Bab 3

1095 Kata
Ervan berjalan menghampiri Arini yang terdiam tak menyadari kehadirannya. "Arini?" sapa Ervan pelan. Gadis itu mendongak kaget, tubuhnya bergetar penuh ketakutan, bahkan Arini bergeser menjauhi Ervan. "Ada yang ingin saya tanyakan, maukah Kamu masuk ke mobilku?" Tak ada jawaban, Arini bahkan berpaling menghindari tatapan Ervan padanya. "Ini tentang semalam, lebih baik kita membicarakannya di mobil," lanjut Ervan. Arini menggigit bibir bawahnya seraya memejamkan mata, jelas sekali ia mencoba menahan rasa sakit yang ia rasakan setelah kejadian semalam. Ervan tak kuasa melihat gadis rapuh itu. Perlahan ia menyentuh pundak Arini untuk mengajaknya berdiri. "Kumohon Arini..." pinta Ervan ketika tubuh gadis itu semakin gemetar setelah tangan Ervan menyentuhnya. Tak ingin berlama-lama di tempat itu, Ervan sedikit memaksa agar Arini mau masuk ke mobilnya. Hening di dalam mobil. Dunia seakan berputar-putar, keduanya bergelut dengan pikirannya masing-masing. Mengesampingkan segala kegalauan yang ada, Ervan memilih untuk segera mengklarifikasi tentang kejadian semalam. Ia menghirup udara sebanyak banyaknya sebelum berbicara, "Arini, apa semalam kita--" suara Ervan tercekat di tenggorokan, ia tak mampu meneruskan kata-katanya. Ervan yakin pertanyaannya kembali membuka luka pada gadis itu. Arini kini terisak seraya meremasi jari jemarinya. Ervan menghela nafas, sikap Arini sudah memberikan jawaban untuk pertanyaannya. "Maaf." Kata-kata Ervan membuat Arini semakin terisak, ia menyadari beribu kata maaf rasanya tak sebanding dengan apa yang sudah dilakukannya pada gadis itu. "Saya tak tahu bagaimana saya harus bertanggung jawab, Kamu tahu sendiri saya sudah menikah--" Ervan membenci betapa brengseknya dirinya berkata seperti itu di depan Arini. Namun, ia juga tak ingin berpisah dengan Alexa, ia mencintai istrinya melebihi apapun. Arini membuang muka menatap jalanan yang ramai di luar sana. Sungguh berbanding terbalik dengan keadaannya saat ini. Air matanya terus bercucuran tanpa henti meratapi nasib buruk yang harus ia alami. "Kejadian semalam adalah kesalahan. Saya mencintai Alexa, saya tidak mungkin mengkhianatinya," jelas Ervan penuh penekanan. "Bisakah kita melupakan kejadian semalam?" tanya Ervan. Hati Arini semakin remuk, setelah disakiti kini dipaksa melupakannya begitu saja. Apa yang bisa dilakukan seseorang seperti Arini? bukankah ia harus bisa berdamai dengan keadaan dan merelakan apa yang telah hilang? pada akhirnya Ia harus menyimpan kepahitan ini jauh di dalam lubuk hatinya, sendirian. Arini mengangguk, setidaknya Ervan masih mau mengakui dan menyesali perbuatannya. "Aku antar pulang sekarang?" tanya Ervan lembut. Arini menggeleng. "Kamu mau kemana?" Tak biasanya Ervan peduli dengan urusan orang lain, tapi rasa kepeduliannya muncul begitu saja setelah melihat kepedihan yang Arini alami. "Saya masih ada urusan," jawab Arini lirih, masih dengan terisak. Ervan meneguk saliva, ia mengambil tissu lalu mengusap air mata di pipi merah Arini. Ervan menyelipkan anak rambut ke belakang telinga gadis itu. Ia lantas mencondongkan tubuh lalu menarik gadis malang itu ke dalam pelukannya, berharap bisa memberikan ketenangan untuk sedikit meredakan luka yang sudah ia ciptakan. "Sekali lagi maafkan saya." Tangis Arini semakin menjadi jadi di dalam pelukan Ervan yang kini mengusap lembut punggungnya. Semenit kemudian Arini menjauh dari tubuh Ervan, ia mengambil masker dari dalam tasnya, merapikan rambut lalu membuka pintu mobil. "Tunggu!!" tahan Ervan sebelum Arini kembali menutup pintu. "Ini salep untuk memar Kamu, jangan lupa olesin setiap pagi dan sebelum tidur." Arini menerima salep pemberian Ervan lalu pergi tanpa sepatah katapun, ia berjalan dan melambai pada sebuah angkot yang melintas di depannya. Ervan menatap kepergian Arini. Ia meremas rambutnya. Kali ini ia tak hanya menyakiti satu wanita saja, tapi tanpa disadari ia telah menyakiti Alexa. Bedanya sang istri tak mengetahui kesalahan yang telah Ervan lakukan di belakangnya. _________________________________________ Dua hari kemudian, Sore ini kediaman keluarga Adinata sedang ramai. Hari ini Martha dan anaknya sudah boleh dibawa pulang. Semua anggota keluarga berkumpul menikmati momen bahagia tersebut. Tak terkecuali Ervan dan Alexa. "Van! habis ini masih mau balik ke rumah sakit?" tanya Surya Adinata Wijaya, ayah Ervan. "Ngga, Pa kecuali ada situasi serius." Ervan menyantap nasi, tapi matanya sejak tadi terus mencari cari sosok yang belum ia lihat sejak dua hari ini. Dimana Arini? dia masih tinggal di rumah ini kan? "Kalau Kamu, Lexa? malam ini ada acara?" Surya beralih menanyai menantunya. "Ga ada, Pa. Minggu ini aku free." "Baguslah, Kalian berdua menginap disini saja!" perintah Surya. "Aku sih nurut gimana Ervan aja.." Alexa mengerling pada suaminya. "Oke. Kita nginap disini malam ini," jawab Ervan tanpa berfikir. Sejujurnya ia bersyukur mempunyai alasan untuk mengetahui kabar Arini. Entah mengapa sejak terakhir Ervan menemui Arini di kampusnya, wajah pilu gadis itu sering kali muncul di pikirannya. Ervan tak yakin bisa hidup tenang setelah menyakiti gadis malang tersebut. "Assalamualaikum..." sebuah suara membuat Ervan seketika menoleh dengan d**a bergemuruh. "Walaikumsalam, Arini? Kamu sudah pulang?" tanya Dewi ketika melihat sosok gadis bertubuh ramping masuk melalui pintu belakang. Arini berhenti di depan pintu, kakinya gemetar ketika melihat sosok Ervan. Sekuat apapun ia mencoba mengobati luka hatinya, nyatanya sakit itu kembali muncul setelah melihat pria yang telah menghancurkan hidupnya itu. "Hai, Arini.. Lama tak jumpa!!" Alexa tersenyum manis pada Arini, membuat lukanya tertusuk jauh semakin dalam. Andai saja perempuan itu tahu apa yang sudah suaminya perbuat pada dirinya, pasti bukanlah sikap manis yang Arini dapatkan, sudah pasti dia akan diusir oleh keluarga Adinata. "Arini!! Kenapa berdiri disitu? taruh tas Kamu, buruan makan dan bantu budhe cuci piring!" suara budhe Marni membuat Arini tersentak. "Iy-iya, Budhe.." Arini berlalu melewati keluarga Adinata yang sedang berbahagia itu. Makan malam telah usai, menyisakan Arini dan Marni yang sibuk membersihkan dapur. Sesekali Arini bisa mendengar Ervan bercengkrama dengan keluarganya di ruang tengah. Kehadiran Ervan dan Alexa di rumah itu membuat Arini semakin sadar akan posisinya, walau bagaimanapun ia harus menyembuhkan lukanya sendiri lalu menguburnya jauh di dasar hati. Malam semakin larut, Arini masih sibuk melipat pakaian yang siang tadi di angkat budhenya dari jemuran. Ceklek! Pintu kamarnya terbuka, sosok pria bertubuh tegap tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya. "Tuan?" Arini tersentak kaget melihat Ervan datang menghampirinya. Apa yang diinginkannya? Pria itu memaksa menyembunyikan kejadian malam kejam itu, tapi mengapa dia justru datang menemuinya? apa ia tak takut jika istri dan orangtuanya melihat hal ini? "Kamu ga obatin memar Kamu? sudah tiga hari tapi masih terlihat biru. Ini bisa menimbulkan peradangan jika dibiarkan begitu saja!" cecar Ervan dengan suara berbisik. "Bukan urusan Anda," jawab Arini singkat. "Tentu saja ini urusanku, aku yang menyebabkan luka itu!" Arini tersenyum kecut. Pandai sekali Kau berbicara seperti itu? Lalu bagaimana dengan luka fatal yang Kau minta untuk kulupakan? apakah itu juga menjadi urusanmu?!! Ervan seolah bisa membaca apa yang ada di pikiran Arini saat ini, sikapnya tiba-tiba melunak. "Pliss, Arini... Jangan buat aku semakin merasa bersalah setiap kali melihatmu," Ervan menatap Arini dengan mata sedih. Beberapa detik kemudian, sebuah suara membuat Ervan dan Arini sama-sama tersentak kaget. "Ervan!! apa yang Kamu lakukan di kamar Arini??" (Next➡)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN