Arini membeku menatap dua garis merah yang tertera pada alat tes kehamilan, tubuhnya lemas tak berdaya.
Dia benar-benar mengandung anak Ervan, pria beristri yang merupakan putra majikan budhenya. Arini kembali meratapi nasib malangnya dengan air mata. Cita-citanya hancur terkubur bersama masa depan cerah yang ia impikan selama ini.
Apa yang akan Arini lakukan dengan bayi itu?menggugurkannya?? mampukah ia membunuh nyawa tak bersalah tersebut?
Otak Arini terlalu penuh dengan kekhawatiran hingga tak sadar ojek sudah berhenti di depan gerbang kediaman Adinata. Lama Arini berdiri di depan gerbang besar itu.
Ia menatap pada jendela kamar Ervan, terlihat lampu menyala redup menandakan Ervan dan Alexa masih berada di rumah itu. Arini lantas berbalik dan berjalan menjauhi rumah besar yang ia tinggali selama dua tahun ini.
Arini tak sanggup lagi menghirup udara bebas di rumah itu. Apa yang akan terjadi jika Dewi tahu dia telah mengandung anak Ervan? Arini tak ingin menjadi orang ketiga yang akan menghancurkan rumah tangga Ervan dan Alexa. Belum lagi dengan nasib budhe Marni, wanita paruh baya yang menjadi tulang punggung keluarga itu pasti akan dipecat jika fakta ini terungkap.
Arini memutuskan untuk pergi membawa duka mendalam itu untuk dirinya sendiri.
___________________________________________
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam ketika suara sepeda motor terdengar berhenti di luar sana.
Arini!!
Ervan melirik pada Alexa yang sudah terlelap di sampingnya. Perlahan ia menyibak selimut untuk turun dari ranjang. Ia berjalan mengendap lalu mengintip dari balik tirai. Arini terlihat sedang menyodorkan uang pada driver ojek yang mengantarnya.
Gadis itu pasti baru saja pulang kerja. Siang tadi Ervan mendengar mama dan kakaknya membicarakan Arini yang tetap berangkat kerja paruh waktu meskipun tubuhnya belum fit.
Sepuluh menit berlalu, Ervan tak bisa menahan diri atas keinginannya untuk bertemu Arini. Ia nekat mengendap endap keluar dari kamarnya.
Sejak tadi pagi Ervan sama sekali tak memiliki kesempatan untuk sekedar memeriksa kondisi Arini karena Alexa selalu mengikutinya.
Sekuat apapun usaha Ervan untuk tak peduli pada Arini, faktanya pikirannya terus terganggu setelah semalam mengetahui betapa lemahnya denyut nadi gadis itu.
Lampu ruang makan dan dapur sudah padam, pasti mbok Marni pun sudah tidur. Ervan mengetuk pintu kamar Arini, seharusnya gadis itu sudah berada di kamarnya. Beberapa kali mengetuk tak terdengar jawaban sama sekali.
Ervan memutar gagang pintu yang ternyata tak terkunci. Kepalanya melongok ke dalam ruangan yang sangat gelap.
Klik!
Ervan menghidupkan lampu di samping pintu, tapi tak ada siapapun di dalam.
Dimana Arini?
"Tuan?" suara mbok Marni membuat Ervan tersentak.
"Nyariin Arini, Tuan?" tanya mbok Marni. Ervan mematikan lampu lalu berbalik menghadap pada mbok Marni.
"Enggak, tadi pintunya terbuka. Saya kira Arini lupa ga nutup pintu kamar," dusta Ervan.
"Masa iya, Tuan? perasaan dari tadi pintunya tertutup." Marni menerawang dengan ekspresi bingung.
"Beneran tadi kebuka waktu saya melintas mau ambil air minum," bohong Ervan lagi.
Marni menghela nafas, Ervan melihat kekhawatiran di wajah wanita itu.
"Kenapa belum tidur Mbok?" tanya Ervan seraya mengambil botol air dari dalam kulkas.
"Saya lagi nunggu-nunggu Arini, Tuan... Biasanya jam segini sudah sampai rumah. Saya khawatir, mana mau hujan dan badannya belum sehat bener lagi!!"
Mendung gelap disertai gemuruh langit memang sesekali terdengar sejak sore tadi.
Mengapa Kamu tidak masuk ke rumah , Rin? Kamu pergi kemana?
Ervan yakin sepuluh menit yang lalu sebuah sepeda motor berhenti menurunkan Arini di depan rumahnya. Tapi kemana Arini pergi jika saat ini tak ada di kamarnya?
Gelombang kekhawatiran menyeruak memenuhi hati Ervan. Seketika ia teringat ucapan Arini tadi malam.
"Tak ada yang perlu dipastikan lagi. Saya akan segera pergi, Tuan!! Anda tak perlu malu dan was was karena keberadaan saya di rumah ini,"
Bagaimana jika Arini benar-benar pergi? Ervan kembali ke kamar meninggalkan Marni yang duduk di dapur menantikan keponakannya.
Kepala Ervan berdenyut keras memikirkan keadaan Arini dan janin yang ada di rahimnya. Ervan semakin yakin janin itu miliknya. Arini terlihat seperti wanita baik-baik yang tak sembarangan tidur dengan pria lain.
Ervan menyambar kunci mobil di atas nakas, sekilas ia menatap pada tubuh ramping yang terlelap di atas kasur.
'Maafkan aku, Lexa!! aku harus mencari Arini'
Ervan melajukan mobilnya perlahan melewati komplek perumahan, rintik hujan sudah mulai turun membasahi jalanan sepi malam itu. Mata Ervan menyapu ke kanan dan ke kiri berharap menemukan sosok yang ia cari.
Ervan menghentikan laju mobilnya, matanya terpaku pada seorang perempuan yang duduk sendiri di atas ayunan taman. Ia menunduk dengan tatapan kosong, meremas remas jarinya sendiri. Air hujan sama sekali tak mengusik tubuh perempuan itu. Ervan segera membuka pintu mobil dan berlari menghampirinya.
"Arini, apa yang Kamu lakukan sendirian di sini?" Ervan menggoyangkan bahu kecil dan rapuh milik gadis di depannya. Arini mendongak menatap Ervan dengan tatapan hampa.
"Ayo kita pulang, baju Kamu basah Rin, Kamu bisa masuk angin..." Ervan melepas jaketnya dan menutupkan pada tubuh Arini, kemudian ia mengangkat tubuh kecil itu untuk berdiri. Ervan memapah Arini melewati rerumputan yang basah oleh air hujan. Setibanya di jalanan beraspal, Arini melepaskan diri dari tangan Ervan.
"Saya tidak mau kembali ke rumah itu," suara Arini sangat parau membuat hati Ervan semakin sakit melihat penderitaan yang ia sebabkan pada gadis itu. Ervan membuka pintu mobilnya.
"Kita masuk dulu, kita bicarakan di dalam.." ajak Ervan lembut. Gerimis berubah menjadi lebih deras sehingga membuat tubuh keduanya mulai basah. Pikiran Arini terus dibayangi dengan ketakutan jika keluarga Adinata mengetahui kondisinya. Hal ini membuat Arini tak sadar dirinya sudah berada di dalam mobil.
"Kamu sudah melakukan tes kehamilan?" tanya Ervan yang dibalas dengan anggukan lemah oleh Arini.
Ervan menghembuskan nafas berat. Tanpa bertanya pun Ervan sudah tahu hasilnya. Ia meraih jari dingin Arini yang terpangku di atas paha, Ervan menggenggam erat jemari Arini untuk memberikan kekuatan pada perempuan itu.
"Aku akan bertanggungjawab. Besok minta izinlah untuk pulang ke kampung mu, kita akan menikah di sana!" Ervan berucap dengan yakin. Dibesarkan oleh keluarga yang sangat menjunjung tinggi kedisiplinan dan tanggung jawab membuat Ervan tak bisa membiarkan Arini menanggung segalanya sendiri, apalagi kini di dalam rahim Arini ada anaknya.
"Aku akan menemui ayahmu dan menjelaskan semuanya. Maaf jika kita hanya bisa menikah siri. Saya tak bisa menceraikan Alexa--" suara Ervan tercekat, bayangan wajah Alexa membuatnya merasa begitu hina telah menduakan wanita yang dicintainya itu. Namun, menatap Arini yang begitu menderita Ervan pun tak sanggup.
Arini tak menjawab apapun, hanya air mata yang kembali bercucuran membasahi pipinya. Ia menarik jemarinya dari genggaman Ervan, memalingkan muka dan menatap keluar dengan hampa. Sejenak keduanya larut dalam keheningan hingga Ervan kembali duduk dengan benar di belakang kemudi kemudian memutar mobilnya untuk kembali ke rumah.
"Arini, kita sudah sampai." Suara Ervan membuat Arini tersadar dan menatap pada rumah besar di depannya. Ia membuka pintu dan keluar tanpa sepatah katapun, memaksa kakinya untuk kembali melangkah ke dalam rumah yang kini seperti neraka baginya.
Ervan menunggu hingga Arini masuk melalui pintu belakang. Ia lantas turun dan bergegas kembali ke kamarnya. Sesampainya di kamar...
"Dari mana saja Kamu? tengah malam begini basah kuyup bersama Arini??!!" Alexa bersedekap dan menatap sinis pada Ervan.
(Next➡)