Ervan berjalan perlahan, beberapa orang tampak sibuk di dapur, tak terkecuali Marni. Namun, Marni bukan sibuk menyiapkan menu catering, melainkan berlari lari membawa segelas air ke dalam kamar Arini, wajahnya tampak kalut.
Ervan nekat mendekat untuk mengetahui apa yang terjadi. Ia menyelinap masuk dan melihat mbok Marni memijat tengkuk Arini yang menunduk di atas toilet.
"... Kamu punya riwayat penyakit maag, lain kali jangan telat makan, Rin!! kalau sakit begini budhe bingung..."
"Rini ba-ik-baik saja, Bu--dhe. Cuma ga kuat sama bau rempah-rempah..." ucap Arini parau.
"Arini kenapa, Mbok?" suara Ervan sontak membuat Marni dan Arini tersentak kaget. Mereka tak menyadari kedatangan pria tersebut.
"Anu Tuan.. Masuk angin sepertinya, badannya dingin. Beberapa hari ini juga sering muntah. Mungkin penyakit maag nya kambuh lagi.." jelas Marni.
"Sudah pernah ke dokter?"
"Belum! Arini ini anaknya sulit minum obat, jadi suka dibiarin aja sampai sembuh sendiri!" jawab Marni.
"CK! gimana mau sembuh kalau ga diobatin!! Sini biar saya periksa.." Ervan masuk ke kamar mandi dan membantu mengangkat tubuh Arini untuk berdiri.
"Say-ya bisa sendiri!" Arini menepis tangan Ervan dari tubuhnya.
"Arini!!" Marni memelototi sikap tak sopan keponakannya itu.
Arini akhirnya pasrah ketika Ervan memapahnya berjalan ke kasur.
'Seandainya saja budhe Marni tahu apa yang telah Ervan perbuat padaku!!' batin Arini.
Arini berbaring bersandar pada bantal yang ditumpuk. Ervan mulai menyentuh pergelangan tangannya, alis mata Ervan hampir tertaut, wajahnya tampak serius. Tak hanya sekali, Ervan mengulangi beberapa kali menekan nadi pada pergelangan tangan Arini sehingga membuat gadis itu merasa risih.
"Dia baik-baik saja, Tuan?" suara Marni terdengar penuh kekhawatiran.
Ervan meneguk saliva, sebagai seorang dokter kandungan, dia paham betul apa yang tengah di alami Arini saat ini. Sesuatu yang sangat mungkin terjadi, tetapi selama ini tak pernah sekalipun terlintas di pikirannya.
"Dia cuma kelelahan. Mbok, bisa ambilkan kotak P3K di lemari? sekalian ambilkan segelas air hangat lagi. Jangan sampai ketahuan orang, nanti pada heboh!" pesan Ervan datar.
"Iya, Tuan!" Marni segera keluar dari kamar, menyisakan Ervan dan Arini saja di dalam ruangan tersebut.
"Kapan terakhir kali Kamu haid?" tanya Ervan tiba-tiba. Arini menatap risih pada pria di depannya.
"Jawab, Arini! aku bertanya sebagai seorang dokter pada pasien!" tegas Ervan.
"Tanggal 10 bulan kemarin," jawab Arini malas.
Ervan memijat keningnya, ia tak sengaja meniduri Arini pada tanggal 22 bulan lalu. Kemungkinan besar saat itu arini sudah masuk masa subur.
"Kenapa?" tanya Arini mulai khawatir.
"Kamu belum haid lagi bulan ini? Kamu telat kan?" Ervan balik bertanya.
Hati Arini mencelos, bagaimana bisa dia tak menyadari sudah telat haid hampir sepuluh hari.
"Besok pagi belilah alat tes kehamilan! aku takut Kamu lagi hamil, Rin..." jelas Ervan lemah.
Blushh!!
Seperti baru saja dijatuhi barbel yang sangat berat, kini seluruh tubuh Arini seakan remuk redam. Begitu juga dengan Ervan, dia seolah kehilangan seluruh energinya. Jika benih itu miliknya, bagaimana nasib pernikahannya dengan Alexa, istri yang sangat ia cintai itu?
"Arini, Kamu--Kamu hanya berhubungan denganku saja, bukan?" tanya Ervan, mencoba meyakinkan bahwa janin tersebut memang akibat kesalahan yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
Muka Arini memerah, darahnya seolah mendidih mendengar pertanyaan kejam dari Ervan.
"Anda pikir saya wanita murah---" Arini tak sanggup melanjutkan kata-katanya, ia menepis dengan kasar tangan Ervan yang masih memegang nadinya.
"Anda tak perlu khawatir!! jika saya benar hamil, ini bukan anak Anda!! saya seorang PELAC*R!! ini anak dari beberapa pria yang telah meniduri SAYA!!" Arini berbalik memunggungi Ervan, pipinya terasa hangat oleh air mata yang mulai bercucuran.
"Arini!! tolong jangan marah. Aku hanya memastikan---"
"Tak ada yang perlu dipastikan lagi. Saya akan segera pergi, Tuan!! Anda tak perlu malu dan was-was karena keberadaan saya di rumah ini," ucap Arini tepat ketika Marni kembali masuk ke kamar.
"Ini Tuan..." Marni menyerahkan kotak P3K dan menaruh air hangat di atas nakas.
"Ada apa?" Marni menatap Arini yang menyeka air matanya.
"Gapapa, Budhe! perut Rini sakit," Arini berbohong pada budhenya.
"Yang sabar.. Sudah ada Tuan Ervan yang akan nyembuhin Kamu. Jangan nangis, Rin..." Marni mengusap lembut rambut keponakannya. Arini semakin terisak.
'Justru dia yang menyebabkan sakit ini Budhe...'
Batin Arini menjerit sekuat kuatnya meratapi nasib malang yang tak kunjung usai menimpa dirinya.
***
Keesokan paginya seluruh anggota keluarga Adinata berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Hari ini semuanya masih mengambil cuti setelah acara semalam.
"Mbok, Arini mana? kok ga kelihatan?" tanya Dewi.
"Eh, iya! aku semalam juga ga lihat dia pas acara inti," sahut Martha.
Marni berjalan mendekat membawa ayam yang baru selesai di goreng.
"Maag Arini kambuh lagi Nyonya, tapi semalam sudah di periksa tuan Ervan. Alhamdulillah sepertinya sudah mereda," jawab Marni.
Ervan memejamkan mata, ia lupa tak berpesan pada Marni agar tak mengatakan pada siapapun tentang semalam.
"Ervan? Kamu beneran periksa Arini? Kok Kamu ga bilang?!" tanya Alexa penuh curiga.
Ervan mendengus malas, dia berlagak tak peduli padahal semalaman dirinya tak bisa tidur setelah mengetahui kehamilan Arini.
"Emang penting harus diceritain? semalam sehabis aku dari toilet mbok Marni minta tolong buat meriksa kondisi Arini," Ervan melirik pada Marni agar mengiyakan alasan yang baru saja dia buat.
"Benar begitu, Mbok?" tanya Alexa.
"Iy-iya, Non! habisnya saya bingung. Beruntung tuan Ervan lewat.." bohong Marni. Ervan mengangguk puas dengan jawaban wanita paruh baya itu.
"Ya udah, habis sarapan Kamu periksa lagi kondisi Arini, Van!" perintah Dewi.
"Kenapa harus sama Ervan? suruh periksa ke puskesmas aja, Ma!" sergah Alexa, ia tentu tak nyaman jika Ervan harus kembali menyentuh Arini, pembantu yang terkadang membuat Alexa tak tenang karena kecantikannya.
"Tapi kan suami Kamu seorang dokter, Lexa.." Dewi mencoba meyakinkan.
"Bener kata Lexa, Ma! pergi ke puskesmas aja. Lagian Ervan juga ga bawa alat-alat. Semalam cuma bisa cek denyut nadi!!" potong Ervan.
Alexa tersenyum puas dengan jawaban suaminya. Ia tahu betul hanya dirinyalah satu-satunya wanita yang bisa membuat Ervan tunduk. Secantik apapun Arini, tak mungkin bisa menggoyahkan hati Ervan.
"Maaf karena semalam sudah merepotkan, Tuan. Saya sudah sembuh..." Arini tiba-tiba masuk ke ruang makan seraya membawa teko berisi teh panas.
Semua orang menatap pada Arini. Tak terkecuali Ervan, tiba-tiba hatinya merasa tak tenang, takut Arini tersinggung setelah mendengar kata-kata acuhnya yang ia maksudkan agar Alexa tak curiga.
"Aduh, Riin... Maaf karena kita ga tahu Kamu lagi sakit." sesal Dewi.
"Gapapa, Nyonya. Saya benar-benar sudah baikan," ulang Arini lagi. Ia menuangkan teh pada setiap gelas yang tertata di atas meja.
Ervan melihat rona pucat yang masih menghiasi wajah Arini, tapi jangankan menanyakan keadaannya, untuk sekedar menatap sedikit lebih lama saja dia tak berani.
Ervan sendiri tak ingin membuat Alexa semakin marah dan curiga jika dia sampai kepergok memperhatikan Arini. Ervan terlalu menyayangi Alexa, kejadian yang dialaminya bersama Arini adalah sebuah kesalahan.
Meskipun pemeriksaan awal menunjukkan Arini kemungkinan besar tengah berbadan dua, tetapi Ervan tetap berharap diagnosa nya salah sampai Arini melakukan tes kehamilan.
(Next➡)