Bab 9

1053 Kata
"Dari mana saja Kamu? tengah malam begini basah kuyup bersama Arini!!" Alexa bersedekap dan menatap sinis pada Ervan. Ervan meneguk saliva, sejak di perjalanan pulang ia sudah berjaga jaga jika Alexa tiba-tiba bangun. "Ada panggilan darurat di rumah sakit. Tadinya mau pamitan, tapi aku ga tega bangunin Kamu." Ervan mendekat untuk mengusap rambut istrinya. "Lalu Arini?" mata Alexa menyipit. Ervan mengangkat bahu, "Aku tak tahu, dia berjalan kehujanan di sekitar taman. Mungkin baru pulang kerja," jawabnya enteng. "Jam segini baru pulang kerja?" tanya Alexa tak percaya. Ervan mengabaikan Alexa yang terlihat tak suka dengan kepulangannya bersama Arini. "Sayang.. Siapkan pakaian kering untukku!" pinta Ervan sebelum masuk ke kamar mandi. Meskipun sedikit kecewa dengan jawaban Ervan, Alexa memilih diam dan mengabaikan kecurigaannya. Sementara itu, di dalam kamar mandi Ervan mengguyur tubuhnya di bawah shower. Ia membenci dirinya sendiri yang harus menyakiti dua wanita sekaligus. Alexa, wanita yang dicintainya serta Arini, gadis polos yang harus menjadi korban kegilaannya. *** Keesokan paginya Alexa mengajak Ervan pulang pagi-pagi buta. Bahkan keduanya pergi sebelum sarapan. Arini yang baru saja bangun dari tidurnya menatap kertas kecil yang di selipkan dari bawah pintu kamar. Ingat!! buatlah alasan agar Kamu bisa pulang ke kampung halamanmu hari ini. Tunggu aku di restoran A pukul 10 pagi. Arini menghela nafas, ia sudah menata beberapa baju ke dalam tas meskipun dirinya belum yakin benar untuk mengiyakan ucapan Ervan semalam. Menikah siri? Hal itu tak pernah sekalipun terlintas di benak Arini. Apa bedanya istri kedua dengan seorang pelakor? Di tengah kebimbangannya, Martha meminta Arini ke kamarnya untuk memberikan spa pada Sofia. Arini yang sedikit tahu tentang pijat bayi tak keberatan melakukan hal itu. Siapa tahu dia mempunyai kesempatan untuk pamit pulang kampung pada Dewi dan Martha. "Rin, maaf! kalau boleh tahu gaji Kamu di kedai berapa?" Martha duduk sambil mengamati gerakan luwes jemari Arini. "UMR, bu Martha.. Lumayan bisa buat tabungan." Martha manggut-manggut, "Habis ini Kamu mau langsung lanjut study profesi?" "Belum, Bu.. Saya ngumpulin tabungan dulu. Soalnya pendidikan profesi harus pakai biaya sendiri.." Arini mengakhiri kalimatnya dengan senyum tipis. "Mm... Gimana kalau bantuin aku ngerawat Sofia aja. Aku bakal gaji Kamu lebih dari UMR. Setahun dua tahun cukup lah buat study Kamu!" tawar Martha. Arini terdiam. Andai saja dirinya tak bermasalah dengan Ervan, tawaran tersebut pasti akan langsung di terimanya. "Terimakasih tawarannya, Bu. Nanti saya pikirkan..." Arini akhirnya mendapat izin pulang kampung selama tiga hari dengan dalih mengunjungi keluarga. Tak ada yang curiga dengan kepulangan Arini yang tiba-tiba, bahkan Marni senang karena bisa nitip oleh-oleh untuk suami dan anaknya di kampung. "Salam buat ayahmu, Rin! Hati-hati di jalan!" "Iya, Budhe!!" jawab Arini lembut. __________________________________________ Ervan berkali kali melirik jam di tangannya, ia sudah berada di dalam restoran sejak setengah jam yang lalu. Hingga waktu sudah hampir pukul sebelas, Arini sama sekali tak terlihat di tempat itu. Apa Kamu menolak saranku, Rin? Kamu akan semakin menderita jika menolaknya!! Ervan bingung harus bagaimana? hari ini dirinya terlanjur mengambil cuti setengah hari khusus untuk menyelesaikan urusannya dengan Arini. Namun, gadis itu malah tak muncul di depannya. Sementara itu, Arini saat ini sudah berada di dalam sebuah bus. Ia duduk memeluk tas besar sambil menatap keluar jendela. Arini sudah memantapkan diri untuk menunda segala mimpinya, ia akan bekerja apapun di desa sampai anak di dalam rahimnya lahir. Arini lebih memilih menanggung malu di depan tetangga-tetangganya daripada harus terang-terangan menyakiti Dewi dan Marni yang selama ini sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri. Arini sudah berlapang d**a dengan kejadian yang menimpanya. Ia tak mempermasalahkan lagi apakah Ervan mau bertanggung jawab atau tidak, ia tetap akan merawat anak itu. * Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam, Arini akhirnya tiba di rumahnya. Udara segar membuat Arini nyaman berdiri kembali di kampung halaman yang selama enam bulan ini ia tinggalkan. Arini menatap rumah sederhana dengan tembok papan kayu di bagian depannya. Meskipun tergolong bangunan tua, tapi rumah itu terlihat bersih dan sangat terawat. Tok Tok Tok "Assalamualaikum..." sapa Arini. "Walaikumsalam..." terdengar langkah kaki berlari untuk membukakan pintu. "Teteh?!!!" seru seorang gadis ketika pintu terbuka. Arini memeluk Ratih, adik perempuan yang kini sudah menginjak remaja. "Ratih, gimana kabar Kamu dan Bapak?" "Alhamdulillah sehat, Teh! tumben nggak ngabarin kalau mau pulang?" Ratih membantu membawa tas kakaknya ke dalam rumah. "Teteh mau ngasih kejutan!" Arini mengerling pada Ratih. Sebisa mungkin dirinya menyembunyikan segala permasalahan yang kini menimpanya. "Bapak pasti seneng. Akhir-akhir ini dia sering nanyain kabar Teh Rini. Berkali kali minta Ratih supaya nelpon, tapi tahu sendiri disini sinyal sulit. Masa Ratih suruh jalan dua kilo ke balai desa buat nebeng wifi." Arini tertawa mendengar celoteh adik perempuannya. "Teteh sakit?" tanya Ratih ketika berkali kali mendengar Arini batuk-batuk. "Nggak, mungkin mau kena flu karena kemarin teteh kehujanan waktu pulang kerja. Aku tidur dulu ya, nanti kalau bapak datang, bangunin teteh!!" Arini berjalan ke sebuah kamar yang hanya berpintukan selambu. Arini naik ke kasur bergegas untuk tidur, berharap rasa lelah dan tak enak badannya berkurang ketika bangun nanti. *** Hari demi hari berlalu, tak terasa Arini sudah berada di kampungnya selama seminggu. Sampai saat ini, baik ayah maupun adik perempuannya tak ada yang tahu alasan dirinya pulang kampung. Mereka percaya Arini pulang karena memang tengah libur semester sampai tiba masa wisuda nanti. Hidup tanpa sinyal tak membuat Arini kesepian, ia justru bersyukur kampungnya berada di pelosok. Jika saja ponselnya aktif, sudah pasti Dewi dan budhenya akan menelpon untuk memintanya balik ke Jakarta. Lalu pekerjaan di kedai? Sebelum kepulangannya ke kampung, Arini sudah mengundurkan diri untuk berhenti kerja di kedai. "Pak, Arini mau ziarah ke makam ibu." Pamit Arini ketika ayahnya baru kembali dari ladang. "Nggak nungguin adikmu pulang sekolah, Rin? supaya diantar pakai sepeda!" "Rini pengen jalan aja Pak, sambil nikmatin pemandangan." "Hati-hati di jalan!" pesan pria paruh baya itu. Arini melambaikan tangan meninggalkan ayahnya yang duduk di teras sambil mengipas ngipas lehernya dengan caping. Lima belas menit kemudian sebuah sedan mewah berwarna hitam berhenti di halaman rumah Arini. Jajang, ayah Arini tersentak kaget karena jarang-jarang ada tamu besar datang ke rumahnya kecuali untuk membagikan bantuan. Jajang berdiri sambil mengancingkan kemeja lusuh yang menjadi seragam berladangnya sehari-hari. Seorang pria muda berpakaian rapi keluar menghampirinya. "Maaf, Pak. Apakah benar ini rumah Arini?" Jajang terkesiap menatap pemuda bertubuh tegap dengan wajah rupawan yang mencari putrinya. "Benar. Ada perlu apa mencari putri saya?" tanya Jajang. "Perkenalkan saya Ervan. Saya datang dari Jakarta untuk menemui Bapak dan juga Arini." (Next➡)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN