"Bagus! saya percaya Kamu! Kamu bisa lihat betapa saya mencintai Alexa. Saya tak mungkin meninggalkannya!"
Arini memejamkan mata mendengar ucapan kejam Ervan, betapa egoisnya pria itu yang hanya memikirkan Alexa tanpa mau mempedulikan betapa sakitnya perasaan Arini saat ini. Dia memang bukan siapa-siapa, tapi tak adakah sedikit empati untuk tidak membahas hal itu lagi?
"Ervan?!" suara Alexa membuat Ervan tersentak.
"Kamu lihat Ervan, Rin?" tanya Alexa di depan pintu dapur.
Arini terperangah meyadari Ervan sudah tak berada di sampingnya.
"Say-Saya tidak tahu, Nyonya.."
"Kemana sih, katanya mau nunggu di luar!" Alexa berlalu dengan muka kesal.
Sementara itu, Ervan berlari melalui pintu dapur untuk menuju mobilnya. Ia segera memasukkan barang-barang ke dalam mobil sebelum Alexa menghampiri.
"Sayang! Kamu kemana aja, sih?!"
"Aku dari tadi disini," Ervan mencoba bersikap santai.
"Ayo buruan! aku ada jadwal visit pagi." Ervan masuk ke mobil diikuti sang istri.
Dari kejauhan Marni tergopoh-gopoh meneriaki mobil Ervan yang melaju meninggalkan halaman rumah keluarga Adinata.
"Tuan!! jeruknya!!!"
***
Hari demi hari berlalu, perlahan Arini mulai bisa melupakan kejadian beberapa minggu yang lalu. Ia dipaksa terbiasa dengan luka yang sudah terpatri di dalam hati. Tak ingin menyesali, ia berharap kelak Tuhan mempertemukannya dengan pria yang mau menerima segala keadaannya.
Seperti saat ini, Arini untuk pertama kalinya mencoba membuka hati pada seorang pria yang mengaguminya sejak dua tahun terakhir. Rafi, kakak tingkat semasa kuliah yang baru saja diterima kerja sebagai staf administrasi di salah satu rumah sakit besar di Jakarta.
Arini, jangan lupa jam 11.30 aku tunggu di restauran A
Arini sudah bersiap di depan cermin, memoleskan make up tipis agar wajahnya terlihat lebih segar, mengingat beberapa hari ini asam lambungnya sedang naik karena sering telat makan.
"Budhe, Rini keluar dulu ya, nanti habis ketemu temen Rini mau langsung ke kedai." Rini menyalimi tangan Marni.
"Cieeee, yang mau ketemuan!!" seloroh Marni seraya menyentil dagu keponakannya.
"Sudah pamit sama Nyonya, kan?"
"Sudah Budhe!"
"Baik, hati-hati di jalan. Hep pan yaaah!!" lanjut Marni
"Have Fun, Budheeee..." koreksi Arini sambil tertawa.
*
Arini berjalan memasuki sebuah restoran besar di samping rumah sakit tempat Rafi bekerja.
"Arini! sebelah sini!!" panggil pria berpostur ideal dengan wajah putih berseri. Arini tersenyum lalu bergegas menghampirinya.
"Maaf ya mas kelamaan, tadi agak macet." Arini menatap menu pesanannya yang sudah tersedia di meja.
"Gapapa Rin, santai aja! waktu istirahatku panjang kok, sampai setengah satu."
Arini mengobrol seru dengan Rafi tentang masa kuliah. Setahun yang lalu Rafi sempat pulang ke Bandung karena ibunya sakit. Rupanya dia baru sebulan ini bekerja di rumah sakit itu. Beberapa hari yang lalu tak sengaja Rafi bersama temannya berkunjung ke kedai tempat Arini bekerja setiap usai kuliah. Sejak itulah keduanya semakin intens berhubungan melalui telepon.
"Eh, itu ada salah satu dokter populer di rumah sakitku!" ucap Rafi menatap pada seseorang di belakang Arini. Arini menoleh,
Tuan Ervan?
Arini segera berbalik sebelum Ervan dan Alexa melihatnya. Keadaan restoran sangat ramai siang itu sehingga tak banyak tempat duduk tersisa kecuali satu meja dengan pemandangan jalan yang sejak tadi tertera papan kecil bertuliskan : Booked.
Mungkinkah Ervan dan Alexa yang memesan meja tersebut? meja yang hanya berjarak tiga meter dari tempat Arini duduk bersama Rafi.
Rafi tiba-tiba berdiri ketika seorang pria memakai setelan hijau berjalan mendekat.
"Dokter Ervan? Nona?" sapa Rafi sambil menunduk.
Ervan tersenyum, ia tak mengenal pria tersebut, tapi tentu tak asing dengan seragam yang dikenakannya.
"Hmm.. Lagi makan siang ya? Lanjut--" suara Ervan terhenti ketika tak sengaja matanya menatap pada gadis yang duduk di depan Rafi. Untuk sesaat jantung Ervan berdebar tak karuan.
"Arini? benar Arini kan?!" tanya Alexa sambil membungkuk ke arah Arini.
Arini menghela nafas ketika akhirnya dirinya ketahuan juga.
"Nyonya.. Tuan.." Arini berdiri dan ikut membungkuk di depan putra majikan budhenya itu.
"Kamu makan sama pacar Kamu, ya? Waaah... Kalian pasangan serasi. Ganteng dan cantik!!" seru Alexa.
Arini menanggapi dengan senyum simpul. Sementara itu, Ervan penasaran bagaimana Arini bisa mengenal salah satu staf di rumah sakitnya itu. Atau jangan-jangan....
"Ayo, itu meja kita!" ucap Ervan datar, ia menggandeng Alexa untuk segera menjauh dari Arini.
"Have Fun, ya..." Alexa tersenyum ceria pada Arini dan Rafi.
Arini kembali duduk di kursinya. Tiba-tiba ia kehilangan selera makan, yang diinginkannya hanya segera pergi dari tempat dimana pria egois itu berada. Arini sudah melupakan kejadian malam itu, tapi untuk memaafkan rasanya masih terlalu sulit baginya.
"Kamu kenal mereka?" tanya Rafi kaget.
"Dia putra majikan budhe Marni, mas.." jawab Arini lemah.
"Oh, jadi Kamu tinggal di rumah dokter Ervan? mengapa ga bilang?"
"Aku juga ga tahu kalau dokter Ervan bekerja di rumah sakit yang sama dengan Kamu. Lagipula dia sudah punya rumah sendiri dengan istrinya. Saya jarang ketemu beliau." Sudah lebih dari tiga minggu ini Arini tak pernah bertatap muka dengan Ervan.
Memang beberapa kali keluarga Adinata mengadakan makan malam bersama putra putrinya, tapi saat acara itu berlangsung, Arini sengaja pulang larut malam agar tak perlu bertemu dengan Ervan. Ini salah satu cara yang Arini lakukan untuk menyembuhkan luka batin yang Ervan torehkan pada dirinya.
_____________________________________
Ervan beberapa kali mengetuk bibirnya, ia sengaja memarkirkan mobilnya di luar area rumah sakit. Setelah makan siang yang dibuat tergesa gesa dengan dalih persiapan operasi, nyatanya Ervan justru tengah berada di mobil untuk menunggu Arini keluar dari restoran tempat gadis itu makan bersama Rafi.
Sesosok gadis bertubuh ramping akhirnya keluar dan berjalan menuju halte, Ervan sengaja menunggu gadis itu melewati mobilnya, dan...
"Masuk sebentar!" Ervan menarik paksa lengan Arini untuk masuk ke mobil.
"Tu--Tuan? apa yang Anda lakukan?" Arini benar-benar tak menyangka Ervan menunggunya, padahal setahunya pria itu sudah pergi hampir setengah jam yang lalu.
"Seharusnya aku yang menanyakan hal itu? apa yang Kamu lakukan dengan pria itu? Kamu tahu kan dia bekerja di rumah sakit yang sama denganku??" bentak Ervan penuh selidik.
"Saya-- saya benar-benar tak tahu mas Rafi bekerja di rumah sakit yang sama dengan Anda!" Bibir Arini bergetar, sebelumnya tak pernah ia dibentak seperti ini oleh seorang pria.
"Kamu sengaja pacaran sama dia??" tanya Ervan penuh penekanan. Pupil Arini membesar.
"Tidak! dia kakak tingkat saya waktu kuliah. Baru sekali ini saya keluar bersamanya.." Arini merasa aneh saat ini, untuk apa ia menegaskan hal itu pada Ervan?
"Kamu sengaja melakukannya untuk mengancamku kan??!!" Mata Ervan memelototi Arini.
"Mengancam??" tanya Arini bingung.
"Kukira masalah kita sudah selesai. Tapi apa? Kamu diam-diam merencanakan ini semua!! Apa yang Kamu inginkan sebenarnya Arini?? Kamu butuh UANG?? Berapapun akan kubayar untuk membuatmu TUTUP MULUT!!"
(Next➡)