Bab 4

1128 Kata
"Mama?" Ervan berbalik menghadap pada ibunya. Sementara itu Arini seperti kehilangan seluruh darah di tubuhnya, wajahnya pucat pasi. "Mama cari Kamu kemana-mana tak tahunya malah disini! Apa yang Kamu lakukan di kamar Arini, Van??" Dewi mendekat dengan pupil melebar. "Ini, Aku ngasih salep buat ngobatin memar Arini," Ervan menyambar salep di atas nakas. "Benar, Rin?" Dewi beralih menatap Arini yang gemetar ketakutan. Sekilas mata Ervan menatap padanya seolah memberi isyarat agar bersikap santai. "Iya, Nyonya. Saya lupa tidak mengobati memar yang kemarin." Arini menyentuh benjolan biru di dahinya. "Aduh!! lain kali buruan diobati ya Rin! takutnya terjadi peradangan. Kamu kok tumben peduli sama orang lain?" tanya Dewi, beralih menatap putranya. "Ma! aku tersinggung, nih!! mama sadar ga ngomong sama seorang dokter??" seloroh Ervan berusaha mencairkan suasana agar Arini lebih rileks di depan mamanya. "Ya habisnya Kamu ga begitu peduli! kemarin aja pas mama tanya salep Kamu jawabnya ketus!" Ervan teringat kejadian dua hari lalu ketika ia belum mengetahui kejadian sebenarnya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya hati Arini mendengar ucapannya waktu itu. "Mama kenapa nyari aku?" Ervan mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Itu, coba Kamu cek bekas jahitan kakak Kamu. Dari tadi ngeluh nyeri mulu.." Ervan mengangguk kemudian berlalu tanpa menoleh pada Arini. Sungguh berbeda dengan sikapnya beberapa menit yang lalu sebelum Dewi masuk ke kamar itu. "Arini, jangan lupa olesin memarnya biar cepet sembuh..." pesan Dewi sebelum keluar dari kamar dan menutup pintu. "Iya, Nyonya." Arini mendengus, ia mengambil salep yang Ervan lempar di kasur lalu mengoleskannya pada benjolan kecil di dahinya. Tak ingin melanjutkan melipat pakaian, Arini memilih berbaring di kasurnya. Selalu dan selalu saja sama, sejak kejadian itu tak pernah Arini bisa tidur dengan tenang. Bayangan malam kejam itu selalu saja muncul sekeras apapun usahanya untuk melupakan. *** Keesokan paginya, ruang makan keluarga Adinata kembali dipenuhi riuh ramai anggota keluarga yang masih berkumpul. "Kalian kapan rencana mau punya momongan?" Surya bertanya pada Ervan dan Alexa ketika sedang sarapan. "Nanti Pa, setelah aku nyelesain proyek untuk miss Indonesia!" sahut Alexa. "Jangan terlalu lama menunda nunda, nanti seperti Martha, lima tahun baru dikasih momongan!" balas Dewi. "Aku sih gapapa, Ma! yang penting karir dulu mumpung masih muda! iya, kan sayang?" Tangan Alexa tiba-tiba menggelayut pada lengan Ervan ketika Arini menuangkan jus ke dalam gelas mereka. Pyarr!! Cangkir di tangan Arini jatuh ke lantai karena tersenggol lengan Alexa. "Ahh!!" pekik Alexa kaget. "Maaf, Nyonya!!" Arini segera mengusap cairan jus yang mengenai pakaian Alexa "Eh, gapapa! singkirkan tangan Kamu, aku bisa sendiri!" Alexa menepis tangan Arini seolah gadis itu adalah kotoran baginya. "Rin, Kamu gapapa? tangan Kamu berdarah!" Dewi melihat telunjuk Arini yang tergores pecahan kaca. "Kamu diam disitu!" tegas Ervan yang segera berlari mengambil kotak P3K di lemari. Sikap spontanitas Ervan cukup berlebihan memang, tapi profesinya sebagai dokter yang sering dihadapkan pada situasi genting membuat semua orang tak mempermasalahkan hal itu. Kecuali Alexa tentunya. "Mbok Marni! bantu Arini bersihin pecahan kaca nya! awas keinjek!" imbuh Martha yang ikut kaget dengan kejadian di depannya. Sementara itu, dengan wajah dongkol Alexa pergi begitu saja meninggalkan ruang makan tanpa menghabiskan sarapannya. Ia sangat tersinggung karena semua orang lebih mengkhawatirkan Arini daripada dirinya. Ervan menempelkan plester pada jari Arini, ia sungguh menyesalkan kecerobohan gadis itu. Untung hanya sebuah goresan, jika terjadi luka yang serius Ervan semakin merasa bersalah lagi. Mungkin hal-hal kecil seperti ini adalah salah satu cara ia menebus dosa besar yang sudah dilakukannya pada Arini. "Sudah, Van! temui istri Kamu! jangan sampai kalian bertengkar karena masalah sepele seperti ini. Lagipula Arini baik-baik saja." Dewi tampaknya bisa membaca ekspresi kesal Alexa tadi. "Iya, Ma!" Ervan menatap sekilas pada Arini yang kembali membersihkan sisa-sisa cairan jus di lantai bersama dengan mbok Marni. Di dalam kamar, Alexa melepas pakaian basahnya dan berganti dengan blouse lama yang ia tinggalkan di rumah mertuanya itu. Bagi seorang designer, penampilan adalah nomor satu. "Ayo pulang sekarang!! pagi-pagi udah bikin bad mood!!" umpat Alexa. "Oke! tapi jangan marah-marah gitu, ga enak sama papa mama." Alexa menatap tajam pada Ervan. "Masa bodoh!! mereka lebih peduli pada pembantu daripada menantunya sendiri! ditambah lagi sikap Kamu!! bukankah itu berlebihan?!" protes Alexa. Ervan tahu betul dengan sikap temperamen sang istri ketika sesuatu tengah mengusiknya. Ia mendekat lalu memeluk sang istri. "Oke, aku minta maaf! Kamu tahu sendiri kan dengan profesiku, ga ada maksud lain Sayang.. Itu hanya reflek seorang tenaga medis ketika melihat seseorang terluka!" Ervan mencoba meyakinkan istrinya lagi. Alexa masih ingin memprotes, tapi terdiam ketika Ervan mencium lehernya dengan lembut. Tok tok tok "Permisi, saya ingin mengambil pakaian kotor Anda, Nyonya Alexa.." suara Arini terdengar di depan pintu yang terbuka. Arini sudah biasa dengan kemesraan yang sering diperlihatkan Ervan dan Alexa ketika mereka masih tinggal di rumah itu, tapi mengapa kali ini rasanya lain? Bukan maksud untuk cemburu, tetapi mengingat perlakuan Ervan malam itu sungguh mengusik pikiran Arini. "Itu di keranjang! lain kali hati-hati Rin!" ucap Alexa dengan nada bicara yang lebih lunak dibandingkan tadi. "Baik, Nyonya! sekali lagi saya minta maaf." Arini masuk untuk mengambil pakaian kotor di dalam keranjang. "Sayang, ayo pulang!! ayo kita lanjutin yang semalam.." Arini berlalu begitu saja mengabaikan suara manja Alexa pada Ervan. Ingat? Kamu sudah berjanji akan melupakan semua hal buruk itu dan melanjutkan cita-citamu, Arini!! bersabarlah! dua bulan lagi Kau akan lepas dari keluarga Adinata. __________________________________________ "Sayang, aku tunggu di luar!" Ervan keluar kamar membawa tas dan beberapa barang milik Alexa untuk dimasukkan ke dalam mobil. Ketika melintasi dapur, tak sengaja telinganya mendengar sebuah percakapan antara Arini dan mbok Marni. "Astagfirullah?? terus Kamu diam saja, Rin? ga lapor polisi?" suara mbok Marni terdengar begitu syok. Ervan memelankan langkahnya, ia bersembunyi di balik tembok karena penasaran dengan topik pembicaraan kedua wanita tersebut. "Ssstt!! Budhe jangan kenceng-kenceng, nanti kedengeran orang rumah!" sergah Arini. "Eh, iya!!" mbok Marni memelankan suaranya sehingga membuat Ervan frustasi. Apa yang mereka berdua bicarakan? apakah Arini mengadukan kejadian malam itu pada budhenya? bukankah kemarin sudah sepakat untuk tutup mulut? "Mbok, tolong petikkan buah jeruk di kebun belakang! Mau saya bawa ke rumah sakit. Sekarang!!" Suara Ervan membuat Arini dan mbok Marni menoleh kaget. Marni terlihat bingung, tidak biasanya tuan mudanya mengkonsumsi buah jeruk kecuali buah itu sudah diblender menjadi jus. "Baik, Tuan.." Marni bergeser meninggalkan Arini yang sedang mencuci piring. "Kamu ga cerita ke siapa-siapa, kan?" suara Ervan terdengar begitu dekat di telinga Arini membuat gadis itu tersentak. "Kamu sudah janji untuk tutup mulut, apa Kamu tak bisa konsisten dengan ucapan--" "Anda tenang saja! saya tidak akan mengatakan aib itu pada siapapun!" tegas Arini. "Bagus! saya percaya Kamu! Kamu bisa lihat betapa saya mencintai Alexa. Saya tak mungkin meninggalkannya!" Arini memejamkan mata mendengar ucapan kejam Ervan, betapa egoisnya pria itu yang hanya memikirkan Alexa tanpa peduli betapa sakitnya perasaan Arini saat ini. Dia memang bukan siapa-siapa, tetapi tak adakah sedikit empati untuk tidak membahas hal itu lagi? (Next➡)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN