BAB 6

1621 Kata
   Cancri duduk dengan tenang, ia menatap adiknya yang kini menyesap wine sambil menatap pemandangan langit malam di balkon bagian belakang mansion.    “Jadi mereka mencoba berkhianat pada kita?” tanya Cancri.    “Kakak, jangan terlalu ramah pada kolega bisnismu.” Lauye bukannya menjawab, pria itu menatap kakaknya dan meneguk habis sisa wine di gelas kristalnya.    “Tanpa keramahan, mereka akan lari terbirit-b***t. Kau tentu tahu sisi kelam yang Kakak punya.” jawab Cancri.    “Aku bosan menasehatimu, Kak.” Lauye menuangkan wine lagi, ia kemudian minum dan menghempaskan gelas itu di atas meja, “Keluarga kita bisa saja terancam.” lanjut Lauye.    “Aku akan melindungi Golden Snake, kau hanya perlu melakukan tugasmu.”    “Jadi, apa tugasku?” tanya Lauye.    “Seperti biasa, kau hanya perlu menyeret semua sampah untuk didaur ulang.” jawab Cancri.    “Besok, aku akan pergi. Kau tentu memerlukan laporan keuangan, Joker tentu sudah mendapatkan semua data dari tubuh Golden Snake,” ujar Lauye.    “Yah, kau hanya perlu mengerahkan anak buahmu, awasi keuangan, dan jangan lupa, bawa semua harta Golden Snake yang tercuri.”    “Perintahmu, adalah satu hal yang tidak bisa dibantah.” jawab Lauye.    Cancri bangkit, ia harus segera tidur dan menemani istri cantiknya. Pria itu tidak mengatakan apapun lagi, ia hanya melangkah dan meninggalkan Lauye yang masih betah menyendiri.    Sudah agak jauh Cancri berjalan, ia berpapasan dengan White.    “Gerakan Lauye cukup mengagumkan,” ujar White.    Cancri berhenti, “Ya, akan makin sulit untukmu, Dad.” jawab Cancri.    White hanya terkekeh, ia kemudian menatap Cancri dan tersenyum, “Kau akan mengadakan program kehamilan untuk istrimu, ku yakin, dia akan sangat kaget dan, murka.”    “Baguslah, setidaknya dia akan sadar. Jika kami bisa hidup tanpa dirinya,” ujar Cancri.    “Akan semakin sulit membersihkan hama, ah … dia akan memerintah seenaknya lagi.” White berlalu pergi, pria itu masuk ke salah satu kamar yang ada di lorong panjang itu.    “Selamat malam, Daddy.” setelah mengatakan itu, Cancri kembali ke kamarnya. Pria itu harus mengistirahatkan tubuhnya dan memeluk istrinya, rasa rindu sudah membumbung tinggi, dan ia perlu melepaskannya dengan sebuah pelukan hangat dan percintaan romantis. …    Pagi itu, Luzia ikut serta mengantar kepergian Lauye. Gadis itu tersenyum senang lalu melambaikan tangannya saat melihat kakaknya. Ia menatap Cancri yang kini duduk tegak di samping Lizzy, ada juga si kembar yang sedang bermanja pada kedua orang tuanya.    “Kau terlihat sangat senang, Luzia.” Rebecca yang baru saja datang duduk di samping Lizzy.    “Tentu, jika aku mengantar Kakak Lauye dengan tangisan, dia tidak akan berangkat.” jawab Luzia. Gadis itu memilih duduk di samping Lauye, menarik rambut kembarannya dengan senyum menyebalkan.    Cancri hanya bisa menggeleng, ia tidak bisa berbuat banyak untuk menenangkan adik kecilnya itu. Matanya menatap sang ayah yang kini sedang tertawa bersama salah satu anaknya.    “Kau akan pergi, Cancri?” tanya White. Ia sadar putranya sedang menatap dan memperhatikan dirinya.    “Ya, aku harus mengawasi perusahaan hari ini.” jawan Cancri.    “Dad, aku ingin ikut.” salah satu anak Cancri berucap begitu pelan, ia ingin menghabiskan waktu dengan sang ayah hari ini.    “Aku juga ingin ikut, Dad.” ucapan itu kembali disuarakan gadis kecil yang ada di gendongan White.    “Kalian ingin bertemu Grandma?” tanya Cancri. Ia memang sedang tak bisa mengajak kedua anaknya, ia juga tahu kedua anak itu mengira dirinya pergi ke mansion utama keluarga besar mereka.    “Aku juga ingin bertemu Mommy Lica, banyak hal yang ingin aku ceritakan padanya.” Lizzy menatap suaminya, lebih tepatnya dia sedang memohon izin dari pria itu.    “Kau bisa pergi bersama anak-anak.” jawab Cancri. Mata pria itu menatap ayahnya yang kini menyeringai, pasti ada satu dan lain hal yang sedang pria itu rencanakan kali ini.    “Baiklah, kami akan pergi sore nanti.” Lizzy tersenyum, ia menatap kedua mertuanya yang kini sedang tertawa bersama anak-anaknya.    “Apa aku boleh ikut?” tanya Luzia.    “Tidak!” Lauye yang sedari tadi diam angkat bicara, ia tidak rela Luzia merepotkan Lizzy dengan tingkah jalangnya nanti.    “Kakak! Aku tidak berharap izin darimu!”   “Hentikan, kalian terlalu berisik.” White angkat bicara, ia merasa bising dengan keributan kedua anaknya. Selalu seperti itu setiap hari, mereka masih seperti dua bocah menyebalkan yang selalu berdebat karena hal yang tidak jelas.    “Tapi-”    “Luzia, kau harus berjanji untuk diam dan tidak membuat kekacauan kali ini.” Cancri mengembuskan napasnya, ia jelas tahu maksud adik bungsunya itu.    “Aku, aku hanya ingin bertemu Rysh.” jawab Luzia gugup.    “Kau boleh menemuinya. Tapi, jangan membuat keributan!” Chaeri yang sedari tadi diam angkat bicara. Wanita itu menatap suaminya yang terlihat ingin menyela namun dibatalkan, “Rebecca, ikuti Luzia. Jika dia melanggar, tendang saja bokongnya sampai patah.” lanjut Chaeri.    “Mommy sangat kejam!” ujar Luzia nyaring.    Cancri segera berdiri, pria itu mengecup lembut kening istrinya lalu mencium pipi putri kembarnya. Ia berpamitan dan segera pergi, ada banyak hal yang harus diselesaikan hari ini.    Setelah menjauh dari seluruh anggota keluarga, Cancri meraih ponselnya. Pria itu membuka pintu mobil, lalu masuk dan melajukan mobil itu ke dalam sebuah terowongan yang begitu gelap.    “Ada apa, Cancri?” suara seorang pria terdengar di kejauhan sana, Cancri tersenyum dan menginjak gas pada mobilnya dalam.    “Jangan menyentuh apapun kali ini, aku sudah menjadi anak yang penurut sejak umur satu tahun!”    “Aku tak bisa menjanjikan itu padamu, tapi, bermain sedikit tampaknya cukup baik.”    Cancri terdiam, pria itu mengerem mobilnya cepat, suara decitan terdengar nyaring bahkan menggema di tengah hutan, “Jangan mengujiku lagi!” bentak Cancri.    “Adikmu hampir membunuh wanitaku.”    “Tapi wanitamu masih hidup sampai saat ini!” jawab Cancri lagi.    “Gliese Cancri Snake, rasanya nama itu tidak pantas untukmu.”    Cancri mematikan sambungan telepon, pria itu melempar ponselnya ke jok belakang dan kembali melajukan mobil putihnya. ia menatap jengkel pada jalanan yang terlihat panjang, ia menahan amarah yang sudah puluhan tahun di bendung.    Tak berapa lama, mobil yang Cancri kendalikan telah melaju di jalan raya, jalan yang sering dilewati banyak orang. Terlihat begitu sepi, bahkan hanya ada beberapa kendaraan yang berpapasan dengan dirinya sejak tadi.    Cancri menatap beberapa orang berpakaian hitam, entah siapa, namun aura orang-orang itu begitu pekat.    “Menyebalkan!” rutuk Cancri kesal, ia berhenti lalu keluar dari mobilnya. Pria itu berdiri dan menatap dingin musuh yang menghadangnya.    “Wah, apa yang kalian lakukan di jalanan sepi ini?” tanya Cancri. Ia tersenyum, rambut panjangnya terhempas angin dengan kasar.    “Kau pemimpin Golden Snake?” tanya salah satu dari mereka.    “Ah … aku hanya tikus kecil di organisasi itu.” jawab Cancri. Pria itu masih tersenyum, ia sama sekali tidak ingin menambah urusannya saat ini.    Di kejauhan, ada dua orang penembak yang membidik ke arah Cancri. Mereka terus memantau gerak-gerik pria itu, mencari sasaran yang pas untuk membunuh Cancri dalam satu tembakan. Namun, kesialan mereka datang begitu cepat. Dua ekor ular melilit leher mereka dan membuat mereka mati seketika tanpa perlawanan.    Cancri masih berdiri, ia mengeluarkan kartu nama lalu melemparkannya dengan cepat. Kartu itu melesat, mengenai pakaian salah satu pria dengan jas hitam dan mengoyaknya. Setelah kejadian itu, Cancri di serang serentak, namun pria itu hanya memasang wajah datar dan melawan tanpa menguras tenaganya terlalu banyak.    Cancri mendesah lelah, pria itu menghentakan kakinya lalu ribuan ular keluar dari berbagai sudut. Pria itu memerintahkan ular-ularnya untuk menyerang, sedangkan ia duduk sambil menatap malas orang-orang di depannya.    “Kalian mencariku untuk apa?” tanya Cancri, pria itu menggunakan radar pelindung, namun tubuhnya masih bisa terlihat. Ia hanya berdiam diri, lalu membakar rokok di tangannya.    Seorang pria yang mungkin pemimpin kelompok itu mundur beberapa langkah, ia menghindari ular-ular yang terus berdatangan dan terus menyerang mereka.  Beberapa pisau berada di tangannya, ia segera melesatkan pisau itu dan tersenyum bangga saat pisau itu menghampiri Cancri.    Namun, ia harus kecewa. Pisau itu terjatuh dengan kasar, pria itu menelan ludah dan menatap tidak percaya.    Dari kejauhan, mobil berwarna merah melesat cepat, seorang pria segera memarkir mobilnya di tengah keributan. Tak lama, ia keluar. Dua buah pistol ada di tangannya, suara tembakan memenuhi tempat itu dan darah berceceran di mana-mana.    “Kau terlalu lama, Avren,” keluh Cancri. Ia menatap salah satu eksekutif tinggi Golden Snake yang terus melakukan tugasnya.    Cancri duduk sambil menikmati keributan di depannya, ia menatap jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Hampir pukul dua belas siang, dan keributan itu belum juga berakhir. Waktu semakin menjepit, pertemuan penting akan diadakan satu jam lagi.    Musuh-musuh terus berdatangan, mereka menyerang tanpa henti dan terus maju tanpa takut mati. Cancri menggeleng, jika terus seperti ini ia bisa terlambat menghadiri rapat. Cancri membuang puntung rokok yang masih menyala di tangannya, di injaknya dengan sepatu dan bara api itu mati. Cancri membuka kancing atas kemejanya, ia mengeluarkan sebuah bolpoin dari saku jasnya lalu menekan salah satu tombol kecil di sana.    Tak berapa lama, bolpoin itu berubah menjadi senjata mematikan. Bentuknya seperti lidi, panjang dan tipis, namun berwarna bening dengan mata tajam pada setiap sisinya yang kecil. Senjata itu memiliki ketajaman yang bahkan bisa membelah baja terkuat    Cancri maju, ia menatap dingin lawan-lawannya dan mengayunkan senjata itu dengan bebas. Beberapa kepala langsung terpenggal, darah berhujanan dan mengotori jalan. Cancri tidak peduli, setiap hempasan menghasilkan korban dan beberapa potong tubuh yang terpotong.    “Cukup!” ujar seorang diantara pria-pria tadi. Mereka yang mendapat komando segera berlari pergi.    “b*****h!” maki Avren. Ia baru saja akan mengejar, namun Cancri menahan langkah Avren dengan tatap matanya.    “Kenapa?” tanya Avren.    “Mereka hanya sampah, datang untuk menguji kekuatan kita.” jawab Cancri. Pria itu berlalu pergi, ia masuk kedalam mobil lalu bergegas pergi. Ribuan ular yang membantu Cancri juga segera menghilang, sedangkan Avren juga melakukan hal yang sama, pergi dan menjauh dari tempat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN