BAB 7

1505 Kata
   Beberapa minggu berlalu, setelah penyerangan di tengah jalan, Cancri berusaha mencari siapa dalang di balik semua itu. Ia menemukan satu hal yang begitu mengganggu pikirannya, apalagi saat mengetahui banyak fakta gila.    Pria itu mendesah lelah, ia memejamkan matanya dan bersandar pada sofa di ruang kerja. Kepalanya terasa begitu berat, ada banyak pikiran yang singgah bahkan semua masalah seakan naik ke permukaan.    Beberapa jam lalu, laporan dari Joker masuk. Membuat Cancri menahan napas dan kembali berpikir untuk tidak pergi jauh dari keluarganya.    “Kau menjadi bingung, ada apa?”    Pria itu membuka matanya, ia terlihat muak dengan orang yang berdiri di hadapannya. Ingatan masa kecil menari dan membuatnya ingin mencaci-maki manusia yang kini menatap dengan penuh perhatian padanya.    “Li An, kau sangat tidak sopan.” Cancri mendesah lelah, seandainya mereka hanya sendiri, Li An sudah lama ia singkirkan.    “Kau selalu bersikap dingin padaku?”    “Karena kau bukan orang yang ku harapkan.”    Li An mendesah lelah, wanita itu menatap Cancri dan memutuskan untuk pergi.    “Apa alasan di balik semua ini?”    Li An berhenti, ia tersenyum namun tidak membalik posisinya lagi. Wanita itu melangkah, ia tak ingin salah bicara.    Sepeninggalan, Li An. Cancri berdiri, pria itu melangkah keluar dan menuju kamar tidurnya. Ia perlu pelukan hangat sang istri, ia perlu tawa dua malaikat kecil yang begitu ia sayangi.    Cancri berdiri di depan sebuah pintu, ia membuka lalu menatap ruangan kosong yang biasanya akan ramai dengan suara canda dan tawa anak serta istrinya.    “Mereka masih belum kembali, Tuan.” seorang pelayan yang melewati tempat itu berujar pada Cancri.    “Di mana Luzia?”    “Nona muda juga belum kembali, ia pergi bersama Nona Lizzy dan kedua Nona kecil.”    “Kau boleh pergi.”    “Selamat beristirahat, Tuan. Semoga Anda bermimpi indah.”    Cancri hanya mengangguk, pria itu memilih masuk dan berbaring diatas kasur empuknya. Bayangan masa kecil kembali menari di benaknya, ia memejamkan mata dan mengingat satu per satu kenangan buruk itu.    Dalam bayangannya, Cancri mengingat kejadian pertama yang begitu mengganggunya. Saat seorang wanita bisu ingin mengajarkan banyak hal padanya. Tetapi, kesalahpahaman menjadi malapetaka saat itu.    “Daddy, jangan!”    Cancri masih ingat dengan teriakannya sendiri, ia ingat wajah ayahnya begitu seram.    “Hanya kau yang tahu tentang hal ini, Cancri. Jika kau mengatakannya pada orang lain. Maka, tidak akan ada yang selamat.”    Cancri menelan ludahnya kasar, ia memegang dadanya yang terasa begitu sesak.    “Apa yang kau lihat, adalah awal dari sebuah kehancuran.”    Pria itu mengembuskan napasnya kasar, ia menjadi gelisah dan kembali duduk. Kakinya melangkah cepat, berusaha keluar dan menyusul anak serta istri dan adiknya. Pria itu merasakan hal aneh akan terjadi. Ia menjadi gelisah dan serba salah.    Ponsel Cancri berbunyi, ia menatap benda persegi panjang itu dan tersenyum.    “Kau di mana, Sayang?” tanya Cancri.    “Kami baru saja akan pulang, kau sudah kembali?”    “Aku akan menjemput kalian, jangan beranjak kemanapun, tunggu aku.”    “Kau yakin?”    “Aku sangat yakin, Sayang.” Cancri tersenyum, pria itu mematikan telepon saat Lizzy mengatakan ‘iya’ padanya.    Cancri merasa senang, kekhawatirannya tidak terbukti. Ia melangkah pasti dan menuju lantai dasar, sesekali suara siulan pria itu menggema merdu dan membuat beberapa pelayan yang ada disana menatap dengan senyum bahagia.    Beberapa saat berlalu, Cancri kini masih mengemudikan mobilnya dengan cepat. Pria itu tersenyum senang, tidak sabar untuk bertemu anak dan istrinya.    Sebuah ledakan keras membuat Cancri mengerem mobilnya mendadak. Pria itu menahan napasnya beberapa saat, ia tidak mengedipkan mata dan fokus pada dua buah mobil yang meledak, beberapa meter di depan mobilnya.    Cancri meraba ponsel yang kini bergetar, pria itu membuka beberapa pesan masuk dan tangannya berhenti pada tiga buah video dengan durasi berbeda.    Cancri menelan ludahnya, ia kembali fokus dan membaca pesan yang dikirim oleh orang tersebut.    Ikuti permainanku, atau, tidak akan ada yang selamat.    Cancri meremas ponselnya, benda itu hancur. Menarik napas, Cancri kembali menjalankan mobilnya. Ia melajukan mobil dan tidak peduli saat melewati dua mobil yang masih terbakar. Jalanan itu memang berada di tempat yang sepi, dan tidak ada banyak orang yang melewati jalanan tersebut. …    Sebuah gedung tua, di pinggiran kota. Tempat yang sepi dan tidak terpakai, jauh dari jangkauan orang-orang. Gedung itu berlantai sepuluh, dengan ruang bawah tanah yang memiliki kedalaman lima puluh meter.    Cancri menatap gedung itu, wajah datar pria itu semakin mendingin. Di langkahkannya kaki, menghampiri gerbang yang menjulang tinggi. Cancri menengadah, sekitar lima belas meter dan pagar itu terkunci rapat. Pria itu kemudian memanjat dan terjun ke bawah dengan pendaratan yang mulus.    Di sekitar gedung, ada banyak pohon tinggi. Daun berguguran dan angin yang berembus kencang. Cancri dengan cepat berlari, ia masuk ke dalam gedung.    “Cancri, to-long!” suara seorang wanita terdengar. Rintih tangis terdengar begitu miris, “To-long!” teriak wanita itu. Ia menatap ke arah bawah, menatap suaminya yang kini menatap ke atas dan terlihat begitu gusar di bawah sana.    Cancri menatap ke segala arah, ia mencari tempat yang bisa digunakan untuk mencapai Lizzy. Ketinggian itu kira-kira seratus meter, dengan leher Lizzy yang terlilit tali tambang. Cancri menatap sebuah tangga, ia juga melihat tiang yang berada tepat di sebelah tiang tempat Lizzy terikat.    Dengan cepat, pria itu menaiki tangga. Ia kini berada di ketinggian lima puluh meter, ia harus memanjat lima puluh meter lagi untuk melepaskan istrinya dari tali tambang yang ada pada bagian leher.    Lizzy terus menangis di atas sana, wanita itu tidak berbuat apa-apa saat ini. Tangan dan kakinya terikat, dan tempat ia berpijak hanya dua kayu rapuh dengan ukuran dua jengkal papan.    Lima menit berselang, Cancri hampir mencapai Lizzy. Suara papan yang semakin rapuh terdengar, tangisan Lizzy semakin kencang, air mata tak bisa berhenti mengalir. Dengan perjuangannya, Cancri berhasil mencapai Lizzy. Ia menggunakan satu tangan untuk melepaskan jeratan yang ada di leher Lizzy, sedangkan tangan lain menahan tubuhnya untuk tetap ada pada tiang yang membawanya naik ke atas.    “Tenanglah, jangan bergerak atau kau akan jatuh!” Cancri menatap istrinya, tangannya masih tetap melepaskan tali tambang pada leher istrinya. Berhasil, namun satu papan terjatuh dan membuat Lizzy menjerit takut. Hanya tinggal satu papan lagi, dengan tangan Lizzy yang masih terikat erat. lagi, Cancri berusaha melepaskan ikatan itu, ia masih menahan tangannya tetap memeluk tiang, sampai berusaha untuk tidak merosot ke bawah.    “Suamiku, cepat!” desak Lizzy.    “Tenanglah, Lizzy.”    Lizzy memejamkan matanya, ia takut ketinggian dan kepalanya terasa begitu pusing saat Cancri berhasil membuka ikatan pada tangannya, Lizzy merasa lega.    “Lepaskan ikatan pada kakimu, lalu pegang tanganku.”    “A-aku takut!”    “Percaya padaku.”    Tubuh Lizzy bergetar, ia perlahan berjongkok dan membuka ikatan pada kakinya. Ia mendengar suara retakan, dan berharap jangan terjatuh lagi. Ia sudah cukup ketakutan dengan satu papan yang kini berada di bawah sana.    Cancri menatap istrinya, ia menguatkan pelukannya pada tiang dengan satu tangan, “Cepat!” titah Cancri.    Lizzy mencapai tangan Cancri, bersamaan dengan papan yang terjatuh dan tubuh Lizzy yang kini tergantung.    “Cancri!!!” teriak Lizzy. Ia memejamkan matanya, tangannya dan Cancri saling berpegangan dengan Cancri yang mati-matian memeluk tiang lebih erat dan memegang tangan Lizzy dengan kuat.    “Tarik tanganku dengan dua tanganmu. Aku akan berhati-hati untuk turun.”    “Aku takut!” tangis Lizzy semakin menjadi. Wanita itu menuruti perintah Cancri, matanya tertutup dan Lizzy bisa merasakan tangan Cancri bergetar.    Dengan sekuat tenaga, Cancri menarik tangannya. Beruntung tubuh Lizzy tergolong kecil, dan mudah untuk diangkat olehnya. Kini, Lizzy memeluk tubuh Cancri begitu erat. Wanita itu menangis tersedu, tubuhnya bergetar.    “Peluk lebih kuat, aku akan memelukmu dan kita perlahan turun.”    Lizzy mengangguk, ia melakukan perintah suaminya. Tangan Cancri memeluk pinggang Lizzy erat, mereka merosot ke bawah dan terjatuh ke atas lantai dari ketinggian dua meter.    “Akh ….” Lizzy terjatuh diatas tubuh Cancri, wanita itu segera berguling dan menatap suaminya.    “Bangunkan aku,” ujar Cancri.    Lizzy mengangguk, ia segera menarik tangan Cancri dan pria itu segera berdiri. Lizzy memeluk Cancri, ia menangis takut dan menatap ke segala arah.    “Kita harus cepat!” ujar Cancri. Pria itu menarik tangan istrinya, mereka berlari dan mencari jalan menuju ruang bawah tanah. Mereka saling melepas pegangan tangan, mencari jalan yang bisa digunakan.    “Cancri!” panggil Lizzy. Ia menemukan jalan, sebuah pintu kecil yang terlihat gelap.    Cancri menarik tangan istrinya, mereka menuruni anak tangga yang berjumlah ratusan dan memijakan kaki di ruang bawah tanah dengan penerangan lampu yang berkedip, nyaris mati.    “Apa yang kau cari! Anak kita berada di lantai lima!” teriak Lizzy kesal.    Cancri menatap tangga yang ada di samping sebuah akuarium setinggi sepuluh meter, ada ratusan ikan piranha yang terkurung di sana.   “Tunggu, dan jangan bergerak!” titah Cancri. Setelah itu, Cancri menuju akuarium tersebut, pria itu menatap ikan-ikan ganas yang terkurung di sana.    Cancri menggigit dua jarinya, meneteskan darahnya yang menetes deras ke dalam akuarium. Perlahan, darah merah kehitaman itu mengotori akuarium, ikan-ikan itu perlahan mati dan tidak menunjukan kehidupan lagi.    Cancri segera masuk kedalam akuarium, pria itu menyelam di akuarium sempit dan menuju ke dasarnya. Ia sedang mencari kunci, sesuai dengan urutan permainan yang didapatkan dari orang asing tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN