Chapter 27

1854 Kata
"Vin," rengek Reina lagi. Davin masih tak bersuara. Dia terus membawa Reina pergi entah kemana. Beberapa menit pun, Sampailah mereka di taman belakang sekolah yang sepi. Davin melepaskan gengamanya. "Dia tadi siapa?" Tanya Davin dengan wajah tegasnya. "Dia Bryan, temen gue." jawab Reina lantang. "Kenapa gak minta gue buat nemenin lo?" tanya Davin dengan menahan emosinya. "Lo sibuk kan buat tugas fisika lo, yauda gue sama Bryan," "Lo belum kenal dia siapa, Rein, jangan percaya sama orang gitu aja," suara Davin begitu meninggi. "Emang lo sendiri udah kenal dia?" ucap Reina tak kalah meninggi. Davin terdiam, tak mungkin baginya jujur jika dia memang sudah kenal dengan Bryan. Malah pernah sangat akrab dengan cowok itu. Dia tak mau Reina tau masa lalunya untuk saat ini. "Vin, Bryan tuh baik dia sering nolongin gue. Dia juga yang udah nganter gue pulang waktu lo gak ada," ucap Reina marah. "Jauhin dia!" ucap Davin tegas. "Kenapa? Apa hak lo ngelarang gue," "Rein,gue nggak mau lo kenapa-kenapa," ucap Davin tegas. wajahnya memerah. "Tapi kenapa, Vin? Kasih gue alasan!" ketus Reina meminta alasan mengapa cowok di depannya memintanya menjauhi Bryan. "Gue nggak suka lo deket sama Bryan," hanya itu saja yang bisa di katakan Davin saat ini. Reina mengerutkan dahinya dia tidak mengerti maksud ucapan Davin, "Gue nggak tau lagi sama lo,Vin. Lo jadi posesif banget sekarang seolah-olah gue itu pacar lo. Gue tau lo khawatir dengan keadaan gue. Tapi tolong jangan perna ngelarang gue buat deket sama siapun." setelah mengucapkan itu Reina berlalu dari hadapan Davin. "Rein kalau gue sayang sama lo gimana!?" seruan Davin barusan membut langkah gadis itu terhenti. Dia menoleh kerah Davin yang tengah menundukan kepalanya. "Kenapa Vin? Apa alasan lo sayang ke gue?" ucapnya lirih tepat di hadapan cowok itu. Davin mendongakkan wajahnya menghadap Reina, "Gue nggak punya alasan,Rein. Yang gue tau gue nyaman tiap kali sama elo." jawabnya dengan wajah serius. Reina tersenyum hangat, "Kalau lo emang sayang sama gue bukti'in. Buat gue percaya sama apa yang lo omongin." setelah itu Reina kembali melangkahkan kakinya menjauhi Davin yang masih tersenyum tanpa henti. *** "Ngapain lo senyum-senyum gaje gitu," Davin hanya diam tak mau menanggapi pertanyaan Abi. Mereka berempat sudah berada di rooftop sekarang Rama yang juga tak mengerti dengan tingkah sahabatnya pun juga heran. "Vin, lo kenapa? Lo sakit?" Tanya Rama ikut menimpali. Davin hanya menggeleng. Namun senyum di bibirnya masih tercetak jelas dan tak ingin luntur. "Ini nih yang gue khawatirin. Davin jarang senyum tapi sekali senyum udah kayak orang gila aja," ucap Abi lagi. "Bi, mulut lo di jaga ya, temen sendiri ini." Sentak Adam pada Abi. "Vin," Panggil Adam yang hanya di jawab deheman kecil dari empunya nama. Mereka bertiga menyerah untuk bertanya perihal apa yang terjadi kepada cowok dingin yang jarang sekali tersenyum itu. "Kalian ngerti nggak gimana cara bukti'in kalau kita sayang sama seseorang?" Tanya Davin tiba-tiba di tengah keheningan yang beberapa menit melanda mereka berempat. "Emang lo mau bukti'in ke siapa?" Tanya Adam terlebih dahulu. "Reina" Davin menjawab dengan mantap. "What?!" itu adalah teriakan Abi yang sangat keras untuk pertama kalinya. "Abi bar-bar woy, " omel Adam kesal. "Bi, lo nggak usah teriak, budeg ini!" sengit Rama murka. Abi hanya cengengesan di tempatnya dan kembali menatap Davin serius. "Serius lo, Vin?" Tanya Adam. Davin hanya mengangguk. "Lo udah nembak Reina?" Tanya Abi slidik. Davin menggeleng, "Belom, tadi gue cuma ngutarain kalau gue sayang sama dia," "Trus dia jawab apa?" Kini giliran Rama yang mulai kepo. "Dia cuma bilang kalau gue harus buktiin ke dia biar dia percaya apa yang gue omongin itu gak main-main," ucap Davin memperjelas. "Awal yang bagus buat membuka lembaran baru,vin." Rama tersenyum lebar sambil mengusap bahu cowok dingin itu. "Semoga aja. Doain gue biar cepet jadiin dia pacar," ucap Davin sambil tersenyum lebar. "Pasti." ucap para sahabatnya serempak. *** "Lo mau ngomong penting apa?" Tanya Bryan kepada Lando setelah mereka berdua sudah berada di kantin yang tampak sedikit sepi. "Lo masih inget kan tujuan kita kesini apa?" Tanya Lando serius. Bryan mengerutkan dahinya sebentar dan mengangguk lemah. "Jadi kapan kita lakuin semuannya?" Bryan Nampak berpikir keras sedetik kemudian menghembuskan nafasnya panjang. "Gue nggak bisa," ucapnya sambil menatap manik hitam milik cowok di depanya. Lando sangat kaget mendengar jawaban dari Bryan. "Kenapa? lo udah sepakat sebelum kita balik ke indo dan sekarang lo bilang nggak bisa?" Lando menggeleng berulang dengan sikap Bryan yang tidak konsisten. "Setelah gue pikir-pikir bakal percuma kita lakuin semuanya. Balas dendam nggak akan perna nyelesain masalah, Lan. Lagian gue udah ikhlas untuk semuannya," jelas Bryan berharap Lando akan mengerti. "Lo bego atau gimana sih huh? Satu nyawa udah hilang di tangan cowok sialan itu," ucap Lando berapi-api. "Dia nggak salah, Lan. Dan semua murni kecelakaan." Bryan masih mempertahankan suaranya yang lirih namun tegas. "Apa belum cukup. Satu orang hampir meninggal dengan apa yang lo lakuin dua tahun lalu?" Bryan masih mencoba membujuk Lando agar cowok itu tersadar dari niat jahatnya. Lando mendengus sebal mendengar jawaban dari Bryan. Wajah tampan Lando seketika menjadi merah padam menandakan cowok itu tengah menahan emosi. "Gue tetep nggak bisa trima. kalau lo nggak mau bantu gue, it's oke akan gue lakuin sendiri." Lando bangkit dari duduknya dan meninggalkan Bryan sendiri yang tak bergeming di tempatnya. "Gue harus apa Ya Tuhan," ucap Bryan sambil mengacak rambutnya frustasi. *** "Kita sampai," ucap Davin riang sambil membukakan pintu penumpang di sebelahnya. "Taman?" Tanya Reina heran. Davin hanya mengangguk sambil mengandeng tangan gadis itu lembut. Davin mengajak Reina duduk di kursi kayu yang berada tepat di depan taman bunga krisan. "Lo suka?" Tanya Davin setelah hampir 10 menit gadis di sebelahnya hanya diam. Taman. Mendengar kata itu Reina kembali menginggat seorang Devan cowok yang amat sangat Reina rindukan. Seorang Devan yang membuat Reina merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Dan dialah cowok pertama yang meninggalkannya begitu saja tanpa kepastian. Tak bisa di pungkiri pikiran Reina menerawang kejadian dua tahun yang lalu. Dimana di taman bunga kursi nomor lima Devan memberinya hadiah yang sampai saat ini belum dia ketahui isinya. Karena cowok itu melarangnya sebelum Reina menemui cowok itu lagi. Namun sayang waktu berkata lain. Sampai detik ini Reina tidak perna bertemu dengan Devan kembali, dan apa isi dari kotak itu. Ingin rasanya membuka kado itu dan mengetahui apa isinya namun janji tetaplah janji dan itu tak akan perna Reina ingkari. "Rein lo nggak pa-pa?" Tanya Davin khawatir setelah mengetahi perubahan murung dari wajah gadis itu. Reina hanya diam tidak mengelurkan suaranya sedikit pun. Namun pandangannya begitu rapuh dan sendu. "Lo nggak suka gue ajak kesini?" tanya Davin lagi karena melihat Reina hanya diam. Reina menolehkan wajahnya kearah Davin. sedetik kemudian dia tersenyum lemah, tentu senyum itu sangat di paksakan. "Gue seneng," ucapnya dengan lirih. "Lo bohong kan, ada apa cerita sama gue?" pinta Davin sambil mengenggam tangan mungil gadis itu. Reina menggeleng sambil tersenyum tipis. "Nggak ada, Vin." "Rein, plis gue sayang sama lo tolong ijinin gue tau tentang hidup lo," ucap Davin memelas. Gadis itu tersenyum menghembuskan nafasnya dalam lalu mulai membuka suara "Tempat ini ngingetin gue sama cowok di masa lalu gue, Vin." ucapnya parau. Dia masih berusaha menahan linangan air mata yang siap untuk meluncur bebas di pipinya. "Cowok yang udah buat gue jatuh cinta untuk pertama kalinya. Dan cowok pertama yang udah ninggalin gue gitu aja tanpa kepastian," ucapnya lagi. Davin hanya diam membiarkan gadis sampingnya mengutarakan apa yang dia pendam. "Mungkin gue yang salah terlalu berharap sama dia. Berharap dia punya rasa yang sama kayak apa yang gue rasain. Tapi kenyataannya dia cuma anggep gue sebatas sahabat," tak terasa sebutir air mata jatuh membasahi pipi kanan Reina. Davin buru-buru menghapus air mata itu namun percuma karena Reina menumpahkan semua butiran itu secara deras. "Lo tau dimana dia sekarang?" Reina menggeleng lemah dia tak tahu dimana Devan berada sekarang. Kabarnya tak pernah dia dengar hampir dua tahun ini. "Rein, banyak orang yang masih sayang dan perduli sama lo. Berhenti buat nangisin dia lagi, lo harus bahagia walau tanpa dia," ucap Davin serius sambil terus menggenggam tangan Reina. "Makasih ,Vin. lo ngerti dengan apa yang gue rasain," Davin tersenyum, "Jangan perna lo gantungin bahagia lo keorang lain, karena jika dia pergi bahagia lo juga ikut pergi, dan parahnya lo akan bingung mencari bahagia lo lagi," Reina tersenyum dia mengangguk mengerti. Davin pun ikut tersenyum dan tanpa dia sadari dia membawa Reina kedalam pelukannya. "Gue sayang sama lo Rein. Gue nggak mau lo sedih, dan gue akan buktiin kalau gue bisa buat lo bahagia," ucap Davin di sela pelukannya. Reina hanya mengangguk tanpa niat menjawab dia masih nyaman berada di pelukan cowok itu. Senja sore itu adalah saksi untuk Davin dimana dia akan membuat gadis kesayangan melupakan cowok masa lalunya dan membuat gadis itu bahagia. *** "Tumben lo kesini ada apa?" Tanya Rama sambil meletakkan secangkir kopi di hadapan Davin. "Mampir," jawab cowok itu singkat. "Nggak biasanya lo mampir malam-malam kecuali ada masalah sama papa lo," ucap Rama masih tidak yakin dengan jawaban sepupunya. "Ck. Lo ngeyel banget dah jadi orang, percaya dikit kek ke gue." Davin berdecak sebal karena sepupunya itu tidak percaya dengan apa yang dia bicarakan. "Percaya lo musyrik,Vin." "Dasar ya, " ucapnya sebal dan siap meminum kopi di hadapannya. "Heh kopi gue itu," "Lah lo bikin bukan buat gue ya?" "Bikin sendiri sono," ucap Rama sambil mengambil cangkir kopi di tangan Davin. "Yaela sama sodara sendiri pelit banget dah," Davin berdecak sebal. "Baperan sekarang " ejek Rama, "Nih buat lo gue tadi becanda," timpalnya sambil meletakan secangkir kopi tadi di tempat semula. "Gitu dong makasih ya," Rama hanya mengangguk sekilas. "Vin, gimana rencana lo selanjutnya. Nggak ada niat buat nembak Reina?" ucap Rama setelah sekian detik mereka diam dalam keheningan. "Ada sih tapi gue nggak yakin di terima," jawab Davin lesu. "Kenapa?" tanya Rana sambil membenarkan duduknya. "Dia punya cowok di masa lalu yang ngebuat dia nggak bisa lupain cowok itu sampai sekarang," jelas Davin. Rama mengkerutkan dahinya sebentar, "Devan?" ucapnya spontan. Davin menoleh kaget, "Lo kenal dia?" Rama menggeleng lemah. "Gue sahabatan sama Reina udah lama tapi gue belum tau Devan itu siapa, mukanya kayak apa pun gue belum tau. Karena dulu waktu Devan deket dengan Reina gue udah pindah kan ke jakarta," Davin hanya mengangguk mengerti. "Kalau lo emang sayang buktiin jangan ragu sama perasaan lo sendiri," "Tapi kalau dia nolak gue karena masih berharap sama Devan itu gimana?" "Cowok gantle nggak akan mundur gitu aja,Vin." ucap Rama sambil tersenyum. "Gitu ya?" Rama hanya menarik sebelah alisnya keatas sambil tersenyum. Davin pun mengangguk mengerti dan kembali meminum kopinya. "Mama Aruni belom pulang?" "Belom nggak tau sampai kapan disana," jawab Davin sambil bermain ponsel. "Lo nggak pengen kesana?" Tanya Rama. "Pengen sih gue kangen sama dia," "Sabar, apa perlu gue bantuin bilang sama papa Hendi biar dia di pindah ke indo?" "Udah gue coba bilang waktu papa pulang, tapi nggak tau papa perduli apa nggak," ucap Davin sambil menghembuskan nafasnya berat. "Kita tunggu aja lah. Nanti biar gue coba ngomong sama papa lo biar dia di pindah dan bisa deket sama kita semua," Davin mengangguk lemah "Thanks,Ram," Rama hanya tersenyum tipis kemudian kembali ke kegiatan semula. Sedangkan cowok dingin di depannya sudah merubah posisi duduk menjadi tiduran di atas sofa ruang keluarga Dirgantara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN