kata maaf yang terucap dari mulut Davin. "Gue udah bilang kan gue nggak sengaja! Lagian juga lo nggak pa-pa." Reina masih tidak habis pikir dengan apa yang di katakan cowok itu. Begitu angkuh dan menyebalkannya seorang cucu pemilik yayasan. "Udah ya, gue nggak ada urusan sama lo lagi. Dan ini buat ganti uang lo buat beli plester dan obat," Davin menaruh amplop putih berisi uang di atas nakas. Sebelum pergi dia kembali berucap. "Dan satu lagi, lo nggak perlu nyari gue," ucapnya dan kembali melangkah pergi. "Heh, dengar ya! Gue nggak butuh uang lo!" teriak Reina namun percuma Davin tidak mendengarnya. Suara langkah kaki kembali terdengar, Reina kira Davin kembali ternyata itu adalah Ara, "Na, lo kenapa kok teriak?" tanya Ara karena mendengar teriakan Reina. "Namanya Davin siapa sih?" tanya Reina dengan wajah memerah. "Davin Reksa Bagaskara, kenapa?" Ara terheran mengapa tiba-tiba Reina bertanya nama lengkap Davin. Apakah sahabatnya baru saja di aniaya cowok itu. "Mau gue santet!" ucap Reina dengan nada berapi-api. Dia pun bangkit dan memakai sepatunya. Tak lupa membawa amplop pemberian cowok angkuh tadi. Lalu pergi meninggalkan Ara dengan segala tanda tanya besar di kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN