Chapter 5

1426 Kata
"Modal tampang aja nggak cukup, ma. Dia juga bukan cewek yang gampang di bujuk," jelas Davin sambil memasukan sesendok nasi gorengnya. "Dia pasti udah tau siapa kamu, mangkanya dia nggak mau kamu deketin. Kamu kan bandel anaknya, dia jadi takut," ucap Aruni sambil mengoles roti tawar dengan selai kacang untuk dia makan. "Iya nggak gitu juga lah, ma. Udah ya, Davin berangkat dulu," pamit Davin dan mencium tangan sang mama. "Hati-hati, Vin," *** Kelas masih begitu sepi saat Reina sampai di bangkunya, namun ada yang berbeda. Sebuah bunga mawar putih beserta coklat sudah terletak di atas mejanya. Dia mengambil bunga itu dan mengamatinya. Bau khas parfum cowok yang hangat begitu menyengat di hidungnya. "Ini kayak parfum pahlawan gue," gumamnya dan mencium bau mawar itu lebih dalam. "Lo cari cowok yang bau parfumnya kayak itu kan?" tiba-tiba saja suara berat itu terdengar di telinga Reina. Dia menoleh ke sumber suara. Sudah ada Davin yang berdiri di depan kelas. "Tau dari mana lo?" tanya Reina mengapa cowok itu mengerti. Davin memutar rekaman suara yang dia dapatkan kemarin malam. Saat dirinya mendengar semua percakapan Reina dengan Ara. Reina mengerutkan dahinya, dia kaget bagaimana bisa Davin merekam percakapannya kemarin malam. Davin kembali menyimpan ponselnya pada saku celananya saat rekaman itu berhenti. "Jadi gimana, lo masih mau nyari cowok itu susah payah sendiri?" tanya Davin tangannya dia masukan ke dalam saku celananya. "Emang lo tau cowok yang udah nolongin gue?" Reina melempar pertanyaan balik kepada Davin. Bukan menjawab, Davin berjalan mendekati Reina. Sampai Reina bisa mencium sendiri bau parfum yang sedang di pakai cowok itu. Yup, bau parfum itu sama seperti parfum Davin. Davin mengangkat sebelah alisnya ke atas. Dia melihat wajah Reina yang lebih pendek darinya. "Gimana, lo mau balas budi ke gue?" tanyanya dengan senyum simpul. "Jadi, lo yang nolongin gue waktu itu?" tanya Reina dengan wajah tidak percaya. Davin mengangguk, "Lo udah mau maafin gue?" Reina menjauh dari Davin, matanya melotot kaget dan masih tidak percaya. Davin menyodorkan sebuah kertas di depan Reina. "Janji tetaplah janji, dan gue denger sendiri soal janji yang lo ucapin kemarin malam. Lo bakal balas budi," ucap Davin dengan nada serius. "Tenang aja gue nggak bakal minta apa-apa dari lo, cukup tanda tangan aja di kertas itu. Itu sama dengan lo nepatin janji lo," ucap Davin lagi. Reina masih diam dan membaca tulisan di kertas yang di berikan Davin. "Guru privat?" gumam Reina lalu memandang Davin. "Begitu lah," jawab Davin cuek. "Kalau lo masih mau mikir, it's okay gue tunggu jawaban lo sampai hari ini." setelah mengucapkan itu Davin pergi kembali ke kelasnya di 11 Ipa 3. "Aish, apa-apaan sih ini!" gerutu Reina kesal. *** Jam pelajaran sudah selesai 10 menit yang lalu, para murid sudah berpindah posisi. Mencari tempat favorit saat mereka istirahat. 3 cowok sedang duduk di depan kelas. Geng Davin lah mereka. Kelas 11 Ipa 3 terletak di pojok koridor lantai 2. Rata-rata penghuni kelasnya adalah cowok-cowok yang memiliki kepribadian sedikit buruk. Kelas itu juga terkenal tempat bersarang para pembuat onar satu angkatan. "Rama kapan balik, Vin?" tanya Adam yang duduk di kursi terpisah. Davin hanya menggeleng sambil terus membaca komik. Adam dan Abi saling pandang lalu menghela nafas panjang. Beginilah sifat asli seorang Davin, jutek. "Kok lo nggak tau sih, kan kalian ijinnya barengan. Masa' masuknya nggak barengan?" tanya Abi. "Nanti juga balik, tenang aja," jawabnya cuek. Matanya masih berfokus membaca. Sesekali dia membalik halaman berikutnya. "Terakhir kali lo liat dia, gimana kabarnya?" Davin berhenti dari kegiatannya. Dia tau siapa yang di maksud Abi barusan. Davin memandang sahabatnya, pandangannya begitu sendu. "Masih sama," sambungnya lagi. Adam mengusap pundak sang sahabat. Seolah memberi dukungan kepada cowok itu. Mengisyaratkan semua akan baik-baik saja. Meski kenyataan yang ada tidak mungkin akan kembali membaik. "Lo yang sabar, semua bakal baik-baik aja," ucap Adam. Davin hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Mana bisa dia tersenyum seperti ini. Sedangkan hatinya masih tersayat. Apa lagi luka itu belum juga mengering meski sudah dua tahun lamanya. Adam dan Abi tau, sahabatnya masih terguncang dengan kejadian itu. Dia tersenyum hanya untuk menutupi sedihnya. "Kayaknya dia lagi nyari lo," lapor Abi melihat seorang gadis yang berjalan ke arah mereka. Davin melihat Reina yang sedang melangkah mendekatinya. Gadis itu juga membawa kertas yang tadi Davin berikan. Reina berhenti tepat di depan Davin. "Nyari siapa?" tanya Adam basa-basi. Reina sedikit gugup, "Davin," jawabnya sambil melihat cowok yang begitu tenang di depannya. Adam dan Abi saling pandang, lalu mereka berdua berdiri dan mulai meninggalkan Davin dan Reina sendiri di sana. Reina masih diam di tempatnya. Dia tidak tau bagaimana mengawali ucapannya. Apakah dia harus meminta maaf dulu atau dia diam saja langsung membicarakan intinya. Reina bingung. Davin memandang raut wajah Reina yang sedikit cemas. "Lo dateng kesini cuma untuk berdiri doang di situ?" ucap Davin dengan nada bicara seperti biasanya, tenang dan datar. "Gue mau minta maaf," ucap Reina lirih. Tanpa Reina sangka cowok di depannya malah tertawa ringan. "Kok lo malah ketawa!" sentak Reina pada Davin yang tertawa di depannya. Davin menghentikan tawanya. Dia membenarkan posisi duduknya dan kembali bersikap cuek. Dia menggeleng. "Taulah, males gue." Reina hendak melangkah pergi. Namun tangannya di cekal oleh Davin. "Mau kemana?" tanyanya. "Pergi, lo nyebelin!" sentak Reina lagi. Dia marah dengan tingkah cowok itu. "Setelah lo nyamperin gue, dan sekarang lo milih pergi gitu aja? Tau gitu lo nggak usah kesini.buang-buang tenaga," Reina mengerutkan dahinya, mengapa cowok itu malah menyalahkannya. "Lo nyalahin gue?" Davin menggeleng. "Gue mau dengerin lo minta maaf," "Nggak!" tolak Reina kasar. Davin memutar bola matanya malas, "Oke gue salah, tapi gue tetep nggak mau minta maaf, sekarang lo ulangin ucapan maaf lo. Dan anggep aja tadi gue nggak pernah ngelakuin itu," Reina memandang manik coklat cowok di depannya. Wajah Davin kembali tenang. Dia menyilangkan kedua tangannya di dadanya. "Gue minta maaf, dan gue mau nepatin janji gue," ucap Reina sambil menyodorkan kertas tadi. Davin membaca surat itu, senyum manis tercetak di bibirnya. Akhirnya misi berhasil. Reina menyetujui permintaan Davin. "Akhirnya gue punya guru les privat," ucap Davin dengan senyum kemenangan. "Tapi ini cuma berlaku sampai nilai lo kembali membaik," ucap Reina. Davin mengangguk paham. "Oke, karena kita udah saling menyetujui perjanjian ini. Nanti pulang sekolah tuguin gue di parkiran motor," ucap Davin. "Lah kenapa harus?" tanya Reina. "Kalau lo mau hidup lo baik-baik aja. Ikutin aja apa kata gue." setalah mengucapkan itu, Davin pergi meninggalkan Reina sendiri di depan kelas. "Ya Tuhan, cobaan apa sih ini. Kenapa harus berurusan dengan makhluk-Mu yang semenyebalkan itu." Nampaknya Reina benar-benar frustasi. Dulu dia pikir cowok yang seharusnya menjadi pahlawannya akan bersikap baik. Nyatanya, cowok itu yang akan menyiksanya mulai hari ini. *** Reina sudah berada di parkiran khusus motor. Wajahnya begitu kesal karena Davin tidak juga datang. Sebelum dia berada disini, Reina sudah mengirim Beni pesan, jika dia tidak pulang bersama Beni. agar sang abang tidak menunggunya. Dia masih menggerutu di tempatnya. Tak berselang lama, Davin muncul dengan langkah santainya menghampiri Reina yang sekarang kesal karena menunggu Davin hampir 20 menit lamanya. "Kurang lama lo telatnya," ucap Reina ketus saat Davin sudah berada di depannya. Davin tak menjawab dia segera memakai helm dan menaiki motornya. "Heh lo denger gue ngomong gak sih?" kesabaran Reina menghilang. "Denger," jawab Davin tenang. "Lo gak ngehargain gue yang udah nunggu lo hampir 20 menit lamanya dan sekarang dengan seenak jidat lo, lo mau pergi ninggalin gue gitu aja?" ucap Reina dengan emosi memuncak, kesabarannya telah habis sekarang. Davin menatap Reina dengan wajah datar di balik helmnya. Sampai Reina sekarang sudah berhenti mengoceh. "Udah kalau ngomong?" ucap Davin santai. "Buruan naik atau lo gue tinggal," imbuh Davin selanjutnya dengan nada ketus. Reina sebal dengan sifat Davin, harusnya yang berucap ketus itu dia bukan Davin. Akhirnya karena takut di tinggal sendiri, dan sekolah sekarang sudah nampak sepi, hanya ada beberapa siswa yang sedang mengikuti ekstra kulikuler saja. Reina segera naik di bagian belakang motor Davin. Dengan kesusahan karena motor Davin terlalu tinggi baginya. "Bantuin napa, lo gak ngerti gue gak bisa naik," oceh Reina lagi. "Ck, punya badan tuh yang bertumbuhnya keatas jangan kesamping," ejek Davin spontan. "Heh denger ya gue udah bertumbuh, emang dasar motor lo aja yang tumbuhnya kecepetan," ucap Reina ketus karena sindiran Davin. "Katanya pinter, bedain mana benda mati aja gak bisa. Dasar," olok Davin lagi. Nampaknya Reina benar-benar marah, "Dasar ya lo, resek banget tau nggak," sentak Reina tak terima karena terus-menerus di ejek Davin. "Udah buruan naik sebelum gue beneran ninggal lo disini," ancam Davin lagi. Davin mengulurkan tangan kirinya untuk membantu Reina naik keatas motornya. Setelah mendapati Reina yang sudah berada di boncengannya. Davin menstater motornya dan mulai pergi meninggalkan area parkiran sekolah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN