Chapter 4

2129 Kata
Reina berjalan menuju kelasnya sendiri karena Ara masih tertinggal di UKS. Tiba-tiba saja tali sepatu Reina terlepas ikatannya akibat dia tadi terburu-buru. Dia segera mengikat tali sepatu itu. Dan di saat yang bersamaan,ada seorang siswa yang melewatinya. Namun yang membuat Reina kaget adalah bau parfum yang di pakai siswa itu persis seperti parfum milik pahlawan dalam kegelapannya. Dia mencoba menoleh ke arah murid tadi. Namun sayang, Reina tidak bisa melihat wajahnya karena siswa itu hilang di persimpangan koridor. "Jadi, pahlawan gue sekolah disini? Anak murid sini?" gumam Reina tidak percaya. Cukup lama dia bengong akhirnya dia memutuskan untuk pergi. Dia masih belum tau jika Davin lah yang menolongnya. Begitu juga sebaliknya, Davin tidak tau jika gadis yang di tolongnya kala itu adalah Reina, karena mereka sama-sama tidak sebegitu jelas melihat wajah masing-masing karena cahaya yang redup. *** "Pulang sekolah nongkrong atau langsung pulang?" tanya Abi, sahabat karib Davin sejak kecil. "Pulang, gue ada urusan," jawab Davin cuek. "Tumben sok sibuk," ucap Adam yang juga sahabat karib cowok dingin itu. Mereka sedang berada di kantin karena jam olahraga masih tersisa. "Gue ada tugas nyari murid namanya Reina anak kelas 11 ipa 2," imbuh Davin lagi. "Ngapain lo nyari tuh cewek?" tanya Abi penasaran. Jarang sekali sahabatnya ini mendekati seorang perempuan. "Pak Heru dan mama nyuruh gue buat nemuin dia. Gue harus bisa bujuk dia biar mau jadi guru privat gue. Karena dia lah murid paling pinter seangkatan kita saat ini," jelas Davin sambil memakan snack. "Lo mau minta bantuan ke kita nggak, kita berdua udah tau kok yang mana anaknya," ucap Abi dengan wajah penuh senyuman. Seperti mendapat hidayah Davin pun bersemangat. "Serius lo? Yang mana anaknya?" tanya Davin antusias karena dia tidak harus repot-repot sendiri mencarinya. "Cewek yang tadi kena bola basket," jawab Adam dan Abi bersamaan. Seketika wajah Davin manjadi pucat pasi. Dia tidak tau jika siswi yang tadi dia buat pingsan adalah calon guru lesnya. Davin bingung sekarang. Apa yang harus dia lakukan. Tadi dia sudah membuat Reina marah karena dia tidak meminta maaf. Apa lagi di tambah dengan sikap dia yang nyolot pada gadis itu. Sangat menutup kemungkinan Reina mau menjadi guru lesnya. Mungkin maaf saja Davin tidak akan mendapatkannya. "Dia murid baru ya?" tanya Davin meyakinkan lagi. Adam dan Abi kembali mengangguk bersamaan, "Dia murid pindahan, dia emang pinter sih. Kepintarannya udah menyebar seangkatan kita," jelas Adam. "Sejak kapan dia pindah? Kok gue nggak tau?" tanya Davin karena tidak perna mengetahui kabar tentang murid baru di kelas 11. "Dua bulan lalu, saat lo ijin nggak masuk sekolah. Lo beneran nggak tau kabar itu?" tanya Abi. Davin menggeleng lemah, "Tamat riwayat gue," ucapnya dengan pandangan kosong. Adam dan Abi saling pandang. Mengapa Davin yang dingin menjadi terpukul seperti ini. Ada apa? "Emang kenapa sih, Vin? Bukannya seneng kita udah bantuin lo nyari siswi namanya Reina?" ujar Abi. "Bakal jadi masalah besar buat gue kali ini." setelah mengatakan itu, Davin segera pergi menemui Reina dan meminta maaf padanya. Meski Davin bukan tipe cowok yang dengan mudah mengatakan kata tolong, maaf maupun terimakasih. Semua ini dia lakukan untuk terbebas dari ancaman sang mama. Davin berlari dengan cepat, dengan nafas terengah-engah dia berdiri di ambang pintu kelas 11 ipa 2 kelas Reina. Semua mata tertuju pada Davin yang masih mengatur nafasnya. Dia melihat Reina yang juga melihatnya. Davin pun menghampiri gadis itu. Kelas yang tadi ramai akibat sang guru keluar, sekarang kembali hening sebab kedatangan Davin. "Gue mau ngomong sama lo," ucap Davin di depan Reina. "Ngapain? Lo nggak lihat gue masih mapel?" ketus Reina tidak suka. Semua murid tertuju pada Reina. Para murid kaget akan reaksi gadis itu saat menjawab perkataan cucu sang pemilik yayasan. "Gue minta maaf," imbuhnya lagi. Rasa gengsinya dia buang jauh-jauh. Tak perduli orang lain menilainya seperti apa karena telah membuang prinsipnya selama ini. "Tadi lo bilang, gue nggak usah nyari lo lagi. Kenapa malah lo yang nyari gue?Dan sekarang lo dateng trus minta maaf?" tatapan membunuh Reina membuat Davin bergidik ngeri. Baru kali ini dia takut dengan tatapan seorang cewek. Reina mengambil amplop yang tadi di berikan Davin saat di UKS, "Nih, gue kembaliin uang lo. Gue nggak butuh," Davin memandang amplop di tangannya, dia mengingat kejadian tadi, bisa-bisanya dia berperilaku seperti itu pada calon guru lesnya. "Ngapain lo masih disini? Pergi!" usir Reina ketus. Dengan berat hati Davin pergi meninggalkan kelas Reina. Dia harus mencari cara lain untuk membuat gadis itu memaafkannya. "Na, lo kok beraninya sih marahin Davin?" ucap Ara di sampingnya, yang sedari tadi menonton Reina bersikap ketus pada Davin. "Dia pantes dapetin itu. Biar dia tau nggak segampang itu minta maaf." ketus Reina lagi dan kembali menulis. Ara hanya menghelai nafas panjang. Di saat siswi yang lain berebut mendapatkan perhatian Davin. Reina malah memarahi cowok itu dengan lantang tanpa takut. *** Davin menunggu di parkiran saat pulang sekolah untuk mencari Reina. 10 menit dia menunggu yang di nantikan pun datang. Namun, gadis itu tidak sendiri dia bersama cowok yaitu Beni sang kakak. Davin terus mengamati pergerakan target sampai mobil itu pergi meninggalkan sekolah. Tanpa pikir panjang Davin pun mengikuti mobil Beni. "Lah, ini kan arah komplek gue,"gumam Davin sambil mengendarai motornya. "Gue kayak pernah kesini deh," gumamnya lagi. Mobil Beni memasuki pelataran rumahnya. Davin segera berhenti dekat pohon di pinggir jalanan kompleks. Dia melihat Reina yang keluar dari mobil hitam itu. "Jadi, dia cewek yang waktu itu gue tolongin?" ucap Davin bertanya pada dirinya sendiri. Sesaat dia langsung memiliki ide yang cemerlang. Tak berapa lama Davin pun pergi dari sana. Malamnya Davin berencana untuk pergi kerumah Reina. Dengan memakai hoddy yang waktu itu dia kenakan saat menolong gadis itu. Davin berpikir, mungkin dengan cara ini, Reina akan mengerti jika Davin lah cowok yang menjadi penolongnya. Sehingga dia akan memaafkan perbuatan Davin kemarin. Davin melangkahkan kakinya santai keluar rumah. Dia tidak tau jika sang mama sedang duduk sambil membaca majalah di teras depan. "Mau kemana kamu, Vin?" tanya Aruni mengagetkan Davin. "Astaga, Ma. bikin kaget aja, mau keluar bentar," jawab Davin singkat. Aruni melihat penampilan putranya dari atas sampai bawah. Davin hanya memakai hoddy berwarna hitam polos beserta celana jeans pendek tak lupa sandal jepit kesayangannya. Aruni masih terheran, biasanya putranya jika akan keluar selalu berpakaian rapi dan outfit selalu keren. Namun, sekarang cowok itu hanya berpakaian sederhana. Bahkan kunci motor tidak ada di tangannya. "Keluar kemana? Kok nggak bawa motor?" tanya Aruni slidik. "Emm, itu mau cari angin sebentar, ma," jawabnya yang jelas berbohong. Dan itu membuat sang mama malah curiga. Aruni berpura-pura percaya, toh putranya juga butuh privasi. Davin juga sudah dewasa dia sudah tau mana yang harus dia lakukan maupun tidak boleh dia lakukan. "Yaudah, jangan sampai malam. Mama kunci pintunya kalau kamu pulang malam." ancam Aruni dengan wajah serius. "Mama tenang aja. Lagian Davin nggak bawa motor kok, jadi nggak mungkin pulang malam, ma," ucap Davin meyakinkan sang mama kembali. Aruni hanya mengangguk dan membiarkan putranya pergi. *** Di rumah Reina sedang kedatangan tamu yang tidak di undang. Malam-malam seperti ini biasanya Reina malas untuk menerima tamu. Berhubung tamu kali adalah Ara, sahabatnya sendiri. Terpaksa Reina mau menemuinya. "Ngapain sih ngambil buku tugas semalem ini. Lo kan bisa minta fotonya nanti gue kirim lewat w******p. Ganggu orang istirahat aja deh." Reina tak henti mengomeli Ara yang datang malam-malam seperti ini. "Yaelah, Na. Masih juga jam setengah 8 masa' udah ngantuk?" tanya Ara. "Gue nggak pernah tidur di atas jam 7 ya, habis makan malem aja gue langsung tidur," jelas Reina sambil memakan sebuah anggur. Mereka berdua sedang duduk di kursi kayu yang berada di taman depan. Ara tidak mau masuk ke rumah Reina. Katanya malu jika nanti bertemu Beni karena dia hanya mengenakan piyama berwarna pink yang mencolok mata. "Pantesan jomblo." setelah mengatakan itu, Ara tertawa kencang sambil membuka mulutnya. Kesal dengan tingkah sang sahabat. Reina memasukan sebuah anggur kedalam mulut Ara. Sehingga gadis itu berhenti tertawa. "Diem lo!" ketus Reina. Ara kembali membuka suara, "Eh katanya pahlawan lo itu jalan kaki ya, waktu nganter lo balik ke rumah?" Tanya Ara sambil mengunyah anggur. Reina mengangguk, "Iya waktu itu dia jalan kaki, trus menghilang gitu aja deh dalam kegelapan," "Sadar nggak sih, kalau dia jalan kaki itu tandanya rumahnya deket dari sini?" ucap Ara sedikit berpikir. "Iya juga ya, kalau dia rumahnya jauh pasti dia bakal bawa kendaraan. Ya, minimal sepeda lah," jawab Reina membenarkan apa kata Ara tadi. "Kok gue makin penasaran sih, dia bisa baik banget gitu sama lo. Pasti dia ganteng," crocos Ara tanpa jeda. "Gue yang di tolongin aja b doang," ucap Reina dengan nada biasa saja. "Lo mana punya hati nurani sih, Na," ucap Ara lalu kembali tertawa padahal tidak ada yang lucu menurut Reina. "Tapi ada yang aneh deh, tadi pas gue mau balik ke kelas. Gue nyium bau parfum yang sama kayak si pahlawan kegelapan gue. Dia anak Sma kita juga," jelas Reina dengan penuh semangat. "Wah sedikit ada titik terang ini, Na. gue bakal bantuin lo,serius!" ucap Ara dengan serius. "Oke deh, gue juga harus balas budi ke dia atas kebaikannya. Nggak cuma sekedar ucapan terimakasih." Reina pun tersenyum. "Nah gitu dong, gue dukung banget tuh." Ara ikut tersenyum lebar. Dia lalu melihat jam di ponselnya. "Gue pulang dulu ya, Na. Udah malem nanti mama gue khawatir lagi," pamit Ara pada Reina. "Iya udah deh, hati-hati ya. Salam ke mama lo," ucap Reina mengiringi kepergian Ara dengan mobilnya. Beberapa detik pun mobil Ara hilang dari pandangan. Saat Reina hendak menutup gerbang. seorang cowok mengagetkannya dengan kemunculannya yang tiba-tiba. "Astaga," ucap Reina kaget. Cowok itu berdiri tepat di depan Reina. Pandangannya begitu datar. Kemudian dia tersenyum dan melambaikan tangannya pada Reina. "Hay," sapanya sambil tersenyum manis. Reina terpaku melihat kejadian itu, mengapa cowok yang terkenal dingin dan cuek di sekolah malah sedang tersenyum manis dengan melambaikan tangannya. "Lo ngapain di depan rumah gue! " tanya Reina dengan sedikit menaikan nada bicaranya. "Em, lagi lewat," jawab cowok yang tak lain adalah Davin. "Tau dari mana kalau ini rumah gue? Lo ngikutin gue ya!?" tuduh Reina lagi. Davin menggeleng dia tidak pernah mengikuti gadis itu. Malah Reina sendiri yang memberitahunya saat Davin mengantarnya malam itu. "Jawab!" sentak Reina karena Davin hanya diam saja. "Gue nggak ngikutin lo, beneran. Kebetulan gue lewat trus tau lo yang sedang nutup gerbang, gue mampir deh," jelas Davin penuh dengan kebohongan. Reina menatap cowok itu dengan tatapan membunuh, "Pergi! Kalau niat lo kesini cuma mau minta maaf, nggak semudah itu!" usir Reina dan segera menutup gerbangnya. Namun, tangan Davin mencegahnya. "Heh, jangan ditutup gue beneran mau minta maaf sama lo, gue serius. Gue minta maaf dengan tulus kali ini," ucapnya mencoba meyakinkan Reina. Tapi nampaknya gadis itu tetap tidak percaya. Dia tetap menutup gerbangnya. Gerbang pun tertutup rapat, hanya menyisakan Davin seorang diri di luar. Reina tidak memasuki rumahnya, dia mencoba mengamati Davin dari sela-sela gerbang kayu itu dengan teliti. Dia sepertinya mengenali penampilan Davin saat ini. Seperti pahlawan kegelapannya yang dia tunggu. "Aish, bukan lah, masa iya cowok itu si angkuh Davin. Tapi bau parfumnya..." Reina mencoba mengingat bau parfum itu lagi. "Gue nggak salah inget kok, ini beneran bau parfum yang sama," ucap Reina lirih. "Heh, gue tau lo lagi nyari cowok yang udah selametin lo. Gue bisa bantu kok, karena gue kenal sama dia!" Davin sengaja berteriak agar Reina mendengar. Karena dia sadar bahwa gadis itu belum memasuki rumahnya. "Gue nggak butuh bantuan lo!" Reina ikut berteriak lalu dia pun pergi memasuki rumahnya. Davin masih saja berdiri di tempatnya. Sedari tadi dia mendengar semua percakapan Reina dengan Ara. Dia juga tau jika Reina sedang mencarinya. Bahkan Davin merekam percakapan itu, rekaman itu nantinya akan dia jadikan bukti saat Reina menolak menjadi guru lesnya. "Dia tadi bilang kalau dia bakal balas budi sama cowok yang udah nolongin dia. Asal lo tau aja, cowok yang lo cari itu gue, Davin. liat aja besok lo yang akan bersujud minta maaf ke gue," ucap Davin lalu pergi. *** Pagi yang cerah di hari kamis. Matahari begitu menampakkan sinarnya dengan sempurna. Seolah memberi tanda pada penduduk bumi akan indahnya hari ini. "Davin, sarapan!" suara Aruni terdengar di arah dapur. Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga. Davin turun dengan membawa sepatu di tangan kirinya, tak lupa tas yang dia panggul di pundak kirinya. "Pagi, ma," sapanya sambil duduk di kursi. "Pagi, sayang. Sarapan roti apa nasi goreng?" tanya Aruni penuh dengan nada keibuan. "Nasi goreng aja, ma," ucap Davin masih sibuk dengan sepatunya. "Inget ya, Vin. Ini hari terakhir kamu membujuk Reina. Kalau gadis itu nggak mau, terpaksa mama yang nyariin kamu guru les," ucap Aruni mengingatkan sambil memberikan sepiring nasi goreng pada putranya. "Kok hari ini terakhir sih, ma? Mama kan nggak bilang ke aku sampai kapan batasnya?" ucap Davin protes. "Mama pikir dengan tampang kamu yang ganteng, nggak butuh waktu lama deh buat kamu bujuk gadis itu," jawab Aruni. Davin menghelai nafas panjang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN