Marlan pun menceritakan pertemuannya dengan Azril. Saat itu berkenalan dan menjadi dekat dengannya. Terlebih, pria itu memiliki pandangan yang berbeda terhadap Safa sehingga sebagai seorang ayah paham betul apa yang Azril rasakan.
Safa sendiri yang mendengar bagai tertusuk duri, sama sekali tidak mengetahui jika Ayah memantau sejauh itu. Bahkan, rasanya ayah lebih banyak mengetahui tentang Azril.
“Belajarlah menerima Azril dan lupakan Faqih, Nak. Jika Faqih mencintaimu, dia tidak akan membuatmu kecewa.” Marlan mengusap lembut kepala Safa dan memberinya pengertian.
Safa menggeleng tak percaya. Ia yakin jika Faqih tidak seburuk yang ayahnya katakan, hati kecilnya yakin jika Faqih merupakan pria baik dan tidak kehadirannya kemarin pasti terjadi sesuatu dengannya.
“Raihlah surgamu bersama Azril, Safa. Sekarang dia suamimu dan tidak perlu lagi kamu memikirkan Faqih,” tegas Marlan agar Safa membuka hati.
Hati Safa meringis, dadanya begitu sesak dan tidak ingin berdebat dengan ayah. Emosinya semakin menggebu membuat Safa ingin berteriak bebas. Ia pun memilih bangkit menjauh dari sang ayah.
“Tolong tinggalin Safa sendiri, Yah,” kata Safa lemah. Tubuhnya sudah ia jatuhkan di atas ranjang tanpa memedulikan Marlan yang masih berbisik pelan.
Tak lama, Marlan pun mengalah. Ia membiarkan Safa beristirahat dan meninggalkan kamar. Walau hatinya ikut sesak melihat Safa penuh beban.
“Safa kenapa, Pak?” Marlan hampir terkejut karena melihat Azril yang sudah berada di hadapan.
“Biarkan Safa istirahat dulu di dalam. Dia masih emosi.”
Azril pun tak banyak komentar dan menuruti apa yang mertuanya katakan. Ia mengajak Marlan yang wajahnya sudah berubah sendu.
“Saya minta maaf, ya, sudah membawa kamu terlibat dalam kesengsaraan. Semoga kamu sabar menghadapi Safa yang cukup keras kepala,” ujar Marlan menasihati Azril.
Rasanya tidak sebanding dengan kebaikan Azril. Pria itu sangat tulus dan selalu tersenyum saat diajak berbicara. Sedangkan Safa sendiri selalu penuh emosi saat diberitahu hal yang baik.
“Do’akan Azril ya, Pak, Azril akan berusaha untuk membahagiakan Safa.” Azril selalu bijak dalam segala hal. Terutama tentang wanita yang tidak bisa dipermainkan.
Marlan mengangguk sembari merangkul bahunya hingga keduanya terlibat dalam perbincangan yang membuat mereka semakin akrab.
Sore pun menjelang, Safa belum juga terlihat keluar dari dalam kamar. Azril khawatir terjadi sesuatu yang akhirnya memberanikan diri untuk melihat kondisi Safa. Saat membuka pintu, terlihat Safa masih terlelap dengan pakaian yang masih rapi melekat di tubuhnya.
“Safa, bangun, Fa, sudah sore.” Azril mengusap lembut lengan Safa.
Sayup suara masuk ke dalam telinganya membuat Safa terusik. Ia mengerjap, lalu membuka matanya perlahan.
“Mau ngapain kamu?” Safa terkejut langsung menjauhkan tubuhnya dari hadapan Azril. Beruntungnya, pakaian masih lengkap dan hijab di kepalanya pun belum terlepas.
“Sudah sore, Fa, sebentar lagi waktu Asar masuk. Kamu sudah salat Zuhur belum?” tanya Azril lembut. Ia memiliki kewajiban untuk mengingatkan istrinya.
Safa mengusap wajahnya kasar, lalu beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Ia memang belum salat Zuhur karena ketiduran. Dengan segera Safa menunaikan kewajiban yang tak lama berlanjut azan Asar terdengar.
Usai itu, Safa berdiam di dalam kamar. Ia membuka laptop untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai penulis. Safa begitu pandai menyusun kisah seseorang dalam tulisan, tetapi berbeda dengan dirinya bertolak belakang seolah menginginkan hidup yang sempurna.
Ternyata menjalani hidup sesungguhnya tidak seindah dalam n****+ yang Safa buat. Seketika dadanya bergemuruh tidak tenang. Entah mengapa, ia ikut merasakan padahal selama ini hanya menjadi pengamat setia.
“Fa, aku izin keluar dulu, ya,” kata Azril melihat Safa yang sedang fokus menatap layar laptopnya.
Safa tak merespon dan justru menggerutu tak karuan. Pikirnya untuk apa meminta izin karena Safa pun tidak terlalu memedulikan kepergiannya.
Azril sendiri hanya menghela napas pasrah. Ia meninggalkan kamar Safa dan berlalu tanpa pamit. Setidaknya, ia sudah mengatakan jika dirinya pergi.
Bahkan, Safa masih betah bergelut di hadapan layarnya sampai larut malam tiba. Setelah Isya tadi, ia kembali melanjutkan dan menyelesaikan naskahnya hingga sempurna.
“Safa, Safa!” Marlan mengetuk pintu perlahan.
Safa pun menyahut dan meminta ayahnya untuk masuk karena pintu tidak dikunci. Wajahnya sudah tersenyum menyambut kehadiran ayah yang telah menemani Safa setelah kepergian ibu.
“Kata Bibi kamu belum makan, kenapa?” tanya Marlan memerhatikan putrinya yang tampak sibuk. Ia tahu setiap harinya memang sibuk dengan laptop, tetapi tidak sampai melewatkan makan malam dan mengurung di dalam kamar hampir seharian.
“Ayo makan dulu, Ayah tidak mau kamu sakit.” Kesehatan Safa tetap menjadi perhatian utama. Meski Safa sudah dewasa, tetapi Marlan selalu menganggap Safa sebagai putri kecilnya.
Sebenarnya Safa malas makan dan tidak merasakan lapar. Namun, melihat wajah ayah yang begitu peduli membuat Safa mengiyakan tawarannya.
“Apa Azril belum pulang, Safa?” Marlan kembali bertanya karena tidak melihat Azril di dalam kamar Safa.
Safa menghela napas.Lagi-lagi ayah selalu menanyakan keberadaan Azril, apa anaknya telah berubah karena setiap berhadapan dengannya yang dibahas selalu Azril.
“Jika Ayah tidak melihatnya berarti memang pria itu belum pulang, Yah,” tukas Safa enteng sembari menyuapkan nasi dalam mulutnya.
Marlan menggeleng. “Apa kamu tidak menanyakannya, Safa? Barangkali terjadi sesuatu dengan Azril!”
Seketika kenikmatan Safa hilang, tetapi ayah sangat tidak suka jika melihat makanan yang masih tersisa. Dengan terpaksa, Safa segera menghabisi sebelum nafsu makannya benar hilang.
“Untuk apa, Yah? Dia sudah besar, pasti ingat jalan pulang. Jika terjadi sesuatu pun dia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri,” jawab Safa ketus untuk apa mengkhawatirkannya.
“Safa, tetapi dia suamimu. Seharusnya kamu sedikit peduli dengannya.” Marlan tidak ingin kalah dan tegas terhadap putrinya.
Safa semakin murka. “Ayah sendiri yang meminta dia menjadi suami Safa bukan Safa.” Ia pun bangkit dan melenggang pergi meninggalkan tanpa pamit. Kali ini menentang ucapan ayahnya karena hati Safa sudah lelah untuk terus mengalah.
“Safa!” Marlan berteriak histeris. “Ayah belum selesai bicara.”
Safa tak menanggapi, ia terus berlari hingga menutup pintu sedikit keras. Batinnya kembali menjerit dan terisak tanpa suara.
Sedangkan Azril sedang meyakinkan kedua orang tuanya mengenai kabar yang ia bawa. Mereka tidak percaya dan menganggap Azril hanya lelucon.
“Kamu tidak berbuat senonoh, ‘kan, Ril?” Wanita paruh baya di hadapannya tampak khawatir.
“Astagfirullah, Mih, Azril tidak mungkin melakukan itu. Azril masih punya iman dan takut akan dosa,” kata Azril jujur. Ia pun telah memegangi kedua tangan ibunya. “Maafin Azril, Mih, Azril datang ingin meminta restu sama Amih dan Bapa.”
Sebenarnya, Azril sudah memberitahu melalui pesan, tetapi mereka tidak membacanya sehingga memiliki pemikiran yang buruk.
“Siapa wanita itu, Nak?” Sebagai ibu sangat percaya jika Azril memang anak yang baik.
Azril menatap wajah ibunya yang amat penasaran. “In syaa Allah dia wanita yang sangat baik, Mih.”
Hamidah pun mengusap punggung tangan Azril lembut sembari tersenyum. “Kenalkan Amih padanya, Nak!”
Azril mengangguk. Melihat ibunya yang antusias membuat otaknya berpikir keras. “Nanti akan Azril bawa ke sini, Mih.”
Seketika kedua alis wanita itu berkerut. “Kenapa tidak sekarang, Ril? Amih sama Bapa siap sekalian kita silaturahmi sama orang tua istrimu itu.”
Amri pun mengangguk setuju dengan apa yang istrinya katakan, tetapi berbeda dengan Azril yang mematung tertegun.